Quantcast
Channel: Mongabay.co.id
Viewing all 9679 articles
Browse latest View live

22 IUP Pertambangan Dicabut, Walhi Sumsel Masih Ragukan Keseriusan Pemerintah Muba

$
0
0

Kolam batubara. Pemerintah Kabupaten Muba dituntut keseriusannya untuk mengatasi persoalan pertambangan. Foto: Walhi Sumatera Selatan

Meskipun Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin (Muba), Sumatera Selatan, telah mencabut 22 izin usaha pertambangan (IUP), namun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel, masih meragukan keseriusan kabupaten yang kaya dengan minerba tersebut mengatasi persoalan pertambangan.

“Jika hal tersebut memang benar, kita akan berikan apresiasi. Namun, perlu dilihat bagaimana pelaksanaannya di lapangan. Apakah perusahaan yang IUP-nya dicabut benar-benar berhenti beroperasi? Bagaimana pengawasannya?” ujar Hadi Jatmiko, Direktur Walhi Sumsel, Selasa (16/12/2014).

Pernyataan ini menanggapi keterangan Zulfakar, Kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Kabupaten Muba, kepada wartawan di Sekayu, Jumat (12/12/2014), yang menyatakan sebanyak 22 IUP pertambangan di Muba tahun ini dicabut. Sayang ke-22 IUP yang dicabut tersebut tidak disebutkan nama perusahannya.

Menurut Hadi, seharusnya pemerintah mengumumkan perusahaan mana saja yang IUP-nya dicabut. Sehingga, pengawasan terhadap aktivitas perusahaan pertambangan pasca-pengumuman akan lebih transparan dan dapat diawasi publik.

“Ini juga untuk mendukung gerakan keterbukaan informasi publik sesuai UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Sebetulnya, kalau lebih transparan, pemerintah justru akan diuntungkan karena semua pihak akan membantu dalam pengawasan,” ujarnya.

Hadi meminta agar penindakan dan proses hukum terhadap perusahaan pertambangan yang d IUP-nya telah dicabut dilakukan. Menurutnya, perusahaan yang dinyatakan telah melakukan pelanggaran perizinan, tak menyelesaikan kewajiban keuangannya kepada negara, serta lokasinya masuk dalam kawasan hutan lindung, harus dipidana dan dikenai denda atas perbuatannya. Karena, kegiatan tersebut merusak lingkungan dan merugikan keuangan negara.

Dalam situs resminya, www.mubakab.go.id, Pemkab Muba menginformasikan sektor pertambangan dan energi merupakan penyumbang terbesar produk domestik regional bruto (PDRB) Kabupaten Muba, yakni sebesar 66, 86 persen. Penelitian Distamben menyatakan ada 2.374.508 MSTB minyak yang belum diproduksi, dan 16.209 TSCF batubara yang belum diproduksi. Sedangkan deposit batubara 3,5 miliar ton dan coal bed methane (CBM) sebesar 20 TCF.

Tidak mampu beroperasi

Sebelumnya, seperti yang dikutip dari Sriwijaya Post, Zulfakar menjelaskan ada 22 IUP pertambangan yang tidak dilanjutkan lagi tahun ini karena dua faktor. Pertama, izin operasionalnya berakhir dan karena tidak mampu memenuhi kewajiban yang telah ditentukan. Misalnya kewajiban mengenai keuangan.

Dijelaskan Zulfakar, ketidakmampuan perusahaan pertambangan membayar pajak dan royalti kemungkinan karena harga batubara tidak mengalami peningkatan sementara biaya operasional kian tinggi. Akibatnya, banyak perusahaan batubara, terutama yang berskala kecil mengurangi operasi.

Kedua, berdasarkan koordinasi dan supervisi pertambangan dan minerba oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap 12 propinsi se-Indonesia pada 28-30 April 2014 lalu, pemerintah Muba, wakil dari Provinsi Sumsel diminta untuk benar-benar memperhatikan pengawasan IUP. Ini dikarenakan, masih banyaknya perusahaan pertambangan yang belum berstatus Clean and Clear (CnC).

Sebagai informasi, saat itu juru bicara KPK Johan Budi mengungkapkan persoalan pertambangan di Sumsel, bukan hanya masih banyaknya perusahaan tambang berstatus non CnC, namun juga masih banyaknya perusahaan pemegang IUP yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Di Sumsel, KPK menemukan permasalahan kurang bayar penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari iuran tetap sebanyak Rp 9 miliar dan dari royalti lebih dari 15 juta dollar Amerika.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio


22 IUP Pertambangan Dicabut, Walhi Sumsel Masih Ragukan Keseriusan Pemerintah Muba was first posted on December 17, 2014 at 3:06 am.

UGM : 60 Persen Penduduk Indonesia Tinggal Di Daerah Rawan Longsor

$
0
0

Sekitar 60 persen penduduk Indonesia hidup dan tinggal di daerah lereng dataran tinggi yang rawan terhadap risiko bencana tanah longsor. Dari persentase jumlah penduduk itu, mayoritas tinggal di daerah pedesaan yang memiliki tingkat pendidikan menengah ke bawah, kata Dosen Teknik Geologi, Universitas Gajah Mada, Dr. Wahyu Wilopo, S.T., M.Eng pada Senin (15/12/ 2014).

Oleh karena itu, pemerintah pusat dan daerah harus segera meninjau ulang pengembangan sistem tata guna lahan yang dianggap belum tepat terutama untuk zona daerah-daerah rawan longsor dengan membangun sistem drainase yang baik.

“95 persen longsor terjadi karena drainasenya tidak baik yang dipicu curah hujan yang lebat,” kata Wahyu saat menyampaikan hasil laporan investigasi bencana tanah longsor di Banjarnegara, di Ruang Multimedia, Gedung Pusat UGM

peta zona kerentanan gerakan tanah di Jawa Tengah. Sumber : Dinas ESDM Jateng

peta zona kerentanan gerakan tanah di Jawa Tengah. Sumber : Dinas ESDM Jateng

Wahyu menerangkan identifikasi daerah rawan longsor dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai sumber data seperti sumber peta, citra satelit, data cuaca, dan data lokasi pemukiman penggunaan lahan untuk analisis yang terintegrasi.

Selain itu, Wahyu menegaskan upaya mitigasi struktural pada daerah prioritas rawan longsor dan upaya mitigasi nonstruktural seperti penguatan kelembagaan masyarakat, desa siaga, jalur evakuasi, dan sistem peringatan dini juga diperlukan. “Belum semua desa punya kelembagaan yang tanggap pada bencana,” katanya.

Untuk menghindari kejadian serupa terjadi di daerah yang potensi longsor, Wahyu menyebutkan ada beberapa tanda-tanda bahwa lahan atau lereng yang berisiko segera terjadi longsor dengan mengamati munculnya keretakan tanah, adanya amblesan, dan munculnya mata air keruh secara tiba-tiba.

“Tanda lainnya terdapat dinding struktur rumah yang retak dan posisi pohon yang tampak miring,” tambah Wahyu.

Hasil Investigasi Tim Geologi UGM

Berdasarkan hasil investigasi tim geologi yang dilaksanakan pada Sabtu dan Minggu, (13-14/12/2014), Wahyu menerangkan daerah kecamatan Karangkobar merupakan daerah yang rawan bencana longsor. Menurutnya ketinggian lereng di sekitar lokasi bencana mencapai 100 meter dengan daya jangkau longsoran mencapai jarak 500 meter.

Mengacu pada sumber peta geologi, daerah ini merupakan daerah sangat curam, miliki lapisan tanah yang tebal yang dipengaruhi oleh proses alterasi, pelapukan yang berasal dari dalam bumi. Struktur geologi yang kompleks dengan ditemukan banyak jalur patahan. Kendati demikian, pemicu terjadinya longsor diakui disebabkan penggunaan lahan yang  kurang aman.

peta kerentanan gerakan tanah di Banjarnegara. Sumber : Dinas ESDM Jateng

peta kerentanan gerakan tanah di Banjarnegara. Sumber : Dinas ESDM Jateng

Peneliti dan pembuat alat sistem peringatan dini bencana longsor Ir. Teuku Faisal Fathani M.T., Ph.D menuturkan, beberapa kecamatan di sekitar Banjarnegara merupakan kawasan yang pernah dipasang alat deteksi longsor buatan UGM pada 2007. Ia dan tim UGM bekerja sama dengan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal meneliti kerentanan longsor di Banjarnegara. Kecamatan Karangkobar masuk peringkat pertama daerah berisiko tinggi. Sayangnya alat tersebut batal dipasang di Karangkobar.

”Waktu itu kami siap pasang alat deteksi dini longsor di sana, tetapi ada persoalan sosial sehingga gagal terwujud. Andai saja alat itu jadi dipasang di sana, mungkin lain cerita,” kata Faisal.

Ia menambahkan, akhirnya alat tersebut  dipasang di Pagentan. Alat yang di pasang memberi peringatan dini lewat bunyi sirine berbunyi 4 jam sebelum kejadian sehingga tidak ada korban. Alat peringatan dini longsor buatan UGM ini, sekarang sudah dipasang di 12 provinsi di Indonesia. Bahkan telah dipakai di beberapa negara seperti Myanmar, Kroasia, dan Vietnam.

“Pemerintah perlu menerapkan teknologi sistem peringatan dini deteksi bencana longsor untuk menghindari kejadian serupa terulang setiap tahun. Bagaimanapun, alat deteksi dini hanyalah salah satu komponen dari upaya mitigasi, namun penguatan kelembagaan, mitigasi struktural dan sosial jauh lebih penting,” kata Faisal.

Korban 64 Tewas, Pengungsi 1.146 Jiwa

Upaya pencarian korban longsor di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, pada Selasa, (16/12/2014) terpaksa dihentikan sementara lebih awal karena hujan lebat turun sejak pukul 13.00 WIB. Hal ini dikarenakan kondisi tanah berlumpur dan membahayakan tim gabungan.

Aktivitas Tim SAR melakukan evakuasi korban longsor di Banjarnegara. Foto : Dok BASARNAS

Aktivitas Tim SAR melakukan evakuasi korban longsor di Banjarnegara. Foto : Dok BASARNAS

Hingga pukul 17.15, korban yang berhasil ditemukan adalah 64 orang tewas, 41 laki-laki dan 23 perempuan. Korban yang masih dalam pencarian 44 orang.

Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB mengatakan, hari ini tim gabungan berhasil menemukan 8 jenazah dan satu potongan kaki perempuan. Adapun korban berhasil ditemukan yakni Kalimah (Perempuan, 47 tahun), Giarti binti Partono (Perempuan, 27 tahun), Fatih bin Agus (Laki-laki, 2,5 tahun), Supiah binti Tursino (Perempuan, 22 tahun), Supono bin Marmo (Laki-laki, 27 tahun), Cindy Ariani Ayu Sukma (Perempuan, 12 tahun), dan  Mrs. X (Perempuan).

“Hingga saat ini dari 64 korban ada 6 korban yang belum dapat diindentifikasi,” kata Sutopo.

Ia menambahkan, dilihat dari identitas alamat korban tewas, dari 64 korban yang berhasil ditemukan 45 korban berasal dari Kecamatan Karangkobar, 13 korban dari luar Kecamatan  Karangkobar, dan 6 korban belum dapat diidentifikasi. Korban dari luar Kecamatan Karangkobar berasal dari Kecamatan Pejawaran, Banjarmangu, Wanayasa, Cirebon, Bawang, Susukan Cirebon, dan Purwodadi.

“Jumlah pengungsi saat ini ada 1.146 jiwa tersebar di 10 lokasi. Terjadi penurunan jumlah pengungsi dari hari sebelumnya yaitu 1.886 jiwa. Pengungsi yang kembali ke rumahnya berasal dari desa sekitar lokasi kejadian yang pada saat terjadi longsor mereka panik dan ikut mengungsi,” kata Sutopo.

Terkait dengan kebutuhan dasar pengungsi saat ini masih tercukupi. Kebutuhan mendesak adalah permakanan, pakaian, pakaian anak, susu anak-anak, selimut, obat-obatan, sanitasi, dan sanitasi. Kerugian dan kerusakan akibat longsor masih dihitung dan rencana relokasi masih disiapkan.

“Sedang dicarikan lahan yang aman dan lokasinya tidak jauh dari desa asal. Curah hujan diperkirakan akan meningkat hingga Januari nanti. Masyarakat dihimbau untuk selalu waspada,”  kata Sutopo.

Sementara itu, Kepala Kantor SAR Semarang Agus Haryono mengatakan, proses pencarian terus dilaksanakan dengan membagi wilayah pencarian menjadi dua sektor, yaitu sektor atas dan sektor bawah. Pencarian dilakukan oleh Tim SAR gabungan yang berjumlah mencapai lebih dari 1.000 orang. Selain dilakukan dengan menggunakan peralatan manual, proses pencarian juga dibantu dengan sekitar 13 alat berat dan peralatan ekstrikasi. Peralatan berat digunakan untuk mengeruk matrial longsor sedangkan ekstrikasi digunakan untuk memotong besi cor dan benda keras lainnya.

Proses pencarian sempat terhambat oleh cuaca. “Langit mendung gelap dan turun hujan. Jadi terpaksa pencarian kami hentikan sementara,” kata Agus.

 


UGM : 60 Persen Penduduk Indonesia Tinggal Di Daerah Rawan Longsor was first posted on December 17, 2014 at 3:23 am.

Pabrik Pengolahan Limbah, Solusi Pencemaran Sungai di Jiangmen

$
0
0
Kota Jiangmen dilihat dari atas gedung Jiangmen TV.  Foto : Petrus Riski

Kota Jiangmen dilihat dari atas gedung Jiangmen TV. Foto : Petrus Riski

Jalanan luas, lalu lintas yang ramai tapi lancar, serta banyaknya bangunan pencakar langit yang menjulang, langsung dapat ditemui ketika memasuki Kota Jiangmen, Provinsi Guangdong, China. Uniknya, kota dengan penduduk sekitar 4 juta jiwa atau setara dengan Kota Surabaya ini tidak memiliki selokan atau got pembuangan air limbah rumah tangga yang biasanya langsung dialirkan ke sungai.

Jiangmen merupakan satu dari sekian banyak kota di negara Tiongkok, yang memiliki pabrik pengolahan air limbah sendiri. Tidak ada air limbah dari rumah tinggal, pertokoan, gedung serta tempat-tempat usaha, yang langsung dibuang ke sungai tanpa melalui proses pengolahan terlebih dahulu.

Pemerintah Kota Jiangmen menerapkan peraturan yang sangat tegas mengenai pembuangan air limbah dari masyarakat, agar tidak sampai mencemari atau merusak lingkungan khususnya sungai.

Wong Tie Kong, selaku anggota Dewan Rakyat Kota Jiangmen menceritakan, pada sekitar 7 tahun lalu kondisi air sungai di Jiangmen sangat kotor. Air limbah rumah tangga yang kotor langsung dibuang ke selokan atau got yang menuju ke sungai. Demikian pula dengan tempat usaha dan pabrik juga langsung membuang limbahnya ke sungai.

Hal itu membuat kualitas air sungai di Jiangmen merosot tajam, dan mengakibatkan bau kurang sedap serta menyebabkan banyak ikan mati.

Pemerintah China dan juga Pemerintah Kota Jiangmen mengeluarkan kebijakan yang melarang membuang air limbah langsung ke sungai. Air limbah harus diolah terlebih dahulu hingga menjadi bersih dan aman sebelum dibuang ke sungai. Kota Jiangmen membangun 4 pabrik pengolahan limbah, yang bertugas mengolah air limbah yang dibuang warga menjadi air yang aman bagi lingkungan.

“Setiap kota punya 3 sampai 4 pabrik pengolahan limbah. Kalau kota besar lebih banyak lagi. Pabrik ini milik pemerintah untuk memperbaiki kualitas air agar kualitas bahan baku air semakin meningkat,” papar Wong Tie Kong kepada Mongabay-Indonesia.

Jalur sepeda dan pedestrian disamping hutan kota di  Jiangmen. Foto : Petrus Riski

Jalur sepeda dan pedestrian disamping hutan kota di Jiangmen. Foto : Petrus Riski

Ushui Li Chang atau dalam bahasa Indonesia disebut pabrik pengolahan air kotor sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, terutama yang menggantungkan hidupnya dari air sungai untuk kebutuhan hidup sehari-hari.

“Sekarang air yang dibuang ke sungai sudah bersih dan bening, karena sudah difilter. Sebelumnya air dari rumah tangga sangat kotor begitu pula dari pabrik, semua langsung dibuang ke sungai. Jadi sungainya kotor dan bau, apa lagi limbah pabrik kulit. Sekarang tidak hanya di Jiangmen, tapi juga di seluruh China wajib menggunakan cara ini,” terang Wong.

Air hasil olahan bisa dipergunakan untuk beternak ikan, mengairi sawah dan ladang, hingga digunakan untuk mandi dan air minum dengan dimurnikan lebih lanjutan.

Sanksi yang tegas bagi pelaku pelanggaran pencemaran air sungai, serta sanksi lain yang membuat perusahaan berpikir ulang sebelum membuang air limbahnya ke sungai.

“Kalau ada pelanggaran dilihat berapa banyak yang dibuang. Dendanya antara 30 sampai 40 ribu Yuan. Bagi perusahaan yang mencemari sungai juga disuruh berhenti beroperasi dan membersihkan dulu limbahnya,” ujar Wong Tie Kong yang menjadi anggota Dewan Rakyat Kota Jiangmen selama 15 tahun atau 3 periode.

Setiap rumah atau bangunan di Kota Jiangmen yang membuang air limbah, juga dikenakan retribusi sebesar 6 sen per meter kubik. Hal ini untuk menekan jumlah air limbah yang dibuang oleh warga, sehingga warga harus memastikan air yang dibuang aman dan tidak sampai mencemari lingkungan.

Penataan Kota Melalui Jalan dan Transportasi

Selain persoalan air dan limbah, Pemerintah Kota Jiangmen juga sangat memperhatikan persoalan jalan dan transportasi. Selain itu bidang ekonomi dan perdagangan, pertanian dan industri tetap mendapat perhatian.

