Quantcast
Channel: Mongabay.co.id
Viewing all 9435 articles
Browse latest View live

Yuk, Intip Skola Lipu di Komunitas Tau Taa Wana

$
0
0
Kegiatan pendidikan di Skola Lipu. Selain diajarkan baca tulis hitung (Calistung), mereka juga diajarkan Bahasa Indonesia dan matematika. Foto: Dokumentasi YMP

Kegiatan pendidikan di Skola Lipu. Selain diajarkan baca tulis hitung (calistung), mereka juga diajarkan Bahasa Indonesia dan matematika. Foto: Dokumentasi YMP

Skola Lipu berarti Sekolah Kampung. Adalah Yayasan Merah Putih (YMP) yang memperkenalkan model pendidikan alternatif ini bagi komunitas adat Tau Taa Wana yang hidup di belantara hutan Sulawesi Tengah sejak 2005. Komunitas ini tersebar di Kabupaten Tojo Una-una, Banggai, dan Morowali. Yang paling dekat yang berada di Kabupaten Tojo Una-una, itu juga harus naik ojek sekitar dua jam.

Manajer Lapangan YMP wilayah Kabupaten Tojo Una-una, Badri Djawara, menceritakan hadirnya sekolah ini di Tojo Una-una. Berangkat dari diskusi panjang YMP dengan masyarakat Tau Taa Wana di Banua Bale yaitu rumah besar -beratap rumbia, berlantai bambu, yang bagian samping dan depan dindingnya tertutup setengah- maka terwujudlah sekolah ini.

Ketika itu, perwakilan dari sembilan lipu bermusyawarah (mogombo) di Banua Bale membahas segala persoalan yang dialami komunitasnya. YMP hadir sebagai fasilitator dan mendokumentasikan kegiatan. Dalam diskusi itu diketahui, mereka kesulitan mengakses layanan sosial, ekonomi dan politik dari pemerintah setempat karena tempat tinggal mereka yang terpencil.

“Tidak ada program layanan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan dan ekonomi, yang menjangkau lipu-lipu yang berada di hilir Sungai Bulang. Ini karena kondisi jalan yang sulit dan berbukit,” kata Badri.

Selain faktor geografis, masalah lainnya adalah mereka sering dibohongi. “Jika turun ke kota menjual hasil bumi, mereka kerap merugi karena tidak paham hitung-menghitung,” jelasnya.

Memang, akhir 1990-an pemerintah telah membangun Sekolah Dasar Desa Bulan Jaya, desa transmigrasi dekat Lipu Mpoa di Tojo Una-una, untuk memenuhi pendidikan anak-anak transmigran dan anak-anak komunitas Tau Taa Wana.

Namun, komunitas adat ini enggan menyekolahkan anaknya. Bukan karena tidak menginginkan pendidikan, tapi karena sekolahnya yang sulit dijangkau. Dibutuhkan waktu dua jam berjalan kaki tanpa infrastruktur jalan yang memadai. Para orang tua khawatir, bila anaknya harus berjalan kaki menelusuri bukit dan sungai setiap hari menuju sekolah.

Permasalahan ini ternyata belum usai, saat tiba di sekolah pun, anak-anak Taa Wana mengalami kesulitan beradaptasi. Yang paling terasa adalah, mereka kesulitan  memakai sepatu, seragam sekolah, serta dasi. Hal yang tidak biasa mereka kenakan.

Hal lainnya adalah masyarakat Tau Taa Wana masih berladang jauh sehingga harus menetap tiga bulan saat musim tanam (momuya) dan dua bulan saat musim panen (momota).

Akhirnya, rekomendasi dari musyawarah tersebut adalah mereka menginginkan model pendidikan yang fleksibel sesuai potensi dan karakteristik lingkungannya. Dari latar ini, YMP membuat Skola Lipu sebagai pendidikan alternatif yang informal, tanpa gedung khusus, tenaga guru tidak berijazah, serta murid yang tidak berseragam.

Awalnya, proses belajar ini mendapat tanggapan beragam. Ada yang menilai positif sebagai kegiatan pendidikan namun ada juga yang mencurigai karena dinilai ilegal dan menyalahi kebiasaan dunia pendidikan. “Tidak hanya dari masyarakat awam, tetapi juga dari pemerintah daerah yang mengurusi pendidikan,” ujar Badri.

Namun, pengiat YMP tidak peduli. Diskusi dan sosialisasi terus dilakukan mulai dari desa, kecamatan, hingga kabupaten. Berbagai seminar juga dilakukan dalam kurun waktu 2006-2010 dengan melibatkan praktisi pendidikan, akademisi, dan pemerintah. Di tingkat komunitas, Tau Taa Wana sebagai pelaksana Skola Lipu melakukan kegiatan pendidikan dan pelatihan untuk memperkuat kapasitas masyarakat khususnya guru.

Anak-anak sedang belajar di Skola Lipu. Mereka juga diajarkan tentang organisasi dan kearifan lokal. Foto: Dokumentasi YMP

Anak-anak sedang belajar di Skola Lipu. Mereka juga diajarkan tentang organisasi dan kearifan lokal. Foto: Dokumentasi YMP

Pertengahan Juli 2009, YMP selaku penanggung jawab Skola Lipu mendapat undangan dengar pendapat dari DPRD Tojo Una-una. Agendanya membahas Skola Lipu. Rapat dipimpin oleh Mohammad Afnan Rahmad, dan dihadiri oleh Bupati Tojo Una-una Damsik Ladjalani beserta Dinas Pendidikan Touna. Setelah mendapat penjelasan, Damsik Ladjalani paham dan berjanji akan memperhatikan masyarakat adat Tau Taa Wana terlebih Skola Lipu.

Pada 2010, Damsik Ladjalani menyepakati penyelenggaraan Skola Lipu yang termuat dalam Nota Kesepahaman Nomor: 4219/254/PERLUM dan Nomor: 003/MOUKA-YMP/V/ 2010 tentang penyelenggaraan Sklola Lipu sebagai satuan pendidikan layanan khusus dengan jalur informal pada masyarakat Tau Taa Wana. Kemudian, tanggal 18 Juli 2011 Bupati menandatangani Peraturan Bupati Nomor 13 Tahun 2011 tentang pengakuan dan perlindungan penyelenggaraan Skola Lipu pada masyarakat hukum adat Tau Taa Wana.

Garis besar Perbup 13 ini adalah, Skola Lipu tidak sekadar memenuhi kewajiban baca, tulis, dan hitung pada anak didik. Tapi, sebagai pendidikan berbasis komunitas pada masyarakat hukum adat Tau Taa Wana guna mengembangkan kemandirian komunitas dengan mengembangkan nilai budaya, kearifan lokal, adat istiadat, dan pelestarian lingkungan.

“Secara teknis, kurikulum dan silabus Skola Lipu disusun bersama Dinas Pendidikan Kabupaten Tojo Una-una. Kurikulum direvisi guna penyesuaian dengan Peraturan Bupati yang melibatkan staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Tadulako MHR. Tampubolon,” terang Badri

Hingga saat ini, kata Badri, sudah ada sembilan Skola Lipu yang dikembangkan di daerah Sungai Bulang masing-masing di Lipu Mpoa, Ueveau, Salumangge, Kablenga, Vatutana, Lengkasa, Bone Paratambung, Sikoi, Ratovoli. Total muridnya saat ini adalah 150 siswa.

Sungai Bulang adalah salah satu aliran sungai yang panjangnya sekitar 42,17 km dengan lebar antara 30-60 m. Secara administratif, masuk dalam tiga kabupaten yaitu Tojo Una-una, Morowali, dan Banggai.

Sejak hadirnya Skola Lipu, sebagian besar anggota komunitas Tau Taa Wana sudah dapat membaca dan menulis. Proses belajarnya juga unik. Kadang dilakukan di kolong rumah ladang, di halaman rumah, tak jarang di sela menumbuk padi. Peserta belajar dapat menjadi guru bagi teman belajarnya. Bagi mereka setiap tempat adalah ruang belajar.

Menurut Badri, sedikitnya ada dua staf YMP yang mendampingi kegiatan pendidikan alternatif ini. Mereka berada di lapangan dua hingga tiga bulan. Materi pelajaran ada yang bersifat umum seperti baca, tulis, hitung, serta Bahasa Indonesia, dan matematika. Ada juga pelajaran lingkungan, organisasi, dan eksplorasi kearifan lokal. “Bagi yang berusia 15 tahun ke atas akan diajarkan tentang hukum, lingkungan, hutan, dan tanah,” jelasnya.

Komunitas Tau Taa Wana dengan model pendidikan alternatif, Skola Lipu. Foto: Dokumentasi YMP

Komunitas Tau Taa Wana dengan model pendidikan alternatif, Skola Lipu. Foto: Dokumentasi YMP

Karakteristik sosial

Azmi Siradjudin, Koordinator Program Hutan dan Iklim Yayasan Merah Putih, menambahkan jika dilihat dari karakteristik sosialnya Tau Taa Wana atau dikenal dengan To Wana, dikategorikan sebagai “Masyarakat Adat”.

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan sejumlah Undang-undang disebut sebagai “Masyarakat Hukum Adat” tetapi Kementerian Sosial lebih senang menamakannya “Komunitas Adat Terpencil” (KAT). Yaitu, kelompok sosial budaya yang besifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi, maupun politik.

Menurut Azmi, apapun istilah yang di pakai, yang pasti karakteristik sosial yang digambarkan oleh seluruh pengguna istilah tersebut, menandai komunitas Tau Taa Wana ini. Meski, pola interaksinya mulai cenderung terbuka. “Tapi, umumnya komunitas adat Tau Taa berbentuk komunitas kecil, homogen, dengan pranata sosial yang bertumpu pada lembaga kekerabatan,” terangnya.

Saat ini, sekitar 3.000-an kepala keluarga tersebar di 23 lokasi dalam wilayah Kecamatan Ampana Tete dan Ulubongka, Kabupaten Tojo Una-una, serta Kecamatan Bungku Utara dan Mamosalato, Kabupaten Morowali. Dari jumlah itu, sebanyak 1.161 kepala keluarga sudah tersentuh program pemberdayaan, selebihnya belum.

Mereka terbiasa hidup harmoni dengan alam. Kepada alam  mereka bersikap ramah, tidak merusaknya. Filosofi mereka, gunung adalah badan atau kehidupan sementara sungai adalah jiwa. “Mereka tidak ingin merusak hutan dan sungai karena akan merusak badan dan jiwa mereka,” pungkas Azmi.

Di Skola Lipu, bagi yang berusia 15 tahun ke atas akan diajarkan tentang hukum, lingkungan, hutan, dan tanah. Foto: Dokumentasi YMP

Di Skola Lipu, bagi yang berusia 15 tahun ke atas akan diajarkan tentang hukum, lingkungan, hutan, dan tanah. Foto: Dokumentasi YMP

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio


Yuk, Intip Skola Lipu di Komunitas Tau Taa Wana was first posted on August 24, 2014 at 4:46 am.

Penyu Hijau Masuk Sungai Kapuas, Kok Bisa?

$
0
0
Para pemuda yang menemukan penyu hijau di Sungai Kapuas, dan mencoba menyelamatkan  dengan meletakkan di dalam kolam sebelum menyerahkan ke BKSDA dan dilepasliarkan. Foto: Aseanty Pahlevi

Para pemuda yang menemukan penyu hijau di Sungai Kapuas, dan mencoba menyelamatkan dengan meletakkan di dalam kolam sebelum menyerahkan ke BKSDA dan dilepasliarkan. Foto: Aseanty Pahlevi

Akun Facebook grup Pontianak Informasi mendadak mendapat sorotan ratusan masyarakat. Ada apa? Ternyata, anggota grup,  Agus Nadi, mengunggah beberapa foto penyu pada 19 Agustus. Posting disertai gambar penyu dipegang orang dewasa.

Gan ane nemu penyu hijau di sungai dekat rumah ane. Pertanyaan ane, bagus penyu ini diapakan? Makanan penyu ini apa?” tulis Agus Nadi.

Berbagai komentar masuk, bahkan ada menawar Rp3 juta. Agus mendapat banyak permintaan pertemanan, terutama dari media massa. Keesokan, pukul 17.11, rekan Agus, Noval Riyanda, juga mengunggah foto penyu. Kali ini mereka seakan memamerkan si penyu, dengan mengangkat di bagian tempurung.

Tiga pose Noval ditautkan dengan Agus dan Rafy Bertuah. Ketiganya, tidak menyadari penyu sangat langka.  Saat dihubungi via Facebook, Agus membenarkan penyu itu masuk ke sungai dekat kediamannya. “Penyu Bos, kayaknya sih penyu hijau.”

Dari Agus, diketahui penyu itu dipelihara Muhammad Rudini, warga Jalan Tanjung Harapan, Kelurahan Banjar  Serasan Pontianak Timur. Karena terbatasan tempat, Rudi pun menitipkan penyu di kediaman Fathana di Gang Kejora. Mahasiswa Politeknik Untan ini menyiapkan kolam ikan di depan rumah.

Rudi mengisahkan, mereka mendapati penyu berjalan di bawah surau, Senin (18/8/14) di Jalan Tanjung Harapan. Awalnya, mereka tidak menyangka itu penyu. “Penyu masuk ke bawah surau, air semata kaki. Lalu ditangkap ramai-ramai.”

Dari penelusuran di internet Rudi dan rekan-rekannya mengetahui penyu itu tergolong langka. Namun, Rudi tidak mengetahui, kepada siapa hewan ini diserahkan.

Ketidaktahuan harus menyerahkan penyu ke mana, mereka sempat ingin melepaskan ke pantai. Rudi dan teman-teman pergi Pantai Jungkat. Karena kemalaman, pantai sudah ditutup. Penyu kembali menempati kolam berukuran 1×3 meter di depan rumah Fatan.

Lebar karapas penyu muda itu 40 cm, dengan panjang 44,5 cm. Kondisi penyu mulai lemah. Ada lecet-lecet di bawah tubuhn. Kaki dan sirip kanan sedikit terluka.

Dwi Suprapti, koordinator Konservasi Penyu WWF-Indonesia Program Kalbar, mengkonfimasi itu penyu hijau, masuk endangered species. Penyu hijau (chelonia mydas) dilindungi PP 7 Tahun 1999 dan Appendix 1 CITES, serta UU Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya.

Habitat penyu di laut, kemungkinan mencapai sungai (estuaria) karena faktor tertentu. Ia dapat bertahan hidup dalam jangka waktu tertentu di air payau. Namun, kata  Dwi, di sekitar DAS Kapuas, tidak ada feeding ground maupun pantai penelusuran. Hingga, memerlukan investigasi lebih lanjut mengapa penyu sampai ke Sungai Kapuas.

Dwi menyarankan, segera menghubungi Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam di Pontianak. Makin lama penyu tidak dikembalikan ke habitat, makin sedikit peluang bertahan hidup.

Kate Mansfield, peneliti biologi kelautan dari University of Central Florida, dalam laporan yang dimuat di jurnal Proceedings of the Royal Society B, 4 Maret 2014, menyatakan, pengamatan melalui satelit menemukan banyak penyu keluar dari rute migrasi dan membuat jalur sendiri. Walau Penyu muda dibekali dengan insting peta magnetik untuk mengikuti rute migrasi, namun banyak yang melenceng. Hal ini karena kumpulan rumput laut atau  sargassum, yang menjadi tumpangan nyaman bagi para penyu muda sekaligus makanan bagi selama menjelajah lautan.

Penyu satwa berdarah dingin, hingga memerlukan panas eksternal untuk menaikkan suhu tubuh. Namun pola penyu muda yang mengikuti sargassum ini, mengakibatkan mereka kian terancam.

Keberadaan penyu muda masuk Sungai Kapuas, cukup menarik. Dwi mengatakan, Banjar  Serasan, terletak hampir 20 kilometer dari muara sungai. “Walau bisa terbawa arus, tetapi terlalu jauh.”  Dari besar karapas, Dwi memperkirakan usia sekitar 5-10 tahun.

Peta migrasi penyu. Grafis: WWF

Peta migrasi penyu. Grafis: WWF

Petugas BKSDA Kalbar, P Samosir, berterima kasih kepada anak muda yang mau menyelamatkan penyu. Evakuasi penyu Sabtu (23/8/14) dari kediaman Fathana. Rudi dan rekan-rekan menandatangani berita acara penyerahan hewan langka itu, untuk kemudian dilepasliar ke Pantai Jungkat. “Kondisi sangat lemah. Harus segera dirilis.”

Penyu hijau memiliki ciri warna kuning kehijauan atau coklat hitam gelap, cangkang bulat telur bila dilihat dari atas dan kepala relatif kecil dan tumpul. Ukuran panjang antara 80-150 cm dan berat mencapai 132 kg. Penyu hijau jarang ditemui di perairan beriklim sedang, tapi sangat banyak tersebar di wilayah tropis dekat pesisir benua dan sekitar kepulauan.

Usia kematangan seksual penyu hijau tidak pasti,  sampai saat ini diperkirakan 45-50 tahun. Penyu hijau betina bermigrasi dalam wilayah luas, antara kawasan mencari makan dan bertelur, tetapi cenderung mengikuti garis pantai dibandingkan menyeberangi lautan terbuka.

Masih Diburu

Saat Festival Pesisir Paloh 2014, menyisakan cerita tersendiri. Salah satu festival sosialisasi kepada warga untuk menjaga penyu dari pencurian, baik individu maupun telur.  Namun, satuan petugas pengamanan lintas Yonif 143/Tri Wira Eka Jaya berhasil menangkap pemuda yang mencoba menyelundupkan penyu di perbatasan Kalimantan Barat-Sarawak Malaysia.

Nauval, warga Dusun Teluk Nibung Desa Paloh, Sabtu (23/5/14), mencoba menerobos perbatasan saat diperiksa Satgas Pamtas. “Dia tidak menghentikan kendaraan, saat anggota memeriksa warga yang akan keluar perbatasan maupun yang masuk,” kata Danton Pamtas Temajo, Lettu Kav M Eka Perwira Chandra.

Eka mengatakan, anggota TNI berhasil menghentikan Nauval dan memeriksa bawaan serta kendaraan. Nauval mengaku mendapat telur penyu dari lima pemuda di Pantai Sungai Banyuan. Dia bersama Syarif, petugas Rutan Sambas. “Mereka kami dapati membagi-bagikan telur penyu. Lalu memberi kami 31 telur penyu,” kisah Nauval.

Dia dengar, Sajudi, warga Desa Melano Sarawak, mau membeli RM80 sen per butir. Sajudi sehari-hari sebagai penjual sembako.

Dwi mengatakan, Nauval mungkin pemain baru. Semula dia menengarai warga masih mencuri dan menjadi pengumpul telur penyu.

Albert Tjiu, species officer WWF Kalbar, April lalu, menyatakan, Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara, yang kaya keragaman hayati merupakan ladang empuk pelaku perdagangan satwa ilegal.

Data Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), Indonesia mengalami kerugian lebih Rp9 triliun per tahun akibat perburuan dan perdagangan satwa dilindungi. Di pasar global, perdagangan ilegal satwa liar berkisar US$10-20 miliar per tahun, atau terbesar kedua setelah bisnis narkoba.

Di Indonesia, wilayah yang termasuk rawan perdagangan satwa dilindungi adalah Pontianak, Jakarta, Medan dan daerah pesisir Sumatera. Kalimantan bahkan menjadi sumber utama perdagangan hewan dilindungi dan hampir punah yakni trenggiling.

Rute dimulai dari Kudat (Sabah) ke Johor Bahru (Peninsular Malaysia) lalu dari Philipina ke Kudat dan Sandakan hingga dari Kalimantan Barat ke SarawakLimbang (Sarawak) menuju ke Tawau lalu ke China.

Menurut Albert, China menjadi pasar terbesar perdagangan satwa liar ini. “Di China masih ada kepercayaan satwa liar memiliki khasiat manjur.”

Modus, dengan menyembunyikan dalam kontainer, badan, tas, dan jalan pemalsuan dokumen. Albert meyakini, sebelum 2000-an perdagangan satwa dilindungi bersamaan dengan penyelundupan kayu (terutama orangutan dan kelempiau).  Lalu, dicampur yang legal dan mirip, menggunakan kapal penumpang dan berlindung di balik kepentingan adat.

