Quantcast
Channel: Mongabay.co.id
Viewing all 9432 articles
Browse latest View live

Para Pemburu dan Penghasil Madu (Bagian 1)

$
0
0
Sarang lebah trigona. Foto: Eko Rusdianto

Sarang lebah trigona. Foto: Eko Rusdianto

Larva-larva lebah, mengambang di baskom besar. Bercampur bersama potongan sayuran, dan sagu yang bulat. Diaduk sebentar  meratakan bumbu. Asap mengepul. Ini kapurung–penganan khas  Luwu, siap dinikmati.

Kapurung dengan lauk utama telur lebah, tak boleh dibiarkan dingin. Berbeda dengan kapurung ayam, atau ikan. Kapurung lebah dingin  membuat lemak naik,  menutupi permukaan. Langit-langit mulut, bibir dan lidah akan penuh lemak.

Tak hanya kapurung, telur-telur lebah  biasa juga jadi pepes. Dibungkus dengan daun pisang lalu dipanggang. Bagi sebagian besar orang Luwu, kapurung dan pepes lebah adalah santapan yang ditunggu-tunggu. Saat ini, mencari lebah hutan sangat sulit, harus memasuki hutan, menapak gunung-gunung tinggi, bahkan menjajal tepi jurang.

Biang kerok

Dulu, saya beberapa kali mengikuti perburuan lebah. Biasa malam hari. Seorang pawang lebah akan ritual kecil. Memegang batang pohon tempat lebah bersarang, dan mengusap-usap. Kadang badan dilumuri minyak tanah.

Pawang lebah itu memanjat pohon. Membawa obor besar dari gulungan daun kelapa kering, kain atau karung goni. Saat mulai dekat  sarang, pawang akan menyalakan obor. Membakar sarang lebah.

Kelompok lain yang menunggu di bawah pohon biasa ikut menyalakan api, membuat asap pekat agar lebah cepat terbang. Tak butuh waktu lama, dengan api yang membara dari obor, lebah mudah terpanggang dan menghilang. Atau sebagian melarikan diri.

Sarang lebah yang berwarna kecoklatan menjadi kehitaman. Pawang menyanyat rumah lebah dengan parang tajam. Memilah-milah menjadi beberapa potongan lalu dimasukkan ke ember.

Di bawah pohon kru lain, membawa menjauh. Bunyi dengung lebah dengan sayap terpanggang begitu memilukan. Mengelinjang dan berusaha terbang. Sarang-sarang lebah  diteliti. Kamar tempat madu  diperas dengan tangan. Tempat kotoran ( persediaan makanan dari tepung sari tanaman) dibuang. Telur (larva) disisihkan jadi makanan.

Siang hari, ratusan bahkan ribuan lebah tergeletak. Hangus.

Ramah lebah

Berbeda dengan perburuan madu di hutan pendidikan Universitas Hasanuddin, Desa Bengo-bengo, Kecamatan Cenrana, Kabupaten Maros. Peneliti Lebah Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, Mappatoba Sila,  bersama beberapa rekan mengembangkan penangkaran lebah Apis trigona dengan ramah.

Saya mengunjungi penangkaran itu pekan lalu. Rumah-rumah buatan dari kotak-kotak kayu dijejer  17 buah. Pada bagian atas diberi topi petani,  untuk melindungi dari sengatan matahari langsung.

Ketika atas kotak dibuka, beberapa lebah trigona  berukuran kecil seperti semut merah, beterbangan. Hinggap di rambut dan lengket di kulit.

“Trigona suka dengan warna hitam dan takut air,” kata Stanislaus Ghaji, peneliti dan instruktur penangkar lebah trigona, Universitas Hasanuddin Makassar. Sebelum membuka kotak , katanya,  mesti membasuh topi dan beberapa bagian tubuh dengan air.

Penangkaran lebah Trigona. Foto: Eko Rusdianto

Penangkaran lebah Trigona. Foto: Eko Rusdianto

Dia membuka beberapa kotak dan mencari struktur sarang yang masih terbangun. “Coba lihat. Yang berpendar-pendar seperti air dan berkilau itu bakal madu. Yang kuning telur dan bagian kuning lain simpanan makanan. Mereka membangun dan membuat bilik dengan teratur.”

Memegang sarang lebah trigona seperti lem yang mulai padat. Kenyal. Berwarna coklat muda. Menurut Stanislaus, bahan lengket itulah yang dikenal dengan prupolis. Bahan ini dikumpulkan dari getah bunga, buah atau pohon. Lebah membawa dengan menempelkan di kaki dan memintal secara cermat.