“Jalanannya bukan sekedar bagus dan luas, tapi di setiap pinggir jalan raya dan jalan tol ditanami pohon atau dihijaukan,” kata Shuyin Liu, dari Bagian Kerjasama Pemerintah Kota Jiangmen.

Meski kondisi jalan sangat bagus dan luas, tidak banyak warga yang menggunakan mobil pribadi untuk berangkat kerja. Kebanyakan warga memanfaatkan angkutan umum massal seperti bus, kereta api cepat, serta angkutan umum lainnya.

Pembangunan apartemen atau rumah susun tinggal di pusat kota bagi warga kelas ekonomi menengah kebawah, menjadi salah satu faktor tidak diperlukannya mobil pribadi untuk beraktivitas. Kebanyakan mobil pribadi digunakan warga yang tinggal agak jauh dari pusat kota dan untuk perjalanan jauh yang memerlukan mobilitas.

“Kalau di Surabaya sudah tidak bisa tambah jalan karena penduduknya sangat padat. Kalau disini bisa bangun jalan baru dan jalan susun. Juga bisa bangun kota baru kalau penduduknya semakin padat. Disini lahan masih banyak dan semua milik pemerintah. Selain itu angkutan umum massal sudah dipersiapkan,” lanjutnya.

Berbeda dengan tetangganya yaitu Kota Guangzhou, di Jiangmen masih diperbolehkan ada sepeda motor yang melintas di jalanan kota. Namun demikian bila jumlah penduduk sudah melebihi 5 hingga 6 juta jiwa, sangat mungkin akan dikeluarkan larangan sepeda motor masuk kota.

Beberapa sepeda motor listrik menunggu antrian lampu lalu  lintas di Kota Jiangmen. Foto : Petrus Riski

Beberapa sepeda motor listrik menunggu antrian lampu lalu lintas di Kota Jiangmen. Foto : Petrus Riski

Jiangmen sendiri merupakan kota industri yang memproduksi sendiri sepeda motornya, dan 30 persen produksi sepeda motor di China berasal dari Kota Jiangmen. Selain sepeda motor, Jiangmen memproduksi aneka peralatan elektronik seperti televisi, serta memiliki pertanian yang cukup untuk memenuhi sendiri kebutuhan warga kota.

“Kalau Jiangmen sepeda motor masih bisa masuk kota. Kalau pulang kerja banyak sekali di jalanan, tapi banyak juga sepeda listrik disini karena tidak menimbulkan polusi. Kendaraan disini kalau menimbulkan asap sedikit saja sudah disuruh berhenti,” imbuh Shuyin Liu.

Dia menekankan, penataan kota berbasis transportasi serta drainase yang baik, diyakini akan menghasilkan penduduk yang sehat dan siap untuk terus membangun.

“Kami disini penduduknya cukup besar, dan kami harus bersaing dengan yang lain juga. Maka memastikan warga sehat dan lingkungan bersih adalah faktor utama, selain kesiapan dari seluruh infrastruktur yang ada di kota,” katanya.

Pembenahan Kota Surabaya

Jiangmen merupakan friendship city dengan Surabaya, yang telah menjalin kerjasama di bidang pendidikan dan kebudayaan. Sedangkan keberhasilan Jiangmen dalam mengelola air limbah menjadi perhatian Pemerintah Kota Surabaya, yang sangat mungkin untuk dicontoh dan diadopsi.

“Model di Jiangmen sangat bisa dicontoh, karena selama ini asosiasi masyarakat etnis Tionghoa di Surabaya sangat gencar mendorong kerjasama dengan kota-kota di China,” terang Ifron Hadi, Kepala Bagian Kerjasama Pemerintah Kota Surabaya.

Selama ini kerjasama di  bidang lingkungan banyak dilakukan Pemerintah Kota Surabaya dengan Jepang, terutama dalam pengelolaan sampah. Sedangkan pengelolaan air limbah selama ini masih dilakukan secara mandiri oleh warga, meski belum di seluruh kota.

“Selama ini sifatnya parsial, masyarakat yang mengelola sendiri IPAL-IPAL komunal di masyarakat. Sangat menarik kalau sistem di Jiangmen juga dapat diterapkan di Surabaya,” tandas Ifron Hadi.

Sejauh ini Pemerintah Kota Surabaya telah melakukan pembenahan sistem drainase perkotaan, meski pembuangannya masih diarahkan langsung ke sungai. Belum ada pipa khusus untuk mengalirkan air limbah rumah tangga, maupun pabrik khusus yang mengolah air limbah sebelum layak dibuang ke sungai.


Pabrik Pengolahan Limbah, Solusi Pencemaran Sungai di Jiangmen was first posted on December 17, 2014 at 3:52 am.

Wow! Sungai Musi Bisa Diselamatkan dengan Pohon Bambu

$
0
0

Kondisi Sungai Musi makin memprihatinkan. Abrasi dan pendangkalan terus berlangsung pada sungai yang panjangnya sekitar 750 kilometer ini. Bahkan, akibat rusaknya daerah aliran Sungai Musi, seperti hilangnya sejumlah anak sungai dan hutan, membuat Sungai Musi meluap pada saat penghujan dan kekeringan saat kemarau.

Tanaman bambu, diperkirakan dapat mengembalikan kondisi terbaik Sungai Musi sebagaimana masa lalu. Bagaimana caranya?

Hutan bambu di Kolombia. Foto: Rhett A. Butler

“Kami sangat yakin dengan hal tersebut. Makanya, kami saat ini terus melakukan penanaman bambu di sepanjang DAS Sungai Musi. Sudah 2.000 pohon bambu yang ditanam. Kami pun kian yakin pentingnya bambu setelah membaca berita mengenai bambu di Mongabay Indonesia bahwa bambu dapat mengatasi global warning,” kata Zain Ismed, Sekretaris PT. Pupuk Sriwijaya Palembang, Selasa (16/12/2014).

Guna memperbaiki kondisi Sungai Musi, perusahaan pupuk pertama milik Indonesia itu, melakukan penanaman pohon bambu betung atau petung di sejumlah lokasi kritis seperti di Mariana, Kabupaten Banyuasin, SeBatang di Palembang, dan di sepanjang Sungai Ogan, Kabupaten Ogan Ilir.

“Setiap tiga bulan kita terus melakukan penanaman pohon bambu. Maunya kita langsung menanam sejuta pohon bambu. Tapi kita terkendala bibit. Saat ini bibit bambu betung dibeli dari sebuah pembibitan bambu di Yogyakarta. Harganya berkisar Rp 5-10 ribu per bibit, tergantung usianya,” ujarnya.

Sampai kapan penanaman pohon bambu? “Sampai Sungai Musi dipenuhi oleh pohon bambu,” kata Ismed.

Kenapa pohon bambu? Ismed pun menjelaskan selain mampu menampung air, menahan abrasi, meredam polusi, dan menghasilkan oksigen yang baik, bambu juga dapat dijadikan sentra pangan dan sandang.

“Rebung bambu merupakan pangan yang sangat diminati oleh masyarakat lokal maupun international. Sebab, rebung merupakan bahan makanan yang enak dan memiliki kandungan antioksidan yang tinggi,” ujarnya.

Sementara bambu sendiri dapat diolah menjadi bahan baku papan. “Daya tahannya lebih kuat dan penampilannya lebih menarik,” ujarnya.

Jika pohon bambu ini benar-benar memenuhi Sungai Musi, pihaknya akan mendorong sebuah perusahaan yang mengelola bambu. Bambu yang ditanam merupakan milik masyarakat, sesuai dengan lokasi tanam. “Jadi, saat diproduksi itu merupakan  sumber penghasilan masyarakat. Bambu juga cukup tanam satu kali, tidak tanam tebang. Sehingga, selama produksi tidak perlu dilakukan penanaman baru,” ujarnya.

Ajak perusahaan dan pemerintah tanam bambu

Ismed menyadari jika gerakan menanam bambu di sepanjang Sungai Musi, tidak hanya dapat dilakukan pihaknya. “Sungai Musi ini kan panjang. Dibutuhkan banyak biaya buat menanami pohon bambu. Kami berharap, pemerintah maupun perusahaan lain, terutama yang memanfaatkan Sungai Musi tergerak melakukan gerakan ini,” ujar Ismed.

Ismed pun menyadari, perubahan lingkungan hidup bukan hanya merugikan masyarakat luas namun juga perusahaan. Pengeluaran perusahaan kian bertambah, baik terkait operasional perusahaan maupun biaya kesehatan karyawan. “Lingkungan buruk tentu menyebabkan kesehatan manusia menurun, sehingga biaya kesehatan yang ditanggung perusahaan bertambah,” ujarnya.

Rusaknya kondisi Sungai Musi, seperti pendangkalan, menyebabkan PT. Pusri Palembang mengalami kendala dalam mengirimkan produksinya menggunakan kapal. “Sungai Musi yang mendangkal sangat merugikan kita. Biaya pengerukan Sungai Musi sangat besar. Jadi, langkah pencegahan jauh lebih murah dan menguntungkan,” ujarnya.

Sungai musi yang dangkal dan mengalami abrasi dapat dikembalikan kondisinya sebagaimana sedia kala dengan penanaman pohon bambu. Foto: Taufik Wijaya

Pindahkan industri di DAS Sungai Musi

Hadi Jatmiko dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan menilai apa yang dilakukan PT. Pusri Palembang harus diapresiasi. “Tapi, itu hanya satu bagian kecil dari upaya pemulihan Sungai Musi. Sebab, persoalan di Sungai Musi bukan hanya pendangkalan, tetapi juga juga polusi dan pencemaran, yang menyebabkan terancamnya biota sungai,” katanya.

Apalagi, gerakan penanaman pohon bambu tersebut sangat tidak seimbang dengan apa yang terjadi di DAS Sungai Musi. “Kita menanam satu pohon, pada saat bersamaan pohon ditebang sekian puluh dan rawa ditimbun atau limbah yang dibuang sekian ton,” kata Hadi.

Maka, selain melakukan penghijauan di sepanjang DAS Sungai Musi, kata Hadi, pemerintah sudah harus melakukan upaya pemindahan industri yang jauh dari Sungai Musi. “Sejumlah industri kotor, seperti penambangan batubara harus dihentikan,” tegasnya.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio


Wow! Sungai Musi Bisa Diselamatkan dengan Pohon Bambu was first posted on December 17, 2014 at 8:49 am.

Kala Anak-anak jadi Buruh Harian Pemanggul Sawit

$
0
0
Bimo1, siswa kelas 3 SMP di Asahan ini terpaksa membantu  ayah menjadi pengangkut buah sawit. Ekonomi keluarga mereka terbatas, hingga paruh waktu,Bimo bekerja, usai sekolah. Foto: Ayat S Karokaro

Bimo, siswa kelas 3 SMP di Asahan ini terpaksa membantu ayah menjadi pengangkut buah sawit. Ekonomi keluarga mereka terbatas, hingga paruh waktu,Bimo bekerja, usai sekolah. Foto: Ayat S Karokaro

Siang itu, tampak bocah 13 tahun, tengah memanggul bongkahan tandan sawit  segar, di Kabupaten Asahan, Sumatera Utara. Keringat mengalir membasahi wajah, tetapi dia terus bekerja.   Namanya Bimo Kencana Arief, siswa SMP di Asahan ini, membantu ayah memanggul TBS, di kebun sawit Desa Urungpane, Sei Silau Timur. Sawit baru dipanen para pekerja, dari PTPN III.

Bimo, menjadi buruh harian lepas, digaji Rp25.000 per hari mengangkut sawit ke truk,  dibawa ke pabrik diolah menjadi minyak kotor (miko).

Bimo  mengatakan, bekerja untuk membantu orangtua membayar biaya sekolah dia dan dua adik. Bimo bekerja usai sekolah, sekitar pukul 15.00 hingga petang.

“Awak udah sejak SMP kelas I bantu ayah. Lumayan, kalau dua truk satu hari dapat Rp50.000. Kalau satu minggu bisa bantu bayar sekolah,” katanya , pekan lalu.

Sang ayah, Sulistyo Sadu (46),  bergegas membantu, kala Bimo hampir terperosok jatuh saat memanggul sawit.  Sulistyo, sebelum ini bekerja di pabrik mentega di Pematang Siantar namun perusahaan bangkrut. Dia bersama keluarga pindah ke Asahan, dan menjadi buruh angkut sawit, baik di PTPN maupun perkebunan lain.

“Tiga tahun lalu ada truk beko buat ngangkut buah sawit. Sekarang udah gak ada. Mungkin jika pakai beko biaya lebih mahal ketimbang pakai tenaga manusia lebih murah,” katanya. Sulistyo berhenti sejenak, menenggak air putih dari botol yang dibawa dari rumah.

Ternyata bukan Bimo yang bekerja. Setidaknya, ada 10 anak menjadi buruh harian lepas memanggul sawit.

Karlo Lumban Raja, Kepala Departemen Lingkungan Sawit Watch, kepada Mongabay, menyatakan, perusahaan perkebunan yang mempekerjakan anak-anak, sangat menyalahi aturan.

Kasus seperti ini banyak terjadi, bukan saja di Sumut, juga di Kalimantan, sampai Papua. Masih banyak perusahaan mempekerjakan anak kecil.

Modus perusahaan agar bisa lepas dari jerat hukum dengan melibatkan pihak ketiga atau dikenal dengan middleman. Jadi, jika terjadi sesuatu terhadap pekerja anak-anak, mereka mengelak dan mengatakan tidak ada hubungan kontrak kerja dengan pekerja.

Mempekerjakan anak, menyalahi aturan dibuat RSPO, yang disusun dan disepakati bersama.  PTPN III anggota RSPO.

Sampai saat ini,  belum ada regulasi jelas mengatur pekerja anak. Walaupun ada beberapa aturan tentang spesifikasi beberapa pekerjaan khusus, dan kondisi yang harus diciptakan mampu dilakukan anak, yang tidak menghilangkan hak mereka belajar dan mengembangkan diri.

TBS, setelah dipetik lalu dimasukkan truk untuk diangkut ke pabrik pengolahan. Di sinilah, salah satu titik biasa anak-anak ikut bekerja. Foto: Ayat S Karokaro

TBS, setelah dipetik lalu dimasukkan truk untuk diangkut ke pabrik pengolahan. Di sinilah, salah satu titik biasa anak-anak ikut bekerja. Foto: Ayat S Karokaro

Khusus di perkebunan sawit, buruh diberi target cukup tinggi. Selain memanen juga mengambil gerondolan, mengangkut hingga memotong TBS. Tak jarang, orangtua atau suami melibatkan anak dan istri guna mencapai target.

“Jika benar terbukti, perusahaan harus diberi tindakan tegas RSPO dan kementerian. Ada kelalaian. Sikap pemerintah menargetkan 2020 tidak ada lagi pekerja anak.”

Menurut dia, harus ada kebijakan soal tindakan tegas bagi perusahaan, yang melanggar aturan buruh anak bawah umur. Pemerintah harus menjalankan fungsi kontrol pada perusahaan.

Sampai kini, buruh perkebunan sawit mencapai 6-7 juta  orang di Indonesia, dengan luasan 11,5 juta hektar. Perhitungan kasar satu orang mengerjakan dua hektar, 46% petani plasma dan mandiri, selebihnya perusahaan besar. Bisa dibayangkan,  berapa banyak perusahaan mempekerjakan anak bawah umur demi mencapai target produksi.

Perhargaan sawit terintegrasi

Kala banyak anak bawah umur jadi buruh harian sawit, Gubernur Sumut, Gatot Pujo Nugroho, menerima penghargaan dari Mendagri, Tjahjo Kumolo, sebagai kepala daerah inovatif 2014 di Jawa Tengah, Kamis (11/12/14).  Gatot dinilai berprestasi menjalankan kebijakan pada industri sawit terintegrasi, dengan peternakan sapi dan energi.

Gatot mengatakan,  Sumut, memang daerah basis perkebunan besar. Dia sengaja mengembangkan industri hilir sawit terintegrasi dengan sapi dan energi terbarukan. Data Dinas Perkebunan, Sumut terdapat 2, 149 hektar perkebunan, 53,8%  kebun sawit.

“Kami berupaya menjadikan perkebunan lokomotif perekonomian Sumut. Caranya, mendorong hilirisasi produk-produk turunan perkebunan, dan mengintegrasikan lahan perkebunan dengan peternakan hingga memberi nilai tambah.”


Kala Anak-anak jadi Buruh Harian Pemanggul Sawit was first posted on December 17, 2014 at 9:19 pm.

Laporan EIA Ungkap Kayu-kayu Ilegal dari Kebun Sawit

$
0
0

Pada 24 Desember 2013 MA, memutuskan PT Hati Prima Agro (HPA), anak usaha Bumitama Gunajaya Agro Group di Kalteng, beroperasi ilegal. Sayangnya, putusan MA tak bergigi karena perusahaan tetap beroperasi. Foto: Save Our Borneo

Environmental Investigation Agency (EIA) mengungkapkan, pembukaan hutan untuk perkebunan sawit mendorong penebangan liar besar-besaran. Studi kasus fokus di Kalimantan Tengah ini menemukan beragam fakta dari pemberian izin korup melibatkan pejabat daerah, hingga polisi menghentikan kasus setelah menerima suap dari perusahaan. Berbagai usaha reformasi hukum sektor kehutanan dan kayu Indonesia pun tak jalan.

“Penebangan kayu liar melalui konsesi sawit tidak terkendali. Peraturan perundang-undangan tentang kayu di Indonesia sangat gagal mengendalikan itu,”  kata Tomasz Johnson, juru kampanye hutan EIA, di Jakarta, Selasa (16/12/14).

Perusahaan sawit yang disebut dalam laporan berjudul Permitting Crime: How Palm Oil Expansion Drives Illegal Logging in Indonesia ini  antara lain PT Nusantara Sawit Persada, PT Flora Nusa Perdana, PT Prasetya Mitra Muda, dan PT Kahayan Agro Plantations. Lalu, PT Suryamas Cipta Perkasa,  PT Sawit Lamandau Raya.

“Investigasi menyingkap beberapa kasus terburuk. Kami menemukan, pemerintah daerah bersekongkol dengan perusahaan mempercepat perizinan. Hasilnya, penebangan hutan tidak teridentifikasi.”