Kolam tempat menyimpan penyu hijau sementara sebelum dilepasliarkan di laut. Foto: Aseanty Pahlevi

Kolam tempat menyimpan penyu hijau sementara sebelum dilepasliarkan di laut. Foto: Aseanty Pahlevi


Penyu Hijau Masuk Sungai Kapuas, Kok Bisa? was first posted on August 24, 2014 at 2:14 pm.

Wah! Investigasi Ungkap Pemasok Perusahaan Besar Masih Beli Sawit Ilegal

$
0
0
Temuan Eyes on The Forest menyebutkan,  pemasok perusahaan-perusahaan besar masih menerima tanda buah segar sawit dari sumber-sumber 'haram' dari kebun sawit di Bukit Batabuh, Riau, yang merupakan koridor harimau Sumatera. Foto: Sapariah Saturi

Temuan Eyes on The Forest menyebutkan, pemasok perusahaan-perusahaan besar masih menerima tanda buah segar sawit dari sumber-sumber ‘haram’ dari kebun sawit di Bukit Batabuh, Riau, yang merupakan koridor harimau Sumatera. Foto: Sapariah Saturi

Pemasok perusahaan-perusahaan sawit besar diduga masih membeli bahan baku dari sumber-sumber ‘kotor’ karena diperoleh dari area koridor harimau Bukit Batabuh, Riau, Sumatera. Padahal, perusahaan-perusahaan ini telah berkomitmen mengurangi deforestasi dari rantai pasokan mereka.

Temuan ini terungkap dalam investigasi Eyes on The Forest berjudul Tiger in your tank, destruction of Riau’s Bukit Batabuh tiger corridor for palm oil yang dirilis Jumat (5/9/14).

Investigasi ini menelusuri asal muasal produksi tandan buah segar sawit, ternyata berasal dari kebun-kebun ilegal yang membabat hutan lindung yang menjadi koridor harimau, di Bukit Batabuh.

Bukit Batabuh terhubung dengan Cagar Alam Bukit Rimbang-Bukit Baling (Sumatera Barat) dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (Jambi). Lahan seluas 95.824 hektar ini habitat penting harimau Sumatera. TBS sawit dari kebun-kebun ilegal itu masuk ke pabrik-pabrik milik Agro Muko, Wilmar, Asian Agri, Darmex, Incasi Raya, Mahkota, dan Sarimas.

Setelah itu, minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dikapalkan lewat pelabuhan milik SK Group, dengan konsumen termasuk Asian Agri/Royal Golden Eagle, Astra, Cargill, Darmex, Salim, Sarimas dan Sinar Mas.

Laporan ini mengindentifikasi, 27 kelompok yang beroperasi di koridor itu. Sebanyak 18 kelompok skala kecil dengan pendanaan sendiri, kebun mandiri dengan rata-rata sekitar delapan hektar per keluarga.  Mayoritas anggota kelompok datang dari berbagai daerah.

Ada juga kelompok berskala besar dengan minimum kebun 250 hektar didanai pemodal luar daerah dan beroperasi seperti perusahaan. Ada lagi, kebun plasma di bawah Kredit Koperasi Primer untuk Anggota dari perusahaan Sarimas Grup, PT. Tri Bakti Sarimas. Perusahaan ini menjalankan dua pabrik di dekat kawasan itu.

Survei ini memperkirakan, dari sekitar 19.000 hektar kebun sawit yang ada, sebagian sudah berbuah dan hampir 4.000 hektar baru pembersihan lahan. Sekitar 9.000 hektar semak belukar, yang diduga juga akan ditanami sawit.

“Kala tanaman sawit kecil dan yang baru ditanami nanti berproduksi, kemungkinan dalam tiga tahun ke depan,  kami perkirakan pasokan tandan buah segar illegal dari area ini akan meningkat tiga kali lipat,” sebut laporan itu.

Penelitian ini dimulai pada Januari 2014, sebulan setelah Wilmar mengumumkan kebijakan nol deforestasi yang juga berlaku bagi para pemasoknya. Sejak itu, Cargil dan Asian Agri juga berkomitmen menekan deforestasi,  sampai ke rantai pemasok mereka.

“Minyak sawit dari buah-buah ilegal yang ditanam di habitat harimau Sumatera ini mungkin dikirim sampai jauh menggunakan kapal. Mungkin saja masuk ke pabrik-pabrik perusahaan terkenal di dunia, baik di Indonesia, Malaysia dan Singapura.”

Peta koridor harimau di Bukitbatabuh. Sumber: Eyes on the Forest

Laporan itu menyebutkan, temuan ini memperlihatkan, untuk menghilangkan deforestasi dan perambahan ilegal menjadi kebun sawit merupakan tantangan berat di Indonesia. Untuk itu, Eyes on the Forest mendesak, pembeli harus melacak sumber pasokan sawit guna memastikan komitmen zero deforestasi mereka kredibel.

Temuan EoF itu memperlihatkan deforestasi dan degradasi hutan terus terjadi di Indonesia oleh berbagai penyebab, dari HTI, tambang termasuk sawit. Bahkan, Greenpeace pernah merilis laporan menyatakan deforestasi terbesar disumbang oleh pengembangan sawit

100 juta hektar hutan terdegradasi

Sementara itu, analisis terbaru secara global menemukan lebih 104 juta hektar kawasan hutan terdegradasi sejak 2000-2013. Luasan ini sama dengan tiga kali Jerman!

Ia terungkap dari hasil analisis Greenpeace GIS Laboratory, University of Maryland dan Transparent World, berkolaborasi dengan World Resources Institute dan WWF-Russia.

Mereka, menggunakan satelit dan teknologi terkini melakukan analisis global untuk menentukan lokasi dan jangkauan dari luas hutan tersisa yang masih terjaga, disebut lansekap hutan utuh (Intact Forest Landscapes/IFLs).

IFLs ini, merupakan kawasan cukup luas untuk menjaga keragaman hayati lokal dengan lokasi tak terpecah-pecah oleh penebangan, dan infrastruktur seperti jalan, tambang maupun eksplorasi minyak dan gas. IFLs juga termasuk area tak produktif dengan tutupan pohon pendek dan area tak berhutan.

Peta baru ini bisa diakses dan dianalis menggunakan tools teranyar Global Forest Watch. Ia sistem yang dinamis, pengawasan hutan online dan memberikan keleluasaan untuk memanaj hutan

Analisis mereka mengungkapkan beberapa temuan kunci, seperti sejak 2000, sekitar 8,1% IFLs telah terdegradasi. Hampir, 95% dari lansekap hutan utuh dunia itu di daerah tropis dan wilayah utara. Daerah utara itu seperti Kanada, Russia and Alaska (47%) dan hutan tropis antara lain, Amazon (25%) and Congo (9%). 

Dr. Christoph Thies, pengkampanye hutan senio Greenpeace International mengatakan, pemerintah harus mengambil langkah untuk menghentikan degradasi di kawasan IFLs. Caranya, dengan membuat lebih banyak kawasan lindung, memperkuat hak masyarakat di dalam hutan, serta upaya lain untuk melindungi hutan dengan tetap benilai ekonomi, sosial dan konservasi.

“PBB, negara pendonor, dan bank-bank juga perlu mendukung negara-negara itu melindungi IFLs. Juga inisiatif perusahaan swasta seperti Forest Stewardship Council dan berbagai organisasi sawit, kedelai, daging dan lain-lain bisa memperkuat standar mereka guna menghindari degradasi IFLs.”

 


Wah! Investigasi Ungkap Pemasok Perusahaan Besar Masih Beli Sawit Ilegal was first posted on September 8, 2014 at 2:46 am.

Pesut Mahakam, Sang Legenda yang Kian Langka

$
0
0
Pesut atau lumba-lumba air payau (Orcaella brevirostris) di perairan Kubu Raya dan Kayong Utara, Kalimantan Barat. Foto : WWF

Pesut atau lumba-lumba air payau (Orcaella brevirostris) di perairan Kubu Raya dan Kayong Utara, Kalimantan Barat. Foto : WWF

Di antara kumpulan Cerita Rakyat Nusantara, Legenda Pesut Mahakam dari Kalimantan Timur (Kaltim)termasuk salah satu yang cukup dikenal. Menurut cerita, ikan pesut adalah penjelmaan dua anak kecil kakak beradik yang ditelantarkan sang ayahnya hingga berubah menjadi ikan pesut, yang dikenal luas sebagai pesut mahakam. Masyarakat Kutai menyebut ikan ‘jelmaan’ tersebut dengan pesut atau pasut, sedangkan masyarakat di pedalaman Mahakam menyebutnya dengan bawoi.

Banyak orang Indonesia yang bahkan belum pernah mendengar, apalagi melihat pesut mahakam (Orcaella brevirostris). Tidak mengherankan, karena kini populasi pesut Mahakam di habitatnya di Sungai Mahakam diperkirakan tak lebih dari 70 ekor saja dan makin hari makin sulit ditemui. Sebuah angka yang sangat kecil dan mengkhawatirkan, mengingat konon dulunya ikan unik ini mudah ditemukan di muara-muara sungai.  Bisa jadi, inilah mamalia air paling langka dan paling terancam di negeri ini.

Pesut mahakam, yang juga kadang disebut lumba-lumba air tawar, hanya bisa ditemukan di Sungai Mahakam, Kaltim dan inilah sebabnya pesut mahakam ditetapkan sebagai fauna identitas provinsi Kaltim. Berbeda dengan lumba-lumba dan ikan paus, pesut hidup di air tawar yang terdapat di sungai-sungai dan danau yang terdapat di daerah tropis dan subtropis.

 

Pesut atau lumba-lumba air payau (Orcaella brevirostris) di perairan Kubu Raya dan Kayong Utara, Kalimantan Barat. Foto : WWF

Pesut atau lumba-lumba air payau (Orcaella brevirostris) di perairan Kubu Raya dan Kayong Utara, Kalimantan Barat. Foto : WWF

Mamalia Air Paling Terancam

Pesut mahakam adalah salah satu sub-populasi pesut  selain sub-populasi Sungai Irrawaddi (Myanmar), sub-populasi Sungai Mekong (Kamboja, Laos, dan Vietnam), sub-populasi Danau Songkhla (Thailand), dan sub-populasi Malampaya (Filipina). Di seluruh habitat tersebut, pesut juga dalam status terancam punah atau kritis (critically endangered). Bahkan di Indonesia, pesut ini menempati urutan tertinggi satwa Indonesia yang terancam punah.

Ukuran tubuh pesut mahakam dewasa bisa mencapai panjang hingga 2,3 meter dengan berat mencapai 130 kg. Tubuh pesut berwarna abu-abu atau kelabu sampai biru tua dengan bagian bawah berwarna lebih pucat. Pesut bernafas dengan mengambil udara di permukaan air. Mamalia ini dapat juga menyemburkan air dari mulutnya. Pesut bergerak dalam kawanan kecil. Meski pandangannya tidak begitu tajam dan hidup dalam air yang mengandung lumpur, namun mempunyai kemampuan mendeteksi dan menghindari rintangan-rintangan dengan menggunakan gelombang ultrasonik.

ekor pesut atau lumba-lumba air payau (Orcaella brevirostris) di perairan Kubu Raya dan Kayong Utara, Kalimantan Barat. Foto : WWF

ekor pesut atau lumba-lumba air payau (Orcaella brevirostris) di perairan Kubu Raya dan Kayong Utara, Kalimantan Barat. Foto : WWF

Menurut penelitian Yayasan Konservasi Rare Aquatic Species of Indonesia, saat ini pesut di seluruh Mahakam diperkirakan hanya ada di perairan Kutai Kertanegara. Pesut mahakam kerap terlihat di Danau Semayang, Kecamatan Kota Bangun, hingga paling hilir terlihat di kawasan cagar alam Sedulang, Muara Kaman. Padahal sebelumnya, pesut mahakam juga terlihat di Muara Pahu, Kabupaten Kutai Kartanegara, namun akibat konversi dan alih fungsi lahan di tepi Mahakam yang dulunya ditumbuhi pepohonan dan rawa, kini berubah menjadi kawasan perkebunan dan tambang.

Daerah Aliran Sungai Mahakam, ‘rumah’ bagi Pesut Mahakam.

Masih menurut penelitian tersebut, ancaman terbesar populasi pesut mahakam saat ini adalah alih fungsi hutan atau rawa yang mengakibatkan sedimentasi atau endapan di dasar sungai. Ancaman lainnya adalah polusi kimia dan makin banyaknya sampah plastik di sungai. Makin padatnya lalu lintas dengan menggunakan transportasi mesin besar di Sungai Mahakam juga menyebabkan terjadinya polusi suara yang membuat pesut rawan tertabrak kapal, karena system navigasi pesut yang menggunakan sonar akan terganggu, dan menjadi kebingungan. Ancaman lainnya adalah belitan jaring bentang nelayan dan penggunaan alat-alat tangkap ikan yang tidak lestari.

Pada awal 2012, WWF Indonesia dan  Badan Pengembangan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Pontianak berhasil mendokumentasikan keberadaan populasi pesut atau lumba-lumba air payau Orcaella brevirostris di perairan Kubu Raya dan Kayong Utara, Kalimantan Barat. Sebuah kabar baik bagi kelangsungan Orcaella brevirostris yang selama ini hanya diketahui berhabitat di Sungai Mahakam. Di sini pun, pesut ini juga menghadapi ancaman, terutama konversi hutan mangrove habitat satwa tersebut untuk bahan baku industri arang, degradasi habitat hutan sekitar perairan untuk bahan baku bubur kertas (pulp) komersial, aktivitas lalu lintas air yang tinggi dan dapat menimbulkan stres bagi satwa tersebut, serta tercemarnya air sungai.

Berbagai ancaman tersebut sangat mengancam keberadaan sang legenda dari Kalimantan ini. Rendahnya populasi lumba-lumba air tawar ini menjadikannya sebagai salah satu binatang paling langka di Indonesia. IUCN Redlist pun menyatakan status konservasi pesut mahakam sebagai critically endangered (kritis atau terancam punah) yaitu tingkat keterancaman tertinggi, satu tingkat lagi akan mencapai kepunahan.

Di Indonesia sendiri, pesut mahakam di tetapkan sebagai satwa yang dilindungi berdasarkan PP No. 7 Tahun 1999 tentang Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Pesut mahakam adalah anugerah dari Yang Maha Kuasa yang wajib kita jaga keberadaannya. Seluruh upaya harus ditempuh untuk menyelamatkan dan melestarikan satwa  unik ini, kalau kita tak ingin pesut mahakam benar-benar menjadi legenda.

Referensi dan gambar:

http://www.ykrasi.org/article_publication.html

http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/177-Legenda-Pesut-Mahakam

http://www.iucnredlist.org/details/39428/0

http://www.wwf.or.id/?24200/Irrawaddy-dolphins-discovered-in-west-Kalimantan-waters

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/f/fa/Lokasi_sungai_mahakam.jpg (gambar)

http://www.mediafire.com/download/ond7gaq8ad6bgau/Irrawady+Dolphin+picture+and+map.rar (gambar)

 

 


Pesut Mahakam, Sang Legenda yang Kian Langka was first posted on September 8, 2014 at 4:47 am.

Lagi, Gajah Ditemukan Mati di Aceh

$
0
0
Bangkai gajah yang ditemukan di areal PT. Dwi Kencana Jamborehat,  Kecamatan Banda Alam, Kabupaten Aceh Timur. Gadingnya sudah hilang. Foto: Imran Muhammad Ali

Bangkai gajah yang ditemukan di areal PT. Dwi Kencana Jamborehat, Kecamatan Banda Alam, Kabupaten Aceh Timur. Gadingnya sudah hilang. Foto: Imran Ali Muhammad

Bangkai gajah sumatera berumur sekitar 20 tahun ditemukan tergeletak di pinggir Sungai Cengeh, Gampong Pangong, Kecamatan Krueng Sabe, Kabupaten Aceh Jaya, Aceh. Saat ditemukan, kondisinya membusuk dan gadingnya hilang.

Muhammad Yusni, warga Krueng Sabe, menuturkan, awalnya warga tidak mengetahui keberadaan bangkai gajah itu. Namun, aroma busuk yang terpancar, membuat warga curiga dan mencari tahu dari mana sumber bau tersebut. “Saat warga menelusuri pinggiran Sungai Cengeh, ternyata bau itu berasal dari bangkai seekor gajah jantan yang sudah tidak ada gadingnya,” jelasnya, Minggu (7/9/14).

Yusni menyebutkan, selain bangkai gajah yang sudah membusuk, tidak jauh dari lokasi tersebut ditemukan juga tulang-belulang gajah. “Warga khawatir, kejadian ini akan menyebabkan gajah masuk permukiman penduduk. Padahal, selama ini masyarakat tidak pernah mengusik gajah,” ujarnya.

Dokter dari Pusat Konservasi gajah (PKG) Saree Kabupaten Aceh Besar, drh. Rosa, yang turun ke lapangan menyatakan kesulitan mengambil sampel gajah yang sudah membusuk itu untuk kebutuhan forensik.

Rosa belum bisa memastikan penyebab kematian gajah tersebut, karena harus melalui pengujian sampel dahulu di laboratorium di Medan, Sumatera Utara. “Kami tidak bisa menduga-duga, yang pasti saat ditemukan, gadingnya sudah tidak ada,” ujarnya.

Dari Aceh Timur juga dilaporkan, dua ekor gajah ditemukan mati mengenaskan, Minggu (07/09/14). Saat ditemukan di areal PT. Dwi Kencana Jamborehat,  Kecamatan Banda Alam, Kabupaten Aceh Timur, gadingnya sudah hilang. Lokasi penemuan ini sekitar 10 kilometer dari pusat permukiman warga dan 50 meter dari jalan kebun PT. Dwi Kencana.

Dua gajah berkelamin jantan itu ditemukan di dua lokasi terpisah yang jaraknya sekitar 100 meter. Saat ditemukan, salah seekor gajah tersebut ditutupi pelepah sawit dan di dekat kakinya terdapat dua butir selongsong peluru. Ada juga bekas ban mobil di lokasi kejadian.

Kematian gajah ini bukan kejadian pertama di perkebunan Aceh Timur. Pada 27 Juli 2013 lalu, seekor gajah ditemukan membusuk di perkebunan sawit PTPN I di Desa Blang Tualang, Kecamatan Bireun Bayeun. Sementara, seekor lagi ditemukan mati mengambang di Sungai Desa Alu Tuwi, Kecamatan Rantau Selamat.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Aceh, Genman Hasibuan mengatakan, terkait kematian gajah ini, pihaknya sudah mengirimkan anggota untuk melihat langsung ke lokasi kejadian. Genman juga menjelaskan sepertinya ada pihak yang mengambil keuntungan dari kejadian ini. “Konflik yang terjadi antara manusia dengan gajah dimanfaatkan pihak tertentu untuk membunuh gajah dan mengambil gadingnya,” tutur Genman.

Genman menyebutkan, saat ini diperkirakan ada sekitar 450-500 ekor gajah yang tersebar di Aceh. “Dari semua kabupaten/kota di Aceh, yang tidak ada gajahnya hanya di Banda Aceh, Simeulu, dan Sabang,” ucapnya.

Program Manajer Fauna & Flora International (FFI) Aceh, Syafrizaldi menyebutkan, tahun 2014, konflik antara gajah dengan manusia semakin meningkat, bahkan selain ada gajah yang mati, warga juga ikut menjadi korban.

“Di Aceh Jaya saja, dua ekor gajah mati tahun 2014. Ini tidak termasuk daerah lain di Aceh, bahkan dua bulan lalu, ada warga di Kabupaten Bener Meriah yang tewas karena diserang gajah,” ungkapnya.

Saat ditemukan, bangkai gajah ini ditutupi pelepah sawit di di areal PT. Dwi Kencana Jamborehat,  Kecamatan Banda Alam, Kabupaten Aceh Timur. Foto: Imran Ali Muhammad

Saat ditemukan, bangkai gajah ini ditutupi pelepah sawit di areal PT. Dwi Kencana Jamborehat, Kecamatan Banda Alam, Kabupaten Aceh Timur. Foto: Imran Ali Muhammad

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio


Lagi, Gajah Ditemukan Mati di Aceh was first posted on September 8, 2014 at 5:09 am.