Dimana tempat tempat kotoran lebah? Stanislaus membuka kotak lain dan menemukan sarang yang ditinggalkan. Warna mulai coklat kehitaman. “Ini adalah simpanan makanan. Simpanan makanan ini terbuat dari tumpukan tepung sari yang menempel di lebah,” katanya.

Padahal, lebah tak pernah membuang kotoran dalam sarang. “Ini mahluk yang benar-benar bersih.”

Trigona adalah jenis lebah madu yang dikenal luas namun peternak  kurang tertarik, karena produksi kecil. Padahal, khasiat buat bahan medis sangat baik.

Trigona menghasilkan dua produk unggul, yakni prupolis, sebagai  bahan anti oksidan dan antibiotik. Bipret (tepung sari) untuk simpanan makanan–bahan formulasi produk medis, sebagai ramuan kecantikan dan campuran makanan-minuman.

Untuk itu, melalui teknik penangkaran ramah, madu lebah tak semua diambil. “Di Vietnam, mereka sudah melakukan, bahkan memberikan pemahaman pada pemburu lokal menyisakan madu. Aturannya, hanya boleh 2/3 madu. Jadi lebah dengan sisa makanan masih bertahan lama. Bahkan setiap mengambil madu, lebah tak boleh mati,” kata Mappatoba.

Di Sulawesi Selatan, penangkaran lebah trigona sudah sejak pertengahan 2000-an di Masamba, Luwu Utara. Beberapa peternak lebah trigona, menjaga sumber pakan dan melestarikan, seperti pinang, tanaman palem, kelapa, puspa, rambutan, mangga dan hampir semua tumbuhan berbunga.

“Saat ini kita baru mampu menernak trigona untuk lebah lokal. Lebah lain teknologi dan kesiapan sumber daya belum memadai. Kalau di Jawa puluhan tahun lalu ada lebah Apis millevera sudah diternak. Ini lebah impor dari New Zealand.”

Madu hutan di Karaenta. Foto: Eko Rusdianto

Madu hutan di Karaenta. Foto: Eko Rusdianto

Persiapan paceklik

Saat musim bunga (di luar penghujan) yang berlangsung selama dua sampai tiga bulan, lebah memproduksi madu sebanyak-banyaknya. Madu ini, diperoleh dari proses panjang, melalui nektar bunga.

Mappatoba, menguraikan proses menghasilkan madu. Pada musim bunga, bersamaan muncul matahari lebah pemandu yang berjumlah ratusan keluar sarang. Lebah ini survei lapangan, mengitari ratusan kilometer mencari letak bunga melimpah. Ketika lebah pemandu menemukan titik bunga yang tepat, mereka kembali ke sarang.

Lebah pemandu, berkerumun di depan sarang mengikuti azimut matahari. Melakukan tarian lebah (dancing bee) dan mendengung keras. Lebah pekerja lapangan yang berjumlah ribuan ekor memperhatikan. “Dari tarian inilah, lebah pekerja lapangan akan tahu, apakah sumber pakan bunga jauh atau dekat.”

Lebah pekerja lapangan menuju titik pakan bunga. Mereka hinggap, mencelupkan badan ke tepung sari dan menjorokkan kepala menuju putik sari untuk mengisap nektar.

Saat menghisap nektar, lebah membuka mulut dan menjulurkan alat hisap probosis – seperti belalai gajah namun ukuran kecil. Nektar dibawa menuju kantong madu (honey sack) di bawah bagian dada. Ketika kantong penuh, lebah menuju sarang.

Di sarang, lebah pekerja lapangan membuka belalai dan lebah pekerja rumah tangga menghisap. Nektar ini dipindahkan dari satu sel ke sel lain, untuk mengurangi kadar air dari nektar.

Setelah kadar air nektar berkurang dan dianggap pas, lebah akan menutup dengan lapisan lilin. “Proses itu membutuhkan waktu tiga minggu. Inilah yang dikenal dengan madu matang.”

Nektar adalah cairan manis dari bunga. Pada waktu tertentu, bila tak ada serangga, nektar akan menguap. Pada sore hari muncul kembali. Kandungan nektar setiap bunga hanya beberapa tetes.

Lebah menghasilkan madu sebagai persiapan makanan saat paceklik. Madu ini menjadi bahan makanan pokok untuk ratu lebah agar terus hidup dan bertelur untuk menjada keberlangsungan koloni . “Jika pemburu lebah mengambil madu dengan membakar, lebah dan larva akan mati. Bisa dipastikan satu koloni   punah,” kata Mappatoba.