Laporan ini juga mengatakan, hampir semua perkebunan sawit di Indonesia sengaja mengelak dari Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Kebijakan SVLK resmi diterapkan sejak September 2010. Namun tidak membuat penebangan kayu ilegal dari pembukaan lahan sawit berkurang.

“Selama 10 tahun terakhir, pemerintah Indonesia berupaya keras menghentikan illegal logging. Turun 80-90%. Sayangnya, reformasi belum menyentuh perkebunan sawit. Konsesi lahan menjadi sumber utama penebangan kayu ilegal,” ucap Johnson.

Menurut dia, kepatuhan perusahaan sawit terhadap UU terkait penebangan kayu sangat rendah. EIA juga menemukan praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan dalam penerbitan izin sawit.

“Selama ini itu dianggap wajar, sering terjadi dalam praktik penebangan hutan. Banyak pasokan pasokan kayu mengalir di pasaran tidak terdaftar dan tidak dapat diawasi.”

Sejak 2000-2010 sebanyak 1,6 juta hektar hutan hilang oleh perluasan sawit atau berkontribusi terhadap 80 juta meter kubik kayu hilang.

“Sayangnya, kita tidak bisa membuka data di Kementerian Kehutanan. Tidak jelas dan kurang data terkait catatan pasokan kayu. Ini sebabnya EIA melakukan investigasi.”

Temuan EIA menunjukkan, perusahaan-perusahaan sawit di Kalteng melanggar perundang-undangan. Tingkat ketidakpatuhan peraturan sangat tinggi hingga membuat  penebangan kayu ilegal makin marak terjadi.

“Kita menduga bupati dan perusahaan bersekongkol agar izin mudah. Misal, ada perusahaan yang tidak menyelesaikan Amdal. Mereka tidak mampu penilaian ekosistem gambut di sana. Tidak berkomunikasi dengan masyarakat terkait konflik tenurial. Dampak sangat besar bagi lingkungan dan masyarakat sekitar.”

Dia menilai, bupati mempunyai kewenangan sangat besar dalam pemberian izin. Seringkali izin diberikan begitu saja tanpa ada pengawasan. Perusahaan makin kaya, masyarakat dan lingkungan sengsara.

“Kami fokus investigasi ini di Kabupaten Gunung Mas. Karena di sana hutan masih luas. Sisi lain, Bupati Hambit Bintih banyak sekali mengeluarkan izin. Tahun 2012, empat konsesi keluar kepada tiga pengusaha,” katanya.

Tiga pengusaha dimaksud adalah Cornelis Antun, Elan Gahu dan Edwin Permana. Konsesi diberikan kepada tiga pengusaha ini tidak langsung digunakan mereka menjadi perkebunan sawit. Mereka justru menjual konsesi kepada perusahaan asal Malaysia bernama CB Industrial Product Holding Berhad (CBIP). Keuntungan penjualan konsesi mencapai US$9 juta.

“Kami temukan pimpinan perusahaan yang mendapatkan konsesi, Cornelis tak lain keponakan bupati. Dalam satu tahun, Cornelis dan Hambit bintih ditangkap karena melakukan praktik suap kepada mantan hakim MK Akil  Mochtar.”

Cornelis pendiri dua perusahaan, yakni PT Berkala Maju Bersama (BMB) dan PT Jaya Jadi Utama (JJU). Kedua perusahaan mendapatkan surat arahan pelepasan kawasan hutan dari Hambit. Februari 2012, bersama dua rekan, mereka sepakat menjual saham perusahaan kepada CBIP 94%.

“Harus kami tekankan, dalam proses pemberian izin menyalahi aturan. Tidak ada dokumen Amdal menyertai izin. Mereka ingin cepat memperoleh izin dan menjual konsesi kepada perusahaan. Izin didapat dan mereka langsung penebangan hutan untuk mendapatkan kayu. Ini sarat praktik korupsi.”

Sawit, produk yang jadi andalan pemerintah sebagai penyumbang devisa, tetapi juga pendorong pembabatan hutan besar-besaran. Foto: Musa Abubar

EIA bekerja 15 tahun di Indonesia guna memerangi illegal logging dan mendorong perbaikan tata kelola kehutanan. Setiap tahun EIA mengeluarkan laporan dengan lembaga lain di Indonesia, salah satu Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK).

Wancino, JPIK Kalteng menceritakan perusahaan perkebunan sawit di Gunung Mas, PMM. “Perusahaan beroperasi tanpa Amdal, izin lingkungan dan izin pemanfaatan kayu. Mereka membuka kawasan hutan primer. Banyak keragaman hayati seperti orangutan, elang jawa, trenggiling dan spesies lain yang dilindungi,” ujar dia.

Dia mengatakan, banyak kayu-kayu hasil tebangan di dalam sungai kecil. Lokasi tersembunyi. Mereka menggunakan truk kecil mengangkut kayu.

“Ketika kami menanyakan ini kepada dinas terkait, mereka sulit memberikan akses data. Kami menyampaikan surat kepada bupati, mereka tertutup. Menyembunyikan data perusahaan. Di wilayah itu ada konflik tenurial. Masyarakat mempertahankan hutan.”

Begitu juga NSP. Dalam laporan tertulis, perusahaan melanggar aturan. Tahun 2010, perusahaan memperoleh izin Bupati Kotawaringin Timur bersama perusahaan, yakni PT Borneo Sawit Persada (BSP). Izin diperoleh hanya waktu dua hari dengan luas lebih 35.000 hektar. Izin ilegal karena tanpa disertai dokumenAmdal. Kasus berlanjut hingga pengadilan pada 2014.

Johanes Jenito, dari JPIK Kalteng memaparkan temuan di PT Kahayan Agro Plantations, di Gunung Mas ini beroperasi tanpa Amdal. Izin keluar 2011, dengan luas konsesi 17.500 hektar.

“Perusahaan menebang banyak kayu dari hutan alam primer. Izin diberikan bupati Hambit. IPK 57.000 lebih meter kubik. Kalau dinominalkan, tegakan kayu setidaknya US$50-100 juta.”

Dia mengatakan, perusahaan menipu masyarakat yang memiliki wilayah kelola itu dan diintimidasi. “SVLK belum menyentuh kayu yang bersumber dari lahan hasil konversi,” kata Mardi Minangsari, juga JPIK.

Sejauh ini, fokus SVLK pada konsesi HPH, HTI dan industri kayu. Padahal, sumber kayu lain dari konversi hutan untuk kebun sawit atau kayu IPK sampai saat ini belum tersentuh.

“Ekspansi sawit terutama di Kalteng mendorong penebangan hutan ilegal massif. Permasalahan tata kelola buruk, penegakan hukum lemah, dan korupsi.”

Ada lagi FNP di Gunung Mas. Izin lokasi perusahaan 2006 dan IUP 2007. Luas konsesi 10.000 hektar. Analisis data satelit EIA menunjukkan, 85% wilayah tutupan hutan. Pemerintah Kalteng tidak memiliki catatan perusahaan ini memiliki izin lingkungan maupun IPK.

Tahun 2013, Kementerian Kehutanan memberikan konfirmasi, proses pelepasan kawasan hutan masih tahap aplikasi. Namun, 2007, perusahaan sudah membuka lahan seluas 4.500 hektar. Saat ini, wilayah banyak ditanami sawit, penebangan kayu berlangsung. Kasus sampai ke pengadilan, saat tokoh adat melaporkan perusahaan ke kepolisian.

“Investasi di Indonesia banyak sekali modal politik, upaya-upaya memastikan kepatuhan atau perbaikan dalam sektor kayu dan kehutanan. Peraturan-peraturan ini sudah dilaksanakan di perusahaan-perusahaan perkayuan yang melakukan penebangan kayu selektif. Namun, sampai kini belum menyentuh kayu dari konversi hutan. Ini praktik paling merusak,”  kata Jago Wadley, juru kampanye hutan senior EIA.

Kayu hasil konversi diatur dalam IPK. Meskipun kayu IPK masuk cakupan SVLK, dalam kenyataan hanya sebagian kecil pemegang IPK berverifikasi SVLK. Selebihnya, mengelak kewajiban mengikuti SVLK.

“IPK bisa kepada perkebunan sawit, juga pertambangan. Kami memfokuskan investigasi ini pada sawit karena ekspansi sangat pesat. Ini ancaman terbesar SVLK. Sementara peraturan pemerintah untuk mengatasi penebangan liar dan kayu ilegal belum maksimal,” kata Wadley.

Salah satu tujuan EIA  membuat laporan untuk membantu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta pihak lain menegakkan SVLK.

Penegakan hukum sangat lemah. Salah satu, terlihat dalam kasus PT Sawit Lamandau Raya. EIA dan JPIK mendapatkan bukti, perusahaan mengirimkan memo internal kepada kantor pusat di Jakarta. Memo berisi permintaan uang Rp 400 juta agar Polres Lamandau menghentikan penyidikan kasus. ”Kita lihat bentuk kejahatan. Perkebunan sawit ilegal tentu menghasilkan kayu ilegal.”

Dia berharap, dengan perbaikan sistem bisa memungkinkan indikator untuk melihat apakah terjadi korupsi dalam proses izin perkebunan sawit. “Ini kesempatan bagus bagi semua pihak karena ada sistem diperbaiki, kita harus memastikan penegakan hukum.”

Kementerian KLH perlu segera memerintahkan audit legalitas wajib terhadap semua kegiatan penebangan kayu perkebunan sawit. “Juga harus mencabut izin perusahaan jika menolak.”

Kementerian LHK harus memastikan, pembukaan lahan dihentikan di wilayah konsesi yang ditemukan tidak mematuhi SVLK dan menyita kayu serta tindakan hukum.

“EIA juga meminta ada satuan tugas memeriksa dan mengadili kasus korupsi perizinan perkebunan. Dimulai dari perusahaan-perusahaan yang namanya disebut dalam laporan ini. Lalu mendorong pemerintah berhenti mengalokasikan konsesi sawit di kawasan hutan.”


Laporan EIA Ungkap Kayu-kayu Ilegal dari Kebun Sawit was first posted on December 17, 2014 at 10:50 pm.

BKSDA Jateng, COP dan JAAN, Tangkap Tangan Pedagang Satwa Liar Dilindungi Di Ambarawa

$
0
0
Satwa yang dipacking dalam box buah, hasil tangkap tangan BKSDA Jateng, COP dan JAAN. Foto : Dok COP

Satwa yang dipacking dalam box buah, hasil tangkap tangan BKSDA Jateng, COP dan JAAN. Foto : Dok COP

Tim gabungan dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Seksi I Jawa Tengah di bantu Centre for Orangutan Protection (COP) dan Jakarta Animal Aid Network (JAAN) menangkap tangan pedagang satwa liar dilindungi di kota Ambarawa, pada Selasa (16/12/2014), sekitar pukul 12.30 WIB.

Dari tangan pedagang tim mengamankan barang bukti berupa dua ekor kancil (Tragulus napu), dua ekor kukang (Nycticebus javanicus) dan  satu ekor trenggiling (Manis javanica). Pedagang di tangkap di sebuah mini market saat akan melakukan transaksi satwa.

“Tim sudah memantau lama pedagang ini karena satwa yang diperjualkanbelikan masuk dalam kategori dilindungi. Hari ini tim bisa menangkap pedagang dan mengamankan barang bukti satwa liar,” kata Hery Susanto selaku Kordinator Animal Rescue COP.

Kukang yang dimasukan dalam karung oleh pedagang. Foto : Dok COP

Kukang yang dimasukan dalam karung oleh pedagang. Foto : Dok COP

Ia menambahkan,  saat ini era perdagangan tradisional satwa liar sudah bergeser dan menggunakan metode baru. Pedagang semakin pintar, modusnya menggunakan perdagangan online. Kejahatan ini berkembang pesat ditandai banyaknya munculnya group pedagang satwa liar di beberapa jejaring sosial.

“Kurun waktu tiga tahun terakhir, mulai semarak pedagang satwa liar menggunakan jejaring sosial. Selain mudah dilakukan juga dirasa lebih aman dari incaran petugas,” tambahnya.

Dua ekor kancil yang diamankan di BKSDA Jawa Tengah sebagai barang bukti tangkap tangan kemarin, Selasa, 16 Desember 2014. Foto : Dok COP

Dua ekor kancil yang diamankan di BKSDA Jawa Tengah sebagai barang bukti tangkap tangan kemarin, Selasa, 16 Desember 2014. Foto : Dok COP

COP mencatat, cara perdagangan satwa liar saat ini yakni pedagang tidak perlu melakukan tatap muka secara langsung dengan pedagang untuk transaksi. Jika pembeli setuju dengan harga yang di tawarkan pedagang akan mengirimkan nomer rekening dan transaksi akan dianggap sah jika pembeli sudah membayar sejumlah uang. Pedagang akan mengirimkan satwa, biasanya menggunakan jasa kurir komersil atau dengan jasa transpostasi umum seperti bus antar kota antar propinsi. Sehingga tanpa tatap muka pedagang dan pembeli transaksi ini tetap terjadi.

“Hal ini juga harus di imbangi dengan upaya operasi yang gencar dan penegakan hukum yang tegas dan berani oleh aparat penegak  hukum, “ tambah Hery.

Sementara itu, Johan Setiawan, Kepala Seksi Konservasi Wilayah I, BKSDA Jawa Tengah kepada Mongabay mengatakan, operasi tangkap tangan kemarin di Ambarawa, terhadap pelaku atas nama Andika, memang sudah di pantau sejak jauh hari oleh rekan-rekan COP dan JAAN.

“Pelaku melakukan transaksi secara terbuka di media online. Saat ini pelaku sudah ditetapkan tersangka oleh Polda Jawa Tengah, pelaku pun mengakui tindakan yang ia lakukan tersebut melanggar hukum,” kata Johan.

Ia menambahkan, terhadap satwa-satwa liar dilindungi hasil tangkap tangan akan dijadikan barang bukti di persidangan dan saat ini dititipkan di Lembaga Konservasi di Mangkang, Jawa Tengah.

Barang bukti Trenggiling hasil tangkap tangan, Selasa 16 Desember 2014. Foto : Dok COP

Barang bukti Trenggiling hasil tangkap tangan, Selasa 16 Desember 2014. Foto : Dok COP

Sepanjang 2014 sekitar tiga kali, SKW I BKSDA Jawa Tengah sudah melakukan operasi tangkap tangan perdagangan satwa liar dilindungi. Bulan lalu tangkap tangan dua orang di Pasar Hewan Karimata, Semarang dan saat ini masih pelimpahan berkas ke Kejaksaan. Kemudian di Jepara, menyita orangutan, namun pelaku hanya di proses pembinaan karena ada itikad baik, bukan bagian dari jaringan pengedaran satwa liar dan terakhir di Solo.

“Di Jawa Tengah sendiri modus perdagangan satwa liar jarang dilakukan secara terbuka. Beralih melakukan media online, modelnya grup-grup jual beli satwa liar di sosial media,” tambahnya.

SKW I Jawa Tengah saat ini menyatakan terus memerangi perdagangan satwa liar di lindungi. Kami akan melakukan kordinasi dengan berbagai pihak, terutama jasa-jasa pengiriman (kargo) untuk tidak menerima pengiriman satwa liar dilindungi.

“Pelaku sebenarnya sudah tahu bahwa menjual satwa liar dilindungi itu melanggar hukum, namun masih melakukannya. Maka itu tindakan tegas akan terus kami lalukan,” tegas Johan menutup pembicaraan.

 


BKSDA Jateng, COP dan JAAN, Tangkap Tangan Pedagang Satwa Liar Dilindungi Di Ambarawa was first posted on December 18, 2014 at 1:03 am.

Duh! Kukang di Kalimantan Dijual Melalui Media Sosial

$
0
0

Bayi kukang sumatera (Nycticebus coucang) yang dijual di pasar gelap. Induk kukang dibunuh demi bisa menjual anaknya ke pasar satwa. Foto: The Little Fireface Project

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat mengevakuasi satu individu kukang kalimantan (Nycticebus menagensis) di Kota Singkawang, Kalimantan Barat, Selasa (02/12/2014) lalu. Kukang ini, rencananya akan dijual oleh seorang pelajar melalui akun jual beli di facebook.

“Kita mendapati seorang pelajar berinisial AS, yang akan menjual kukang dari akun jual beli facebook. Saat ini, sedang dibuat berita acaranya oleh petugas BKSDA Singkawang,” ujar Kepala BKSDA Kalbar Sustyo Irianto, Minggu (14/12/2014).

Yang jelas, setelah diberikan penjelasan, pelajar tersebut bersedia menyerahkan kukang tersebut kepada petugas.

Awalnya, dua pekan lalu, AS memposting foto kukang, di sebuah grup jual beli media sosial, facebook. AS menyatakan, akan menjual kukang, yang dibelinya dari seorang petugas kepolisian. Harga yang ditawarkan Rp 350 ribu.

Berbagai tanggapan datang. Ada yang menawar lebih rendah, dengan alasan istrinya tengah mengidam. Ada pula yang menawar harga dua kali lipat, bahkan cenderung mendesak. Namun, tidak sedikit yang kemudian menasehati bahwa menjual kukang bisa dijerat pidana.

Pro kontra terjadi di status AS. Hingga akhirnya, AS menghapus komen dan fotonya di grup tersebut.

Tim penyidik pegawai negeri sipil memantau hal tersebut. Penyidik pun melakukan pendekatan persuasif dan akhirnya berhasil menyelamatkan kukang tersebut.

“Pelajar ini tidak tahu bila kukang merupakan satwa yang dilindungi. Setelah didatangi tim dan diberikan penyadartahuan, akhirnya ia bersedia menyerahkan,”kata Sustyo.

Saat ini, kukang tersebut tengah diperiksa kondisinya untuk kemudian direhabilitasi terlebih dahulu, sebelum dilepasliarkan.

Ancaman hukuman memelihara kukang atau yang biasa disebut malu-malu ini,  penjaran maksimal lima tahun dan denda sebesar Rp 200 juta, seperti yang tercantum dalam UU No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem.

Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem pasal 21 ayat II disebutkan bahwa, kukang termasuk hewan dilindungi. Hewan  ini dilarang untuk dieksploitasi, seperti diburu, dipelihara, diperjualbelikan maupun dimanfaatkan bagian tubuhnya.