Menjaga Hutan di Bukit Pensimoni

$
0
0
Di kiri kanan sungai Dusun Cerekang, hutan terjaga alami. Dengan kearifan lokal, masyarakat mempertahankan hutan agar tak tersentuh pembangunan, sebagai tabungan pasokan air bersih bagi warga. Foto: Eko Rusdianto

Di kiri kanan sungai Dusun Cerekang, hutan terjaga alami. Dengan kearifan lokal, masyarakat mempertahankan hutan agar tak tersentuh pembangunan, sebagai tabungan pasokan air bersih bagi warga. Foto: Eko Rusdianto

Dusun Cerekang. Begitu nama daerah di Desa Manurung, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, ini.  Sepintas tak ada yang istimewa di dusun dengan 400 jiwa ini. Mayoritas masyarakat hidup sebagai nelayan. Namun, kearifan lokal mereka menjaga hutanlah yang mengagumkan. Di sana, ada Bukit Pensimoni, dengan hutan terjaga baik turun menurun hingga sumber air bersih melimpah dan alampun terpelihara.

Pensimoni adalah hutan ‘keramat’ yang dipercaya sebagai tempat pertama Batara Guru (Tomanurung, manusia pertama yang turun dari langit mengisi dunia) menapakkan kaki di bumi. Hutan itu begitu terjaga, tak dapat dimasuki siapapun, bahkan untuk menunjuk saja dianggap sebagai perwujudan sikap sombong dan angkuh (madoraka).

Secara tata kelola pemerintahan modern, Cerekang dipimpin kepala dusun. Secara sosial dan budaya, kampung ini dipimpin dua orang imam– perempuan dan laki-laki- bergelar Pua’. Pua’ berarti perwujudan orang-orang bersih dan terpilih. Pua’ secara tradisi mengikat seluruh elemen kegiatan manusia Cerekang. Proses pemilihan secara musyawarah dan spiritual (melalui mimpi) semua tokoh masyarakat di kampung, yang dianggap sebagai hasil hubungan dari dewata.

Pembagian peran Pua’ pun diatur sedemikian baik. Pua’ laki-laki mengurusi hubungan manusia dengan pencipta. Pua’ perempuan mengurus masalah adat yang berhubungan dengan bumi.

Pada 2010, Pua’ Laki-laki meninggal dunia dan pengganti belum ditemukan hingga kini. Saat ini, Cerekang hanya dipimpin Pua’ perempuan. Namanya Sahe,  70 tahun.

Dusun Cerekang, perkampungan nelayan yang menjaga hutan dengan kearifan lokal yang turun menurun. Foto: Eko Rusdianto

Dusun Cerekang, perkampungan nelayan yang menjaga hutan dengan kearifan lokal yang turun menurun. Foto: Eko Rusdianto

Senin pagi, 25 Agustus 2014, saya menemui Pua.’  Dia sedang bersantai di ruang tamu. Dia menggunakan kursi roda, tangan kanan tak dapat bergerak dengan bebas, bahasa pun sudah mulai sulit dicerna karena serangan stroke beberapa tahun lalu.

Mengapa orang Cerekang tak boleh memasuki hutan di Pensimoni? “Tidak boleh. Tidak boleh. Itu pesan dari dulu,” kata Pua’.

Iwan Sumantri, Arkeolog dari Universitas Hasanuddin mengatakan, jika posisi Cerekang masa lalu merupakan hidden centre atau pusat tersembunyi yang mengatur kerajaan Luwu dari sisi spiritual. “Jadi posisi Cerekang menjadi sangat penting. Hutan dan sungai dikeramatkan sebagai cara mereka menjaga hutan,” katanya.

Bagi masyarakat di Cerekang, bukit Pensimoni adalah tempat yang suci dan tak boleh dijangkau tanpa ritual dan izin dari Pua’. Bahkan warga Cerekang yang pernah menengok isi hutan itu bisa dihitung jari.

Di Cerekang, ada delapan titik hutan adat, selain Pensimoni, ada Lengkong (muara pertemuan Sungai Cerekang, Lakawali, dan Ussu) atau Bukit Sangiang Serri yang dipercaya sebagai tempat bermula tanaman padi. Hutan-hutan ini tetap lestari dan tak boleh digarap.

Laporan The Origin of Complex Society in South Sulawesi (Oxis) oleh Iwan Sumantri, David Bullbeck (Australia National University), dan Bagyo Prasetyo (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional) tahun 1998 yang dirangkum dalam buku Kedatuan Luwu  menuliskan, kemampuan masyarakat Cerekang menjaga hutan melalui tetabuan hingga sekarang alam terjaga tetap baik. “Saya kira selama orang Cerekang masih memegang kepercayaan, hutan itu tetap lestari,” kata Iwan.

Muchsind Daeng Manakka, tokoh masyarakat Cerekang mengatakan, dalam hutan di Pensimoni, hanya ada pohon dan tanaman lain, meskipun dipercaya sebagai penanda pijakan Batara Guru. Pensimoni merupakan tanah pertama di dunia. “Kami percaya inilah pusat dunia pertama kali.”

Kapal-kapal nelayan yang sandar di tepian sungai usai melaut. Foto: Eko Rusdianto

Kapal-kapal nelayan yang sandar di tepian sungai usai melaut. Foto: Eko Rusdianto

Ketika saya mengunjungi, Muchsind baru selesai menjaring ikan di laut dan menyandarkan perahu. Agustus adalah musim kerapu. Dia mendapatkan beberapa ekor untuk kebutuhan keluarga, selebihnya dijual. Rumahnya berdiri di sisi Sungai Cerekang dan bersebelahan dengan Bukit Pensimoni. Keteguhan dan kearifan menjaga hutan terlihat. Kepalanya selalu menunduk setiap bercerita tentang hutan.

“Kami bekerja sebagai nelayan. Penghasilan itu sudah cukup, kenapa harus mencari lebih banyak? kata Muchsind.

Nelayan melaut dua hari sekali. Setiap Agustus-September musim kerapu. “Per ekor dijual Rp35.000,” katanya.

Hutan Pensimoni, terjaga tetapi belum terjamin aman. Awal 2000-an, ketika perdagangan kayu ilegal marak, Pensimoni tak lepas dari jarahan. Penjarah menyusup melalui bagian belakang bukit, mereka menebang kayu berukuran besar mengangkut dan menarik dengan kerbau atau alat berat. Tak terhitung konflik antara masyarakat Cerekang dan perambah berujung pertikaian.

Andaipun kelak, kata Pua’, orang-orang Cerekang miskin dan harus menebang pohon dipastikan akan memilih tempat lain.

Sekitar dua kilometer dari Cerekang, beberapa bukit terlihat gundul, pohon besar dan rimbun mulai berganti menjadi sawit. Muncul kekhawatiran serupa ‘menular’ di Pensimoni.

Untuk itu, kepala Desa Maurung, Irwan Jafar akhir tahun ini akan sosialisasi pembuatan peraturan desa mengenai hak hutan adat dan ulayat. Dia berharap, setelah sosialisasi hutan adat, pemerintah kabupaten akan merespon dan menetapkan Pensimoni serta tujuh titik hutan adat lain dalam perda.  “Hutan bagi kami adalah segalanya. Kami tentu tak ingin melihat masa mendatang Pensimoni menjadi perkebunan.”

Rumah adat penduduk tampak asri, berdampingan dengan alam yang tetap terjaga. Foto: Eko Rusdianto

Rumah adat penduduk tampak asri, berdampingan dengan alam yang tetap terjaga. Foto: Eko Rusdianto

Sungai perwujudan dunia bawah 

Catatan lain dari laporan Oxis menuliskan jika perkembangan kerajaan Luwu di Cerekang dimulai sejak abad 12-13. Pensimoni menjadi tempat pengapalan hasil hutan, seperti damar dan biji besi dari daerah Matano. Kapal-kapal perdagangan menyusuri Sungai Cerekang, hingga ke hulu.

Namun, tak ada literatur pasti kapan Pensimoni dan sungai menjadi bagian sakral dari masyarakat Cerekang. Dalam kosmologi penciptaan manusia oleh masyarakat Cerekang (Kerajaan Luwu), dikenal tiga dunia. Dunia atas yang dihuni para Dewa, dunia tengah (bumi) dan dunia bawah dari air. Batara Guru anak dari Patotoe (Dewa Penentu Takdir) dari dunia atas yang menikah dengan We Nyili Timong dari dunia bawah. Dua keturunan ini bertemu di wilayah Cerekang. “Batara Guru turun di Pensimoni dan We Nyili Timong muncul dari dalam air di Lengkong,” kata Muchsind.

Bertahannya tradisi kepercayaan lisan secara turun temurun oleh masyarakat Cerekang menjadikan alam tertata baik. Hutan lebat akan menjaga cadangan air melimpah. Di sungai yang dihuni buaya–dianggap representasi penghuni dunia bawah–tak terusik. “Buaya itu bahasa sekarang, kami bilang nenek. Saya mandi di sungai ini, kadang-kadang berpapasan dengan nenek. Manusia dan nenek tak pernah saling mengganggu,” ucap Muchsind.

Posisi air (sungai) sebagai perwujudan negeri dunia bawah sama dengan hutan yang tak boleh dikotori. Tak dibenarkan membuang hajat dan sampah di aliran sungai. Jika hendak mandi dan menggunakan sabun pun harus naik ke daratan.

Dalam kisah yang tertulis di epik I La Galigo, saat Sawerigading memimpin penduduk bumi, dia menebang pohon walenrenge (pohon kehidupan) untuk keperluan pembuatan perahu untuk berlayar ke negeri Tiongkok menjemput calon istri, We Cudai. Dia membuat kekacauan tiada tara. Pohon yang dipercaya tumbuh di dekat Cerekang itu, ‘marah’ menenggelamkan beberapa kampung, membelah gunung hingga menyebabkan banjir bah.

Tak hanya itu, binatang-binatang yang bernaung di bawah pohon walenrenge ikut bersedih, sarang dan telur burung menjadi pecah. Tak ada lagi tempat perlindungan. “Iya, saya kira itu juga pelajaran dan makna supaya tidak gampang tebang pohon,” kata Muchsind.

Warga Cerekang mendayuh sampan. Sampan, sebagai salah satu alat transportasi di sana. Foto: Eko Rusdianto

Warga Cerekang mendayuh sampan. Sampan, sebagai salah satu alat transportasi di sana. Foto: Eko Rusdianto


Menjaga Hutan di Bukit Pensimoni was first posted on September 8, 2014 at 6:11 am.

Pengamat Burung Indonesia Peringati Hari Burung Pantai 6 September

$
0
0
Pengamatan burund di tepi pantai dalam rangka World Shorebirds Day. Foto : Iwan Londo

Pengamatan burund di tepi pantai dalam rangka World Shorebirds Day. Foto : Iwan Londo

Ratusan pengamat burung di Indonesia bersiaga secara serempak di berbagai titik pengamatan burung pantai di berbagai tempat di Indonesia pada Sabtu (06/09/2014) kemarin. Mereka memperingati World Shorebirds Day atau Hari Burung Pantai Sedunia. Dalam kegiatan ini, mereka mencatat jenis apa saja yang melintas dan jumlahnya.

Di Indonesia,  tercatat 10 lokasi penting jalur migrasi burung pantai menjadi pusat kegiatan besar ini. Tempat itu antara lain di Wonorejo Surabaya, Pantai Trisik Yogyakarta, Muara Gembong Bekasi, Bagan Percut Medan, Pulau Serangan Bali, Teluk Kupang Nusa Tenggara Timur, Ketapang Kalimantan Barat, Pohowatu, Gorontalo dan Taman Nasional Bogani Nani di Sulawesi.

Iwan Febrianto, aktifis Burung Pantai Indonesia (BPI) menyampaikan bahwa kegiatan ini bertujuan untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya burung pantai sebagai indikator ekosistem. Lebih dari 200 jenis burung pantai di seluruh dunia, sebagian di antaranya bermigrasi ke Indonesia melalui jalur pantai. Burung-burung tersebut mengembara ribuan kilometer menghindari musim dingin di daerah sub-tropis.Sayangnya, selama dasawarsa terakhir populasi burung tersebut cenderung menurun akibat rusaknya kawasan pesisir akibat pembangunan.

“Banyak jalur migrasi burung pantai yang belum dilindungi dan telah berubah menjadi pusat-pusat aktifitas manusia. Sehingga burung pantai tersebut tidak dapat menggunakan jalurnya lagi. Kami berharap ada perhatian lebih dari pemerintah untuk melestarikan kawasan pantai agar migrasi burung tidak terganggu,” jelas Iwan kepada Mongabay.

Jalur migrasi burung pantai di Pulau Jawa menjadi perhatian khusus bagi peneliti burung asal Surabaya ini. Menurutnya, banyak kawasan yang dahulunya menjadi jalur migrasi burung pantai sekarang telah berubah menjadi kawasan pemukiman padat dan kawasan industri. Terlebih lagi pantai utara Jawa yang merupakan jalur utama migrasi burung pantai karena karakteristiknya banyak yang berpasir dan berlumpur.

Burung Pantai di Ujung Pangkah. Foto : Mohammad Asyief

Burung Pantai di Ujung Pangkah. Foto : Mohammad Asyief

Terkait minimnya perlindungan jalur migrasi burung pantai, hal senada diungkapkan oleh Mohammad Asyief, pengamat burung dari Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan IPB yang melakukan pemantauan di Ujung Pangkah, Gresik. Menurut pantauan Asyief, lokasi yang dia amati rentan terhadap ekspansi tambak yang digarap oleh masyarakat. Padahal,  kawasan tersebut menjadi tempat singgah favorit burung pantai.

“Kawasan hutan mangrove di Ujung Pangkah ini memiliki beting lumpur yang luas, sehingga menarik burung pantai untuk singgah. Sayangnya, perlindungan kawasan ini belum menjadi perhatian pemerintah, sehingga rawan terhadap perubahan fungsi lahan terutama tambak. Belum ada sentuhan program pemerintah terkait perlindungan jalur migrasi burung di kawasan ini,” kata Asyief yang juga menyukai aktifitas fotografi satwaliar ini.

Pertama Kali Diperingati

Hari Burung Pantai Sedunia adalah pengamatan dan perhitungan serempak burung pantai di seluruh dunia yang dilakukan pada 6 September dan tahun 2014 adalah tahun pertama diperingati. Kegiatan besar ini diinisiasi oleh György Szimuly, seorang pemerhari konservasi dari Hungaria. Menurut informasi dari blog resmi kegiatan ini di http://worldshorebirdsday.wordpress.com/, hingga tanggal 7 September 2014, tercatat 756 lokasi yang tersebar di lebih dari 40 negara di seluruh dunia yang didaftarkan sebagai lokasi pengamatan atau lokasi penghitungan.

Kegiatan ini bersifat sukarela dan bisa di ikuti siapa saja baik individu atau organisasi. World Shorebirds Day saat ini bekerjasama dangan Swarovski optic, Manomet, eBird, Cornell, Wader Quest, WHSRN/Western Hemisphere Shorebird Reserve Network dan Burung Pantai Indonesia.

Mengapa kegiatan ini sangat penting dikenalkan di Indonesia, lebih lanjut Iwan menjelaskan bahwa untuk melakukan pelestarian dan perlindungan terhadap burung pantai dan habitatnya, kita harus mengetahui jenis, jumlah individu dan lokasi migrasi yang ada di dunia. Diperlukan data yang pasti tanpa harus menebak jumlah burung yang ada dunia. Hasil dari perhitungan ini dapat melihat jumlah individu yang ada di dunia serta menentukan kategori jenis yang terancam atau tidak.

“Program ini juga ingin menggambarkan kekuatan para relawan yang bergabung dalam peringatan hari burung pantai sedunia, serta meningkatkan kapasitas para pengamat burung untuk mampu mengidentifikasi dan menghitung burung pantai yang melintas,” jelas Iwan lebih lanjut.

Pengembara Lintas Benua

Burung pantai merupakan kelompok burung air yang mencari makan dan berkembang biak di kawasan pantai. Mereka biasanya memakan ikan, kerang, kepiting dan cacing. Selain di pantai, mereka juga biasanya mencari makan di lahan berlumpur seperti di tambak, sawah dan hutan bakau.

Persebaran burung pantai sangat luas, dari mulai daerah tropis hingga subtropis, baik di belahan bumi bagian utara maupun selatan. Setiap tahun, burung-burung yang berada di daerah subtropis bermigrasi mencari tempat yang lebih hangat di daerah tropis. Perjalanan tersebut hingga mencapai ribuan kilometer. Seringkali pula perjalanan mereka hingga melintasi benua.

“Pengembaraan burung lintas benua tersebut memang terjadi. Kami mengamati dari tanda yang biasa kami sebut bendera yang diikatkan di kaki burung. Tiap wilayah mempunyai warna berbeda dan setiap ada temuan burung bertanda bendera tersebut, seluruh pengamat burung pantai dapat mengetahui kemana saja burung tersebut berpindah,” jelas Iwan yang secara khusus belajar penandaan burung di Inggris tersebut.

Jalur migrasi burung pantai global.

Jalur migrasi burung pantai global.

Di seluruh dunia, secara keseluruhan terdapat 9 jalur migrasi burung pantai yaitu jalur Atlantik Timur, jalur Laut Hitam-Mediterania, jalur Asia Timur-Australia, jalur Pasific Barat, jalur Pasific-Amerika, jalur Missisipi-Amerika dan dan jalur Atlantic-Amerika. Indonesia sendiri terbagi dalam dua jalur yaitu jalur Asia Timur-Australia dan jalur Pasific Barat.

Indonesia termasuk negara yang memiliki habitat ideal bagi burung-burung pantai baik lokal maupun migran. Dengan panjang garis mencapai lebih dari 81.000 kilometer, Indonesia menjadi tujuan utama migrasi burung baik dari benua Asia maupun Australia. Sejauh ini telah banyak lokasi-lokasi yang teridentifikasi sebagai tempat singgah burung pantai saat melakukan migrasi.

Asyief mencatat beberapa jenis yang dijumpai pada pengamatan di Ujung Pangkah, 6 September lalu. Diantaranya adalah jenis pelikan, cerek pantai, kedidi dan juga gajahan besar. “Jenis-jenis burung migrasi itu bercampur dengan jenis-jenis lokal seperti kuntul kecil,” jelasnya lebih lanjut.

Untuk memperkuat database burung pantai di Indonesia, Iwan Londo mendirikan jaringan Monitoring Burung Pantai Indonesia (Mobupi) sejak 2008.  Tujuan didirikannya Mobupi ini adalah untuk menyatukan para pengamat burung pantai di Indonesia, serta menjadi pusat informasi tentang burung pantai.

“Di dalam Mobupi, kami selalu berbagi informasi setiap kali selesai melakukan pengamatan. Dengan berjaringan, informasi tentang burung pantai baik jenis maupun jumlah yang dijumpai pada saat pengamatan dapat diketahui oleh para pengamat yang lain,” tutupnya.


Pengamat Burung Indonesia Peringati Hari Burung Pantai 6 September was first posted on September 8, 2014 at 8:52 am.

Eks PLG, Proyek Sejuta Hektar Sisakan Sejuta Masalah. Mengapa?

$
0
0
Tepian sungai di sekitar eks  PLG di Kalteng. Foto: Indra Nugraha

Tepian sungai di sekitar eks PLG di Kalteng. Foto: Indra Nugraha

Tujuh September 2014. Matahari bersinar terik ketika saya tiba di Kelurahan Bereng Bengkel Kecamatan Kapuas, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, siang itu . Adi Candra, warga setempat, menunggu di Sungai Kahayan, bersama sampan kelotok. Dia mengantarkan saya mengelilingi eks  proyek lahan gambut (PLG) satu juta hektar di kota ini.

Proyek ini muncul era Soeharto. Ia  digadang-gadang menjadi mercusuar swasembada beras. PLG melingkupi beberapa daerah, seperti di Kabupaten Barito Selatan, Sebanggau, Palangkaraya dan Pulang Pisau. Proyek yang tak memperhatikan aspek sosial dan lingkungan inipun gatot, alias gagal total. Kini, kerusakan lingkungan parah terjadi. Berbagai masalah muncul.