Dalam setiap koloni, lebah antara 2.000 hingga 3.000 dengan satu ratu, ratusan raja (pejantan), ribuan pekerja lapangan, ribuan pekerja rumah tangga, dan penjaga sarang. (Bersambung)

Stanislaus (topi hitam) dan Hasrun peternak lebah trigona di Hutan Pendidikan Unhas tengah memeriksa pakan tambahan lebah. Foto: Eko Rusdianto

Stanislaus (topi hitam) dan Hasrun peternak lebah trigona di Hutan Pendidikan Unhas tengah memeriksa pakan tambahan lebah. Foto: Eko Rusdianto


Para Pemburu dan Penghasil Madu (Bagian 1) was first posted on December 1, 2014 at 8:04 am.

Hutan Sulteng Diperkirakan Habis Dalam 16 Tahun Kedepan. Akankah Terjadi?

$
0
0

 

Cagar Alam Morowali, hutan konservasi yang tetap dibabat demi tambang. Siapa yang akan memulihkan kondisinya? Foto: Jatam Sulteng

Relawan Orang dan Alam (ROA) Sulawesi Tengah, memprediksi bahwa hutan di Sulawesi Tengah (Sulteng) akan habis dalam kurun waktu kurang dari 16 tahun ke depan.

Pernyataan tersebut didasarkan pada Dokumen Strategi Daerah REDD+ Provinsi Sulteng yang menuliskan ada 902.776 hektar luas hutan berkurang yang sudah disahkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2014-2030.

“Sebenarnya masih ada hutan yang tersisa seperti kawasan lindung dan budidaya lainnya. Namun, itu semua sudah dikuasai oleh pengusaha yang sahamnya dimodali asing,” kata Gifvents, Koordinator Riset dan Kampanye ROA, Kamis (27/11/14).

Dengan demikian, katanya, jika dihitung  dari tahun 2014 sampai tahun 2030 berarti 16 tahun kedepan, Provinsi Sulteng akan kehilangan hutan. Namun bisa saja perubahan di Sulteng akan lebih cepat dengan apa yang diprediksikan.

Berdasarkan pantauan ROA di lapangan, banyak faktor yang mempengaruhi penghancuran hutan di Sulteng. Diantaranya, penyediaan jasa pengolahan kayu oleh oknum aparat sendiri yang memfasilitasi mesin pemotong kayu (chainsaw). Lalu, mengikat masyarakat sekitar hutan dengan hutang.

ROA mencatat, kurang lebih 1.100 industri pengelola kayu yang ada di Sulteng, namun hanya sekitar 310 yang aktif. Itupun hanya empat perusahaan yang terdaftar verifikasi legalitas kayunya (VLK). Sisanya, dipastikan mengambil dari tebangan ilegal.

“Kami mencatat, ada sekitar 553 IUP pertambangan dengan modal asing menguasai lahan 1.773.880,41 hektar yang tumpang tindih dengan kawasan hutan seluas 1.242.972 hektar,” ungkap Givents.

Ia melanjutkan, belum lagi ditambah dengan 40 izin perkebunan sawit dengan modal asing, yang menguasai lahan 608.081 hektar. Jika ditotal, mencapai 2.381.961 hektar. Sedangkan pengelolaan hutan desa oleh masyarakat hanya 0,2 persen dari luas hutan Sulteng yang hanya tinggal seluas 3.492.156 Ha,

“Jika Pemda tidak melakukan moratorium perizinan penggunaan kawasan hutan maka hutan Sulteng dalam 16 tahun mendatang akan habis,” tandasnya lagi.

Pengelolaan sumber daya alam

Sebelumnya, Dinas Kehutanan Sulteng melalui Kepala Seksi Konservasi Alam, Nurudin mengungkapkan bahwa pihaknya memiliki kebijakan pengelolaan sumber daya hutan dan lahan tahun 2011-2016. Ada empat kebijakan prioritas yaitu pemantapan kawasan hutan, pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan, rehabilitasi hutan, dan perlindungan hutan dan konservasi sumber daya alam.

Untuk pemantapan kawasan hutan dilakukan melalui proses pengukuhan kawasan hutan. Proses ini diawali dengan penunjukan, penetapan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan. Tujuan akhirnya adalah terdapatnya suatu kawasan hutan yang legal dan terlegitimasi. “Kawasan hutan yang legal dan terlegitimasi ini memberikan kepastian hukum tidak hanya bagi negara tetapi juga bagi masyarakat.”

Menurutnya, sebagai wujud adopsi kebutuhan di masyarakat terhadap lahan, dilakukanlah perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dan telah ditetapkan melalui Perda No. 8 Tahun 2013. Implikasinya, berubahnya luas kawasan hutan yang semula 4.394.932 hektar menjadi 4.053.176 hektar.

Untuk pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan hutan dilakukan dalam rangka pemanfaatan sumber daya hutan secara optimal dan berkeadilan. Model pemanfaatan hasil hutan ini diformulasikan ke dalam skema Hutan Desa (HD) dan Hutan Kemasyarakatan (HKM) yang dilakukan di hutan lindung maupun hutan produksi, sedangkan skema Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dilakukan di hutan produksi.