Meski kukang telah dikategorikan Appendix 1 CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) yang artinya tidak boleh diperdagaangkan, namun perdagangan ilegal tetap saja terjadi.

Di Indonesia, berdasarkan ekologi dan persebarannya, terdapat tiga spesies kukang: kukang jawa (Nycticebus javanicus), kukang sumatera (Nycticebus coucang), dan kukang kalimantan (Nycticebus menagensis). Berdasarkan data IUCN (International Union for Conservation of Nature), kukang jawa masuk dalam status Kritis (Critically Endangered/CR), sementara kukang sumatera dan kukang kalimantan statusnya adalah Rentan (Vulnerable/VU).

Indonesia memiliki tiga jenis kukang yaitu kukang jawa, kukang sumatera, dan kukang kalimantan. Foto: YIARI

Pedagang satwa rambah media sosial

Hepy Hendrawan, aktivis lingkungan hidup di Kalimantan Barat menyatakan, pasar perdagangan satwa di Kalimantan Barat tetap hidup karena adanya permintaan yang tinggi terhadap satwa dilindungi, “Baik dalam keadaan hidup atau  mati.”

Bahkan, sebelum penegakan hukum terhadap kegiatan illegal logging ketat, satwa dilindungi merupakan usaha sampingan para pekerja kayu di hutan. Satu individu (anak) orangutan, biasanya dihargai Rp 500 ribu hingga jutaan rupiah. Di Thailand, orangutan dijadikan pertunjukan tinju. Bahkan diadakan pertaruhan untuk pertandingan tersebut.

“Jenis-jenis burung langka juga menjadi hal yang kerap diperjualbelikan secara online. Keberadaan media sosial, semakin mempermudah para penjual dan pembeli untuk bertransaksi. Di dunia maya, pembeli bisa melihat langsung satwa-satwa yang diperdagangkan,” kata Hepy.

Kesulitan memantau perdagangan satwa liar di internet, juga dinyatakan  Sustyo Irianto. “Memang susah untuk memantau jual beli melalui dunia maya. Tetapi dengan keterbatasan yang ada, kita mencoba mengawasinya, dengan kata kunci tertentu.”

Cina pasar terbesar

Hepy pernah melakukan riset terkait perdagangan hewan dilindungi tersebut. Sebuah warung kopi di kawasan Jalan Tanjungpura, merupakan tempat pertemuan pembeli dan penjual. Si pemilik warung adalah perantara. Dia bertugas mencari pembeli dari luar negeri. Cina merupakan negara pasar terbesar satwa langka. Apalagi, saat ini lebih mudah menjual satwa dalam keadaan mati. Untuk offset maupun hanya diambil bagian tubuhnya.

Si pemilik warung kopi, bahkan memfasilitasi distribusi barang pesanannya dari daerah-daerah asal hewan tersebut. Paruh enggang atau trenggiling, dibawa melalui mobil box ke Pontianak. Jika harga cocok, biasanya langsung dikirim ke luar negeri. Akhir-akhir ini, para penyelundup menggunakan jasa ekspedisi udara.

Harga yang tinggi juga menjadi salah satu daya tarik bisnis haram ini. Khususnya paruh enggang, harganya mulai dua juta rupiah. Harga ini bisa naik dua kali lipat di negara tujuan. “Makin sulit didapat, makin tinggi pula nominalnya,” tutur Hepy.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio


Duh! Kukang di Kalimantan Dijual Melalui Media Sosial was first posted on December 18, 2014 at 2:22 am.

Inkuiri Ungkap Banyak Pelanggaran HAM Dera Masyarakat Adat di Kawasan Hutan

$
0
0

Masyarakat adat di Maluku Utara aksi meblokade jalan yang dibuat PT Weda Bay Nickel di lahan adat. Foto: AMAN Maluku Utara

Dalam beberapa kasus yang ditemui, ada indikasi ke pelanggaran HAM berat tetapi masih harus penelitian lebih lanjut.

Setelah Tim Inkuiri Nasional melakukan dengar keterangan umum alias kesaksian sekitar 40-an kasus dari tujuh region, terungkap terjadi begitu banyak pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap masyarakat adat di kawasan hutan negeri ini.

Dalam kesaksian sejak 27 Agustus di Palu, Sulawesi Tengah hingga Jayapura, Papua, pada 28 November 2014,  yang mendatangkan berbagai pihak, dari masyarakat adat, pemerintah dan pengusaha dan aparat keamanan itu, tim komisioner menyatakan, terjadi berbagai pelanggaran HAM, antara lain hak ekonomi, sosial, budaya sampai hak-hak sipil. Bahkan ada kasus-kasus yang terindikasi pelanggaran HAM berat, tetapi harus dilakukan penelitian lebih lanjut.

Sandrayati Moniaga, Ketua Komisioner Inkuiri Nasional mengatakan, pelanggaran HAM banyak terjadi di semua region inkuiri. Hak-hak yang dilanggar, antara lain; hak ekonomi seperti hak mempunyai milik, hak bertempat tinggal dan berkehidupan layak. Lalu hak sosial, yakni hak atas pekerjaan layak. Hak budaya, antara lain hak atas pendidikan, hak memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi serta melakukan kehidupan budaya.

Paling banyak terlanggar lagi, kata Sandra, adalah hak-hak sipil masyarakat adat, seperti hak hidup; mempertahankan hidup; hidup tenteram, aman, damai, bahagia dan sejahtera; hak perlindungan dari ancaman ketakutan. Lalu, hak tak diganggu tempat kediaman, hak bebas dari penyiksaan, hak bebas dari perlakuan kejam, hukum yang adil, mendapatkan kepastian hukum, hak melaksanakan kepercayaan, sampai hak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik, serta masih banyak lagi.

Dia mengatakan, komisioner menilai, secara umum belum terjadi pelanggaran HAM berat. Karena pelanggaran HAM berat itu ada beberapa indikator, misal ada garis komando.

Dari pemaparan di tujuh region itu,  kata Sandra, memang ada beberapa kasus  yang mempunyai unsur pelanggaran HAM berat, seperti soal pemindahan paksa di beberapa daerah seperti Kalimantan Utara, Sumbawa dan Halmahera. “Di mana masyarakat dipindahkan paksa, dalam arti tak sepenuhnya mau pindah. Tanah pun diklaim kawasan hutan,” katanya dalam inkuiri nasional penutup di Jakarta, Rabu (17/12/14).

Menurut dia, perpindahan penduduk itu menyebabkan, a kind of affliction (penderitaan) tetapi masih harus diteliti lagi. “Indikasi ada tetapi masuk harus didalami. Kalau pelanggaran HAM berat, harus ada faktor perintah, terstruktur yang diwujudkan lewat surat perintah.”

Mengenai tindakan kekerasan yang terjadi di lapangan dan menimbulkan banyak korban, kata Sandra, itu terjadi spontan. Warga adat yang berkonflikpun, masih tinggal di tanah walau tak memiliki hak kelola wilayah adat.  “Jadi, bukan pelanggaran HAM berat. Kalau sistematis dan meluas,  jelas.”

Selama ini, katanya, orang melihat sekadar konflik, dengan inkuiri ini bisa melihat dimensi. “Karena itu kita ungkap, gali pelanggaran HAM untuk memperlihatkan kepada pemerintah bahwa kebijakan-kebijakan mereka itu sebenarnya langsung, maupun tak langsung melanggar hak masyarakat.”

Akar konflik

Dari inkuri ini, tim berhasil memetakan sebab-sebab akar konflik.  Antara lain, pertama, ketidakpastian hukum pengakuan masyarakat adat. Kedua, ketiadaan batas-batas wilayah yang dianggap sebagai wilayah adat. Ketiga, simplikasi keberadaan masyarakat adat dan hak-hak atas wilayah serta sumber daya hutan menjadi masalah administrasi semata. Keempat, perseteruan antara legalitas vs legitimasi, misal antara masyarakat adat vs perusahaan atau pemerintah.

Kelima, perempuan dalama masyarakat adat masih mengalami diskriminasi berlapis. Keenam, sikap pemerintah atau aparat keamanan lebih melindungi kepentingan perusahaan atau pemegang izin daripada masyarakat adat. Ketujuh, ketiadaan lembaga setingkat menteri  dalam penyelesaian konflik-konflik agraria, termasuk kehutanan.

Masyarakat  adat dari berbagai daerah berpose bersama tim komisioner inkuiri nasional dan Bambang Widjanarko, Wakil Ketua KPK (berbaju putih di tengah), pada Rabu (17/12/14). Foto: Sapariah Saturi

Masyarakat adat dari berbagai daerah berpose bersama pengurus AMAN, tim komisioner inkuiri nasional dan Bambang Widjanarko, Wakil Ketua KPK (berbaju putih di tengah), pada Rabu (17/12/14). Foto: Sapariah Saturi

Abdon Nababan, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, hasil inkuiri nasional ini mengungkapkan bergitu banyak pelanggaran HAM dialami masyarakat adat sudah masuk pelanggaran HAM berat, bahkan mengarah ke genosida. Namun, yang bisa menetapkan itu pelanggaran HAM berat atau tidak, dari komisioner. “Bagi AMAN itu sudah masuk pelanggaran HAM berat, bahkan mengarah ke genosida,” katanya.

Dia mengacu pada kasus-kasus seperti Talang Mamak di Riau, Suku Marind di Papua dengan proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) dan banyak lagi. Mereka kehilangan ruang hidup dan mengalami kekerasan. “Karena sudah mengubah seluruh sistem kehidupan mereka. Semua hak dilanggar. Ada gak teori akumulasi dari bergitu banyak pelanggaran ini menjadi pelanggaran HAM berat.”

Bagian aksi NKB

Bambang Widjanarko, Wakil Ketua KPK mengatakan, inkuiri nasional masyarakat adat ini bagian aksi nota kesepakatan bersama (NKB) 12 kementerian dan lembaga yang dibikin di hadapan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada 2013.

“Ini salah satu kajian Komnas HAM. Komnas HAM juga terlibat,  maka mereka menyelesaikan ini. Jadi bagian turunan masalah dalam NKB. Mengatasi konflik sosial. Kalau konflik sosial,  masa’ KPK yang masuk, ya enggaklah.”

KPK, katanya, menjalankan fungsi sebagai pemicu, bagaimana menyelesaikan masalah dan fungsi koordinasi serta supervisi.

Bambang mengatakan, inkuri nasional ini bertujuan memetakan masalah, mencari akar masalah, proses pembelajaran karena semua  stakeholders mendengar, dan mencari rekomendasi-rekomendasi paling layak dilakukan. Lalu, penyelesaikan masalah tenur dan HAM dan perbaikan-perbaikan sistemik.

“Jadi memang bukan case per case. Karena kalau case per case, jumlah kasus yang diproduksi dari kekacauan ini jauh lebih banyak dan lebih cepat daripada kemampuan penegak hukum dan penegak hukum itu sendiri.” Menurut dia, penyelesaiaan kasus per kasus ini tak menyelesaikan pokok masalah.

Dari hasil inkuiri itu, katanya, KPK merekomendasikan, beberapa hal. Pertama, moratorium izin-izin dan konsesi perusahaan tambang, perkebunan dan kehutanan bermasalah yang melanggar aturan dan hak masyarakat adat. Kedua, tarik keamanan baik TNI/Polri dari perusahaan (tambang, perkebunanan dan kehutanan). Ketiga,  perbaikan sistem kebijakan dan pengelolaan kawasan hutan untuk pencegahan korupsi, sebagai bagian aksi NKB. Keempat, revisi beragam aturan, kebijakan dan regulasi yang tak mendukung pengakuan masyarakat adat atas wilayah di kawasan hutan. Kelima, penyelesaian konflik tenurial kehutanan menyeluruh bagi masyarakat adat. Keenam, penuntasan kasus-kasus HAM serius dan menyeluruh bagi masyarakat adat.

Pada inkuiri nasional di  Jakarta, itu hadir perwakilan dari masyarakat adat, kementerian dan lembaga. Mereka memberikan pandangan-pandangan guna melengkapi rekomendasi dari inkuiri nasional ini.

 


Inkuiri Ungkap Banyak Pelanggaran HAM Dera Masyarakat Adat di Kawasan Hutan was first posted on December 18, 2014 at 10:42 pm.

Vonis 1 Tahun 10 Bulan bagi Dua Penolak Tambang Bangka

$
0
0
Kondisi Pulau Bangka pada 14 Desember 2014. Pulau sedikit demi sedikit mulai 'bersih' berkat libasan alat-alat berat perusahaan. Foto: Save Bangka Island

Kondisi Pulau Bangka pada 14 Desember 2014. Pulau sedikit demi sedikit mulai ‘bersih’ berkat libasan alat-alat berat perusahaan. Foto: Save Bangka Island

Pengadilan Negeri Minahasa Utara menjatuhi vonis satu tahun 10 bulan penjara, pada Y Tuhema dan F Kaongan, dua warga Desa Kahuku, Bangka, yang didakwa membakar alat berat PT Mikgro Metal Perdana. Vonis mendekati tuntutan dua tahun penjara oleh JPU. 

Keputusan ini membuat puluhan warga Bangka yang menghadiri sidang kecewa. Di luar gedung pengadilan, Rabu (17/12/14), mereka berteriak-teriak menyatakan hakim tidak adil memberikan putusan.

“Mereka menjatuhkan sanksi tanpa bukti. Warga tidak bersalah. Perusahaan tambanglah yang harus diadili.” Teriak mereka.

Nampak hadir di persidangan, Oktavia Palo, istri Tuhema. Dia terpukul dengan hasil persidangan. Suami harus mendekap lebih lama dalam jeruji. Natal tahun ini makin berat tanpa suami tercinta. Tak banyak yang bisa dia katakan. Mata berkaca-kaca. “Suami saya tidak melakukan perbuatan yang dituduhkan,” kata Oktavia.

Willem Mononimbar, kuasa hukum warga menyatakan, proses persidangan hakim tampak ragu. Dalam pertimbangan, hakim justru mempertimbangkan keterangan saksi. “Hakim tidak menilai obyektif-murni, namun seturut keterangan verbal saksi.”

Pengadilan Negeri Minahasa Utara menjatuhi vonis satu tahun 10 bulan penjara, pada Y Tuhema dan F Kaongan, dua warga Desa Kahuku, Bangka, yang didakwa membakar alat berat PT Mikgro Metal Perdana. Vonis mendekati tuntutan dua tahun penjara oleh JPU. Foto: Themmy Doaly

Pengadilan Negeri Minahasa Utara menjatuhi vonis satu tahun 10 bulan penjara, pada Y Tuhema dan F Kaongan, dua warga Desa Kahuku, Bangka, yang didakwa membakar alat berat PT Mikgro Metal Perdana. Vonis mendekati tuntutan dua tahun penjara oleh JPU. Foto: Themmy Doaly

Menyikapi keputusan, pihaknya mempertimbangkan kemungkinan banding. “Kami menolak putusan hakim dan coba mempertimbangkan banding. Untuk ke sana, harus menunggu kesiapan tim.”

Maria Taramen, ketua KMPA Tunas Hijau, kecewa. Menurut dia, kriminalisasi warga merupakan dukungan para penegak hukum terhadap aktivitas pertambangan di Bangka. Padahal, putusan Mahkamah Agung menyatakan, perusahaan tambang tidak layak beroperasi di sana.

“Kami harus melihat perjuangan sesuai hukum dan peraturan yang kandas karena melawan penguasa dan pemilik modal. Seharusnya yang ilegal MMP. Masyarakat berada pada posisi benar karena mempertahankan keputusan hukum MA.”

Dia mengimbau, seluruh penolak tambang tidak patah semangat. Putusan ini harus menjadi cambuk membuktikan bahwa penjara tidak mampu menghentikan perjuangan mereka.

Jull Takaliwang, dari Yayasan Suara Nurani Minaesa, terkejut dengan keputusan hakim. Sejak awal, dia melihat proses persidangan formalitas belaka. Akibatnya, masyarakat tidak pernah mendapat keadilan dalam proses hukum ini.

Dia menyesalkan hakim yang menjatuhkan sanksi tanpa ketiadaan barang bukti. Sampai hari ini, kata Jull, MMP masih menggunakan barang bukti yang dinyatakan dirusak kedua terpidana. “Masyarakat dihukum atas sesuatu yang tidak mereka lakukan. Kami terus berjuang dan mempertimbangkan banding. Keputusan hari ini tidak mencerminkan keadilan.”

Nendi Rusnendi, ketua majelis hakim, menegaskan, putusan didasari hal yang memberatkan seperti ada korban, berbelit-belit dan tidak mengakui. Hal meringankan, sopan dalam persidangan dan belum pernah dihukum.

Dia menyangkal tudingan tidak ada bukti dalam persidangan. Sesuai video dan pernyataan saksi, kedua warga terindikasi merusak mesin MMP. “Memang di video terlihat dua orang yang menurut keterangan saksi, bukan keterangan saya, adalah kedua orang itu. Saksi mengatakan kenal dekat dengan keduanya.”

Beginilah kondisi Pulau bangka, Sulut, pada pertengahan Desember 2014. Putusan Mahkamah Agung yang meminta penghentian izin kepada bupati sama sekali tak digubris. Perusahaan tetap moncer beroperasi. Foto: Save Bangka Island

Beginilah kondisi Pulau bangka, Sulut, pada pertengahan Desember 2014. Putusan Mahkamah Agung yang meminta pencabutan izin kepada bupati sama sekali tak digubris. Perusahaan tetap moncer beroperasi. Foto: Save Bangka Island

Nendi mengatakan, kuasa hukum pernah menghadirkan video dalam persidangan, namun tidak diserahkan pada majelis hakim. Dalam proses persidangan, penting bagi para pihak menyerahkan barang bukti.

“Kalau tidak diserahkan, lalu apa yang mau dinilai? Itu jadi pertimbangan majelis hakim dalam memberi putusan.”

Berdasarkan keterangan saksi, katanya, alat berat berupa besi, meski dalam keadaan utuh, namun sudah tidak bisa digunakan. Menanggapi informasi alat berat ini kembali digunakan MMP, dia tidak tahu. “Saya tidak tahu itu. Di sini pidana mereka membakar. Itu saja. Kalau digunakan atau tidak, saya tidak tahu.”