“Di lahan itu sering kebakaran. Apalagi musim kemarau seperti saat ini,” kata Adi.

Di kelurahan itu,  ada tim serbu api untuk tangani kebakaran lahan namun fasilitas sangat minim. Kala kebakaran di bekas PLG, warga tak bisa berbuat banyak.

Kelotok melaju membelah Sungai Kahayan. Sepanjang perjalanan tampak warga lalu lalang dengan kelotok. Rumah warga berjejer dengan tiang penyangga tinggi dari kayu. Kami melaju hingga sebuah persimpangan, tempat pertemuan antara sungai air berwarna hitam pekat dan cokelat.

“Itu bendungan. Sudah tidak berfungsi lagi,” kata Adi.

Bendungan itu menjadi saksi bisu kerusakan ekosistem gambut di Kalteng. Masih kokoh, meski tak berfungsi. Era pemerintah Soeharto, bendungan itu untuk menjaga ketersediaan air di PLG. Namun, tak berfungsi sama sekali.

Kelotok berbelok menyusuri kanal berair hitam pekat. Tampak sepanjang kanal lahan gambut mengering. Beberapa sempat terbakar beberapa hari lalu. Suasana sepi. Tak ada warga beraktivitas di sana. “Kalau air lagi surut ikan banyak. Kalau air naik, susah cari ikan.”

Dia membawa rengge. Rengge adalah jaring ikan. Warga biasa memasang perangkap ikan di kanal bekas PLG. Ada juga beberapa warga memanfaatkan lahan untuk bertani walau tak banyak. Ada yang ditanami karet dan pisang. Sebagian besar menjadi lahan tidur.

Alfian, warga Bereng Bengkel mengatakan,  banyak perubahan sejak ada PLG. Warga semula petani dengan kualitas bagus, kini berkurang. Perkebunan warga rusak parah dan sebagian besar berpindah mata pencaharian. Bahkan mencari kerja ke luar daerah.

“PLG membuat Sungai Saka tertutup. Gambut kering hingga sering kebarakan. Memang ada sebagian masyarakat memanfaatkan lahan bertani tetapi kualitas buruk. Karet ditanam getah tak keluar karena kulit tipis. Kualitas tanah dan air buruk karena mengandung asam terlalu tinggi.”

Menurut dia, dibanding manfaat, kerusakan yang terjadi jauh lebih besar. Bahkan, ada beberapa jenis tanaman hilang, antara lain rotan dahanen dan ahas. Kini, dua jenis rotan ini sulit ditemukan.

“Rotan berukuran besar. Dulu mudah dapat. Sekarang gak ada. Itu proyek sejuta lahan menghasilkan sejuta masalah. Proyek itu menyebabkan kekeringan, kebakaran dan kemiskinan,” kata Alfian.

Bendungan di lahan eks PLG, yang tak berfungsi. Foto: Indra Nugraha

Bendungan di lahan eks PLG, yang tak berfungsi. Foto: Indra Nugraha

Arie Rompas, direktur eksekutif Walhi Kalteng mengatakan, pemerintah perlu merehabilitasi eks PLG. Namun pendekatan harus menyertakan kearifan lokal masyarakat.

“Dulu pernah ada inpres rehabilitasi lahan eks PLG. Tidak berhasil. Karena inpres itu tidak mengajak masyarakat terlibat aktif.”

Selama ini,  upaya pemerintah merehebilitasi lahan gambut eks PLG selalu base on protection area. Banyak proyek merehabilitasi lahan, tetapi masyarakat tak pernah dilibatkan. Padahal, katanya,  di lahan itu ada ruang kelola masyarakat hingga seringkali menimbulkan konflik baru. Masyarakat sekitar seolah tersingkir dari ruang kelola.

“Sekarang ada pembahasan soal RPP Gambut. Ini menjadi buah simalakama. Gambut dilindungi sedemikian rupa dan seolah menyingkirkan masyarakat. Padahal masyarakat tak bisa disingkirkan begitu saja. Mereka harus dilibatkan partisipatif dalam mengelola lahan gambut.”

Sejak 2004, katanya,  sudah banyak konsesi perkebunan sawit masuk di eks PLG. “Ini menjadi ancaman serius masyarakat di sekitar kawasan.  Bencana ekologis sudah di depan mata.”

Kussaritano, direktur eksekutif Mitra Lingkungan Hidup Kalteng mengatakan, lahan eks PLG seharusnya ditata ulang dan peruntukan diperjelas peruntukannya, libatkan masyarakat secara holistik. Namun fakta di lapangan menunjukan, pemerintah daerah justru memberikan izin untuk perkebunan kelapa sawit di bekas lahan PLG.

Dia mengatakan, masterplan rehabilitasi eks PLG sebenarnya sudah berbicara soal tata ruang dan ruang kelola masyarakat. Namun, malah diacak-acak pemerintah daerah dengan menerbitkan izin perkebunan sawit.

Dia mencontohkan, di Kabupaten Kapuas. Daerah ini ditetapkan sebagai lumbung padi Kalteng. Justru bupati banyak memberikan izin konsesi sawit di eks PLG.

“Fakta di lapangan, areal itu diterbitkan arahan lokasi untuk perkebunan sawit. Bahkan  ada tumpang tindih sama Kota Terpadu Mandiri Lamunti.”

Bupati Kapuas Ben Brahim menerbitkan dua izin lokasi pada  PT. Borneo Alam Nusantara dan PT. Surya Mandala Sentosa  di Kecamatan Timpah dan Kapuas Tengah. Juga mengeluarkan arahan enam lokasi pada  PT. Surya Mandala Satria dan PT. Surya Kapuas Mandiri di Kecamatan Kapuas Hulu dan  Mandau Talawang. Juga PT. Duta Agro Indonesia di Kecamatan Mantangai dan Kapuas Murung, PT. Pesona Alam Indah di Kecamatan Dadahup dan Kapuas Murung, serta PT. Kapuas Sawit Sejahtera  di Kecamatan Kapuas Barat.

“Bahkan PT. Pesona Alam Indah arahan lokasi kebun baru diberikan bupati, di lapangan mereka telah beroperasi. Izin kebun belum lengkap dan daerah itu pencadangan lahan pertanian,” kata Itan, begitu dia biasa dipanggil.

Arahan lokasi PT. Duta Agro Indonesia berada di UPT Trans PLG Blok A5 dan ada percontohan pencetakan sawah tetapi dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit. Lahan itu juga  tumpang tindih dengan pemukiman di Kecamatan Dadahup.

“Selain perizinan tumpang tindih, paling krusial terjadi alihfungsi lahan dari pertanian berkelanjutan untuk lumbung padi menjadi perkebunan sawit.”

Menurut dia, banyak peraturan dilanggar Bupati Kapuas, seperti UU Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan, UU Tata Ruang,  Perda RTRWP Kapuas, dan Master Plan Rehabilitasi Eks PLG. Juga SK Bupati Kapuas No 800 tahun 2008  dan  Perda Kota Terpadu Mandiri Lamunti. “Saya mendesak KPK turun mengusut aktor di balik semua masalah ini.”

Adi Chandra membawa jaring dan mencoba menangkap ikan. Foto: Indra Nugraha

Adi Chandra membawa jaring dan mencoba menangkap ikan. Foto: Indra Nugraha

 

 


Eks PLG, Proyek Sejuta Hektar Sisakan Sejuta Masalah. Mengapa? was first posted on September 8, 2014 at 4:07 pm.

Tolak Sawit di Halmahera, dari Wabup sampai Anggota DPRD Tandatangani Dukungan

$
0
0
Soksi H Ahmad, Wakil Bupati; Wahab Samad, Kadis Kehutanan dan Sekda Basri Amal, menandatangani surat dukungan penolakan sawit itu. Foto: AMAN Malut

Soksi H Ahmad, Wakil Bupati; Wahab Samad, Kadis Kehutanan dan Sekda Basri Amal, menandatangani surat dukungan penolakan sawit itu. Foto: AMAN Malut

“…kami Pemerintah Halmahera Tengah, DPRD Halmahera Tengah, dan rakyat Halmahera Tengah, dengan tegas mengatakan menolak kehadiran perkebunan sawit, PT Manggala Rimba Sejahtera berinvestasi di Halmahera Tengah…”

Demikian kutipan surat pernyataan penolakan kebun sawit yang disodorkan Aliansi Peduli Patani Barat dan Masyarakat Patani Barat, kala aksi di kantor Bupati dan DPRD Halteng, Senin (8/9/14).

Pada hari itu, Soksi H Ahmad, Wakil Bupati; Wahab Samad, Kadis Kehutanan dan Sekda Basri Amal, menandatangani surat dukungan penolakan sawit itu. Berikut enam anggota DPRD Halteng Faris Abdullah, Muhlis Ajaran, Hamlan Kamaludin, Sofyan H Usman, Mustamir Arsad dan Bahri.

Selama ini, warga Desa Masure, Peniti, Damuli dan Banemo, Halteng, hidup tenang,  mereka bertani antara lain, pala dan cengkih. Merekapun tak rela kebun pala menjadi sawit.

Kekesalan warga bertambah kala pemerintah dan perusahaan tak ada sosialisasi. Terlebih, yang bakalan dicaplok itu lahan adat yang sudah menjadi kebun warga. Masyarakat adat beberapa kecamatan pun menyatakan penolakan.

Aksi  lanjutan Senin itu, berlangsung dari pagi hingga siang di kantor DPRD dan Bupati Halteng. Mereka menuntut antara lain, pencabutan izin dan penghentian pelepasan kawasan buat perusahaan. Massa mendesak anggota DPRD keluar menemui mereka. Dua anggota DPRD keluar.  Mereka menandatangi surat penolakan izin sawit dan berjanji merespon dalam agenda DPRD. Mereka juga akan mengirim surat ke Bupati Halteng,  sesuai tuntutan warga.

Di kantor bupati, mereka diterima wakil bupati, sekda dan Kadis Kehutanan. Massa meminta Pemkab Halteng membuat pernyataan menolak dan segera menyurat ke Menteri Kehutanan menghentikan proses pelepasan kawasan hutan yang berhubungan dengan perusahaan itu. Ketiganya didesak tanda tangan penolakan sawit. Mereka bersedia.

Soksi pun tegas menyatakan penolakan dan berjanji segera menyurati Kementerian Kehutanan (Kemenhut) untuk menghentikan proses pelepasan kawasan hutan.

Tak cukup sampai di situ. Aksi mereka lanjutkan dengan door to door ke kediaman para anggota DPRD Halteng. Mereka bertemu dengan empat anggota DPRD dan memberikan dukungan penolakan.

Solidaritas Masyarakat Halteng Tolak Sawit pun mengeluarkan pernyataan sikap penolakan sawit. Solidaritas ini antara lain terdiri dari AMAN Malut, AMAN Halteng,  LSM Gele-gele, HIPMI Halteng Ternate, Hipma Halteng Sulut, dan Hipma Halteng Jabodetabek.

Aksi gabungan berbagai organisasi dan masyarajat adat Patani Barat, mendesak Pemerintah dan DPRD Halmahera Tengah menolak investasi sawit yang bakal 'membersihkan' kebun pala dan cengkih warga. Foto: AMAN Malut

Aksi gabungan berbagai organisasi dan masyarajat adat Patani Barat, mendesak Pemerintah dan DPRD Halmahera Tengah menolak investasi sawit yang bakal ‘membersihkan’ kebun pala dan cengkih warga. Foto: AMAN Malut

Munadi Kilkoda, ketua BPH Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara, menyesalkan, pemerintah daerah sampai mengeluarkan izin sawit. “Sawit ini mengancam hidup masyarakat adat Banemo, Sakam, Peniti, Masure, Damuli, Tepeleo, Palo dan Moreala,” katanya kepada Mongabay via surat elektronik.

Terlebih, katanya, hutan adat mereka sudah menjadi kebun dengan puluhan ribu pala dan cengkih. Beragam tanaman itu, katanya, telah ratusan tahun menjadi sumber utama ekonomi masyarakat di sana. “Lalu akan ditebang begitu saja dan digantikan sawit? Pemerintah sudah kehilangan akal sehat!”

Menurut dia, jika kebun warga berganti sawit, jelas pemerintah benar-benar mementingkan pertumbuhan ekonomi lewat investasi pemodal tanpa peduli hak masyarakat adat yang hilang.

Munadi mengatakan, investasi sawit tidak pantas berada di wilayah itu. Banyak dampak negatif yang bakal muncul, dari kerusakan lingkungan, warga kehilangan akses tanah, wilayah dan sumber daya alam, konflik sosial, dan krisis air. Ia juga akan meningkatkan laju deforestasi.

Dia menambahkan, izin seluas 11.870 hektar kepada perusahaan itu berada di kawasan dengan topografi pegunungan yang berisi kebun pala dan cengkih.

“Pemerintah harus menghentikan seluruh proses ini, tidak boleh ada satu pohon pala dan cengkih ditebang untuk kepentingan perusahaan. Izin harus dihentikan.”

AMAN mendesak,  pemerintah daerah melindungi pala dan cengkih karena merupakan identitas adat daerah itu. “Hutan adat mereka harus diakui pemerintah berdasarkan MK-35 tentang hutan adat.”

Munadi menyatakan, telah mengecek peta, bahwa kawasan hutan yang akan dikonversi untuk perusahan sawit ini, masih berstatus penunjukan, belum penetapan. “Masa’ memberikan izin kepada perusahaan di kawasan hutan yang belum memiliki kekuatan hukum tetap. Ini harus segera disikapi.”

AMAN, katanya,  menolak tegas investasi sawit ini dan akan menyurati Kemenhut dengan melampirkan sikap warga serta dukungan politik dari pemerintah dan DPRD.

Dua anggota DPRD Halteng kala menandatangani surat dukungan penolakan sawit. Foto: AMAN Malut

Dua anggota DPRD Halteng kala menandatangani surat dukungan penolakan sawit. Foto: AMAN Malut

Sikap Solidaritas Masyarakat Halteng Tolak Sawit

1.Mendesak Kementerian Kehutanan menghentikan seluruh proses yang berhubungan dengan pelepasan kawasan hutan di Patani untuk kepentingan PT Manggala Rimba Sejahtera

2.Mendesak Gubernur Maluku Utara mencabut Keputusan Nomor: 126/KPTS/MU/2011 tentang penunjukan Tim Tata Batas Kawasan Hutan yang bekerja untuk mempercepat proses perizinan PT Mangga Rimba Sejahtera

3.Mendesak kepada Bupati Halmahera Tengah tidak menyetujui seluruh proses yang berhubungan dengan pemberian izin kepada PT Manggala Rimba Sejahtera

4. Mendesak kepada DPRD Halmahera Tengah menyurati Bupati Halteng agar menghentikan seluruh proses perizinan sawit PT Manggala Rimba Sejahtera. Karena akan berdampak buruk terhadap kehidupan masyarakat Banemo, Moreala, Masure, Peniti, dan Damuli

5.Mendesak kepada BPN kedepan tidak mengeluarkan hak guna usaha kepada PT Manggala Rimba Sejahtera

6. Mendesak KPK dan Kepolisian mengusut proses negosiasi untuk persetujuan izin sawit yang syarat KKN

7. Kepada Pemerintah Halmahera Tengah harus segera merespon penolakan dari warga Banemo, Masure, Peniti, Palo, Sakam dan Damuli atas kehadiran PT Manggala Rimba Sejahtera

8. Kepada Pemerintah Halmahera Tengah agar menghargai sikap masyarakat Banemo, Masure, Peniti, Palo, Sakam dan Damuli yang mempertahankan Pala dan Cengkih dibandingkan sawit

9. Kepada Pemerintah Halmahera Tengah untuk tidak memperkeruh suasana dengan membuat konflik pada level masyarakat Banemo, Masure, Peniti, Palo, Sakam dan Damuli.

10. Kepada Pemerintah Halmahera Tengah untuk mengakui dan melindungii hak–hak masyarakat adat Banemo, Masure, Peniti, Palo, Sakam dan Damuli atas tanah, wilayah dan SDA.

11. Kepada Pemerintah Halmahera Tengah untuk meningkatkan ekonomi masyarakat lewat pala dan cengkih bukan sawit

12. Jika sikap ini tidak diindahkan, kami bersama masyarakat akan memboikot seluruh aktivitas pemerintahan di Patani.


Tolak Sawit di Halmahera, dari Wabup sampai Anggota DPRD Tandatangani Dukungan was first posted on September 8, 2014 at 11:53 pm.

MUI Sesalkan Kematian Gajah di Aceh

$
0
0
Saat ditemukan, bangkai gajah ini ditutupi pelepah sawit di di areal PT. Dwi Kencana Jamborehat,  Kecamatan Banda Alam, Kabupaten Aceh Timur. Foto: Imran Ali Muhammad

Saat ditemukan, bangkai gajah ini ditutupi pelepah sawit di di areal PT. Dwi Kencana Jamborehat, Kecamatan Banda Alam, Kabupaten Aceh Timur. Foto: Imran Ali Muhammad

Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyesalkan kematian gajah di Aceh yang terjadi pada dua minggu belakangan (link berita bisa dibaca disini).  Wakil Sekjen MUI, KH Natsir Zubaidi menyampaikan hal itu disela-sela acara Sosialisasi Fatwa MUI No.4/2014 tentang  Pelestarian Satwa Langka Untuk Menjaga Ekosistem di Aula Majelis Perwakilan Ulama (MPU) Aceh, pada Senin (08/09/2014) kemarin.

Menurutnya, ini adalah tindakan yang tidak mencerminkan keciantaan kita kepada satwa langka.

“Apa lagi ini terjadi saat MUI tengah mensosialisasikan fatwa yang berkaitan dengan hal tersebut.  Pemerintah melalui Kementerian Kehutanan dan Kepolisian harus bertindak tegas, mengusut hingga tuntas kasus ini,” jelas Natsir dalam siaran pers MUI yang diterima Mongabay Indonesia.

Gajah merupakan salah satu satwa liar dilindungi.  Oleh karenanya, membunuh satwa ini untuk kepentingan ekonomi adalah haram.  Natsir mensinyalir pembunuhan ini berhubungan erat dengan mafia perdagangan bagian tubuh satwa.

“Kami tidak bisa toleran.  Kami menghimbau semua pihak untuk turut bertanggung jawab.  Karena keberlangsungan kehidupan di bumi ini ditentukan oleh sejauh mana kita bisa berdampingan dengan alam dan lingkungan kita,” papar Natsir.

Fatwa Haram

Majelis Ulama Indonesia bersinergi dengan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU)  Aceh mendukung pelestarian satwa langka untuk pelestarian ekosistem. Sebagai bentuk kepedulian, ulama sebagai pewaris nabi tidak akan tinggal diam apabila melihat terjadi kerusakan lingkungan termasuk ancaman kepunahan satwa sebagai makhluk Allah.

“Ini adalah fatwa ketiga MUI yang berkaitan dengan lingkungan hidup,” kata Wakil  Sekretaris  Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ustadz H Sholahuddin Al Ayubi.

Menurut Al Ayubi, sudah terjadi percepatan laju kepunahan satwa langka di Indonesia.  Hal ini dikarenakan berbagai tindakan manusia.  Padahal seluruh satwa diciptakan untuk kepentingan kemaslahatan umat manusia, sehingga perlu dijaga keseimbangannya dalam ekosistem.

“MUI berpandangan harus ada upaya nyata untuk memperkecil laju kepunahan.  Fatwa ini berisikan tentangupaya penyelamatan satwa satwa langka, termasuk didalamnya gajah, harimau, badak, orangutan dan satwa langka lainnya yang terancam kepunahan,” tambahnya.

Fatwa ini, kata Al Ayubi, menyasar perlindungan dan pelestarian satwa langka melalui penyediaan kebutuhan dasarnya, tidak memberikan beban diluar batas kemampuan satwa itu sendiri termasuk hak satwa dalam mendapatkan perlindungan habitat.  Selain itu, yang penting adalah mencegah perburuan dan perdagangan illegal.

“Kami berharap fatwa ini dapat mencegah konflik antara satwa dengan manusia,” katanya.