Sementara rehabilitasi hutan dan lahan adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga.

“Pada kawasan yang telah dibebani izin/hak pemanfaatan hutan kepada pihak ketiga, pelaksanaan rehabilitasinya dilakukan oleh pemegang izin/hak yang bersangkutan. Sedangkan pada kawasan yang tidak dibebani izin/hak pemanfaatan hutan, pelaksanaannya dilakukan oleh unit kelola, seperti KPH atau Tahura.”

Sedangkan kebijakan yang terakhir adalah prinsip perlindungan hutan untuk mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan. Namun perlindungan hutan pada wilayah unit pengelolaan hutan yang wilayahnya telah dibebani izin atau hak pemanfaatan hutan kepada pihak ketiga, maka  pelaksanaannya dilakukan oleh pemegang izin atau hak yang bersangkutan.

“Perlindungan hutan pada wilayah unit pengelolaan hutan yang wilayahnya tidak dibebani izin atau hak pemanfaatan hutan kepada pihak ketiga, pelaksanaannya dilakukan oleh unit pengelolaan hutan.”

Mongabay Indonesia telah mencoba menghubungi dinas pemerintah terkait untuk mengkonfirmasi hal ini, namun hingga berita ini diturunkan belum ada komentar dan tanggapan dari pemerintah setempat.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio


Hutan Sulteng Diperkirakan Habis Dalam 16 Tahun Kedepan. Akankah Terjadi? was first posted on December 1, 2014 at 8:16 am.

Minim Ruang Terbuka Hijau, Palembang Belum Mencerminkan Kota Tertua di Indonesia

$
0
0

Gambar Kota Palembang tahun 1659. Sumber: Wikimedia

Palembang, dalam Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di Bukit Siguntang sebelah barat Palembang, ditafsirkan dibentuk pada 16 Juni 682 masehi. Temuan tersebut, menasbihkan Palembang sebagai kota tertua di Indonesia.

Harusnya, sebagai kota yang dilahirkan sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Sriwijaya, Palembang menjadi contoh penataan pembangunan di Indonesia, termasuk lingkungannya. Namun, julukan tersebut belum terlihat sebagaimana mestinya.

Selain ancaman banjir, ruang terbuka hijau (RTH) di kota yang luasnya mencapai 358,55 kilometer persegi dengan penduduk hampir dua juta jiwa ini juga sangat minim.

“Penyebabnya, pembangunan yang dilakukan selama ini kurang memperhatikan lingkungan. Misalnya, rawa dan sungai ditimbun atau hutan kota dihabisi untuk membangun perkantoran, rumah toko, atau pusat perbelanjaan,” kata Nurhayat Arief Permana, seorang pekerja seni dan pegiat lingkungan hidup, Senin (01/12/2014).

Mengutip data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), yang menyatakan luas rawa di Palembang dari 200 hektar tersisa 50 hektar, kata Nurhayat, kondisinya tetap terancam hingga saat ini. “Semua tahu, penimbunan rawa untuk lokasi rumah toko, perumahan, terus berlangsung,” katanya.

Upaya yang terlihat hanya penataan anak Sungai Musi. “Hilangnya 221 anak Sungai Musi, tampaknya membuat pemerintahan Palembang cemas. Mereka mencoba menata dan menjaga anak Sungai Musi yang tersisa.”

Yang justru memprihatinkan, Palembang minim ruang terbuka hijau. “Palembang terkesan seperti sebuah kota di Timur Tengah yang sedang melakukan penghijauan. Ada pohon tapi panas dan sumpek,” katanya.

Kondisi ini, berbanding terbalik dengan catatan sejarah Palembang. Di masa Kerajaan Sriwijaya, Palembang dikenal memiliki kebun buah, bunga dan tanaman yang sangat luas. Penataan sungai dan kanal juga begitu baik, sehingga wilayah rawa belum tercatat mengalami bencana banjir. Bencana banjir mulai terasa di masa pemerintahan Belanda tahun 1930-an, saat mereka melakukan penimbunan sejumlah anak Sungai Musi.

“Penataan yang kacau ini, jelas tidak mencerminkan Palembang sebagai kota tertua di Indonesia, dan wajar jika ada yang meragukan Kerajaan Sriwijaya pernah ada di sini. Sebab cerminan penataan lingkungannya tidak menunjukkan sebuah kebudayaan yang tinggi,” katanya.

Menanam pohon

Minimnya RTH diakui pemerintahan Palembang. Penanaman 20 ribu pohon yang dilakukan sejak Januari 2014,  baru mencapai 22 persen dari 30 persen yang merupakan batas minimum RTH.