Pada Sabtu (12/7/14), warga penolak tambang berniat membacakan putusan MA di basecamp perusahaan tambang, di Desa Kahuku. Ketika sampai di sana, warga penolak dilempar batu oleh orang tak dikenal. Bentrok tak terhindarkan. Alat berat terbakar. Polisi menduga pelaku dari Desa Kahuku. Kamis dini hari (17/7/14), Tuhema dan Kaongan menjadi tersangka.

Suasana bising

Warga juga mengeluh persidangan berlangsung ketika gedung pengadilan, sedang renovasi. Akibatnya, suara bising membuat ucapan hakim yang tidak menggunakan microphone sulit terdengar.

Operasi berlanjut

Sementara itu, di Pulau Bangka, MMP terus bekerja. Kerusakan di pulau makin meluas, hutan-hutan terbabat, alat-alat berat dan kontainer-kontainer memenuhi tepian pantai.

Walau sudah diminta menghentikan operasi oleh  pemerintah pusat, lewat UKP4, sejak lama, tampaknya MMP punya kuasa dari segala. Kondisi pertengahn Desember 2014, Pulau Bangka, mulai botak pelahan. Foto: Save Bangka Island

Walau sudah diminta menghentikan operasi oleh pemerintah pusat, lewat UKP4, sejak lama, tampaknya MMP punya kuasa dari segala. Kondisi pertengahan Desember 2014, Pulau Bangka, mulai botak pelahan. Foto: Save Bangka Island


Vonis 1 Tahun 10 Bulan bagi Dua Penolak Tambang Bangka was first posted on December 18, 2014 at 11:37 pm.

BKSDA Sumsel Kembali Robohkan 109 Bangunan Masyarakat Adat di SM Dangku

$
0
0
Bangunan milik masyarakat di SM Dangku yang dirobohkan dengan menggunakan alat berat oleh BKSDA Sumsel. Foto: BKSDA Sumsel

Bangunan milik masyarakat di SM Dangku yang dirobohkan dengan menggunakan alat berat oleh BKSDA Sumsel. Foto: BKSDA Sumsel

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Selatan kembali merobohkan bangunan milik masyarakat adat di kawasan Suaka Margasatwa Dangku, Kabupaten Musi Banyuasin (Muba). Kali ini, sebanyak 109 bangunan yang dirobohkan. Sebelumnya, pada Oktober 2014, sebanyak 10 bangunan telah dirobohkan.

Edi Sopian, Koordinator Urusan Penyidikan dan Perambahan Hutan BKSDA Sumsel, mengatakan penghancuran bangunan tersebut dilakukan pada 8-11 Desember 2014.

“Penghancurkan bangunan menggunakan alat berat. Penertiban berjalan lancar dan tak ada perlawanan. Sebelumnya, peringatan telah berkali dilakukan juga waktu untuk membongkar sendiri pada Oktober 2014 lalu,” kata Edi, saat ditemui di Kantor BKSDA Sumsel, Selasa (16/12/2014).

Alasan tindakan tersebut, kata Edi, karena lahan yang dimanfaatkan para petani merupakan kawasan SM Dangku. Bukan tanah adat, karena tak ada tanah milik adat di kawasan tersebut. “Kepala desa, lurah, bahkan camat setempat juga sependapat,” ujarnya.

Edi mengatakan selama ini ada semacam klaim sepihak yang diprakasai kelompok tertentu, yang mengatakan tanah adat mereka masuk SM Dangku. Mereka mengajak masyarakat untuk membuka lahan di kawasan hutan konservasi itu.

“Dengan membayar iuran, masing-masing kepala keluarga mendapat lahan dua seperempat hektar. Dua hektar untuk ditanami, sisanya untuk dijadikan pondok dan pekarangan. Tetapi, ada juga lahan yang diperjualbelikan,” kata Edi.

“Untuk mengesankan mereka telah lama mendiami kawasan tersebut, dibangun juga fasilitas publik seperti sekolah dasar dan rumah ibadah. Kita cek ke instansi terkait, sekolah dasar yang bangunannya semi permanen itu ternyata tidak berizin,” jelasnya.

“Pada Oktober lalu, kita berhasil menangkap perambah yang selama 12 tahun ini merambah enam hektar lahan di kawasan SM Dangku serta menanaminya dengan karet yang kini telah menghasilkan getah,” ujarnya.

Dangku sendiri ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 245/Kpts-II/1991 tanggal 6 Mei 1991 seluas 31.752 hektar, terletak di Kabupaten Musi Banyuasin.

Sebanyak 109 bangunan milik masyarakat adat di SM Dangku dirobohkan karena bangunan tersebut berada di kawasan SM Dangku. Foto: BKSDA

Sebanyak 109 bangunan milik masyarakat adat di SM Dangku dirobohkan karena bangunan tersebut berada di kawasan SM Dangku. Foto: BKSDA

Tiga kelompok

Sunyoto, Kepala Seksi Konservasi Wilayah I Sumsel yang membawahi kawasan SM Dangku dan SM Bentayan menjelaskan berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang KSDA Hayati dan Ekosistemnya, UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, serta PP Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, pemanfaatan suaka margasatwa hanya dapat dilakukan untuk kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Kegiatan tersebut berupa pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam; penyimpanan dan atau penyerapan karbon, pemanfaatan air serta energi air, panas, dan angin serta wisata alam terbatas; dan pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya.

“Pada hutan suaka margasatwa, dilarang mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan untuk merambah, berladang, membuat pemukiman, menebang pohon, berburu satwa, mengambil hasil hutan lainnya serta membakar hutan dan atau melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan SM,” kata Sunyoto membacakan surat peringatan dari BKSDA Sumsel yang selalu disebar kepada masyarakat di sekitar kawasan SM Dangku.

“Kalau mereka tak mengindahkan surat peringatan tersebut, tak segera menghentikan aktivitas perambahan dan meninggalkan kawasan hutan SM, kita proses sesuai undang-undang. Sanksinya berdasar UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah hukuman penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak lima miliar rupiah,” katanya.

Sunyoto mengatakan masyarakat perambah hutan di kawasan SM Dangku dapat dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama, masyarakat desa di sekitar kawasan, kedua pendatang dari Lampung, khususnya Mesuji dan Tulang Bawang. Ketiga, pendatang dari Pulau Jawa.

“Untuk masyarakat desa setempat solusinya lebih mudah, tinggal kita kembalikan ke desanya dan dicarikan lahan di tempat lain. Tetapi persoalan ini menjadi lebih rumit jika mereka tetap bersikeras mengklaim tanah adat mereka ada di SM Dangku. BKSDA, Pemda Muba, instansi dan pihak terkait harus duduk bersama menyelesaikan persoalan ini,” ujarnya.

Sementara, petani dari Lampung dan Jawa persoalannya karena konflik lahan atau tak ada lagi lahan yang bisa digarap di daerah asal. “Solusinya, bisa dibiayai kepulangannya atau diikutkan program transmigrasi,” ujar Sunyoto.

Di Balai Pertemuan milik warga yang tidak dirobohkan, petugas BKSDA Sumsel memberikan penjelasan tindakan perobohan bangunan yang telah mereka lakukan. Foto: BKSDA Sumsel

Di Balai Pertemuan milik warga yang tidak dirobohkan, petugas BKSDA Sumsel memberikan penjelasan tindakan perobohan bangunan yang telah mereka lakukan. Foto: BKSDA Sumsel

Perusahaan sawit dan HTI

Selain masyarakat adat, BKSDA Sumsel juga menghadapi persoalan tumpang tindih lahan dengan perusahaan sawit. Sebelah utara, SM Dangku berbatasan dengan PT. Berkat Sawit Sejati, di selatan berbatasan dengan PT. Musi Banyuasin Indah dan HTI milik PT. Pakerin dan PT. Pinago. Sementara, bagian barat berbatasan dengan hutan lindung, dan sebelah timurnya dengan areal penggunaan lain.

“Persoalan tumpang tindih lahan ini sudah dilaporkan ke pusat dan telah dilaksanakan gelar perkara. Sudah sejauh mana perkembangannya, kami belum tahu,” ujar Sunyoto.

Sunyoto meyakini, jika dikembalikan lagi ke fungsinya, SM Dangku akan menjadi rumah ideal bagi flora fauna yang dilindungi. “Rusaknya hutan menyebabkan harimau masuk kampung. Oktober lalu, harimau masuk kebun warga di Rantau Kasih, Lawang Wetan. Kalau hutan terjaga, kita juga yang merasakan manfaatnya,” ujarnya.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio


BKSDA Sumsel Kembali Robohkan 109 Bangunan Masyarakat Adat di SM Dangku was first posted on December 19, 2014 at 1:20 am.

Ribuan Petani Tagih Janji Gubernur Jadikan Jateng Lumbung Pangan Bukan Tambang

$
0
0
Aksi ribuan warga Jawa Tengah datangi kantor gubernur meminta Jateng sebagai lumbung pangan bukan lumbung tambang, pada Kamis 18 Desember 2014. Foto : Tommy Apriando

Aksi ribuan warga Jawa Tengah datangi kantor gubernur meminta Jateng sebagai lumbung pangan bukan lumbung tambang, pada Kamis 18 Desember 2014. Foto : Tommy Apriando

“Gunung Kendeng takkan ku lepas. Tempat kita hidup bersama. Selamanya harus kita jaga. Untuk Jawa Tengah yang jaya. Itulah harapan kita semua, kita pasti menang, pastilah menang”

Ribuan warga dari Kabupeten Pati, Grobogan, Rembang, Blora, Ajibarang, Kota Semarang dan Kabupaten Kudus menyanyikan lagu mars Pegunungan Kendeng dalam aksi di depan kantor Gubernur Jawa Tengah, pada Kamis (18/12/2014) di Semarang.

Mereka beraksi menyampaikan tuntutan dan menagih janji kampanye Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo untuk menjadikan Jateng sebagai lumbung pangan, bukan lumbung tambang.

Gunarti dari Suku Samin, mengenakan pakaian serba hitam dan caping hitam. Ia mengatakan, kehadiran warga ingin mengingatkan kepada pemerintah Jateng bahwa penolakan warga terhadap pertambangan semen karena warga ingin menyelamatkan bumi, lingkungan dan ibu pertiwi yang sudah menghidupi warga.

“Bumi dan alam menghidupi manusia secara tulus, kami ingin menyelamatkan pegununungan Kendeng agar kehidupan anak cucu nanti lebih lestari,” kata Gunarti.

Gunarti menambahkan, sudah terbukti bahwa pabrik semen tidak bisa membuat warga sejahtera hingga tiga generasi,  tapi pertanian terbukti sejak jaman nenek moyang dapat mencukupi pangan masyarakat dan menyejahterakan. Kita mengingatkan gubernur dampak pabrik semen itu meluas. Jateng harusnya menjadi lumbung pangan nusantara. Selain itu, Jawa tengah itu tingkat bencananya tinggi, jangan sampai pertambangan akan menjadi bencana bagi kami.

Gunarti melakukan orasi menuntut selamatkan gunung Kendeng agar terhindar dari bencana ekologi. Foto : Tommy Apriando

Gunarti melakukan orasi menuntut selamatkan gunung Kendeng agar terhindar dari bencana ekologi. Foto : Tommy Apriando

Dalam aksi tersebut, Sukinah, warga Rembang mengungkapkan kekecewaannya terhadap pemerintah Jateng yang tidak mendengarkan aspirasi warga Rembang yang menolak pendirian pabrik semen PT Semen Indonesia.

Apalagi, aksi warga pada 26 dan 27 November 2014, berujung kekerasan aparat kepolisian dan preman. Tiga orang menjadi korban. Bibir memar, kuku jari berdarah terinjak sepatu polisi. Lesung warga di sita, spanduk di ambil dan tenda di rusak.

“Pak polisi itu ada di sisi rakyat kecil, penguasa atau pemodal toh?,” tanya Sukinah di hadapan polisi yang berjaga di depan gerbang kantor Gubernur Jateng.

Dia mengatakan polisi harusnya melindungi dan mangayomi masyarakat.  Jika pertambangan semen akan menyejahterakan rakyat, seharusnya pihak perusahaan semen tidak menggunakan kekerasan dan mengirim aparat kepolisian untuk intimdasi dan pukuli warga.

Sukinah juga bercerita, Gubernur Jawa Tengah ketika datang ke tenda warga pada 27 Juni 2014 di Rembang, menanyakan ke warga apakah sudah membaca dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) pabrik semen.

Padahal warga tidak pernah dilibatkan dalam pembuatan AMDAL. Warga juga tidak lulus sekolah, bagaimana mau membaca dokumen AMDAL. “Apa Ibu-ibu pantas baca dokumen AMDAL? Kami petani, tidak sekolah kok diminta pak Gubernur membaca AMDAL. Yang pintar itu petani apa gubernur?,” tanya Sukinah. “Petani!,” jawab serentak warga.

Sedangkan Yuli  datang dari Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah mengatakan keberadaan pabrik semen di wilayahnya mengakibatkan mata air menipis.

Menanggapi aksi tersebut, Boedyo Darmawan, dari Biro Bina Produksi Setda Jawa Tengah mewakili gubernur yang sedang di Jakarta mengatakan pihaknya sudah mencatat dan menyerap aspirasi warga, serta akan melaporkan ke gubernur.

Boedyo mengatakan pemerintah akan menerima dan mematuhi putusan PTUN Semarang yang sedang mengadili gugatan warga terhadap pembangunan pabrik semen.

Boedyo Darmawan dari Setda Jateng mewakili gubernur menyampaikan akan melaporkan tuntutan warga kepada gubernur. Photo by Tommy Apriando

Boedyo Darmawan dari Setda Jateng mewakili gubernur menyampaikan akan melaporkan tuntutan warga kepada gubernur. Photo by Tommy Apriando

Sedangkan koordinator aksi Zainal Arifin dari LBH Semarang mengatakan Pemprov Jateng masih menganggap Pegunungan Kendeng sebagai potensi tambang kawasan karst.  Padahal warga terancam pertambangan semen, dengan hilangnya lahan pertanian, alam yang rusak dan mengancam hilang sumber air.

“Pemerintah Jateng harus merubah atau merevisi RTRW Jawa Tengah agar kawasan karst untuk tambang dijadikan kawasan untuk pertanian,” kata Zainal.

Ia menambahkan gubernur bisa mencabut  surat keputusannya terkait izin lingkungan pertambangan PT Semen Indonesia.  Dengan menyarankan warga menggugat surat keputusan tersebut, berarti gubernur melepaskan tanggung jawabnya, dan lebih berpihak pada perusahaan.

Jika gubernur berperikemanusiaan, maka bisa menarik alat berat dan menghentikan pendirian pabrik semen selama gugatan di PTUN berlangsung.  Mereka juga meminta lesung, spanduk dan bendera merah putih yang diambil polisi, agar dikembalikan. Masyarakat juga siap membantah isi dokumen AMDAL.

“Kami minta, satu minggu terhitung hari ini agar pabrik semen berhenti, alat berat di tarik, dan minta polisi melindungi dan menganyomi masyarakat bukan kepada investor,” kata Zainal sembari mengakhiri orasinya.

Sementara itu, Sobirin dari Yayasan Desantara mengatakan, warga sudah melakukan pemetaan bersama beberapa pihak lintas keilmuan. Temuannya, di bagian selatan Kabupaten Rembang terpapar pergunungan memanjang dari barat ke timur, memiliki bentangan karst.  IUP  PT Semen Indonesia masuk wilayah karst dan cekungan air tanah. Kawasan CAT Watuputih penting untuk air. Sumber air bagi sekitar 600.000 lebih warga Rembang.

Data temuan warga, ada ratusan sumur di wilayah sama, ada gua, ponor dan sumber air. Ada 54 gua, lima masuk IUP dan sebagian besar di sekitar IUP. Terdapat 52 sumber air berupa sumur, 125 sumber mata air keluar dari rekahan atau celah, 44 ponor dan 23 masuk IUP.

“Ada data digelapkan dalam dokumen Amdal PT Semen Indonesia. Dalam dokumen disebutkan hanya 38 sumur dan sembilan gua. Warga desa masuk lokasi IUP dan mendapati sungai bawah tanah di Gua Gunung Karak, Desa Sumberan, Kecamatan Gunem namun tidak disebutkan dalam AMDAL. Goa Menggah disebut dalam AMNDAL sebagai goa tidak berair, padahal sumber air,” tambah Sobirin.

Data temuan dari Jaringan Advokasi dan Tambang (Jatam) menyebutkan, hingga 2013, izin tambang karst di Jawa, mencapai 76 izin, yang tersebar di 23 kabupaten, 42 kecamatan dan 52 desa dengan total konsesi 34.944,90 hektar. Kondisi ini, bisa menjadi ancaman serius bagi lingkungan di Jawa.

Analisis Jatam, eksploitasi karst di Jateng sebagian besar dipicu lewat legalisasi daerah seperti Peraturan Daerah Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 tentang RTRWP 2009-2029.

Eksepsi Gugatan Di Tolak Hakim, Walhi Siap Adu Data

Pada hari yang sama, majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang menolak eksepsi (tangkisan) dari pihak PT Semen Indonesia selaku Tergugat II Intervensi terkait kewenangan absolut PTUN.

 

Hakim Ketua Susilowati Siahaan menilai PTUN Semarang berwenang memeriksa gugatan warga karena SK Gubernur Jawa Tengah No: 660.1/17 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan kegiatan pertambangan PT Semen Indonesia di Rembang telah memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

 

“Dengan ini menyatakan menolak eksepsi tergugat dan menyatakan sidang dilanjutkan dengan agenda pemeriksaan,” kata Susilowati.

 

Agenda sidang berikutnya akan digelar pada 8 Januari 2014 dengan agenda penyampaian duplik oleh Gubernur Jawa Tengah sebagai tergugat dan Semen Indonesia sebagai tergugat intervensi.

 

Muhnur selaku kuasa hukum warga mengatakan mengapresiasi putusan sela hakim PTUN karena menolak eksepsi. Ini jadi ujian awal bagi hakim memutus perkara. Hakim harus melihat aspek lingkungan pada perkara ini.