Patroli gajah diupayakan untuk mencegah kerusakan hutan_Foto : Syafrizaldi/MUI

Patroli gajah diupayakan untuk mencegah kerusakan hutan_Foto : Syafrizaldi/MUI

Al Ayubi menjelaskan, perlakuan yang baik terhadap satwa juga termasuk dalam menyikapi binatang dan hewan ternak, dengan berbuat ihsan. Menurut fatwa, satwa langka boleh dimanfaatkan sesuai dengan ketentuan syariat dan ketentuan peraturan perundang-undangan melalui prinsip-prinsip menjaga keseimbangan ekosistem, menggunakannya untuk kepentingan ekowisata, pendidikan dan penelitian.  Selain itu, satwa juga dapat digunakan untuk menjaga keamanan lingkungan, serta untuk kebutuhan budidaya.

Proses Panjang

Wakil Rektor Universitas Nasional Bidang Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Nasional, Prof Dr. Ernawati Sinaga mengatakan, fatwa ini  sudah menjalani proses yang cukup panjang.  Pihaknya terlibat secara aktif memfasilitasi MUI dalam penyusunan materi fatwa bersama dengan  Direktorat Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan, WWF Indonesia, Fauna dan Flora International (FFI) dan Forum Harimau Kita.

Pada September 2013, kata Erna, telah dilakukan kunjungan lapangan MUI ke beberapa wilayah seperti Taman Nasional Tesso Nilo dan Suaka Marga Satwa Rimbang Baling di Riau. “Perlu ada gerakan bersama antara berbagai pihak dalam mendukung keselarasan dan keseimbangan kehidupan.  Termasuk keragaman hayati, mempertahankan habitatnya dan hidup berdampingan dengan harmoni,” paparnya.

Jaga Kearifan Lokal

Dosen Filsafat Islam Fakultas Ushluhudin dan Studi Agama UIN Ar-Raniry, Prof H. Syamsul Rijal Sys mengatakan kearifan lokal Aceh sangat kaya dalam hidup berdampingan dengan satwa liar.

“Kita mengenal ada panglima uteunpanglima glee yang berfungsi menjaga keamanan hutan.  Pertanyaannya, dimana kearifan itu sekarang?” tanyanya.

Selain itu, masyarakat Aceh juga kenal dengan istilah panglima laot yang bertugas menjaga keamanan di wilayah perairan laut.  “Kearifan seperti ini perlu menjadi perhatian semua pihak,” ungkapnya.

Kearifan lokal, lanjut Syamsul, penting di aktualisasikan kembali.  Apa lagi hari ini, Aceh berada dalam kondisi yang rentan dengan konflik satwa.  “Hari ini kita sudah cukup merasa sedih dengan terbunuhnya beberapa ekor gajah di Aceh.  Ini angka konflik yang mengejutkan dan tertinggi sepanjang tahun ini,” katanya.

Sepanjang awal September 2014, berdasarkan berbagai laporan tercatat 9 ekor gajah sumatera mati di berbagai kabupaten di Aceh.  Disinyalir, kematiannya disebabkan oleh aktivitas perburuan.  Gajah-gajah ditemukan dalam keadaan mengenaskan dengan kepala yang nyaris hancur dan tanpa gading.

“Nah, kini saatnya pemerintah juga perlu berperan.  Setidak mengambil peran regulasi untuk mendukung kearifan local,” kata Syamsul yang juga menjabat sebagai Anggota Majelis Perwakilan Ulama (MPU) Aceh.

Programme Manager FFI di Aceh, Syafrizaldi mengatakan setidaknya 52 konflik antara gajah dengan manusia tercatat pada 2013.  Sebelumnya, pada 2011-2012, FFI mencatat telah terjadi 40 kali konflik.

“Angka ini berkemungkinan akan terus meningkat.  Apa lagi jika semua pihak tidak peduli,” katanya.

Konflik gajah, kata Syafrizaldi, tentunya dapat dicegah dengan menanam tanaman yang tidak disukai gajah seperti kopi, jeruk dan lainnya.

“Tanaman-tanaman ini sudah diketahui orang Aceh sejak dulu.  Ini adalah kearifan yang sekaligus dapat digunakan untuk pendapatan.  Di beberapa wilayah, kearifan lokal berkaitan dengan bagaimana orang Aceh membangun rumah tinggi di atas pohon.  Selain itu, ada banyak bunyi-bunyian yang dapat digunakan untuk mengusir satwa liar.  Ini juga kearifan lokal,” paparnya.


MUI Sesalkan Kematian Gajah di Aceh was first posted on September 9, 2014 at 2:47 am.

WWF : Indonesia Kehilangan 90 Individu Gajah Sumatera Dalam 3 Tahun

$
0
0
Saat ditemukan, bangkai gajah ini ditutupi pelepah sawit di di areal PT. Dwi Kencana Jamborehat,  Kecamatan Banda Alam, Kabupaten Aceh Timur. Foto: Imran Ali Muhammad

Saat ditemukan, bangkai gajah ini ditutupi pelepah sawit di di areal PT. Dwi Kencana Jamborehat, Kecamatan Banda Alam, Kabupaten Aceh Timur. Foto: Imran Ali Muhammad

Selama 2012-2014 Indonesia telah kehilangan 90 individu gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) karena mati di Aceh, Riau dan Lampung.  Sebagian besar kematian gajah diduga terkait perburuan gading.

Melihat angka kematian gajah yang meningkat setiap tahunnya,  WWF-Indonesia mendesak pemerintah dan penegak hukum untuk segera menuntaskan penyelidikan atas semua kasus kematian satwa ini hingga ke meja hijau.

Kasus kematian terbaru gajah di Aceh terjadi di dua lokasi yang berbeda, yaitu 1 individu gajah jantan berusia 20 tahun di Kabupaten Aceh Jaya, dan 2 individu gajah – yang belum teridentifikasi jenis kelamin dan usianya – di Kabupaten Aceh Timur. Ketiga bangkai gajah tersebut ditemukan dengan kondisi mengenaskan tanpa gading. Kasus ini sudah ditangani oleh Polres Aceh Jaya dan Polres Aceh Timur dengan berkoordinasi bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh.

Dede Suhendra, Project Leader WWF-Indonesia di Aceh, mengatakan WWF sangat menyesalkan terulangnya kasus kematian gajah di Aceh. Sejak tahun 2012 hingga 2014, ada setidaknya 31 individu gajah mati di Aceh yang sebagian besar patut diduga terkait dengan perburuan gading.

“WWF berharap bahwa selain upaya yang kini sedang dilakukan, BKSDA Aceh juga dapat mendorong terbangunnya koordinasi strategis dengan Pemda, Pemkab dan penegak hukum untuk penanganan kasus kematian gajah di Aceh, terutama terkait dengan isu perburuan, sehingga kasus ini dapat dan layak untuk diperkarakan di pengadilan,” katanya.

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Workshop Forum Gajah dan Kementerian Kehutanan di Bogor awal tahun 2014, estimasi populasi Gajah Sumatera di alam liar diperkirakan 1724 individu. Populasi tersebut terus mengalami penurunan akibat fragmentasi habitat, konflik manusia dengan satwa, perburuan dan perdagangan ilegal. Sejak tahun 2012, kasus kematian gajah di Aceh tercatat di Kabupaten Aceh Jaya, Aceh Selatan, Aceh Barat, Aceh Timur, Aceh Utara dan Bireuen.

“Peningkatan kasus kematian gajah sumatera ini sangat memprihatinkan, sehingga perlu perhatian yang lebih serius dari Pemerintah untuk segera melakukan tindakan nyata. Sudah saatnya kita menyatakan kondisi Siaga 1 untuk isu kematian satwa kharismatik ini,“ ujar Arnold Sitompul, Direktur Konservasi WWF-Indonesia.

Bangkai gajah yang ditemukan di areal PT. Dwi Kencana Jamborehat,  Kecamatan Banda Alam, Kabupaten Aceh Timur. Gadingnya sudah hilang. Foto: Imran Muhammad Ali

Bangkai gajah yang ditemukan di areal PT. Dwi Kencana Jamborehat, Kecamatan Banda Alam, Kabupaten Aceh Timur. Gadingnya sudah hilang. Foto: Imran Muhammad Ali

Selain penyelidikan dan penyelesaian melalui jalur hukum, pendekatan lain melalui peran aktif kalangan masyarakat madani juga sangat penting. Pada tanggal 25 Agustus 2014 lalu, Majelis Adat Aceh (MAA) meluncurkan Pedoman Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Syariat dan Adat yang dapat digunakan masyarakat untuk aktif menjaga kelangsungan hidup gajah.

Selain itu, sosialisasi dari Fatwa MUI No.4 Tahun 2014 Tentang Pelestarian Satwa Langka Untuk Keseimbangan Ekosistem juga dapat memperkuat peran masyarakat dalam melindungi Gajah Sumatera. Pendekatan-pendekatan seperti ini diharapkan dapat meningkatkan kesadartahuan masyarakat mengenai pentingnya perlindungan gajah dan satwa kunci lainnya.

Sementara itu Walhi Aceh mengingatkan bahwa gajah sumatera terancam punah dalam beberapa puluh tahun ke depan jika pembunuhan terhadap mamalia bertubuh besar ini terus terjadi. Direktur Eksekutif Walhi Aceh, Muhammad Nur mengatakan aktivitas manusia yang melakukan eksploitasi sumber daya hutan menjadi ancaman terbesar bagi kelestarian gajah sumatera.

“Hutan Aceh merupakan benteng terakhir bagi  gajah sumatera untuk hidup, akan tetapi jika kegiatan konversi hutan menjadi lahan bisnis perkebunan maupun pertambangan dan perluasan bisnis lainya jusru akan menyempitkan ruang bagi gajah dan akan punah puluhan tahun kedepan,” tegas Nur.

Walhi mencatat adanya persetujuan Menteri Kehutanan melalui Surat Keputusan No. 941/II/2013 tanggal 23 Desember 2013 yang menyetujui alih fungsi hutan Aceh seluas 42.616 hektar  akan mempercepat tekanan terhadap kehidupan gajah sumatera di alam liar. Karena sebagian besar hutan yang dihilangkan merupakan areal jelajah gajah sumatera di Aceh.

“Ada  9 kabupaten sebagai pusat populasi gajah. Maka pembangunan apapun yang sudah dirancang dalam Tata Ruang Aceh 2013-2033 harus menjadi perhatian serius BKSDA dan para pihak mengawal kebijakan pembangunan,” tambah Nur.


WWF : Indonesia Kehilangan 90 Individu Gajah Sumatera Dalam 3 Tahun was first posted on September 9, 2014 at 3:24 pm.

Sungai Tercemar Limbah Tambang Emas di Mandailing Natal Berkadar Merkuri Tinggi

$
0
0
Alat pemisahan batu-batuan mengandung emas,. Limbah proses langsung dibuang ke sungai. Foto: Ayat S Karokaro

Alat pemisahan batu-batuan mengandung emas,. Limbah proses langsung dibuang ke sungai. Foto: Ayat S Karokaro

Selama ini, sisa pengolahan emas tradisional di Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumatera Utara, langsung dibuang ke Sungai Batang Gadis dan Sungai Hutabargot. Hasil uji laboratorium terhadap sampel air tercemar limbah inipun mengandung merkuri di atas ambang batas.

Sampel diambil Forum Pemuda Mandailing Menolak Tambang Emas Madina, setelah Mongabay selesai meliput di sana Juli 2014. Sampel diserahkan kepada Forum Mahasiswa Teknik Kimia Institut Teknologi Medan (ITM), dan uji laboratorium.

Syarifah Ainun, anggota Forum Mahasiswa Teknik Kimia ITM, mengatakan, hasil uji laboratorium air limbah pengolahan emas Madina mengandung kimia di ambang batas  seperti, merkuri, timbal, arsen, cadmium, tembaga, nikel, dan zink. Bahkan paling mengejutkan, merkuri yang dibuang mencapai 1,22 mg/l, ambang batas hanya 0,025 mg/l.

Untuk senyawa kimia timbal 0,32 mg/l, ambang batas 0,5 mg/l, dan arsen 0,18 mg/l, ambang batas 0,05 mg/l. Lalu, cadmium ambang batas 0,05 mg/l, namun  hasil uji 1,01 mg/l dan tembaga sebesar 1,14 mg/l, padahal ambang batas 0,5 mg/l. Begitu juga nikel, kandungan 1,11 mg/l, ambang batas sebesar 0,5 mg/l serta zink 3,04 mg/l sedang batas boleh dibuang ke alam 2,5 mg/l.

Menurut dia, merkuri, baik bentuk unsur, gas maupun dalam garam organik, mengandung racun dan tidak bisa ditawar-tawar. “Jika termakan ikan dan ikan dimakan manusia, dipastikan racun masuk ke manusia. Ini sangat beracun,” katanya, Senin (8/9/14).

Kala dia melihat video Mongabay, tampak larutan sisa ekstraksi langsung dibuang tanpa proses. “Kami lihat setelah dicampur merkuri guna memisahkan kandungan emas dengan senyawa lain, tidak diproses lagi, dibuang begitu saja ke aliran air yang biasa digunakan masyarakat. Ini jelas racun yang dibuang.”

Dia menyatakan, secara teori, semua bentuk merkuri baik metal dan alkil, jika terinjeksi tubuh manusia, akan menyebabkan kerusakan otak, ginjal dan hati. Jika dikonsumsi terus menerus akan menyebabkan kerusakan permanen. Dia mengingatkan, Pemerintah Madina, tegas mengatasi ini. Sebab, lebih tiga kecamatan dan puluhan desa setiap hari mengkonsumsi air yang mengandung racun, tertinggi merkuri. Merkuri, katanya, juga bisa menyebabkan penghambatan fungsi enzin. “Ini dapat menyebabkan gangguan syaraf manusia.”

Tempat proses pemisahan batu dan emas menggunakan mercuri, berada di dekat sungai dan langsung mengalir ke sana.  Tak pelak, kala diuji kandungan mercuri di atas ambang batas. Foto: Ayat S Karokaro

Tempat proses pemisahan batu dan emas menggunakan mercuri, berada di dekat sungai dan langsung mengalir ke sana. Tak pelak, kala diuji kandungan mercuri di atas ambang batas. Foto: Ayat S Karokaro

Azudin Siregar, tim yang menguji, menambahkan, manusia akan keracunan jika memakan biota air tercemar mercuri. “Hasil analisis kami atas sampel air limbah yang diserahkan Forum Pemuda Mandailing Menolak Tambang Emas. Kesimpulannya, air sisa pengolahan emas dibuang ke sungai dan mengandung merkuri.”

Dea Nasution, dari FPMMTE Madina, mengatakan, limbah dibuang ke alam tanpa ada pengawasan Balai Lingkungan Hidup (BLH). Limbah dibuang ke Sungai Batang Gadis, yang digunakan masyarakat untuk minum, mencuci, dan kebutuhan sehari-hari.

“Karena kami anggap itu mencemari lingkungan, sampel diperiksa independen oleh para insinyur teknik kimia. Kami tidak percaya hasil Pemerintah Madina,” katanya.

Dahlan Hasan Nasution, Plt Bupati Mandailing Natal, ketika dikonfirmasi mengatakan, sudah berupaya menyelesaikan masalah ini. Dia mengatakan, setidaknya ada lebih 200 mesin galundung, atau gelondongan yang dipakai penambang di sana untuk memecah batu.

Pemkab, katanya, tidak berani gegabah, mengingat pengolahan batu emas oleh penambang tradisional ini sudah berlangsung enam tahun lebih. Jika keputusan dianggap tidak menguntungkan masyarakat, akan ada perlawanan.

Jadi, dalam waktu dekat, pemkab akan menertibkan mesin glondongan dengan memberikan rancangan mesin lain lebih ramah lingkungan guna meminimalisir pencemaran.

Dahlan menyatakan, tengah menyusun rancangan peraturan daerah (ranperda), soal tambang emas tradisional di Madina. Salah satu memasukkan rencana merelokasi tambang, yang beroperasi di hutan lindung Taman Nasional Batang Gadis (TNBG).

“Saya sudah baca yang ditulis Mongabay soal berita penambangan emas di TNBG. Saya sudah perintahkan ada relokasi dan penindakan jika melanggar UU konservasi dan lingkungan hidup. Soal pencemaran air akibat pembuangan limbah akan ada penertiban.”

Emas yang telah diolah menggunakan senyawa beracun merkuri di Mandailing Natal. Foto: Ayat S Karokaro

Emas yang telah diolah menggunakan senyawa beracun merkuri di Mandailing Natal. Foto: Ayat S Karokaro


Sungai Tercemar Limbah Tambang Emas di Mandailing Natal Berkadar Merkuri Tinggi was first posted on September 9, 2014 at 4:05 pm.

Aneh, MA Putuskan Operasi Ilegal, Perusahaan Sawit di Kalteng Cuek. Kok Bisa?

$
0
0
Lahan yang sudah dibuka perusahaan sawit dan diputus beroperasi ilegal oleh Mahkamah Agung. Foto: Save Our Borneo

Lahan yang sudah dibuka perusahaan sawit dan diputus beroperasi ilegal oleh Mahkamah Agung. Foto: Save Our Borneo

Mahkamah Agung pada 24 Desember 2013 memutuskan PT Hati Prima Agro (HPA), anak usaha  Bumitama Gunajaya Agro Group, membuka lahan ilegal. Putusan ini menerima kasasi Kementerian Kehutanan,  sekaligus membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta dan Pengadilan Tata Usaha Negara Palangkaraya. Parahnya, hingga kini, perusahaan yang memiliki kebun sawit di Kecamatan Antang Kalang, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah ini, seakan tak peduli. Mereka masih terus beroperasi.

“HPA telah membuka lahan sejak 2009/2010 dengan tidak sah, harusnya serta merta angkat kaki dan meninggalkan lokasi tanpa syarat,” kata Nordin, direktur eksekutif Save Our Borneo, awal September 2014 .

Bahkan, aset bergerak dan tidak bergerak di  perkebunan sebagai alat untuk beraktivitas ilegal selayaknya menjadi  milik negara. Sedang lahan yang sudah dibuka, katanya, harus diambil pemerintah daerah.  “Pemkab Kotim hendaknya segera mengamankan lahan itu.” Selanjutnya, lahan bisa dikembalikan kepada masyarakat pemilik yang dulu mengelola wilayah itu.

Tak jauh beda dikatakan Arie Rompas, direktur eksekutif Walhi Kalteng. Menurut dia, dengan putusan MA menunjukkan HPA beroperasi ilegal. Seharusnya, pemerintah daerah  segera mengambil alih wilayah perusahaan itu agar status jelas.

“Tinggal model pengelolaan mau seperti apa. Daripada dikembalikan kepada perusahaan, lebih baik dikelola daerah atau didistribusikan ke masyarakat. Itu juga bisa dijadikan obyek land reform.  Karena  wilayah  itu  juga merupakan kelola masyarakat,” katanya di  Palangkaraya, Senin (8/9/14).

Proses hukum harus segera berjalan. Bukti-bukti HPA telah beraktivitas ilegal sudah jelas. Pemerintah harus menindaklanjuti dengan penuntutan secara hukum, baik pidana maupun perdata.

“Gugatan bisa dengan pidana lingkungan. Karena telah terjadi kerugian ekologi akibat aktivitas ilegal HPA. Dia harus bayar ganti rugi sebagai upaya pemulihan wilayah. Kalau mau dilihat lebih, ini indikasi korupsi. Ada kerugian negara.”

Karena perusahaan masih beroperasi, Arie mendesak pemerintah menggugat secara hukum. LSM di Kalteng juga mencoba mengirim surat atau mengajukan legal standing terhadap kerusakan ekologis oleh HPA.

“Kita sedang diskusikan dengan sesama aktivis. Ini corporate crime. Pertarungan gugatan sudah dimenangakan di MA.  Dalam konteks kerugian ekologis, kita akan ajukan legal standing.”

Kussaritano, direktur eksekutif Mitra Lingkungan Hidup Kalteng mengatakan, pusat dan daerah harus melakukan langkah-langkah sesuai putusan dengan mengeksekusi lahan jika tidak ingin disebut membiarkan atau lalai.