“Saat ini masih jauh dari minimun, dan akan terus dikejar hingga 2018,” kata Harrey Hadi, Kepala Dinas Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (DP2K) Palembang, kepada wartawan, saat peringatan Hari Menanam Pohon Indonesia dan Bulan Menanam Nasional 2014, Senin (01/12/2014).

Solusi mengejar hal tersebut, hanya melakukan penanaman pohon. Upaya ini tidak hanya dilakukan pemerintah dan sekolah, juga pihak perumahan maupun perkantoran swasta, serta masyarakat.

“Misalnya minimal satu atau dua pohon di satu rumah,” katanya.

Sebelumnya, Wakil Walikota Palembang Harnojoyo dalam acara tersebut melakukan penanaman pohon. Pohon yang ditanam matoa di area kantor DP2K Palembang.

“Menanam pohon bukan hanya untuk keindahan, tetapi juga untuk menyelamatkan kondisi Palembang,” kata Harnojoyo. Dia pun mengajak semua pihak untuk menanam pohon, baik di lingkungan kantor, rumah, serta lembaga pendidikan.

Tepian Sungai Musi yang minim ruang terbuka hijau (RTH). Palembang, dahulunya pernah dikenal sebagai Venesia dari Timur (Venice of the East), karena banyaknya sungai yang ada di Bumi Sriwijaya ini. Foto Taufik Wijaya

Tepian Sungai Musi yang minim ruang terbuka hijau (RTH). Palembang, dahulunya pernah dikenal sebagai Venesia dari Timur (Venice of the East), karena banyaknya sungai yang ada di Bumi Sriwijaya ini. Foto Taufik Wijaya

Perda lingkungan hidup

Guna menghijaukan Palembang, bukan hanya upaya  penanaman pohon. Juga harus dilakukan upaya pencegahan penebangan dan perusakan.

“Hal ini dapat dilakukan pemerintah Palembang dengan menerapkan satu regulasi yang isinya melarang atau memberikan sanksi berat terhadap mereka yang melakukan penebangan atau perusakan pohon,” kata Dr. Tarech Rasyid, pengamat lingkungan hidup dan demokrasi dari Universitas Ida Bajumi (IBA) Palembang, Senin.

“Percuma kalau menanam ribuan pohon, jika pada saat bersamaan dilakukan penebangan secara bebas,” katanya.

“Pohon boleh ditebang, tapi untuk kepentingan publik, seperti membuat jalan atau jembatan. Itu juga diupayakan dengan penanaman pohon baru di lokasi tersebut,” kata Tarech.

Minimnya RTH di Palembang menurut Tarech merupakan pelanggaran hukum oleh penyelenggara pemerintahan. Sebab batas minimum RTH sebesar 30 persen itu merupakan kebijakan dari UU No.26 tahun 2007 tentang penataan ruang.

“Artinya pemerintah harus serius mengatasinya, bukan sebatas penanaman pohon hingga tiga tahun ke depan. Harus ada kebijakan berupa peraturan daerah mengenai lingkungan hidup di Palembang,” kata Tarech.

Perda tersebut selain mengatur soal penanaman pohon, larangan perusakan maupun penebangan pohon, juga mengatur penataan kota dengan melihat kelestarian rawa, sungai, dan hutan kota.

“Percayalah, jika tidak ada regulasi lingkungan hidup, maka sangat sulit menata lingkungan hidup di Palembang,” jelasnya.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio


Minim Ruang Terbuka Hijau, Palembang Belum Mencerminkan Kota Tertua di Indonesia was first posted on December 2, 2014 at 3:14 am.

Siapa Membiarkan Kebakaran Hutan Riau Selama 17 Tahun?

$
0
0
Kanal yang akan dibangun sekat agar air gambut tak terus terkuras. Dalam penyekatanpun, warga tetap memperhatikan ekosistem gambut, dengan tak menembok semua, tetapi sebagian dari kayu sagu. Foto: Indra Nugraha

Kanal yang akan dibangun sekat agar air gambut tak terus terkuras. Dalam penyekatanpun, warga tetap memperhatikan ekosistem gambut, dengan tak menembok semua, tetapi sebagian dari kayu sagu. Foto: Indra Nugraha

Hari Rabu (26/11/2014) pukul 13.00, terlihat kesibukan yang tidak seperti biasanya di Bandar Udara Sultan Syarif Qasim II Pekanbaru, Riau.  Di ruangan VVIP bandara, terlihat puluhan orang, termasuk  Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Siti Nurbaya, Plt Gubernur Riau Arsyaddjuliandi Rahchman dan Muspida. Mereka memang sedang menunggu Presiden Joko Widodo yang akan datang melakukan kunjungan kerja ke Riau.