“Jika hakim tidak berspektif lingkungan maka putusannya akan merugikan masyarakat dan lingkungan,”katanya

Ia menambahkan, hakim harus memperhatikan kondisi di lapangan, seperti ada intimidasi, kekerasan di tengah berjalannya gugatan dan pembangunan tetap berjalan. Untuk sidang pembuktian, mereka sudah siapkan data untuk menangkis semua penyataan Ganjar Pranowo dan pihak PT Semen Indonesia.

“Jika gubernur punya political will seharusnya mencabut ijin lingkungan PT Semen Indonesia. Namun jika tidak mencabut artinya gubernur berpihak pada perusahaan, bukan rakyat,” kata Muhnur mengakhiri.

 

 


Ribuan Petani Tagih Janji Gubernur Jadikan Jateng Lumbung Pangan Bukan Tambang was first posted on December 19, 2014 at 4:25 am.

Waspadai Bencana Longsor dan Banjir, Gubernur Jatim Minta Masyarakat Jaga Lingkungan

$
0
0
Pengerukan sungai di Surabaya sebagai antisipasi banjir  akibat menumpuknya sampah di sungai. Foto : Petrus Riski

Pengerukan sungai di Surabaya sebagai antisipasi banjir akibat menumpuknya sampah di sungai. Foto : Petrus Riski

Sebanyak 22 dari 38 Kabupaten dan Kota di Jawa Timur masuk kategori rawan bencana, diantaranya Bojonegoro, Jombang, Malang, Trenggalek dan Pacitan.

Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jawa Timur Sudarmawan mengatakan, pihaknya telah mendata dan mewaspadai daerah-daerah rawan bencana, terutama bencana banjir, longsor hingga puting beliung.

“Posko sudah siap di titik-titik rawan, termasuk kesiapan evakuasi warga bila bencana terjadi. Antisipasi lain juga telah dilakukan bersama Kementerian ESDM dengan memasang alat deteksi dini longsor dan tanah bergerak,” kata Sudarmawan.

Dari frekuensi longsor yang terjadi tahun-tahun sebelumnya, Kabupaten Pacitan memiliki tingkat kerawanan cukup tinggi, serta daerah-daerah lain yang berada pada wilayah dengan ketinggian tertentu.

“Pacitan memberi kontribusi sekitar 31 persen longsor di Jawa Timur pada tahun 2013. Tahun lalu juga terjadi longsor di Jombang. Malang Selatan juga kita waspadai. Umumnya pemicu longsor karena ada rekahan yang kemudian tidak kuat menahan tampungan air. Selain itu juga karena beban bangunan yang terlalu banyak pada bukit,” terangnya.

Selain menyiagakan peralatan berat dan tim siaga bencana, Pemprov Jatim melakukan koordinasi antar lembaga terkait, agar penanganan bencana dapat berjalan dengan lancar.

“Selama ini persoalan koordinasi antar lembaga, siapa melakukan apa, itu yang kami lakukan sekarang,” imbuhnya.

Antisipadi longsor di lereng gunung di Kota Batu dengan tidak menebangi pohon menjadi lahan pertanian maupun  peternakan. Foto : Petrus Riski

Antisipadi longsor di lereng gunung di Kota Batu dengan tidak menebangi pohon menjadi lahan pertanian maupun peternakan. Foto : Petrus Riski

Bupati Pacitan, Indartato mengakui, daerahnya merupakan kawasan rawan tanah longsor yang disebabkan kontur tanah yang terdiri dari 85,4 persen pegunungan dan 14,6 persen sisanya merupakan daratan yang landai.

Meski belum terjadi longsor dalam skala besar, Pemerintah Kabupaten Pacitan telah melakukan langkah antisipasi serta pengawasan kawasan rawan longsor, sambil menyiagakan warga untuk siap dievakuasi bila longsor benar-benar terjadi.

“Kemarin ada 34 rumah yang retak, tapi tidak longsor cuma retak-retak, itu yang rawan itu,” ujar Indartato, Bupati Pacitan saat ditemui Mongabay-Indonesia di Surabaya, Selasa (16/12).

Dari 12 Kecamatan di Kabupaten Pacitan, tercatat semua wilayah rawan longsor meski dalam skala kecil. Untuk mengantisipasi bencana tanah longsor, Indartato mengakui bahwa daerahnya belum memiliki ekstensometer atau alat pendeteksi gerakan tanah, sebagai peringatan bencana tanah longsor.

“Kami hanya memiliki alat pendeteksi tsunami, itu karena wilayah Pacitan berada di pesisir laut selatan,” lanjut Indartato.

Untuk itu gerakan penghijauanmerupakan satu-satunya upaya yang bisa dilakukan warga Pacitan selama ini, untuk meminimalisir bencana longsor yang mungkin terjadi sewaktu-waktu.

“Kalau penghijauan sudah dilakukan, tidak ada yang gundul karena masyarakat sudah aktif menanam pohon sengon sejak 1990-an di lahan kawasan hutan. Hanya saja kondisi kontur tanah yang menjadi penyebab longsor,” tutur Indartato yang mencita-citakan Pacitan Ijo Royo-royo melalui gerakan penghijauan.

Saat ini Pemkab Pacitan bekerjasama dengan Badan Geologi Kementerian ESDM, BPBD, TNI/ Polri serta instansi terkait lainnya melakukan pemetaan titik-titik rawan bencana, sehingga dapat dilakukan antisipasi untuk menghindari timbulnya korban jiwa.

“Penguatan kontur tanah itu yang sulit. Kita sedang kerjasama dengan berbagai pihak agar kondisi semacam ini tidak sampai mengorbankan rakyat,” tambahnya.

Terkait ancaman longsor di jalur antara Ponorogo-Trenggalek, serta tanah gerak di Trenggalek, Gubernur Jatim Soekarwo mengatakan bahwa pembuatan bendungan merupakan salah satu solusi sebagai tempat tangkapan air untuk mencegah longsor. Lahan kritis milik Perhutani juga menjadi faktor yang harus diwaspadai, terkait bencana longsor.

“Kita usul ke Perhutani karena ada kritis tanah milik Perhutan, Perhutani belajar dengan hutan rakyat, yang kritis diserahkan saja ke masyarakat agar ditanami sengon, masyarakat pasti senang. Selama ini hutan yang dikelola oleh rakyat malah aman,” tandas Soekarwo.

Ancaman Banjir

Selain tanah longsor, ancaman bencana banjir juga menjadi perhatian serius Pemprov Jatim, terutama memasuki puncak musim penghujan pada akhir Desember ini.

Soekarwo menetapkan status siaga bencana tanah longsor dan banjir, mengingat wilayah Jatim dilalui 2 sungai besar yang dikelola pemerintah pusat yaitu Bengawan Solo dan Brantas, serta 5 aliran sungai yang lebih kecil yang dikelola Pemprov Jatim.

Waduk Ngipik di Kabupaten Gresik sebagai tempat  penampungan air saat musim hujan. Foto : Petrus Riski

Waduk Ngipik di Kabupaten Gresik sebagai tempat penampungan air saat musim hujan. Foto : Petrus Riski

“Untuk sungai Brantas, waspada di daerah Malang karena disana ada daerah langganan banjir. Termasuk  3 desa di Blitar yang rawan banjir, sementara ini kita hanya bisa mengurangi waktu genangan dari 1 minggu menjadi 3 hari. Tulungagung juga waspada banjir kalau Brantas meluap,” kata Soekarwo, yang melarang cuti bagi “Tim 24 Jam” yang telah dibentuknya.

Selain melakukan evaluasi serta kesiapsiagaan menghadapi kemungkinan bencana banjir dan tanah longsor di Jawa Timur, Soekarwo akan melakukan pengecekan langsung ke sungai Bengawan Solo di wilayah Jawa Timur pada akhir Desember ini.

“Semua saya minta waspada, masyarakat harus menjaga lingkungannya masing-masing agar terhidar dari ancaman bencana,” pungkasnya.

 


Waspadai Bencana Longsor dan Banjir, Gubernur Jatim Minta Masyarakat Jaga Lingkungan was first posted on December 19, 2014 at 6:41 am.

Perusahaan Sawit Bisa Dicabut Keanggotaan RSPO Bila Membuka Hutan Primer Bernilai Konservasi Tinggi

$
0
0
Kepala Satuan Polisi Kehutanan BKSDA Sumatera Barat, usai melakukan penebangan pohon sawit di kawasan hutan Cagar Alam Maninjau Utara-Selatan, Kabupaten Agam, propinsi Sumatera Barat. Foto: Dok. BKSDA

Kepala Satuan Polisi Kehutanan BKSDA Sumatera Barat, usai melakukan penebangan pohon sawit di kawasan hutan Cagar Alam Maninjau Utara-Selatan, Kabupaten Agam, propinsi Sumatera Barat. Foto: Dok. BKSDA

Untuk memenuhi tuntutan global akan pengelolaan kelapa sawit secara berkelanjutan, Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) didirikan pada 2004, untuk mempromosikan produksi dan penggunaan produk sawit berkelanjutan melalui standar global.

Direktur RSPO Indonesia, Dewi Kusumadewi mengatakan RSPO mempunyai prinsip-prinsip dalam pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit, antara lain prinsip agar perusahaan sawit anggota RSPO harus melakukan indentifikasi terhadap lahan yang akan dibuka. Bila ada lahan yang terindentifikasi memiliki nilai konservati tinggi (high conservation value / HCV), maka lahan tersebut tidak boleh dibuka dan harus dikonservasi.

“RSPO ada prinsip khusus pembukaan lahan. Prinsip ketujuh, persyaratan yang meminta perusahaan yang tidak membuka hutan primeer dan lahan HCV sejak 2005, meski statusnya APL, yang dialokasikan pemerintah untuk perkebunan. Mereka harus lakukan identifikasi HCV, harus cek lapangan, misal ada tutupan area yang masih baik, ada area yang jadi habitat satwa, atau riparian sungai yang berikan servis lingkungan. Itu harus dikonservasi, tidak boleh dibuka,” kata Dewi dalam diskusi bersama wartawan di Jakarta, pada Kamis (18/12/2014).

Dewi menyatakan hal tersebut untuk menanggapi Laporan Environmental Investigation Agency (EIA) yang menyatakan perkebunan sawit turut melakukan penebangan kayu ilegal untuk pembukaan sawit. EIA menyebutkan, hampir semua perkebunan sawit di Indonesia sengaja mengelak dari Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Kebijakan SVLK resmi diterapkan sejak September 2010. Namun tidak membuat penebangan kayu ilegal dari pembukaan lahan sawit berkurang.

EIA menyebutkan sejak 2000-2010 sebanyak 1,6 juta hektar hutan hilang oleh perluasan sawit atau berkontribusi terhadap 80 juta meter kubik kayu hilang.

Dewi mengatakan RSPO sendiri sedang mengembangkan metodologi untuk mengidentifikasi lahan HCV. “Harapan kami, ini bisa membedakan perusahaan sawit anggota RSPO dan perusahaan yang tidak mempunyai kewajiban assesment,” katanya.

Desi menjelaskan anggota RSPO berjumlah 30 persen dari total perusahaan sawit. Pengurus RSPO bisa membekukan keanggotaan sebuah perusahaan bila terbukti melakukan pelanggaran sampai rekomendasi perbaikan dilakukan. Bahkan, keanggotaan RSPO juga bisa diakhiri.

“Sanksi ada bila perusahaan terbukti melakukan pelanggaran. Dari beberapa cara yang dilakukan,  misal RSPO tunjuk pihak ketiga yang independen untuk meneliti yang diduga dilanggar. RSPO bisa membekukan keanggotaan agar perusahaan bisa lakukan langkah rekomendasi perbaikan dari RSPO. RSPO bisa mengakhiri keanggotaaan dari perusahaan,” jelasnya.

Pada kesempatan yang sama, penasehat RSPO, Bungaran Saragih mengatakan RSPO buka merupakan organisasi konservasi. “RSPO adalah sustainable developmentalist, yang menerapkan pembangunan yang berkelanjutan. Sehingga tidak anti pembangunan,” katanya.

Tetapi RSPO mempunya kriteria dan prinsip dalam menjalankan usahanya. “Kita pastikan anggota RSPO harus laksankan prinsip dan kriteria. Kalau tidak laporkan,” katanya.

Sebelumnya, Environmental Investigation Agency (EIA) mengungkapkan, pembukaan hutan untuk perkebunan sawit mendorong penebangan liar besar-besaran. Studi kasus fokus di Kalimantan Tengah ini menemukan beragam fakta dari pemberian izin korup melibatkan pejabat daerah, hingga polisi menghentikan kasus setelah menerima suap dari perusahaan. Berbagai usaha reformasi hukum sektor kehutanan dan kayu Indonesia pun tak jalan.

“Penebangan kayu liar melalui konsesi sawit tidak terkendali. Peraturan perundang-undangan tentang kayu di Indonesia sangat gagal mengendalikan itu,”  kata Tomasz Johnson, juru kampanye hutan EIA, di Jakarta, Selasa (16/12/14).

Perusahaan sawit yang disebut dalam laporan berjudul Permitting Crime: How Palm Oil Expansion Drives Illegal Logging in Indonesia ini  antara lain PT Nusantara Sawit Persada, PT Flora Nusa Perdana, PT Prasetya Mitra Muda, dan PT Kahayan Agro Plantations. Lalu, PT Suryamas Cipta Perkasa,  PT Sawit Lamandau Raya.

“Investigasi menyingkap beberapa kasus terburuk. Kami menemukan, pemerintah daerah bersekongkol dengan perusahaan mempercepat perizinan. Hasilnya, penebangan hutan tidak teridentifikasi.”

Laporan ini juga mengatakan, hampir semua perkebunan sawit di Indonesia sengaja mengelak dari Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Kebijakan SVLK resmi diterapkan sejak September 2010. Namun tidak membuat penebangan kayu ilegal dari pembukaan lahan sawit berkurang.

“Selama 10 tahun terakhir, pemerintah Indonesia berupaya keras menghentikan illegal logging. Turun 80-90%. Sayangnya, reformasi belum menyentuh perkebunan sawit. Konsesi lahan menjadi sumber utama penebangan kayu ilegal,” ucap Johnson.


Perusahaan Sawit Bisa Dicabut Keanggotaan RSPO Bila Membuka Hutan Primer Bernilai Konservasi Tinggi was first posted on December 19, 2014 at 8:24 am.

Pemerintah Diminta Serius Selidiki Kematian Orangutan dengan 40 Butir Peluru di Nyaru Menteng

$
0
0

 

Inilah orangutan betina malang yang ditubuhnya bersemayam 40 butir peluru. Foto: Yayasan BOS Nyaru Menteng

Masih ingat peristiwa tragis menimpa orangutan yang di tubuhnya ditemukan 40 butir peluru di Nyaru Menteng, Kalimantan Tengah? Malang, meski usaha penyelamatan maksimal telah dilakukan namun nyawa orangutan betina dewasa ini tidak terselamatkan.

Sebuah petisi di Change.org bertajuk “Demand Justice for Orangutan shot 40 Times and Action against Makin Group” yang diprakarsai Palm Oil Consumer Action, meminta Pemerintah Indonesia segera melakukan investigasi terhadap perusahaan Makin Grup, tempat kejadian mengenaskan tersebut berlangsung. Penyelidikan diharapkan dilakukan sungguh-sungguh yang dibarengi proses penegakan hukum.

Petisi ini ditujukan langsung kepada Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, dan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo.

Dalam petisi tersebut, Menteri Siti Nurbaya, diminta dengan hormat untuk menyelidiki kasus pembunuhan orangutan yang terjadi pada 4 Desember 2014 itu dan selanjutnya mengambil tindakan hukum yang sesuai kepada perusahaan Makin Grup atas kejadian tersebut. Karena, matinya orangutan di wilayah perkebunan ini sudah terjadi berulang kali. Pemerintah juga diharapkan berkomitmen penuh melaksanakan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem.

Paulina Laurensia Ela, Spesialis Komunikasi Borneo Orangutan Survival Foundation (Yayasan BOS), mengapresiasi adanya petisi tersebut. “Kami berharap, gerakan ini dapat mendorong pemerintah, terlebih BKSDA Kalimantan Tengah yang tengah melakukan penyelidikan untuk menyelesaikan kasus tersebut dengan tuntas, transparan, dan melanjutkannya ke proses hukum.”

Menurut Paulina, banyak cara yang dapat dilakukan untuk hidup berdampingan dengan orangutan tanpa harus membunuhnya. “Sejauh ini, berdasarkan catatan yang ada, baru tiga kasus yang dijerat ke proses hukum. Diharapkan, dengan tertangkapnya pelaku kasus ini, akan memberikan efek jera,” ujarnya.

Berdasarkan data Borneo Orangutan Survival Foundation (Yayasan BOS), jumlah keseluruhan orangutan yang telah diselamatkan dari areal Makin Group sekitar 166 individu dengan 19 individu dalam keadaan mati, termasuk orangutan malang yang dipetisikan ini. Dari jumlah tersebut sebanyak 100 individu sudah ditranslokasi ke hutan-hutan sekitar yang relatif aman dan 47 individu masih dalam perawatan di Nyaru Menteng.

Makin Grup juga dianggap memiliki catatan buruk terhadap penghancuran habitat orangutan, mengubah hutan menjadi perkebunan sawit, yang berujung kematian.  Berdasarkan catatan Center for Orangutan Protection (COP) dari Maret 2003 hingga Juni 2006, setidaknya ada 221 individu orangutan di Kotawaringin Timur dan Katingan, Kalimantan Tengah yang telah diselamatkan oleh tim dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Tengah dan Yayasan Bos. Kesemua orangutan tersebut merupakan korban langsung dari keberadaan perusahaan sawit Makin Grup.

Daniek Hendarto, Juru Kampanye COP, menuturkan penuntasan kasus kematian orangutan di perkebunan kelapa sawit masih jauh dari harapan. Menurutnya, upaya penegakan hukum yang ada belum maksimal, ini terlihat dari kasus kematian orangutan tahun 2011 lalu yang pelakunya hanya divonis delapan hingga sepuluh bulan penjara. “Harusnya, ada upaya maksimal lima tahun penjara bila berlandaskan UU No 5 Tahun 1990.”