Kebun sawit yang sudah dibuka PT HPA. Anehnya, meskipun sudah diputus ilegal oleh MA perusahaan ini masih terus beroperasi. Foto: Save Our Borneo

Kebun sawit yang sudah dibuka PT HPA. Anehnya, meskipun sudah diputus ilegal oleh MA perusahaan ini masih terus beroperasi. Foto: Save Our Borneo

 


Aneh, MA Putuskan Operasi Ilegal, Perusahaan Sawit di Kalteng Cuek. Kok Bisa? was first posted on September 9, 2014 at 11:51 pm.

Akhirnya, DPRD Ketapang Ketuk Palu Penyelamatan Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi

$
0
0
Warga Desa Rangga Intan, Kecamatan Jelai Hulu, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, memanfaatkan sungai sebagai sumber kehidupan. Foto: Andi Fachrizal

Warga Desa Rangga Intan, Kecamatan Jelai Hulu, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, memanfaatkan sungai sebagai sumber kehidupan. Foto: Andi Fachrizal

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Ketapang akhirnya menetapkan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Konservasi menjadi peraturan daerah. Melalui sidang paripurna yang dipimpin Ketua DPRD Ketapang, Gusti Kamboja, Senin (8/9/2014), perjuangan warga dan organisasi masyarakat sipil dalam menyelamatkan kawasan bernilai konservasi tinggi pun berbuah manis.

“Keputusan sidang paripurna tersebut sekaligus memberikan mandat kepada legislatif untuk menindaklanjuti pelaksanaan dan pengaturannya lebih lanjut,” kata Gusti Kamboja, Ketua DPRD Ketapang, usai memimpin sidang paripurna.

Pembahasan Ranperda dihadiri semua anggota fraksi di DPRD Ketapang, Wakil Bupati Ketapang, jajaran SKPD, perwakilan BUMN, dan masyarakat sipil. Naskah hasil sidang paripurna yang dibacakan Sekretaris DPRD Ketapang, menyebutkan, lingkungan hidup perlu dijaga dan dikendalikan agar memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Perda ini sudah didorong warga Ketapang, organisasi sipil (LSM), private sector, sejak September 2013.

Project Leader Fauna and Flora International di Ketapang, Lorens mengatakan Kabupaten Ketapang dengan luas sekitar 3.590.900 hektar berada pada  bentang alam hutan gambut dataran rendah di sepanjang pantai barat Ketapang dan Pegunungan Schwanner di sepanjang perbatasan Provinsi Kalbar dan Kalteng.

Kedua bentang alam ini, dinilai sangat penting keberadaannya dalam mendukung dan menjaga kualitas lingkungan daerah hulu dan hilir Ketapang. “Kondisi hutan di kedua bentang ini relatif utuh dan terjaga, sehingga untuk menjaga bentangan alam tersebut diperlukan sebuah produk hukum di daerah. Salah satunya melalui Perda,” kata Lorens.

Perda ini, lanjut Lorens, merupakan terobosan penting dan pertama di Kalbar. “Keberanian dan komitmen politik ini perlu diapresiasi karena menjawab kekosongan instrumen hukum di daerah yang selama ini menjadi persoalan hingga mengakibatkan konflik di masyarakat,” ucapnya.

Sementara Field Director Yayasan Palung, Tito P Indrawan yang juga hadir dalam paripurna tersebut mengatakan hasil kajian yang dilakukan beberapa lembaga riset seperti FFI, IAR, Yayasan Palung, Universitas Tanjungpura, dan lainnya menemukan flora dan fauna terancam punah dan jenis-jenis endemik Kalimantan yang tergolong dalam NKT.

Karena itu, kata Tito, kepastian hukum dengan adanya Perda Konservasi menjadi alat bagi semua pihak untuk mengusulkan, memantau pengelolaan kawasan konservasi di luar kawasan hutan yang menjadi kewenangan daerah.

Secara terpisah, pakar hukum dari Universitas Tanjungpura Pontianak, Hermansyah mengatakan UU No 26 Tahun 2007 menyatakan bahwa kegiatan penataan ruang wilayah harus mengakomodir Kawasan Strategis Nasional.

Regulasi ini bertujuan mendukung pelestarian dan peningkatan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup agar dapat mempertahankan dan meningkatkan keseimbangan ekosistem. Selain itu, aturan ini juga dimaksudkan untuk pelestarian keanekaragaman hayati, mempertahankan dan meningkatkan fungsi perlindungan kawasan, melestarikan keunikan bentang alam, dan melestarikan warisan budaya nasional,  ekonomi, sosial budaya, dan peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan keamanan.

“Untuk mendukung hal di atas maka sangat urgen adanya Perda Tentang Pengelolaan Areal Konservasi,” kata Hermansyah.

Ketua Forum Hutan Desa Kabupaten Ketapang, Jaswadi Jabir mengatakan, disahkannya Perda tersebut menjadi peluang  untuk mengusulkan sebuah kawasan yang dinilai memiliki fungsi konservasi dan berhak mengelolanya.

Upaya perlindungan dan pengelolaan areal konservasi itu sudah dimulai dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Bupati Ketapang yang berkaitan dengan kawasan Nilai Konservasi Tinggi (NKT) tentang perlindungan bakau dan hutan kota di Ketapang.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio


Akhirnya, DPRD Ketapang Ketuk Palu Penyelamatan Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi was first posted on September 10, 2014 at 3:45 am.

Sensus Sungai Ecoton, Kali Brantas Mulai Menunjukkan Pemulihan

$
0
0
Ekspedisi Brantas menjaring ikan di sungai Surabaya untuk sensus ikan. Foto : Ecoton

Ekspedisi Brantas menjaring ikan di sungai Surabaya untuk sensus ikan. Foto : Ecoton

Upaya kampanye pelestarian lingkungan khususnya di kawasan sungai Brantas, mulai mendatangkan hasil positif. Hasil pelaksanaan sensus ikan dalam Ekspedisi Brantas 2014, menunjukkan kondisi ekosistem sungai Brantas yang semakin membaik, khususnya di wilayah Kecamatan Balongbendi dan Tarik, di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.

Tim Ekpedisi Kali Brantas dari Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) yang melakukan sensus ikan, menemukan fakta kondisi Kali Brantas bagian hilir di Wilayah Kali Surabaya dari Mlirip, Singkalan, Bakung Pringgondani mulai menunjukkan kondisi yang semakin baik.

Riska Darmawanti, Kepala Peneliti Ecoton  mengatakan dari sensus ini , semakin banyak jenis ikan yang ditangkap, yang menjadi indikator semakin baiknya kondisi air sungai.

“Ada beberapa jenis ikan yang ditangkap di Desa Singkalan, beratnya mencapai 2,5 kilogram per ekor. Bobot ikan itu diatas bobot tertinggi ikan rengkik yang ditangkap tahun 2012-2013 lalu. Sehingga dapat disimpulkan kondisi airnya semakin baik dan dapat memberikan pertumbuhan yang optimum bagi ikan,” kata Riska

 

Ikan hasil tangkapan nelayan bersama Ecoton pada Ekspedisi Brantas 2014. Foto : Ecoton

Ikan hasil tangkapan nelayan bersama Ecoton pada Ekspedisi Brantas 2014. Foto : Ecoton

Rencananya Ekspedisi Brantas 2014 akan berlangsung mulai 8 – 23 September 2014, untuk mengetahui kondisi kualitas air sungai Surabaya, yang menjadi bagian hilir dari sungai Brantas.

Pulihnya kondisi kesehatan air sungai Surabaya menjadi harapan yang menggembirakan bagi masyarakat, setelah terjadinya kematian ikan massal di sungai Surabaya pada 26 Mei 2012 lalu, yang diduga akibat keracunan limbah yang dibuang industri langsung ke sungai.

“Ikan-ikan asli sungai Brantas seperti rengkik, jendil dan keting seakan-akan hilang punah sejak peristiwa ikan mati masal pada Mei 2012 lalu, yang indikasinya karena kecerobohan Pabrik Gula Gempolkrep,” tutur Zunianto, Koordinator Kampanye relawan Telapak Jatim.

Dari ekspedisi Ecoton itu, Zunianto mengatakan bahwa Kali Brantas yang masih memiliki kemampuan memulihkan diri

“Ini menjadi harapan bagi masyarakat, pemerintah dan swasta, untuk bekerjasama memulihkan kualitas air Kali Brantas dan Kali Surabaya, salah satunya menjaga agar tidak lagi dibuangi limbah,” tandas Zunianto.

Ikan hasil tangkapan nelayan bersama Ecoton pada Ekspedisi Brantas 2014

Ikan hasil tangkapan nelayan bersama Ecoton pada Ekspedisi Brantas 2014

Ekspedisi Brantas 2014 yang dilakukan Ecoton bersama aktivis lingkungan lainnya serta masyarakat nelayan, berhasil mendapatkan beragam jenis ikan jaring ikan melalui 100 kali tebaran jaring di sepanjang sungai Surabaya yang melintasi wilayah Tarik dan Balongbendo.

Beberapa jenis ikan yang berhasil ditangkap antara lain rengkik (Hemibragus nemurus), papar (Notopterus notopterus), kuthuk (Channa striatus), montho (Ostechillus hasseltii), jambal (Pangasius Djambalis), bader abang (Barbodes balleroides), bader putih (Barbodes gonionotus), ulo (Laides longibarbis), kething (Mystus pla), jendil (Pangasius nemurus).

Direktur Eksekutif Ecoton, Prigi Arisandi mengatakan, selain semakin beragamnya jenis ikan yang ditangkap, juga ditemukan ikan berjenis kelamin jantan.

“Ikan jantan mulai ditemukan, padahal sebelumnya ikan jantan sangat sulit ditemukan, karena banyak yang berubah jenis kelamin menjadi betina akibat limbah,” ujar Prigi.

Industri di sepanjang sungai Surabaya menurut Prigi sudah mulai berhati-hati dalam membuang limbahnya, meski masih ada juga yang membuang limbah melebihi baku mutu. Selain itu limbah domestik juga menjadi pekerjaan rumah yang penting untuk kualitas air sungai, selain penangkapan ikan yang masih menggunakan strum listrik maupun potas.

“Membaiknya kondisi ini diharapkan tetap bertahan, agar tidak ada lagi kerusakan ekosistem sungai maupun kematian ikan. Hal ini membutuhkan peran serta masyarakat untuk ikut menjaga sungai, serta ikut melestarikan ikan di Kali Brantas,” ucap Prigi.

Prigi Arisandi, Direktur Eksekutif Ecoton memperlihatkan ikan asli sungai Surabaya yang berhasil dijaring pada Ekspedisi Sungai Brantas Ecoton. Foto : Ecoton

Prigi Arisandi, Direktur Eksekutif Ecoton memperlihatkan ikan asli sungai Surabaya yang berhasil dijaring pada Ekspedisi Sungai Brantas Ecoton. Foto : Ecoton

Pemulihan populasi ikan asli serta ekosistem di sungai Brantas dapat berjalan lebih cepat bila didukung pula oleh gerakan masyarakat yang melakukan penanaman tanaman asli di bantaran sungai. Selain itu diperlukan peraturan desa, mengenai pelarangan penangkapan ikatn menggunakan setrum dan potas di desa-desa kawasan suaka ikan, sebagai upaya melindungi dan melestarikan ekosistem sungai.

Pengendalian Ikan Alien

Melalui Sensus Ikan Ekspedisi Brantas 2014, Ecoton juga mendata ikan-ikan alien atau ikan invasif seperti ikan nila, mujaer, pembersih kaca, yang mendominasi populasi ikan di sungai Surabaya maupun di sungai Brantas. Riska mengkhawatirkan populasi ikan invasif yang dominan dapat mengancam  kelestarian ikan asli maupun endemik.

“Keberadaan ikan-ikan alien atau ikan-ikan yang berasal dari luar Indonesia atau dari benua lain, yang dimasukkan ke dalam perairan darat  telah mengganggu kelangsungan hidup jenis ikan asli seperti ikan rengkik, kuthuk, jendil dan bader,” ungkap Riska yang juga Ketua Tim Ekspedisi Sungai Brantas 2014 Ecoton.

Riska mengungkapkan, keberadaan ikan-ikan invasif di Sungai Brantas memiliki kemampuan bertahan hidup yang cukup tinggi, dibandingkan jenis ikan asli sungai Brantas. Kondisi ini akan mengakibatkan menyusutnya ikan-ikan endemik Sungai Brantas.

“Selain kemampuan survival yang tinggi, jenis ikan nila mampu bertahan hidup pada kondisi kualitas air yang buruk. Pada kisaran oksigen terlarut rendah, ikan nila masih bisa hidup, sedangkan ikan seperti jenis ikan montho, ikan bader merah dan ikan bader kuniran, membutuhkan kondisi air dengan kandungan oksigen tinggi,” katanya yang menyebut kondisi air sungai Brantas masih belum buruk.

Untuk menyelamatkan ikan-ikan asli sungai Surabaya dan sungai Brantas yang terancam punah, Ecoton bersama Dinas Perikanan dan Kelautan (DPK) Provinsi Jawa Timur melakukan kegiatan pembiakan ikan asli dengan menangkap beberapa jenis ikan indukan yang terancam punah. Ikan-ikan itu antara lain rengkik, montho, jambal, bader abang, bader putih, dan jendil.

Konservasi ikan asli sungai Surabaya yang dilakukan Ecoton dan DPK Jatim, mulai dilaksanakan pada 9 September 2014 berupa domestifikasi ikan asli Sungai Brantas. Indukan ikan dari 6 spesies yang merupakan ikan asli akan ditangkap dan dibiakkan di laboratorium budidaya di Umbulan, Kabupaten Pasuruan.

Selain untuk kegiatan restoking, budidaya ini juga untuk mengembangkan potensi pangan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan protein. DPK Jatim juga melarang pelepasan ikan dari jenis ikan alien seperti mujaer, nila dan lele, yang dikhawatirkan dapat mengalahkan populasi ikan asli Sungai Brantas.

“Mulai tahun ini kami sudah menghentikan kegiatan pelepasan ikan ke perairan jenis nila maupun mujaer,” ujar Iswahyudi. Staff UPT Pengembangan Budidaya Air Tawar Umbulan, DPK Jatim.

Ikan-ikan yang akan dibudidayakan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur. Foto : Ecoton

Ikan-ikan yang akan dibudidayakan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur. Foto : Ecoton

Restocking menurut Riska, sangat penting dilakukan mengingat ancaman dari kegiatan penyetruman atau pemotasan masih cukup tinggi di sepanjang Kali Brantas. Namun restocking terkendala kurangnya bibit ikan yang akan dikembangbiakkan. Jenis-jenis ikan yang populasinya mulai menurun antara lain rengkik, papar, keting, jendil, palung, muraganting, bekepek, berot, dan sili.

“Usaha domestikasi ikan-ikan ini menjadi usaha yang penting, karena nantinya diharapkan mereka mampu dipijahkan di luar habitat aslinya. Ketika mereka mampu dipijahkan, maka kegiatan restocking dengan jenis ikan yang mulai langka dapat dilakukan tanpa khawatir kesulitan mendapatkan bibit ikan asli,” pungkasnya.


Sensus Sungai Ecoton, Kali Brantas Mulai Menunjukkan Pemulihan was first posted on September 10, 2014 at 4:31 am.

Anyun-Singkul, Ujian Keberpihakan Penegak Hukum Kepada Rakyat

$
0
0

 

Konflik lahan antara perusahaan dan warga berkepanjangan karena tak ada penyelesaian serius, seperti kasus anak perusahaan Wilmar di Kalteng ini. Penyelesaian hanya pada kasus bentrok tanpa memandang akar permasalahan. Foto: Sapariah Saturi

Konflik lahan antara perusahaan dan warga berkepanjangan karena tak ada penyelesaian serius, seperti kasus anak perusahaan Wilmar di Kalteng ini. Penyelesaian hanya pada kasus bentrok tanpa memandang akar permasalahan. Foto: Sapariah Saturi

Anyun dan Yohanes Singkul, dua warga Desa Batu Daya, Kecamatan Simpang Dua Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat (Kalbar) menghadapi sidang putusan atas kasus penganiayaan terhadap aparat Brimob Polda Kalbar di Pengadilan Negeri Pontianak pada Rabu (10/09/2014).

Ayun dan Singkul ditangkap aparat Brimob Polda Kalbar pada Senin (05/05/2014) setelah bentrok karena mempertahankan lahan warga dari perusahaan sawit PT Swadaya Mukti Perkasa (PT SMP). (berita penangkapan dapat dibaca pada link ini).

Pada sidang  hari Senin 1 September 2014 lalu, jaksa penuntut umum menuntut Anyun dan Singkul dengan dakwaan pelanggaran pasal 351 KUHP dan pasal 2 UU Darurat Nomor 12 tahun 1951. Sedangkan pledoi dari Gerakan Bantuan Hukum Rakyat Kalimantan, disampaikan pada Senin 8 September 2014 kemarin.

Direktur Eksekutif Daerah Walhi Kalimantan Barat, Anton P Wijaya mengatakan kasus tersebut menjadi ujian serius atas keadilan penegakan hukum.  “Hukum itu, tajam ke bawah tapi tumpul ke atas,” kata Anton.

Dia mengatakan aparat kepolisian yang seharusnya bertindak sebagai pengayom, pelindung dan pelayang masyarakat, malah berseteru dengan rakyat, dengan latar belakang masalah konflik perusahaan dan masyarakat.

Anton berharap para hakim mengedepankan rasa keadilan dan mempertimbangkan aspek sosial dan kemanusiaan yang tumbuh dan berkembang di dalam komunitas masyarakat di Kalbar, terutama masyarakat adat Dayak dalam memutuskan kasus ini. Hakim d dituntut memahami berbagai bentuk konflik sumber daya alam yang melibatkan masyarakat dengan korporasi.  Para hakim juga harus dapat memposisikan perjuangan masyarakat dalam mempertahankan hak atas tanah warisan leluhur dan nenek moyang mereka  sebagai pertimbangan utama keputusan.

Anyun dan Singkul, lanjutnya, merupakan korban atas alpanya niat baik perusahaan mengakomodir hak-hak masyarakat yang selama ini mereka perjuangkan. “Karenanya, demi keadilan dan kemanusiaan, kami menyerukan agar Anyun dan Yohanes Singkul dibebaskan,” tambah Anton.

Sedangkan Agus Sutomo, Direktur Link-AR Borneo, menambahkan, dalam kasus ini, motif kriminalisasi terlihat sejak awal. Terlebih dengan adanya keterlibatan pihak perusahaan. Penangkapan warga dengan tuduhan penganiayaan karena salah satu dari anggota Brimob yang juga ketua regu terlempar benda keras saat aksi damai warga hanyalah dampak, bukan persoalan dasar.

“Demikian pula tuduhan karena membawa senjata tajam pada saat kejadian bentrok antar warga dengan anggota kepolisian sebagaimana yang dialami Yohanes Singkul,” katanya.

Pada dasarnya, kata Tomo, baik anggota Brimob maupun warga, sama-sama menjadi pihak korban. “Karena sebagaimana diketahui, salah seorang warga yang juga kepala desa Batu Daya pada saat kejadian, disekap dan dipukuli pihak satpam perusahaan dan anggota Brimob hingga babak belur dan bahkan pingsan dengan luka di bagian kepala,” tambahnya.

Tomo menekankan, dirinya masih percaya para hakim bisa mengedepankan rasa kemanusiaan dan berkaca pada fakta-fakta di persidangan dalam kasus Anyun dan Singkul ini.

Penanggung jawab Forum Relawan Kemanusiaan Pontianak, Bruder Stephanus Paiman juga punya pengharapan yang sama. “Saya harap majelis hakim harus bijak dalam memutus perkara ini. Mereka harus melihat sisi budaya masyarakat setempat, misalnya soal sajam di kampung atau daerah pedalaman, tidak bisa langsung memasukannya dalam UU darurat,” tegasnya.

Bruder Stephanus juga menyampaikan harus dihadirkan juga ahli budaya atau daerah setempat. “Misalnya untuk kampung saya di Benua Bantanan, orang kampung biasa membawa parang atau senapang lantak atau bomen untuk pergi ke ladang, karena parang digunakan untuk memotong kayu dan senapan untuk mengusir hama seperti seperti babi hutan dan monyet. Begitu juga di daerah pedalaman lain di Kalbar seperti Kapuas Hulu, Ketapang dan sebagainya. Oleh karna itu sekali lagi saya ingatkan bahwa untuk lebih netralnya putusan, majelis harus melibatkan pakar budaya setempat,” paparnya.