Sekitar 10 menit kemudian, burung besi pesawat kepresidenan RI berwarna biru terlihat kecil di udara. Puluhan orang dari ruangan VVIP kemudian bergerak ke areal terbuka di landasan untuk menyambut Presiden Jokowi.

Di bagian belakang kerumunan penyambut tersambut, di barisan tepisah paling terakhir di dekat gedung, terlihat tiga petinggi lembaga swadaya masyarakat (LSM). merekalah yang sebenarnya mengundang Presiden Joko Widodo.

Ketiga pimpinan LSM tadi terus tersenyum sumringah sejak dikabarkan pesawat kepresidenan take off dari Bengkulu menuju Pekanbaru. Senyum itu mungkin dikarenakan hasil usaha keras sebulan lamanya mereka menyebar petisi dan “memborbardir” akun twitter Jokowi di sosial media yang meminta Sang Presiden #blusukanasap mencari akar masalah dan menyelesaikan kebakaran hutan di Riau, akhirnya terwujud Rabu, 26/11/2014.

Petisi itu sendiri ditulis oleh Abdul Manan, warga Sungai Tohor, Kepulauan Meranti, Riau yang mengajak Jokowi mengunjungi desanya yang terdampak kebakaran hutan parah. Petisi yang disebarluaskan melalui platform Change.org itu kemudian didukung oleh tiga LSM yaitu WALHI Nasional, Yayasan Perspektif Baru dan Greenpeace. Hingga hingga pekan lalu sedikitnya 27 ribu orang telah memberikan dukungan “Jokowi blusukan asap” melalui change.org.

Menghadirkan Jokowi ke Riau untuk blusukan asap bukanlah pekerjaan gampang selain karena kesibukan sebagai presiden yang harus mengurusi banyak hal, namun undangan blusukan asap ini disiarkan pada saat kebakaran hutan telah berakhir bahkan telah masuk musim hujan.

Kendala lain yang lebih kuat adalah tentangan dari pihak perusahaan yang selama ini disorot karena kegiatan konversi gambut menjadi tanaman monokultur sebagai salah satu akar masalah kebakaran di Riau.

Woro Supartinah, Wakil Koordinator Jaringan Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) mengatakan banyak yang unik terjadi sehari sebelum kedatangan Jokowi. Misalkan saat Menteri KLHK meminta beberapa orang dari LSM untuk turut hadir dalam menyambut Jokowi di VIP lounge bandara, ternyata kartu tanda pengenal yang dikeluarkan Pemprov Riau sudah habis.

Informasi yang diterima Mongabay, habisnya kartu tanda pengenal ini sempat diprotes keras oleh Asisten Menteri KLHK beberapa jam sebelum Jokowi landing. Waktu itu Asisten Menteri marah ke Pemprov yang mengatakan kartu tanda pengenal telah habis dan ternyata banyak diberikan kepada pengusaha bubur kertas.

“Ya kita minta izin buat sendiri dan alhamdulillah diakui ketika screening oleh Paspampres,” ujar Woro yang dihubungi Senin (01/12/2014) siang.

Selama kunjungan Jokowi ke Riau pekan lalu, memang diakui Woro yang paling mencolok adalah kehadiran pengusaha bubur kertas yang hilir-mudik di dalam bandara. Dia mensinyalir kehadiran mereka tidak terlepas dari rute yang ingin ditinjau Jokowi dari atas yakni konsesi perusahaan akasia yang masih aktif merusak ekosistem gambut di Pulau Padang.

“Bisa saja itu yang menjadi concern mereka. Sementara di Sungai Tohor itu juga ada perusahaan sagu dan akasia. Mereka khawatir kunjungan ini berdampak pada mereka,” ujarnya.

Hal serupa juga dirasakan Teguh Surya, Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia yang menilai keberadaan orang-orang perusahaan diberi tempat berlebihan oleh Pemprov Riau. Bahkan ketika Presiden Jokowi mendarat, pejabat-pejabat korporasi ini ikut berbaris di bagian paling depan penyambutan.

“Perusahaan diberikan privilege berlebihan sebagai humas pemprov yang sebenarnya mereka itu orang yang hari ini (dalam hal kebakaran hutan) menjadi masalah,” kata Teguh.

Blusukan Tertunda

Setelah sampai dan beristirahat di Ruang VVIP bandara Pekanbaru, pukul 14.10 presiden dan rombangan bergerak ke landasan pacu untuk naik ke Helikopter Puma dan Helikopter Bell yang akan membawa rombongan ke lokasi. Tiga helikopter itu kemudian terbang ke Sungai Tohor.  Namun baru sampai diatas Desa Zamrud, Kecamatan Siak Indrapura, Kabupaten Siak, Riau, heli Puma dan dua heli Bell lainnya terpaksa kembali ke Pekanbaru karena adanya awan hitam cukup tebal.