Daniek berharap, kasus-kasus kekerasan terhadap orangutan yang berujung pada kematian tidak berulang lagi. “Untuk itu, ada baiknya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membentuk tim guna mencari bukti akurat yang dapat digunakan untuk menjerat perusahaan,” ujarnya.

Operasi medis yang dilakukan untuk menyelamatkan nyawa orangutan betina malang tersebut. Sayang, nyawanya tidak tertolong. Foto: BOS Nyaru Menteng

Dilindungi

Jamartin Sihite, CEO Yayasan BOS menyatakan bahwa orangutan merupakan satwa dilindungi. Menurut Jamartin, upaya pelestariannya juga telah disusun dalam Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia 2007-2017 saat Konferensi Perubahan Iklim di Bali, Desember 2007. Poin penting yang perlu dicatat adalah paling lambat, tahun 2015, semua orangutan di pusat rehabilitasi sudah dikembalikan ke habitatnya. “Kita mengapresiasi target tersebut dan berharap dapat terlaksana. Namun, yang harus dipikirkan adalah bagaimana keselamatan orangutan saat berada di alam liar nanti?,” tuturnya.

Terhadap keberadaan orangutan, Jamartin menjelaskan bahwa orangutan memiliki peran penting meregenerasi hutan dengan menebarkan biji. Dengan menyelamatkan spesies kharismatik ini berarti akan menyelamatkan pula seluruh spesies satwa serta alam liar. Pada akhirnya, kondisi hutan yang baik akan memberikan manfaat besar bagi manusia karena hutan memberikan udara yang segar, air yang bersih, mencegah banjir, longsor, dan memberikan layanan ekologi. “Dan jangan lupakan, 97,8 persen DNA orangutan itu sama dengan DNA manusia,” tegasnya.

Hingga kini, dukungan terhadap petisi online terus berdatangan. Sejak diluncurkan 8 Desember 2014, sampai tulisan ini diturunkan, sebanyak 7.227 orang telah membubuhkan tanda tangan.


Pemerintah Diminta Serius Selidiki Kematian Orangutan dengan 40 Butir Peluru di Nyaru Menteng was first posted on December 19, 2014 at 9:20 am.

Merawat Masa Lalu, Menjaga Rumah Adat Lapinceng

$
0
0
Rumah Adat Lapinceng nampak atap sudah ada yang lepas. Foto: Eko Rusdianto

Rumah Adat Lapinceng nampak atap sudah ada yang lepas. Foto: Eko Rusdianto

Siang  itu,  awal Desember 2014, saya mengunjungi rumah adat Lapinceng di Dusun Bulu Dua, Desa Balusu, Kecamatan Balusu, Barru. Andi Ibrahim, ahli waris yang saya temui mengajak menapaki loteng rumah itu. Cukup luas dengan jendela kecil di bagian depan. “Ruangan ini pada masa lalu untuk merawat anak perempuan raja,” katanya.

Saya tertegun. “Mungkin dulu loteng ini, memiliki kamar-kamar. Tidak seperti sekarang kosong karena tak digunakan.”

Hawa di loteng siang itu cukup panas. Tak ada langit-langit, lantai loteng dan atap di sisi-sisi bangunan tak punya sekat. Ibrahim, mengatakan, suasana dan keadaan sekarang jangan dibawa pada masa lalu. “Sekarang atap rumah seng, jadi panas. Masa lalu menggunakan rumbia atau pelepah sagu, jadi sejuk.”

Akhirnya, di lantai berdebu loteng rumah itu, saya mencoba menapaki pelahan. Membayangkan anak gadis tumbuh, dan hanya melihat dunia melalui jendela serta mengamati hiruk pikuk keluarga dari sela-sela lantai bambu.

Sejak kapankah seorang anak perempuan menghuni di ruangan ini? Ternyata, mulai dari kelahiran, hingga siap dinikahkan. Cerita berawal, saat peramaisuri melahirkan anak perempuan, sang inang  (pangasuh) menggendong sang bayi ke loteng. Tak menunggu sehari atau beberapa hari, melainkan pada hari kelahiran. Segala macam keperluan dikerjakan di loteng.

Anak perempuan raja tak boleh menginjakkan kaki ke bangunan rumah utama apalagi ke tanah. Anak perempuan menjadi semacam “aset” yang harus dilindungi dan benar-benar dijaga. Ketika orang tua, sudah menemukan jodoh yang tepat buat si anak, maka perlahan mereka boleh turun ke badan rumah. Berkeliaran dan berjalan-jalan.

Anak perempuan turun rumah itu,  sekaligus menjadi penanda bagi warga. “Seperti undangan atau pemberitahuan masa lalu. Warga yang melihat anak perempuan raja di badan rumah, akan menyampaikan ke warga lain, jika akan ada pesta pernikahan,” kata Ibrahim.

Sebelum masyarakat Bugis mengenal agama ‘impor’ seperti Islam, Kristen dan lain-lain, loteng rumah sebagai tempat menyemayankan jenazah. Jenazah diletakkan di dekat jendela kecil bagian depan (timpa’ laja).

Timpa’ laja menjadi jendela tempat melayang atau menghilangnya jenazah bagi masyarakat yang memiliki tingkat keilmuan, pengetahuan, dan kebaikan yang mumpuni. “Jenazah itu menunggu kilat dan guntur. Jika terjad SAi, jenazah akan menghilang. Jadi ditimpa’na millajangnna (dibuka dan melayang),” kata Ibrahim.

Di rumah adat Lapinceng, di dekat timpa’ laja terdapat tiga balok menjorok dan mengapit pada di tiang utama rumah. Balok-balok itu diperkirakan tempat atau dudukan dalam meletakkan jenazah. Ia menggunakan peti atau hanya kain balutan jenazah.

Lapinceng berdiri di lahan 43 are. Halaman ditumbuhi rumput hijau. Di bagian depan ada rumah jaga. Bagain samping, ada hamparan sawah dan di depan mengallir Sungai Balusu.

Dari bagian depan, rumah Lapinceng berbeda dengan rumah Bugis lain. Teras tidak mengikuti badan rumah dan tertutup. Biasa, teras rumah Bugis selalu terbuka, tempat beristirahat penghuni dan tempat bercengkrama.

Teras tertutup seperti menutup akses masyarakat luar melihat langsung keadaan bangunan.

Apa yang menyebabkan seperti itu? Ibrahim mengatakan, teras kecil di depan rumah tidak untuk orang, melainkan tempat kuda raja.

Salah satu asumsi yang menguatkan, adalah bentuk anak tangga disusun rapat dan lebar. “Kalau tangga manusia, pasti berjenjang. Ini tidak, tentu memudahkan kuda menapak naik.”

Menapakkan kaki di rumah Lapinceng, seperti menjejak langkah di kayu besi. Tiang tampak kokoh. Pasak-pasak kayu terlihat menempel dan mengapit tiang. Rumah ini awalnya dibangun tanpa menggunakan sedikitpun unsur besi. Baru pada 1982, Balai Peninggalan Pelestarian dan Peninggalan Purbakala (BP3) Sulawesi Selatan menetapkan sebagai benda cagar budaya, beberapa bagian dipasang baut, mur dan paku.

“Teknologi masa lalu menggunakan pasak kayu sangat sulit. Perlu keahlian khusus. Untuk menjaga digunakan unsur besi,” kata Ibrahim.

Rumah ini dibangun 1836. Pengadaan dan perlengkapan sejak 1814. Adalah Andi Saleha yang membangun. Rumah ini, diperkirakan hadiah untuk anaknya, Andi Muhammad Saleh yang menggantikan sebagai raja.

Andi Ibrahim,  penjaga dan ahli waris rumah adat Lapinceng. Foto: Eko Rusdianto

Andi Ibrahim, penjaga dan ahli waris rumah adat Lapinceng. Foto: Eko Rusdianto

Lapinceng kediaman raja di Kerajaan Balusu. Kerajaan ini, palili atau di bawah pengaruh kerajaan Soppeng.  Raja bergelar datuk dan berkewajiban memberikan upeti kepada Soppeng.

Saat memasuki ruang utama rumah Lapinceng yang lapang, terlihat balok berdiri tidak sama tinggi. Balok itu,  menandakan posisi strata sosial para tamu. Yang paling tinggi di sebelah kanan kiri raja, paling rendah di dekat ruang keluarga menuju dapur.

Pada ruang utama itu, terdapat dua buah pintu geser. Satu menuju ruang keluarga, satu berhubungan dengan kamar raja. Memasuki ruang tengah, terdapat tiga buah kamar. Kamar raja, selir dan keluarga.

Secara keseluruhan, rumah Lapinceng menggunakan 35 tiang dengan 23 jendela. Tinggi rumah dari permukaan tanah sekitar 6,5 meter, dengan tinggi keseluruhan tiang mencapai 15 meter hingga pucuk atap.

Tiang dan dinding kayu rumah ini menggunakan kayu bitti berlantai bambu. Potongan bambu untuk lantai diurut dengan begitu rupa, hingga semua ruas tulang benar-benar sejajar. “Jika menebang 100 bambu, bisa untuk lantai hanya 40 buah, karena tulang ruas harus benar-benar seajajar,” kata Ibrahim.

Kala berkunjung ke Lapinceng, penggunaan lantai bambu sudah tak ada lagi berganti papan kayu. Ruas-ruas balok penyangga bambu hanya berjarak sekitar satu jengkal tetap dipertahankan.

Penggunaan nama Lapinceng diperkirakan karena proses pembangunan begitu lama. Pinceng (penyebutan huruf “e” dalam Lapinceng seperti menyebut kata “sehat”) dalam bahasa Bugis berarti piring kaca. Dari mulai pengadaan hingga pembangunan ada ratusan piring pecah. Pecahan-pecahan piring berhamburan juga menunjukkan biaya. Maka lahirlah penyebutan Lapinceng bukan rumah adat Balusu.

Pada masa lalu–di wilayah kini Kabupaten Barru–, ada empat kerajaan berdiri sama tinggi. Yakni Kerajaan Nepo Mallusetasi, Kerajaan Balusu, Kerajaan Barru, dan Kerajaan Tanete. Untuk itu, dalam lambang Kabupaten Barru terdapat empat payung kerajaan, menandakan penggabungan empat kerajaan dalam satu kesatuan administratif.

***

Ibrahim memukul-mukul bagian dasar tiang rumah Lapinceng. Bunyi menggema. “Ini karena tiap tahun tiang rumah terendam air. Coba Anda datang pertengahan Desember hingga Februari, pasti kolong dan halaman rumah seperti empang,” katanya.

Saya memperhatikan tiang-tiang itu seksama. Tanda-tanda genangan air terlihat, tinggi sekitar 50 sentimeter. “Kayu bitti kuat, tapi jika terdendam terus setiap tahun akan mudah lapuk,” katanya. “Saya berharap pemerintah meninggikan atau mengangkat.”

Genangan air saat hujan itu bersumber dari luapan Sungai Balusu di depan rumah. Sungai ini masa lalu menjadi tempat menambatkan perahu-perahu nelayan, sudah terjadi pedangkalan dan makin sempit. Tak lagi dapat dilayari. “Saya kira raja tak mungkin memilih tempat jelek. Rumah ini dibangun, pada masa lalu pasti lokasi terbaik.”

Ibrahim mengatakan, sudah melaporkan beberapa kerusakan pada BP3 Sulawesi Selatan. “Untuk pemerintah Barru, memang selama ini tak pernah menjenguk. Kami sebagai ahli waris akan berusaha semampunya.”

Setiap bulan, sekitar 20 orang mengunjungi rumah Lapinceng. Pengunjung, 90% dari kalangan mahasiswa dan peneliti untuk melihat bentuk arsitektur, 10% masyarakat umum.

Lantai sudah berganti papan kayu tak lagi bambu seperti awal dulu. Foto: Eko Rusdianto

Lantai sudah berganti papan kayu tak lagi bambu seperti awal dulu. Foto: Eko Rusdianto


Merawat Masa Lalu, Menjaga Rumah Adat Lapinceng was first posted on December 19, 2014 at 4:07 pm.

Hutan Rusak, Pemerintah OKI Malah Tanam 596.150 Pohon di Areal Perkantoran

$
0
0

Hutan hujan tropis di Kalimantan Barat. Foto: Rhett A. Butler

Pemerintah Kabupaten OKI (Ogan Komering Ilir), Sumatera Selatan, telah melakukan penanaman 596.150 pohon sejak 2009 hingga kini. Akan tetapi, pohon yang ditanam tersebut berada di luar kawasan hutan. Padahal, hutan di Kabupaten OKI  banyak yang rusak akibat kebakaran dan perambahan. Kenapa begitu?

Adiyanto, Kasubbag Humas Pemkab OKI, mengatakan bahwa penanaman pohon yang dilakukan sejak 2009 itu memang berada di luar kawasan hutan. Misalnya di hutan kota, halaman perkantoran, halaman sekolah. Hal ini dilakukan guna menata kembali wilayah OKI dari segala bentuk kerusakan lingkungan.

“Pelaksanaan penanaman pohon ini melalui kerja sama Tim Penggerak PKK, Dinas Kehutanan dan Dinas Pendidikan Kabupaten Ogan Komering Ilir. Tahun 2011 juga dilaksanakan penanaman sebanyak 9.000 batang mahoni dan trembesi di 36 sekolah dasar yang tersebar di 18 kecamatan,” kata Adi, Jumat (19/12/2014).

“Berkat penanaman ini, pada 2012 lalu Kabupaten OKI bersama sembilan kota lainnya di dunia telah terpilih sebagai jaringan kota hijau ENO,” lanjutnya. ENO (Environment Online) sebuah organisasi lingkungan berbasis di Finlandia.

Berdasarkan catatan Mongabay Indonesia, program ini dijalankan pemerintahan OKI di masa kepemimpinan Ishak Mekki, yang kini menjabat Wakil Gubernur Sumsel. Pada saat program ini dilaksanakan, Kabupaten OKI menjadi sorotan atas kebakaran hutan dan lahan gambut di Sumsel, serta munculnya berbagai konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan.

Tradisi menanam pohon

“Kita berharap menanam pohon ini menjadi tradisi masyarakat OKI,” kata Wakil Bupati OKI, M Rifai, seusai melakukan penanaman pohon di Hutan Kota Kayuagung, Kamis (18/12/2014). Penanaman ini dalam acara Hari Menanam Pohon Indonesia (HMPI) dan Bulan Menanam Nasional (BMN).

Rifa’i mengatakan pemerintah OKI akan membuat Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebanyak-sebanyaknya. “Dengan menanam pohon artinya kita telah  menyelamatkan lingkungan. Penanaman pohon ini juga sebagai wujud kepedulian bersama untuk menjaga hutan dan melindungi lingkungan di sekeliling kita,” katanya.

Rifa’i  berharap, ekosistem hutan yang baik hasil gerakan penanaman pohon ini, akan berperan sebagai pengatur tata air yang menjamin kualitas dan kuantitas aliran sungai dan air.

Kepala Dinas Kehutanan OKI, M Rosidi, mengatakan bahwa pengelolaan hutan kini diarahkan pada misi mewujudkan hutan lestari.“Sesuai UU Nomor 23 Tahun 2014, pengelolaan hutan ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kedaulatan pangan,”ujarnya.

“Kita juga akan melakukan pola pengembangan seperti hutan kemasyarakatan (HKm), hutan desa (HD), dan hutan tanaman rakyat (HTR),” katanya.

Saat ini lanjutnya, untuk tanaman industri setidaknya ada 29.366.582 pohon equivalen yang merupakan hutan tanaman industri (HTI) yang ditanam di lahan seluas 17.627 hektar.

Hutan rusak yang harus ditanam

Syarifudin, aktivis lingkungan di Kabupaten OKI mengatakan, upaya penghijauan yang dilakukan pemerintah OKI harus didukung. akan tetapi, katanya, upaya penghijauan ini seharusnya diutamakan pada hutan yang  terbakar bukan penanaman di sekolah maupun perkotaan. “Pemerintah harus menyusun kembali program penanaman ini,”katanya.

Jangan sampai, pemerintah menggenjot penanaman di luar kawasan hutan sementara hutan yang ada di OKI tetap gundul akibat kebakaran dan perambahan. “Salah satu kawasan hutan yang rusak itu misalnya Hutan Lindung Pantai Sungai Lumpur dan Mesuji, yang kerusakannya sekitar 21.000 hektar,” tutur Syarifudin.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio


Hutan Rusak, Pemerintah OKI Malah Tanam 596.150 Pohon di Areal Perkantoran was first posted on December 20, 2014 at 12:15 am.

Pemerintah Kalbar Harus Dukung Moratorium Izin di Lahan Gambut

$
0
0

Kanal di tengah hutan. Dalam ribuan hingga puluhan ribu tahun, serasah organik di atas pasir yang terbentuk di lantai hutan akan membentuk lapisan gambut. Foto: Ridzki R. Sigit

Pendiri Yayasan Perspektif Baru, Wimar Witoelar meminta Pemerintah Kalimantan Barat (Kalbar) turut menyokong kebijakan pro-lingkungan dan masyarakat. Kebijakan yang sudah dihembuskan Presiden RI Joko Widodo tersebut, bisa menjadi modal dasar untuk menekan laju konflik, deforestasi hutan, dan lahan gambut.

“Persoalan lingkungan dan konflik akan terus terjadi jika Pemerintah Kalbar tidak mewujudkan komitmen kebijakan pro-lingkungan dan masyarakat,” kata Wimar dalam pengantar diskusi dengan ratusan mahasiswa se-Pontianak, di Aula Rektorat Kampus IKIP PGRI Pontianak, Rabu (17/12/2014).

Menurut Wimar, kebijakan melanjutkan moratorium izin di hutan alam dan lahan gambut ini bisa menjadi langkah awal untuk menyelesaikan sejumlah persoalan lingkungan. Kebakaran lahan gambut dan hutan seperti sudah menjadi agenda tahunan. Diperparah dengan lemahnya upaya penegakan hukum terhadap para perusak lingkungan.