Kasus ini berawal dari penangkapan paksa disertai tindak kekerasan yang dilakukan anggota Brimob Polda Kalimantan Barat terhadap lima warga Batu Daya pada 5 Mei 2014 lalu. Bentrok tersebut merupakan puncak dari kejadian sebelumnya. Warga melawa aparat terlibat baku pukul saat warga mendatangi kamp PT. Swadaya Mukti Prakarsa (SMP)/PT. First Resources pada 26 Oktober 2013 silam. Warga mendatangi perusahaan, untuk menagih haknya.

Ayun dan Singkul. dua warga kampung Keranji yang dipersalahkan telah melakukan tindak penganiayaan dan membawa senjata tajam dipaksa harus berurusan dengan proses pengadilan sejak 2 Juli 2014 lalu. Pada sisi lain, saat kejadian penangkapan paksa, kaum ibu dan anak-anak yang menyaksikan langsung proses penangkapan mengalami trauma, ketakutan. Sementara ketika dua warga ditahan sejak 6 Mei 2014 hingga saat ini, keluarga korban secara otomatis terpisah dari orang yang menjadi tulang punggung mereka.

Tomo menyatakan, sesungguhnya akar persoalan sebenarnya adalah tidak adanya niat baik untuk pemenuhan hak masyarakat. Janji-janji pihak perusahaan yang tak kunjung dipenuhi menyebabkan warga Batu Daya untuk kesekian kalinya kembali mendatangi kamp perusahaan pada 26 Oktober 2013 silam. Aparat di tempat itu berupaya menghalangi masyarakat menemui pihak perusahaan, karena bertugas sebagai pengamanan perusahaan. Akibatnya, bentrok tidak dapat dihindari.

Dalam persidangan, Sahrudin, oknum anggota Brimob yang menjadi korban pelemparan yang mengatakan tidak mengetahui adanya tembakan peringatan pada sidang 6 Agustus 2014. Pernyataan Sahrudin, bertentangan dengan bukti video kejadian yang diambil di lapangan. Lebih tidak masuk akal lagi bila benda keras yang mengenainya berdasarkan keterangan saksi pihak pelapor hanyalah serpihan dari bongkahan besar semata.

Bila melihat kontruksi kehadiran anggota Brimob hingga terjadi bentrok antar warga dari kesaksian pihak pelapor yakni anggota Brimob dan perwakilan pihak perusahaan beberapa waktu lalu, maka jelas ada unsur konspirasi untuk melakukan kriminalisasi terhadap warga.


Anyun-Singkul, Ujian Keberpihakan Penegak Hukum Kepada Rakyat was first posted on September 10, 2014 at 12:15 pm.

Hutan Adat Tumbang Bahanei, Terjaga di Tengah Keterancaman

$
0
0
Hutan keramat tumbang Bahanei  yang tak boleh diganggu gugat. Foto: Indra Nugraha

Hutan keramat Tumbang Bahanei yang tak boleh diganggu gugat. Foto: Indra Nugraha

Ada sebuah desa di tengah hutan, Tumbang Bahanei, namanya. Ia berada di Kecamatan Rungan Barat,  Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Dengan kearifan lokal, masyarakat adat di kawasan ini berusaha menjaga dan mengelola hutan dengan lestari. Meskipun, hutan adat mereka terancam, karena diklaim masuk konsesi perusahaan.

Wilayah adat ini dihuni 139 keluarga dengan luas terdiri dari beberapa bagian. Ada hutan pertahanan adat 2.858,898 hektar, hutan cadangan berladang 132,082 hektar, hutan karet 5.841,327 hektar dan hutan wisata adat 43,661 hektar. Total 8.888,0337 hektar.

Wilayah ini berbatasan dengan enam desa lain. Yakni, Tumbang Langgah dan Tusang Raya (Kecamatan Rungan Barat), Desa Tehang (Kecamatan Manuhing Raya), Desa Tumbang Rahuyan dan Sei Antai serta Tumbang Tuwe (Kecamatan Rungan Hulu).

“Tumbang Bahanei jadi yang pertama menyelesaikan pemetaan wilayah adat. Mereka luar biasa. Mereka tidak lelah terus berkoordinasi dengan kami. Menelpon dan datang ke Palangkaraya berkali-kali. Bahkan kami bilang ke mereka,”  kata Alfianus Genesius Rinting, deputi umum AMAN Kalteng.

Saya berkesempatan ke desa ini bersama rombongan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalteng, minggu pertama September 2014. Mantir adat, Suley Medan dan Dunal S. Rintung menyambut hangat. Banyak warga berkumpul di rumah itu. Ternyata, mereka sedang menyiapkan upacara adat Punduk Sahur. Sebuah ritual menjaga hutan agar tidak terganggu dari pihak jahat. Meminta roh-roh leluhur ikut menjaga hutan tetap lestari.

Masyarakat adat Tumbang Bahanei tidak bisa dilepaskan dari hutan. Bagi mereka, hutan adalah sumber kehidupan. Mata pencaharian warga sebagian besar berladang dan penyadap karet. Sesekali mereka berburu di hutan.

Memasuki wilayah adat Tumbang Bahanei. Warga berupaya menjaga lingkungan dan hutan mereka. Mereka juga telah menyelesaikan pemetaan wilayah adat. Foto: Indra Nugraha

Memasuki wilayah adat Tumbang Bahanei. Warga berupaya menjaga lingkungan dan hutan mereka. Mereka juga telah menyelesaikan pemetaan wilayah adat. Foto: Indra Nugraha

Di wilayah ini aturan adat sudah dibuat tertulis yang disahkan 29 Mei 2014. Meski begitu, hukum adat sudah lama berlaku di wilayah mereka. Hanya, dulu lisan saja. Hukum tertulis dibuat untuk menguatkan keberadaan mereka.

“Kalau melanggar hukum adat nanti kena jipen,” kata Suley, yang biasa disapa Pak Dagik.

Dia mengatakan, satu jipen setara Rp100.000. Besaran jipen tergantung pelanggaran. Makin berat pelanggaran,  jipen makin besar pula.

Jika ada warga menebang pohon di hutan pertahanan adat, harus membayar 700 jipen per pohon.  Menebang pohon keras di luar hutan pertahanan adat 100 jipen per batang, pohon lunak 70 jipen per batang.

Sanksi perusahaan yang memasuki wilayah adat tanpa izin 2.760 jipen. Perusahaan yang membuka jalan baru di wilayah adat Tumbang bahanei kena 550 jipen ditambah kerusakan yang dihitung mantir adat. Jika perusahaan tetap nekad beroperasi, maka sanksi berlipat ganda menjadi 55.200 jipen.

Menurut dia, warga tidak boleh membuka lahan di hutan pertahanan adat. Mereka hanya boleh menggunakan lahan yang ada sekarang. Hutan pertahanan adat, tetap dibiarkan untuk menjaga keseimbangan ekosistem.

“Warga tak ada yang berani merusak alam. Karena kita sadar hutan ini titipan untuk anak cucu kita ke depan. Hutan adalah sumber kehidupan. Jangan sampai hilang,” katanya.

Meski begitu, bukan berarti masyarakat adat Tumbang Bahanei terbebas dari konflik. Banyak warga dari desa tetangga merasa tidak senang. Masih banyak warga di luar Tumbang Bahanei bekerja di dalam hutan adat mereka. Membuka lahan, ataupun menambang emas justru di hutan pertahanan adat.

“Karena kami ada batas-batas dengan mereka. Seolah kami ini mengusir mereka. Ada omongan yang tidak pantas. Kami hanya diam saja. Ini akan dicarikan solusi terbaiknya seperti apa. Kami kumpulkan data-data. Pada 16 kami akan bertemu dengan Wakil Bupati Gunung Mas, Arton. Kami akan beritahukan permasalahan ini.”

Ironis, kala warga Tumbang Bahanei, berupaya seskuat tenaga menjaga hutan, warga dari desa tetangga malah membabat hutan mereka. Kini, masalah ini akan dibahas dalam pertemuan antar desa. Foto: Indra Nugraha

Ironis, kala warga Tumbang Bahanei, berupaya seskuat tenaga menjaga hutan, warga dari desa tetangga malah membabat hutan mereka. Kini, masalah ini akan dibahas dalam pertemuan antar desa. Foto: Indra Nugraha

Pertemuan dengan desa-desa tetangga hingga saat ini masih belum terjadi. Masyarakat adat Tumbang Bahanei menunggu inisiatif Camat Rungan Barat membuat pertemuan dengan desa-desa tetangga.  “Tapi bukan dari desa tetangga saja. Ada komunitas lain yang masuk ke hutan pertahanan adat Tumbang Bahanei.”

Pengurus komunitas adat berniat menyebarkan buku hukum adat ke desa-desa tetangga. Namun, mereka masih menunggu pengesahan di tingkat kabupaten atau provinsi.

Dia mengatakan, pencemaran lingkungan akibat pertambangan emas  terjadi. Air sungai keruh dan tercemar. Dagik  mengatakan, yang menambang dari datang dari wilayah Kahayan, Barito Selatan dan lain-lain.

Ironis. Di saat warga Tumbang Bahanei berusaha sekuat tenaga menjaga hutan mereka tetapi warga dari luar membuka  hutan pertahanan adat. Ditambah lagi ancaman perusahaan HPH, PT East Point.

Gerge Gio I Nanyan, kepala Desa Tumbang Bahanei mengatakan, demi melestarikan hutan adat, tawaran investor berkali-kali ditolak. “Saya sudah empat kali didatangi perusahaan HPH. Namanya PT East Point. Kami sepakat menolak.”

Selain kepala desa, Gio juga merupakan bendahara komunitas adat. Beberapa waktu lalu, katanya, perusahaan datang meminta tandatangan persetujuan pembukaan lahan di hutan adat. Saat itu, Gio mempersilakan dua orang perusahaan masuk ke dalam rumah. Mereka menjelaskan peta wilayah yang akan dikelola. Terlihat, wilayah adat Tumbang Bahanei masuk ke sana.

East Point ke wilayah adat Tumbang Bahanei atas  persetujuan kecamatan. Kepala kecamatan menyetujui pembukaan lahan perusahaan untuk HPH. Pembukaan lahan belum terjadi tetapi membuat masyarakat Tumbang Bahanei khawatir.

SK penuntukan East Point keluar tanggal 17 Mei 2010 dengan nomor SK. 370/menhut-II/2010. Luas wilayah  tertera dalam SK mencapai 50.665 hektar. Jika di-overlay, peta itu termasuk wilayah adat Tumbang Bahanei. Tak ada yang tersisa jika East Point benar-benar beroperasi di wilayah itu. Inilah yang membuat warga khawatir dan segera pemetaan wilayah adat.

“Saat itu juga saya suruh istri untuk memanggil seluruh warga. Sementara saya tetap ngobrol dengan East Point.”

Ancaman lain bagi Hutan Tumbang Bahanei tamang emas yang dilakukan oleh orang-orang yang datang dari luar desa mereka. Warga Bahanei terus berpatroli  mengurangi kerusakan hutan dan pencemaran air dari tambang emas ini. Foto: Indra Nugraha

Ancaman lain bagi hutan Tumbang Bahanei yakni tambang emas  oleh orang-orang yang datang dari luar desa mereka. Warga Bahanei terus berpatroli mengurangi kerusakan hutan dan pencemaran air dari tambang emas ini. Foto: Indra Nugraha

Malam itu suasana di rumah Gio riuh. Penuh oleh warga. Permintaan perusahaan untuk tandatangan persetujuan pembukaan lahan, tak pernah didapat. Warga juga membuat kesepakatan untuk tidak menyetujui apapun kegiatan yang berhubungan dengan perusahaan.

“Saya katakan kepada perusahaan, untuk meminta tandatangan saya harus meminta persetujuan dari masyarakat di sini. Karena masyarakat menolak, saya tak bisa memberikan tandatangan,” katanya.

Menurut Dagik, patroli akan terus dilakukan. “Kami tak akan henti-hentinya untuk mengusir mereka. Mereka tidak ada izin. Mereka sudah tahu ada pemetaan. Mereka bilang biarkan saja melakukan pemetaaan, nanti kami akan babat hutannya.”

Pemetaan wilayah adat sudah mereka kerjakan. Kesiadi, ketua Barisan Pemuda Adat Nusantara Kalteng  mengatakan, selama pemerintah belum mengeluarkan perda pengakuan masyarakat adat Tumbang Bahanei maka permasalahan masyarakat adat tak akan pernah selesai. “Kami mendesak pemerintah daerah segera mengeluarkan perda. Setidaknya pemerintah kabupaten segera mengeluarkan SK agar masyarakat punya kekuatan hukum mengikat,” katanya.

AMAN berusaha mendukung warga Tumbang Bahanei mendapatkan pengakuan dari pemerintah. Saat inui, terkendala Bupati Gunung Mas Hambit Bintih tersangkut KPK sambil menanti pergantian kepemimpinan baru.

Persoalan lain, BPN Kalteng belum memahami putusan MK 35. Mereka masih menggunakan pemahaman lama, syarat pengakuan wilayah harus dengan sertifikat dan lain-lain. Meski begitu, tanggapan pemerintah sudah menunjukkan hal positif.

Hari makin gelap. Wilayah adat Tumbang Bahanei tidak teraliri listrik. Hanya beberapa rumah menggunakan genset. Itupun hanya dinyalakan malam hari.  Satu genset memerlukan premium lima liter per hari. Harga bensin Rp15.000 per liter. Warga sangat memerlukan bantuan pemerintah guna  pemasangan sumber energi listrik seperti solar panel, microhydro atau yang lain.

“Malam ini kami akan mengadakan basarah untuk persiapan besok upacara Punduk Sahur,” kata Dunal.

Genset dinyalakan. Warga berkumpul di rumah ketua adat. Membacakan puja-puji. Meminta roh leluhur untuk melancarkan acara besar yang akan digelar besok hari.

Di wilayah adat Tumbang Bahanei ini, hutan terbagi dalam beberapa bagian, ada hutan keramat yang tak boleh disentuh, hutan cadangan, hutan tempat berladang sampai hutan wisata. Foto: Indra Nugraha

Di wilayah adat Tumbang Bahanei ini, hutan terbagi dalam beberapa bagian, ada hutan keramat yang tak boleh disentuh, hutan cadangan, hutan tempat berladang sampai hutan wisata. Foto: Indra Nugraha

Keesokan hari, saya memasuki hutan keramat bersama Bambang dan Hendro, warga Tumbang Bahanei. Busung, deputi AMAN Gunung Mas juga menemani. Perjalanan menuju hutan keramat menggunakan sepeda motor sekitar 20 menit. Melewati tanjakan terjal. Sepanjang mata memandang, hutan karet kelola masyarakat yang rimbun berderet di hadapan. Tak lama motor parkir dan lanjut berjalan kaki.

Bambang menjelaskan soal sistem membuka lahan. Warga dibatasi membuka lahan tak boleh lebih dari dua hektar per keluarga. Itu pun tak bisa sembarangan. Jika warga ingin membuka lahan, ada ritual adat yang harus dijalankan.

“Hutan karet ini dulu ini bekas ladang warga. Karena di sini ladang berpindah-pindah. Setelah berladang selesai, mereka tanami pohon karet hingga tumbuh besar seperti ini. Warga boleh membuka lahan kembali di hutan karet ini, jika pohon karet sudah tua,” kata Bambang.

Karet tumbuh bersama pohon-pohon lain. Pohon besar dibiarkan tumbuh bersama karet. Begitu juga rotan, buah-buahan. Semua tumbuh subur di dalam hutan ini.

Kami menembus hutan karet.  Pohon-pohon besar menjulang tinggi sesekali ditemui. Kicauan burung dan suara binatang lain menemani perjalanan. Sekitar satu jam berjalan, akhirnya tiba di pondok yang dikeramatkan warga.

“Di waktu-waktu tertentu warga datang ke sini mengantarkan sesaji. Hutan ini dikeramatkan. Tak ada yang berani mengganggu,” kata Bambang.

Hutan pertahanan adat mereka menyimpan banyak keragamanhayati. Hasil penelitian AMAN Kalteng menunjukkan, di dalam hutan ini masih terdapat banyak satwa liar. Ada 11 jenis tanaman obat, 15 jenis kayu, 174 jenis pohon, 56 jenis ikan sungai, 31 jenis umbut-umbutan, 27 jenis jamur bisa dimakan, lima jamur  tak bisa dimakan, 58 jenis burung dan lain-lain.

“Di sini masih banyak kijang, beruang dan owa. Kalau berjalan terus ke dalam pohon-pohon besar. Warga masuk ke dalam hutan hanya untuk berburu. Warga tak boleh membuka lahan di hutan pertahanan adat.”

Pemukinan warga adar Tumbang Bahanei. Kawasan adat ini sudah dilakukan pemetaan partisipatif, bahkan mereka sudah membuat aturan adat secara tertulis. Mereka menanti pemerintah segera memberikan pengakuan wilayah adat lewat perda atau setidaknya melalui keputusan bupati. Foto: Indra Nugraha

Pemukiman warga adat Tumbang Bahanei. Kawasan adat ini sudah dilakukan pemetaan partisipatif, bahkan mereka sudah membuat aturan adat secara tertulis. Mereka menanti pemerintah segera memberikan pengakuan wilayah adat lewat perda atau setidaknya melalui keputusan bupati. Foto: Indra Nugraha


Hutan Adat Tumbang Bahanei, Terjaga di Tengah Keterancaman was first posted on September 10, 2014 at 2:05 pm.

Inkuiri Nasional Sumatera: dari Kasus Pandumaan-Sipituhuta hingga Talang Mamak

$
0
0
Konflik masyarakat adat Pandumaan-Sipitihuta belum selesai. Hutan adat, yang ditanami kemenyan, kini berubah menjadi kebun ekaliptus. Pemerintah lewat Kementerian Kehutanan, seakan enggan mengakui wilayah adat masyarakat. Foto: Ayat S Karokaro

Konflik masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta belum selesai. Hutan adat, yang ditanami kemenyan, kini berubah menjadi kebun ekaliptus. Pemerintah lewat Kementerian Kehutanan, seakan enggan mengakui wilayah adat masyarakat. Foto: Ayat S Karokaro

Usai di Sulawesi, Komnas HAM melanjutkan Inkuiri Nasional hak masyarakat adat ke region Sumatera. Ia dipusatkan di Kantor Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara,  pada 10-11 September 2014. 

Dalam inkuiri kali ini, Komnas HAM, melakukan ‘sidang terbuka’ enam kasus konflik antara masyarakat adat dengan pemerintah dan pengusaha.  Inkuiri  pertama, konflik masyarakat Pandumaan-Sipituhuta dengan  PT Toba Pulp Lestari (TPL), di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumut.

Lalu kasus masyarakat adat Suku Semende Dusun Lame Banding Agung, Bengkulu, yang berkonflik dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Lalu, sengketa  antara PT AP dengan masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) 113, Desa Bungku, Jambi, dan terkucilnya suku adat Talang Mamak, Riau. Terakhi,r konflik tenurial, dan pengusiran masyarakat adat Marga Belimbing, Dusun Pengekahan Pekon Way Haru, Kecamatan Bengkunat Belimbing, Kabupaten Pesisir Barat, Lampung.

Saurlin Siagian, tutor Inkuiri Nasional region Sumatera mengatakan, keenam kasus ini dianggap paling mencuat dalam lima tahun terakhir. Kasus-kasus ini juga mempunyai peluang tanah adat kembali ke masyarakat adat. Sebab, masih ada komunitas adat dengan ha tercederai.

“Terdapat beberapa kasus sebenarnya layak, karena keterbatasan sumberdaya dan ketidakmampuan menjangkau wilayah jadi kami harus hapus, seperti kasus Pepulauan Mentawai, ” katanya di Medan, Rabu (10/9/14).

Saurli mengomentari kasus Pandumaan-Sipituhuta. Menurut dia, kasus ini  mencerminkan bagaimana hak-hak masyarakat adat diabaikan negara.  Sistem pengaturan hutan oleh masyarakat adat yang berlangsung ratusan tahun,  tetapi tidak masuk kamus negara dan pengusaha.