“Nah di sinilah kejadian menariknya, di mana (orang-orang) perusahaan yang ada di (ruangan) VVIP bersorak gembira ketika Jokowi gagal melanjutkan perjalanan ke Sei Tohor dan kembali ke Pekanbaru. Hal tersebut khan bisa menggambarkan dengan sangat jelas bahwa ada pihak yang mengatur berbagai hambatan yang dialami selain cuaca (untuk) membatalkan blusukan,” ujar Teguh yang dihubungi pada Senin (02/12/2014).

Di luar gedung bandara, banyak terdapat orang-orang dari perusahaan. Di antara mereka tampak seorang pria memakai kemeja batik motif daun berwarna coklat putih yang merupakan pejabat menengah PR perusahaan bubur kertas. Di dadanya terdapat papan tanda pengenal bercap stempel Pemprov Riau dan bertuliskan humas. Ketika ia berada di belakang barisan wartawan di pintu masuk, tiba-tiba ia berseru tertahan, “Pasar bawah, pasar bawah.”

Pasar bawah adalah agenda tambahan atau bahkan agenda alternatif jika Sungai Tohor batal dikunjungi. Agenda ini telah disiapkan secara matang oleh Pemprov Riau untuk dikunjungi Presiden Jokowi dan rombongan. Bahkan Pemprov Riau telah terlebih dahulu blusukan tiga hari sebelum Jokowi datang.

“Kendala” lain dalam mengawal agenda blusukan asap adalah dua seat heli yang sudah disiapkan Menteri KLH untuk Direktur Eksekutif WALHI Nasional Abetnego Tarigan dan Kepala Greenpeace Indonesia Longgena Ginting ternyata sudah diisi oleh orang lain.

“Dari kejadian ini kami berpikirnya bahwa ini ada yang mendesain,” ujar Woro dari Jikalahari.

Terlepas dari kejadian tersebut, blusukan asap berhasil dilakukan. Jokowi dan rombongan mendarat di Sungai Tohor pada hari Kamis (27/11/2014) pagi. Di Sungai Tohor, Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Kepulauan Meranti, Jokowi secara simbolis menancapkan kayu untuk menutup kanal sebagai solusi kebakaran hutan gambut yang telah berlangsung selama 17 tahun terakhir.

“Betul, kemarin sudah saya perintahkan ke Menteri Kehutanan. Lahan gambut tidak bisa diremehkan, harus dilindungi karena merupakan ekosistem, dan bukan hanya gambut dalam saja yang harus dilindungi, namun seluruh areal gambut.” ujarnya.

Dalam praktik umumnya, pembuatan kanal di lahan gambut bertujuan untuk mengeringkan gambut agar dapat ditanami. Kanal inilah penyebab gambut kering dan rusak dan menjadikannya sangat rentan terbakar pada saat musim kering. Penutupan kanal adalah salah satu solusi untuk kembali membasahi lahan gambut agar tidak mudah terbakar.

Presiden Jokowi didampingi Abdul Manan dan masyarakat Desa Sei Tohor, Pulau Tebing Tinggi, Riau. secara simbolis menutup dam kanal air untuk melindungi lahan gambut dari kebakaran hutan. Tebing Tinggi merupakan penghasil sagu terbesar di Indonesia. Foto : Ardiles rante / Greenpeace

Presiden Jokowi didampingi Abdul Manan dan masyarakat Desa Sei Tohor, Pulau Tebing Tinggi, Riau. secara simbolis menutup dam kanal air untuk melindungi lahan gambut dari kebakaran hutan. Tebing Tinggi merupakan penghasil sagu terbesar di Indonesia. Foto : Ardiles rante / Greenpeace

“Pembangunan (sekat) kanal yang diinisiasi oleh masyarakat sangat bagus dan harus dipermanenkan. Yang paling baik memang diberikan kepada masyarakat untuk diolah menjadi lahan sagu. Yang dikelola oleh masyarakat biasanya ramah terhadap ekosistem tetapi jika diberikan kepada perusahaan akan menjadi monokultur seperti akasia dan kelapa sawit,” ujar Jokowi sesaat setelah secara simbolis menutup dam air.

Sementara itu di Pekanbaru sesaat sebelum meninggalkan Bandara, Jokowi juga memerintahkan menteri terkait mengevaluasi izin perusahaan yang berada di lahan gambut yang berpotensi merusak ekosistem.