Diskusi bertema Mewujudkan Moratorium Hutan Alam dan Lahan Gambut di Kalbar ini menghadirkan dua pembicara, yakni Campaigner Greenpeace Indonesia Teguh Surya dan Direktur Yayasan Perspektif Baru (YPB) Hayat Mansur.

Yayasan Perspektif Baru menggandeng IKIP PGRI Pontianak dan Mongabay Indonesia menggelar diskusi dengan kaum intelektual muda di Pontianak ini, sebagai tonggak penyokong kebijakan pro-lingkungan dan masyarakat.

Presiden Joko Widodo tidak punya pilihan lain kecuali melanjutkan dan memperkuat penundaan izin baru di hutan dan lahan gambut serta mengawasi pelaksanaannya dengan ketat. Kebijakan moratorium ini dinilai penting untuk penyempurnaan tata kelola lahan gambut dan hutan serta penyelesaian konflik lahan yang juga banyak terjadi di Kalbar.

Ini adalah komitmen Presiden Jokowi yang disampaikan saat blusukan asap di Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau pada 27 November 2014. Saat itu, usai melihat lokasi kebakaran lahan gambut dan hutan, Jokowi menyatakan akan melanjutkan moratorium hutan dan lahan gambut, mendukung masyarakat untuk menjaga kelestarian hutan, serta akan menindak tegas para perusak hutan.

Satu persoalan utama Indonesia di bidang lingkungan adalah kebakaran lahan gambut dan hutan yang terjadi dalam kurun waktu 17 tahun terakhir, termasuk di Kalbar. Langganan kebakaran lahan gambut dan hutan dinilai telah merugikan sisi lingkungan, kesehatan, juga ekonomi.

 

Beginilah kondisi tutupan hutan di lahan gambut Kalimantan Barat. Sumber Peta: Sampan Kalimantan

Beginilah kondisi tutupan hutan di lahan gambut Kalimantan Barat. Sumber Peta: Sampan Kalimantan

 

Perlu kesadaran publik

Direktur YPB Hayat Mansur mengatakan, untuk menjaga hutan dan lahan gambut agar tetap lestari, komunikasi dan sosialisasi berperan penting guna menumbuhkan kesadaran publik. “Kesadaran publik menjadi pondasi bagi semua upaya menjaga kelestarian lingkungan, termasuk mencegah para perusak lingkungan,” katanya.

Sementara Campaigner Greenpeace Indonesia Teguh Surya mengatakan, memperpanjang masa berlaku moratorium merupakan media penting bagi Jokowi untuk mengimplementasikan komitmen. “Pada saat blusukan asap di Sei Tohor, Riau, presiden telah mendeklarasikan komitmennya melindungi hutan dan gambut,” ucapnya.

 

Inilah gambaran di beberapa daerah di Kalimantan Barat yang sudah terdeteksi kedalaman gambutnya. FOTO: Dok. Sampan Kalimantan

Inilah gambaran di beberapa daerah di Kalimantan Barat yang sudah terdeteksi kedalaman gambutnya. FOTO: Dok. Sampan Kalimantan

 

Teguh mengatakan, untuk itu perlu penguatan audit perizinan dan penegakan hukum, penyelesaian tata batas kawasan hutan, penyelesaian konflik sosial dan pertanahan, dan tentu saja dengan terus memastikan sekat kanal bisa menjadi gerakan masif untuk merestorasi gambut yang terdegradasi.

Semua pihak diharapkan mendukung kebijakan melanjutkan moratorium karena kebijakan tersebut dapat menjaga kelestarian lahan gambut dan hutan serta keberlangsungan ekosistem. Dampak positifnya juga pada perluasan hak masyarakat lokal terhadap sumber daya alam.

 

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio


Pemerintah Kalbar Harus Dukung Moratorium Izin di Lahan Gambut was first posted on December 20, 2014 at 12:42 am.

Wow, Serangga Raksasa Hampir Sepanjang 60 cm Ditemukan Para Peneliti

$
0
0

Insect photo-2

Pesona ragam kekayaan alam yang ada di dunia, bak misteri yang terus menerus menampilkan hal-hal baru.  Seperti yang baru-baru ini dilaporkan oleh para peneliti biologi dari The Royal Belgian of Natural Sciences, mengumumkan hasil penelitian serangga yang didapat dari pedalaman hutan Vietnam. Serangga berbentuk tongkat ini memiliki panjang lebih kurang 60 centimeter yang membuatnya menjadi serangga berbentuk tongkat terpanjang di dunia yang pernah ditemui.

Dengan panjang 54 centimeter ketika kakinya direntangkan, penampilan serangga yang bernama ilmiah Phryganistria heusii yentuensis ini lebih mirip ranting pohon daripada tongkat. Serangga ini adalah serangga tongkat kedua terbesar yang pernah ditemukan, dimana sebelumnya spesimen serangga tongkat terbesar dilaporkan pernah ditemukan di Kalimantan dengan panjang 56 cm.

Serangga raksasa ini ditemukan di Cagar Alam Tay Yen Tu atau  150 km timur laut dari ibukota Vietnam, Hanoi. Saat menemukan spesimen serangga ini, para peneliti bekerja dengan menggoyang-goyangkan cabang pohon tempatnya hinggap sehingga jatuh ke tanah. Diketahui bahwa serangga ini sangat mahir dalam meniru berbagai bentuk ranting dan dedaunan. Dengan menggerakkan tubuhnya sedemikian rupa, serangga ini bahkan mampu menirukan gerakan ranting pohon yang tertiup angin.

 

Serangga tongkat di alam bebas, ditemukan di pedalaman hutan tropis basah Vietnam. Foto: Royal Belgian Institute of Natural Sciences

Serangga tongkat di alam bebas, ditemukan di pedalaman hutan tropis basah Vietnam. Foto: Royal Belgian Institute of Natural Sciences

 

Untuk mengelabui predator, maka serangga ini melakukan metode pertahanan diri dengan pura-pura mati ataupun seperti layaknya bunglon, mampu meniru dan mengubah warna tubuhnya serupa dengan lingkungan sekitarnya.

Dalam bereproduksi, serangga tongkat ini dikenal memakan waktu sangat lama untuk berkopulasi, beberapa spesies ini diketahui tetap berpasangan selama berbulan-bulan dan sangat aktif di saat malam.

Pada ekspedisi terbaru di Vietnam tersebut, para ilmuwan mengumpulkan ratusan jenis serangga yang belum diberi nama dan belum dikategorikan. Hal ini mengindikasikan, bahwa masih banyak sekali jenis yang belum ditemukan. Penemuan ini merupakan sebuah langkah besar menuju pendokumentasian beragam jenis serangga yang ada di hutan tropis basah. Khusus di Vietnam hanya sekitar 70 spesies yang telah tercatat secara ilmiah. Region Asia Tenggara sendiri diyakini memiliki keragaman serangga tongkat paling tinggi di dunia.

 

Serangga tongkat dibandingkan dengan ranting pohon. Foto: Royal Belgian Institute of Natural Sciences

Serangga tongkat dibandingkan dengan ranting pohon. Foto: Royal Belgian Institute of Natural Sciences


Wow, Serangga Raksasa Hampir Sepanjang 60 cm Ditemukan Para Peneliti was first posted on December 20, 2014 at 3:39 am.

Kearifan Lokal Selamatkan Warga Simeulue dari Amukan Tsunami (bagian 1)

$
0
0
Di atas gunung inilah masyarakat menyelamatkan diri  ketika gempa dan smong datang di Teupah Barat, Simeulue. Foto:  Ayat S  Karokaro

Di atas gunung inilah masyarakat menyelamatkan diri ketika gempa dan smong datang di Teupah Barat, Simeulue. Foto: Ayat S Karokaro

Tsunami menghantam daerah-daerah di pinggiran Samudera Hindia, salah satu Aceh, Indonesia, pada Desember 2004. Ratusan ribu orang tewas, bangunan luluh lantak. Aceh menjadi bak kuburan massal. Namun, ada satu kabupaten di Aceh, yang berada di tengah-tengah samudera, punya cerita lain. Bangunan-bangunan memang hancur, tetapi korban jiwa hanya enam orang. Kearifan lokal menyelamatkan mereka. 

Cuaca gelap. Gerimis mulai turun di pulau nan indah di kelilingi laut. Dari udara, biru air laut dan hijau hutan terpampang luas, menambah keindahan nan luar biasa. Begitulah suasana kala saya berkunjung ke Pulau Simeulue, pada November 2014.

Sejak 1999,  pulau ini menjadi kabupaten tersendiri, pemekaran dari Aceh Barat. Ia berada sekitar 150 km dari lepas pantai barat Aceh, berada di kelilingi laut Samudera Indonesia.

Gugusan pulau ini berada di atas persimpangan tiga palung laut terbesar dunia, yaitu pertemuan lempeng Asia dengan Asutralia dan Samudra Hindia. Namun, kala gempa bumi dan tsunami 26 Desember 2004, korban jiwa sangat minim. Enam warga Simeulue meninggal dunia. Di bagian Aceh yang lain, ratusan ribu jiwa melayang.

Mengapa demikian? Ternyata, di pulau ini, memiliki cerita tersendiri soal tsunami. Menurut sejumlah tokoh adat dan budaya masyarakat Simeulue, serta para orang tua, peristiwa tsunami itu sudah mereka prediksi akan datang lagi ke daerah itu.

Pada 1907, sekitar seabad lalu, tsunami pernah menghantam Simeulue. Korban jiwa cukup banyak. Rumah hancur, harta benda lenyap, dan banyak yang kehilangan sanak saudara.

Tsunami yang diambil dri bahasa Jepang ini, punya nama sendiri di pulau ini. Namanya, smong.

Smong, menjadi pelajaran hidup sendiri bagi masyarakat Simeulue. Masyarakat Simeulue, tidak ingin bencana dahsyat 1907 itu, terulang kembali dan memakan korban jiwa.

Melalui adat tutur, keariban lokal dan cerita turun menurun, membuat masyarakat Simeulue selalu siap siaga jika sewaktu-waktu smong datang. Kesiapan itu terbukti ketika minggu terakhir Desember 2004 sekitar pukul 09.00, gempa dahsyat dan smong, menyapa pulau ini.  Ribuan rumah penduduk hancur dan rata dengan tanah. Namun, korban jiwa hanya enam orang.

SD di Teupah Barat hancur dihantam gempa dan  smong pada 2004 tersisa plang nama. Foto: Ayat S Karokaro

SD di Teupah Barat hancur dihantam gempa dan smong pada 2004 tersisa plang nama. Foto: Ayat S Karokaro

Kearipan lokal dan melalui budaya tutur, serta cerita budaya dan seni, membuat ratusan ribu masyarakat yang tinggal beberapa meter dari tepi laut, langsung menyelamatkan diri. Mereka berhamburan ke gunung, sambil membawa anak-anak, orang tua, perempuan dan sanak saudara.

“Smong…smong…smong. Smong datang, ayo lari….” Itulah teriakan para pemuda desa, yang lari menyelamatkan diri ke atas gunung.

Guna mengingatkan, ancaman tsunami ini tak hanya lewat budaya tutur, juga ada syair (lagu) bercerita tentang smong ini. Entah siapa yang menciptakan, namun mereka mendapatkan syair ini turun temurun hingga dikenal se antero pulau ini.

Bait syair ini, dilantunkan para budayawan, tokoh adat dan seniman dari Simeulue. Tokoh adat dan budaya Simeulue Mohd. Riswan. R, atau dikenal dengan Pak Moris, membawakan syair ini begitu menyentuh hati. 

Enggel mon sao curito…(Dengarlah sebuah cerita)

Inang maso semonan…(Pada zaman dahulu)

Manoknop sao fano…(Tenggelam satu desa)

Uwi lah da sesewan…(Begitulah mereka ceritakan)

Unen ne alek linon…(Diawali oleh gempa)

Fesang bakat ne mali…(Disusul ombak yang besar sekali)

Manoknop sao hampong…(Tenggelam seluruh negeri)

 Tibo-tibo mawi…(Tiba-tiba saja) 

Anga linon ne mali…(Jika gempanya kuat)

Uwek suruik sahuli…(Disusul air yang surut)

 Maheya mihawali…(Segeralah cari)

Fano me singa tenggi…(Tempat kalian yang lebih tinggi)

Ede smong kahanne…(Itulah smong namanya)

Turiang da nenekta…(Sejarah nenek moyang kita)

Miredem teher ere…(Ingatlah ini betul-betul)

Pesan dan navi da…(Pesan dan nasihatnya).

Simelue, kabupaten  terdampak gempa  dan tsunami 2004  di kelilingi laut namun korban jiwa hanya enam orang. Foto:  Ayat S Karokaro

Simelue, kabupaten terdampak gempa dan tsunami 2004 di kelilingi laut namun korban jiwa hanya enam orang. Foto: Ayat S Karokaro

Pak Moris, menceritakan, kearifan lokal masyarakat Simeulue yang disampaikan lewat tutur mengenai tsunami hingga daerah kepulauan ini bisa menekan jumlah korban jiwa. Pria 67 tahun ini, dalam peristiwa memilukan itu kehilangan tiga orang anak, terkena smong di Banda Aceh.

Peristiwa 1907, menjadi pembelajaran dan pengalaman berharga bagi generasi mereka agar berhati-hati dan waspada. Melalui kakek nenek dan orang tua mereka, terus menerus bercerita kisah memilukan satu abad lalu itu. Ini menjadi bekal berharga bagi masyarakat Simeulue.

Ketika tsunami pada 2004, masyarakat sudah mengetahui langkah apa yang harus dilakukan kala tsunami datang.

Menurut dia, pesan leluhur dari syair itu menyebutkan, andai ada gempa kuat, disusul air laut surut, jangan ke tepi pantai memungut ikan yang bermunculan di tepi pantai, karena sebentar lagi akan datang smong. Jika itu terjadi, berlarilah ke gunung menyelamatkan diri. Bawalah anak-anak, orang tua, dan perempuan berlari menjauhi pantai. Berteriaklah, smong… smong…smong…. Hal itu berlanjut hingga kini.

“Ketika smong datang, kerbau-kerbau yang biasa di tepi pantai, berlarian ke gunung. Itu menjadi salah satu tanda alam lain. Saat gempa dahsyat, anak muda terlebih dahulu berlari ke tepi pantai guna melihat apakah air laut surut. Ketika itu terjadi, mereka mendengarkan suara gemuruh seperti daun kering terbakar, barulah mereka yakin smong akan datang.”

 Mesjid  yang terkena gempa  dan smong  2004  di Simeulue. Dia tetap kokoh meskipun ada sebagian bangunan rusak. Foto:  Ayat S Karokaro

Mesjid yang terkena gempa dan smong 2004 di Simeulue. Dia tetap kokoh meskipun ada sebagian bangunan rusak. Foto: Ayat S Karokaro

Tugas selanjutlah, meneriakkan alarm alami melalui mulut ke mulut. Berteriak, smong…smong…smong. Teriakan itu berlanjut ke seluruh penjuru desa. “Saling bersahutan.”

Dia mengatakan, media penyampaian dari orang tua kepada anak-anak, dengan beberapa cara. Ketika di meja makan, atau setelah makan, atau di ruang keluarga, bercerita saat kejadian smong datang satu abad silam, banyak keluarga tewas, ada pula yang jatuh dari gendongan orang tua, lalu tersangkut di atas pohon bambu dan selamat. Cerita itu terus berulang.

Pak Moris bercerita, dulu, Simeulue terkenal dengan kebun cengkih. Cerita itu disampaikan para orang tua ketika memetik cengkih, dimana anak-anak dan sanak saudara turut membantu memanen.

“Cerita itu sudah melekat di hati generasi penerus masyarakat Simeulue, untuk menyampaikan pesan leluhur soal smong.” Mata Pak Moris, berkaca-kaca. Dia hampir menangis teringat ketiga anak, yang saat kejadian menuntut ilmu di Banda Aceh.

Ketika smong datang, anak-anaknya tidak bisa menyelamatkan diri. Hilang ditelan ombak. Hingga kini,  mereka tak tahu dimana jenazah ketiga anak itu. Ketika rindu, keluarga Pak Moris datang ke Banda Aceh, buat berziarah ke kuburan massal disana.

Dia berharap, kearifan lokal masyarakat Simeulue, harus terus dilestarikan. Baik melalui kesenian, sampai muatan lokal di sekolah-sekolah.

Gempa berkekuatan sembilan SR terjadi 26 Desember 2014, sekitar pukul 7:58:53, berpusat pada bujur 3.316° N 95.854° E,  sekitar 160 km sebelah barat Aceh sedalam 10 kilometer. Guncangan dasyat ini memicu gelombang panas mencapai 30 meter ke daratan.

Ia tercatat sebagai gempa terdahsyat dalam 40 tahun terakhir yang menghantam Aceh,  Pantai Barat Semenanjung Malaysia, Thailand, Pantai Timur India, Sri Lanka, bahkan Pantai Timur Afrika. Indonesia, Thailand, Sri Lanka, India, sebagai negara terparah yang terdampak tsunami.

Di Aceh, Indonesia, korban jatuh paling besar. Ratusan ribu nyawa melayang, bangun hancur. Aceh bak menjadi kuburan massal. Mayat-mayat  bergelimpangan. Ribuan orang juga hilang ditelan amukan gelombang panas.

Data Departemen Sosial pada Januari 2005, korban tewas di Aceh dan Sumatera Utara mencapai 105.262 orang. Dari kejadian gempa dan tsunami itu, sekitar 500-an ribu jiwa melayang di seluruh dunia yang berbatasan dengan Samudra Hindia. (Bersambung)

Laut yang mengelilingi Pulau S. Kala tsunami menghantam, berkat kearifan lokal yang dikabarkan turun menurun, sebagian besar warga berhasil menyelamatkan diri, meskipun ada jatuh enam korban jiwa. Foto: Ayat S Karokaro

Laut yang mengelilingi Pulau S. Kala tsunami menghantam, berkat kearifan lokal yang dikabarkan turun menurun, sebagian besar warga berhasil menyelamatkan diri, meskipun ada jatuh enam korban jiwa. Foto: Ayat S Karokaro


Kearifan Lokal Selamatkan Warga Simeulue dari Amukan Tsunami (bagian 1) was first posted on December 20, 2014 at 12:34 pm.
Viewing all 9679 articles
Browse latest View live