Penanda hutan versi masyarakat adat diabaikan, status hutan negara menjadi alas bagi Kementerian Kehutanan membuat sistem kepengaturan baru. Lalu, wilayah diserahkan kepada pengusaha melalu izin. Padahal wilayah itu, sejak ratusan tahun didiami, masyarakat adat hidup damai berdampingan dengan hutan.

Penanda adat bahwa wilayah hutan dan tanah masuk ulayat lewat berbagai jenis tumbuhan seperti rotan, jalan setapak, tumpukan bukit, dan sungai. Penanda turun-menurun ini, ternyata tidak diakui negara hanya karena tidak punya “surat” versi negara.

Rumah warga adat Semende Banding Agung, yang dibakar Polhut, kala operasi gabungan TNBBS, di Bengkuku, Senin (23/12/13). Foto: AMAN Bengkulu

Benturan klaim antara pengusaha plus negara versus masyarakat adat inilah, katanya, menimbulkan pelanggaran HAM, penangkapan warga, kekerasan, penggeledahan rumah, hingga sumber penghidupan warga hilang.

“Itulah mengapa kasus Pandumaan-Sipituhuta diangkat, melibatkan berbagai pihak, termaksud perusahaan yang berkonflik, dan pemerintah yang memegang kebijakan.”

Menurut Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sumut, Harun Nuh, model inkuiri ini diharapkan bisa diterapkan lebih luas di Indonesia. Dengan duduk bersama antara masyarakat adat dengan perusahaan  dan pemerintah serta pihak-pihak lain.

Dia berharap, pemerintah mengakui masyarakat adat dan lebih menghargai soal hukum mereka serta tak mengggunakan cara-cara kekerasan buat membungkam perjuangan memperolek hak.

Berdasarkan cacatan AMAN Sumut tertinggi konflik antara masyarakat adat dengan pemodal yang menggunakan jasa preman dan oknum aparat, seperti di Kabupaten Langkat dan Deli Serdang dan Porsea, serta konflik masyarakat adat Batak di Pematang Siantar. Ada juga, masyarakat Simalungun dengan TPL dan sejumlah perusahaan lain. Disusul Mandailing Natal, dimana masyarakat adat menolak hutan mereka dirambah tambang Sorikmas Maining.

“Ada lebih 50 kasus antara masyarakat adat dengan pemodal dan pemerintah. Ada lebih 100 kasus perebutan lahan adat. Ini sudah disampaikan kepada tim Komnas HAM.”

Dia menegaskan, banyak pelanggaran HAM menimpa masyarakat adat di sini, antara lain,  intimidasi menggunakan polisi  dan oknum penegak hukum lain. Lalu, menggunakan jasa preman untuk membakar rumah, dan tanaman dirusak. Jika kompromi dan damai, masyarakat adat kembali ke lahan, dan pemodal terus beraksi.

Sedangkan Suryati Simanjuntak, dari Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), juga pendamping warga mengatakan, sudah lima tahun warga Pandumaan-Sipituhuta berjuang mempertahankan Tombak Haminjon.

Dia menyatakan, pemilik modal selalu menggunakan berbagai pendekatan dan strategi dalam melemahkan perjuangan masyarakat. Penggunaan aparat keamanan, menjadi salah satu strategi menakut-nakuti, mengintimidasi, dan melemahkan perjuangan. Juga elit-elit tertentu, misal, menggunakan isu putra daerah untuk mendekati warga. Lalu, menjadikan pengusaha lokal sebagai kontraktor, mengangkat tokoh masyarakat menjadi humas. , mendekati tokoh agama dengan memberikan sumbangan untuk pembangunan rumah-rumah ibadah.

“Masyarakat adat harus tetap kritis dan curiga terhadap pihak-pihak yang tiba-tiba muncul ke desa, terlebih menawarkan berbagai bantuan dan janji-janji, ” katanya.

Dia juga menyimpulkan, pemilik modal selalu berlindung di balik izin. Pada kasus-kasus perampasan, biasa perempuan paling rentan menjadi korban kekerasan aparat sampai beban ekonomi.

 

Rumah-rumah warga SAD di Pinang Tinggi yang digusur. Foto: Feri Irawan


Inkuiri Nasional Sumatera: dari Kasus Pandumaan-Sipituhuta hingga Talang Mamak was first posted on September 10, 2014 at 8:52 pm.

Luberan Lumpur Lapindo Kembali Mengancam Permukiman Warga

$
0
0
Sulastri warga Gempolsari menunjukkan halaman rumahnya yang tergenang luberan lumpur Lapindo. Foto : Petrus Riski

Sulastri warga Gempolsari menunjukkan halaman rumahnya yang tergenang luberan lumpur Lapindo. Foto : Petrus Riski

Belasan rumah warga di wilayah Desa Gempolsari, Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, terkena luberan lumpur panas Lapindo Brantas, melalui bekas jobolan tanggul kolam penampungan lumpur di titik 68 sisi utara.

Halaman lima rumah telah terendam lumpur, dengan ketinggian sekitar 5 cm. Hal itu menimbulkan kepanikan dan kekhawatiran warga yang masih tinggal di rumahnya, karena wilayah itu rawan terjadi luberan lumpur setelah tanggul di titik 68 jebol pada 2011 lalu.

“(Luberan lumpur) Sangat mengganggu sekali mas, warga takut dan panik karena lumpurnya panas. Jam enam pagi tadi lumpur meluber dari tanggul, dalam kurun waktu setengah jam itu sudah meluas lumpurnya. Yang pertama kena, itu yang sampai masuk halaman rumah ada lima rumah, terus yang lainnya itu yang bagian belakang atau pekarangan belakang rumah juga terendam,” tutur Sulastri, warga RT 10 RW 2  Desa Gempolsari, Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo, saat ditemui Mongabay-Indonesia di rumahnya, Rabu (10/9).

Sulastri merupakan satu dari sekian banyak warga Desa Gempolsari yang belum pindah dari wilayah yang rawan terjadinya luberan lumpur, karena hingga kini belum mendapat pembayaran ganti rugi serupiah pun dari pihak PT. Minarak Lapindo Jaya, selaku juru bayar PT. Lapindo Brantas. Sulastri mengaku tidak dapat berbuat banyak, termasuk pindah dari desanya, akibat belum jelasnya persoalan ganti rugi.

“Ya sangat memprihatinkan, kita mau pindah ya juga pindah kemana, saya ini sama sekali 20 persen belum dibayar, 80 persen juga belum,” keluh Sulastri yang telah sepakat menerima proses jual beli dari PT. Minarak Lapindo Jaya sejak 2012 lalu.

Beberapa rumah warga di wilayah Desa Gemposari yang terendam luberan lumpur Lapindo. Foto : Petrus Riski

Beberapa rumah warga di wilayah Desa Gemposari yang terendam luberan lumpur Lapindo. Foto : Petrus Riski

Warga Gempolsari lanjut Sulastri, mendesak segera dilunasinya pembayaran ganti rugi oleh PT. Minarak Lapindo Jaya, agar dirinya segera dapat pindah dari wilayah yang rawan bencana itu.

“Kita bukan butuh janji tapi kepastian, kapan kita dibayar kita akan langsung pindah. Kami tidak mempersoalkan pengerjaan tanggul, tapi bayar dulu kami,” kata Sulastri.

Selain dihantui ketakutan lumpur meluber sewaktu-waktu, Sulastri bersama warga lainnya juga harus hidup dengan kesulitan ekonomi setelah pabrik tempat mereka kerja ikut hilang terendam lumpur. Kebutuhan sehari-hari yang semakin meningkat, tidak diikuti perolehan pendapatan akibat belum jelasnya masa pembayaran ganti rugi.

Untuk air bersih, Sulastri harus membeli dari penjual air keliling untuk memenhi kebutuhan minum dan memasak. Sedangkan untuk mandi dan mencuci, dirinya masih menggunakan air sumur meski telah tercemar rembesan air lumpur.

“Kalau air kita harus beli, padahal ekonomi kita semakin bertambah kebutuhannya setiap hari. Air sumur sudah tidak bisa dipakai, air sungai juga bau karena air lumpur juga seringkali dialirkan ke sungai. Jadi air sungai tidak bisa dipakai apa-apa. Kalau dari awal ya kami sudah banyak mengalami kerugian, tapi pemerintah maupun Lapindo sepertinya lepas tanggungjawab, kita hanya diberi janji-janji saja oleh Lapindo,” ujar Sulastri.

Rekahan tanggul sisi utara di titik 68 menjadi jalan keluarnya lumpur panas Lapindo yang meluber. Foto : Petrus Riski

Rekahan tanggul sisi utara di titik 68 menjadi jalan keluarnya lumpur panas Lapindo yang meluber. Foto : Petrus Riski

Sementara itu Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Dwinanto Hesti Prasetyo mengutarakan, luberan lumpur yang terjadi hari Rabu (10/9) pagi, disebabkan meningkatnya volume semburan lumpur yang membuat aliran lumpur ke arah utara mengalir lebih deras.

“Sebetulnya lumpur yang ke arah bekas jebolan ini sudah lama berlangsung, malah sudah beberapa kali berlangsung. Hanya kali ini mungkin semburannya cukup besar, dan aliran yang besar ini mengalir ke utara, sehingga menyebabkan luberan di utaranya titik 68 di Desa Gempolsari ini,” ucap Dwinanto, yang ditemui dilokasi tanggul lumpur titik 68.

BPLS akan melakukakan tindakan darurat berupa pengalihan aliran lumpur ke arah timur, agar warga yang berada di sebelah utara tanggul tidak terancam luberan lumpur.

“Prinsipnya kami akan mengalirkan lumpur ini ke timur, ditampung di kolam yang ada sehingga tidak sampai ke utara,” tukas Dwinanto.

Aliran lumpur ke arah utara yang akan dibendung dan dialihkan ke timur dengan peralatan sederhana berupa bambu sesek. Foto : Petrus Riski

Aliran lumpur ke arah utara yang akan dibendung dan dialihkan ke timur dengan peralatan sederhana berupa bambu sesek. Foto : Petrus Riski

Penanganan permanen dengan membuat tanggul baru di sisi luar bagian utara, atau disebut tanggul Kedungbendo tidak dapat dilakukan, karena mendapat penolakan dari warga korban lumpur Lapindo yang lain, yang juga belum menerima pelunasan ganti rugi. Pengerjaan tanggul yang rawan jebol di titik 68 lanjut Dwinanto, akan menggunakan peralatan sederhana, berupa anyaman bambu untuk membendung dan mengalihkan aliran lumpur.

“Pengerjaan dilakukan secara manual, karena tidak bisa mengerahkan alat berat di titik ini. Kalau berada di atas lumpur ini, kami khawatir alat berat bisa tenggelam, sehingga penanganan masih darurat dan manual,” imbuh Dwinanto.

Solusi permanen berupa pembangunan tanggul baru merupakan syarat mutlak, untuk menjamin keamanan tanggul lumpur disisi utara. BPLS sebenarnya telah merencanakan pembangunan tanggul pada 2012 dan 2013, namun gagal dilaksanakan karena dihalangi oleh warga korban lumpur yang menolak pembangunan tanggul. Pada Agustus 2014 ini BPLS juga gagal mengawali pengerjaan fisik tanggul, karena dihalangi oleh warga yang menolak.

“Harapannya ya AJB (akta jual beli) dapat segera direlaisasikan oleh pihak Lapindo, baru kami akan bisa membangun tanggul permanen,” tandas Dwinanto yang memastikan kondisi tanggul secara keseluruhan masih aman.

Aliran lumpur dari tanggul titik 68 mengarah ke utara wilayah Desa Gempolsari, Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo. Foto : Petrus Riski

Aliran lumpur dari tanggul titik 68 mengarah ke utara wilayah Desa Gempolsari, Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo. Foto : Petrus Riski

Pemerintah Kabupaten Sidoarjo melalui Kepala Seksi Sumber Daya Mineral, Dinas Koperindag dan ESDM, Agus Darsono mengatakan, pengawasan proses perbaikan tanggul akan terus dilakukan, sambil melakukan pendekatan dan mediasi terhadap warga agar bisa mengantisipasi bila luberan kembali terjadi.

“Kita pantau terus supaya ini segera tertangani. Ya tadi sudah kita lakukan mediator terhadap warga untuk hati-hati, bahwa dengan kejadian ini kalau ada apa-apa itu bisa segera ditangani,” terang Agus.

Telah lebih dari 8 tahun, terjadinya banjir lumpur panas Sidoarjo akibat peristiwa semburan lumpur panas di lokasi pengeboran Lapindo Brantas Inc. di Dusun Balongnongo Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Indonesia, sejak tanggal 29 Mei 2006.

Lokasi semburan lumpur ini berada di Porong, yakni kecamatan di bagian selatan Kabupaten Sidoarjo, sekitar 12 km sebelah selatan kota Sidoarjo. Kecamatan ini berbatasan dengan Kecamatan Gempol Kabupaten Pasuruan di sebelah selatan.

Semburan lumpur panas menyebabkan tergenangnya kawasan permukiman, pertanian, dan perindustrian di tiga kecamatan di sekitarnya, serta memengaruhi aktivitas perekonomian di Jawa Timur.

 

 


Luberan Lumpur Lapindo Kembali Mengancam Permukiman Warga was first posted on September 11, 2014 at 2:48 am.

Luas Hutan Aceh Bakal Berkurang 53.000 Hektar

$
0
0
Ribuan hektar hutan lindung di 9 kecamatan di Kabupaten Bener Meriah Propinsi  Aceh dibabat untuk keperluan perkebunan. Foto : Sahrun

Ribuan hektar hutan lindung di 9 kecamatan di Kabupaten Bener Meriah Propinsi Aceh dibabat untuk keperluan perkebunan. Foto : Sahrun

 

Pemerintah Provinsi Naggroe Aceh Darussalam dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) mengusulkan pengurangan luas hutan Aceh dari 3,405 juta hektar menjadi 3,352 juta hektar. Gubernur Aceh Zaini Abdullah menyebutkan, usulan pengurangan 53.000 hektar hutan tersebut, mendapat respon positif dari Komisi IV DPR RI.

Zaini Abdullah mengatakan, Pemerintah Aceh Bersama beberapa pimpinan Kabupaten/Kota di Aceh, pada Senin (8/9) telah bertemu dengan Komisi IV DPR RI di Jakarta. Pertemuan tersebut dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi IV DPR RI yang juga Ketua Fraksi Partai Golkar, Firman Subagyo.

“Pemerintah Aceh meminta agar RTRW Aceh segera disahkan mendapat respon positif atau disetujui oleh Komisi IV DPR RI, usulan perubahan kawasan hutan dalam revisi RTRW Aceh yang kami presentasikan pada Komisi IV DPR RI juga membuahkan hasil yang sangat menggembirakan,” kata Zaini.

Usulan perubahan kawasan hutan Aceh yang berdampak penting dan cakupan luas serta nilai strategis (DPCLS) seluas 37.640 hektar juga mendapat persetujuan DPR RI. “Luas kawasan hutan Aceh daratan sebelum usulan perubahan adalah  3,405 juta hektar atau 60.01 persen dan setelah usulan perubahan, luasnya menjadi 3,352 juta hektar atau 59,06 persen, atau berkurang 0,95 persen,” jelas gubernur.

Zaini Abdullah yang juga Mantan Menteri Luar Negeri Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu juga mengatakan, perubahan status beberapa kawasan hutan juga sudah mendapat respon positif dari Menteri Kehutanan. Perubahan tersebut meliputi, perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan seluas 80.256 hektar, perubahan fungsi kawasan hutan 130,542 hektar, dan penunjukan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan seluas 26.461 hektar.

“Perubahan peruntukan kawasan hutan yang disetujui Menteri tersebut adalah seluas 80.256 hektar, terdiri dari yang tidak termasuk berdampak penting dan cakupan luas dan bernilai strategis adalah 42.616 hektar,” lanjutnya.

Sedangkan kawasan yang berdampak penting dan cakupan luas serta bernilai strategis seluas 37.640 hektar harus mendapat persetujuan DPR RI.

“Wakil Ketua Komisi IV DPR RI dalam pertemuan tersebut juga mengatakan, anggota perlemen dari Komisi IV menyetujui hal tersebut, nanti akan diputuskan dalam rapat kerja dengan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan,” ujar Zaini.

Sementara itu, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh menolak rencana pengurangan luas hutan Aceh yang diusulkan oleh Pemerintah Aceh, karena dinilai sangat banyak kepentingan khususnya perusahaan perkebunan dan pertambangan dalam rencana perubahan tersebut.

Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur, menyebutkan dalam RTRW Aceh terjadi usulan pengurangan luas hutan Aceh, sekitar 200 ribu hektar.

“Perubahaan alih fungsi hutan, tidak hanya merusak hutan, tapi juga mengancam kehidupan berbagai jenis satwa yang dilindungi seperti gajah dan harimau, serta satwa lainnya yang saat ini semakin terancam punah di Aceh,” sebut Nur.

Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA) menyebutkan, RTRW Aceh merupakan blue print pembangunan daerah yang masih membutuhkan persetujuan dari Menteri Dalam Negeri.  RTRW Aceh juga akan mengatur tentang penggunaan ruang kehutanan yang dengan kondisi sekarang banyak mengalami deforestasi dan degradasi karena kegiatan pertambangan, illegal logging dan konversi.

“Perubahan kawasan hutan Aceh melalui SK Menhut No. 941 tahun 2013 untuk mengatur tata ruang kehutanan Aceh, diantaranya merubah, perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi kawasan bukan hutan seluas 42.161 hektar, perubahan fungsi kawasan hutan seluas 130.542 hektar, dan perubahan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan seluas 24.461 hektar,” sebut Jurubicara KPHA, Efendi Isma.

Efendi mengatakan, untuk perubahan kawasan hutan menjadi kawasan bukan hutan seluas 37.640 hektar memerlukan persetujuan dari DPR RI, hal ini sesuai dengan PP No. 10 tahun 2010 tentang tata cara perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, jo PP No. 60 tahun 2012 tentang tata cara perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan.

“Usulan perubahan kawasan yang berdampak penting dan cakupan luas serta bernilai strategis tersebut tersebar di beberapa kabupaten yang terjadi pada kawasan hutan lindung. Semestinya perubahan ini memerlukan penelitian lebih lanjut karena bisa menimbulkan banyak hal, salah satunya adalah perubahan ini dapat mengaburkan status hukum yang sedang berjalan ataupun proses hukum yang terjadi di atas kawasan yang dirubah peruntukannya. KPHA menemukan beberapa polygon perubahan yang kawasannya sedang terjadi proses hukum karena pelanggaran penggunaan kawasan,” ujar Efendi.

Akan menjadi preseden yang sangat buruk bagi DPR RI apabila perubahan peruntukan ini disetujui tanpa melihat kondisi aktual di lapangan, karena pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dapat memanfaatkan momen penyusunan tata ruang kehutanan untuk keuntungan pribadi dan merusak hutan.

“Usulan perubahan kawasan hutan lain yang terjadi di beberapa kabupaten di Aceh juga masih sarat dengan permainan, jumlah luas kawasan seperti terjadi di Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Pidie. KPHA sudah melakukan overlay peta dari SK Menhut 170 tahun 2000 dengan peta SK Menhut 941 tahun 2013,” sambungnya.

Berdasarkan hasil analisa yang dilakukan tim GIS KPHA, sebelum DPR RI memberikan persetujuan atas perubahan peruntukan dan perubahan fungsi hutan Aceh, harus melakukan cek dan ricek di lapangan dan melakukan pertemuan dengan stakeholder di daerah dan di provinsi Aceh, untuk mendapat masukan-masukan atas perubahan kawasan dimaksud.

“Apabila DPR RI juga tidak melakukan cross cek di lapangan maka tata ruang Aceh akan semakin amburadul. Ketika eksekutif dan legislatif sudah tidak memperhatikan aspirasi rakyat, maka akan menghasilkan pembangunan yang timpang yang hanya memperhatikan keinginan para elit dan tidak memperhatikan kebutuhan rakyat,” ungkap Efendi.


Luas Hutan Aceh Bakal Berkurang 53.000 Hektar was first posted on September 11, 2014 at 3:03 am.
Viewing all 9435 articles
Browse latest View live