“Perusahaan-perusahaan yang mengkonversi gambut menjadi tanaman-tanaman monokultur tadi, sudah saya sampaikan ke Ibu Menteri Kehutanan agar ditinjau kembali. Kalau memang itu justru merusak ekosistem mengganggu ekosistem gara-gara tanaman monokultur. Jadi memang harus diputuskan. Cek lapangan lalu diputuskan,” katanya.

Rencana aksi yang juga harus dilakukan pemerintah adalah menangkap pelaku yang menyuruh masyarakat membakar hutan yang selama ini dibiarkan. Terhadap perusahaan Jokowi meminta aturan dijalankan secara tegas.

“Tangkap pelaku yang menyuruh masyarakat bakar hutan dan rusak hutan, tangkap semua. Selama ini ada pembiaran. Korporasi harus ditegaskan. Dengan korporasi harus tegas. Jangan ada toleransi lagi. Masa kita biarkan bisnis berpesta menjarah SDA (sumberdaya alam) Indonesia, kita diam saja. Tegas dalam pemberian ijin, tidak ada toleransi, lakukan penegakan hukum,” kata Jokowi.

Dampak dari blusukan ini, Menteri KLHK Siti Nurbaya bergerak cepat merespon arahan presiden dengan mengkaji pencabutan izin hutan tanaman industri (HTI) akasia PT Lestari Unggul Makmur (LUM) yang beroperasi di lahan gambut di Desa Sungai Tohor.

“Soal izin perusahaan itu jelas mengganggu, kita akan batalkan dan alihkan menjadi hutan desa,” ujar Siti Nurbaya seperti dikutip media online KONTAN.

Presiden Jokowi kala memberikan bantuan dana untuk membuat sekat kanal kepada warga Desa Sungai Tohor. Dana diterima oleh Abdul Manan, selaku pembuat petisi yang meminta Presiden blusukan ke desa mereka. Foto: Indra Nugraha

Presiden Jokowi kala memberikan bantuan dana untuk membuat sekat kanal kepada warga Desa Sungai Tohor. Dana diterima oleh Abdul Manan, selaku pembuat petisi yang meminta Presiden blusukan ke desa mereka. Foto: Indra Nugraha

Sebagaimana diberitakan PT LUM telah mendapat izin HTI akasia di Sungai Tohor sejak tahun 2007. Perusahaan tersebut membuat kanal di hamparan gambut yang melewati Desa Sungai Tohor pada tahun 2009.

Namun karena protes masyarakat yang didukung oleh surat dari Bupati Kepulauan Meranti agar Menteri Kehutanan meninjau kembali izin tersebut hingga sekarang perusahaan belum menanam akasia. Namun ketika itu tidak ada respon dari Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan.

Seperti kata Jokowi ke media di Pekanbaru pada hari pertama blusukan, dirinya datang ke Sungai Tohor untuk memberikan harapan kepada rakyat bahwa mereka diperhatikan dan tidak diabaikan dan pemerintah hadir menyelesaikan masalah mereka.

Pertanyaannya, kemana pemerintah pusat dan pemprov Riau negara selama ini menangani kebakaran hutan di Riau?

 


Siapa Membiarkan Kebakaran Hutan Riau Selama 17 Tahun? was first posted on December 2, 2014 at 3:40 am.

Berikut Fakta Unik si Penghasil Madu (Bagian 2)

$
0
0
Lebah memiliki banyak manfaat bagi manusia. Iajuga menjadi faktor penting dalam keberlangsungan tanaman. Foto: Wikipedia

Lebah memiliki banyak manfaat bagi manusia. Iajuga menjadi faktor penting dalam keberlangsungan tanaman. Foto: Wikipedia

Lebah, tak hanya bermanfaat bagi manusia. Keberlangsungan tanaman-tanaman juga bergantung pada satwa kecil ini. Mau tahu fakta unik dari lebah?

“Lebah adalah penyerbuk terbaik di alam,” kata Stanislaus Ghaji, peneliti dan instruktur penangkar lebah trigona, Universitas Hasanuddin Makassar.

Mengapa demikian? Saat musim bunga, katanya, ada ribuan kali kunjungan lapangan ke bunga. Lebah yang mencelupkan badan di tepung sari, memindahkan ke kedua kaki belakang, lalu terbang dan berpindah lagi ke bunga lain. Tepung sari ini, menyatu dan bercampur dengan bunga lain dan menciptakan penyerbukan.

Bunga-bunga yang melalui proses penyerbukan ini memiliki kualitas baik untuk meciptakan buah. Ketika jadi buah, mahluk lain seperti burung memakan dan membuang kotoran di beberapa tempat. Tersebarlah benih secara alami. “Ingat, burung hanya penyebar, tanpa penyerbukan, kualitas buah akan lemah. Lebah yang melakukan dengan sempurna,” katanya.

Apa yang terjadi bila lebah tak ada? Regenerasi tanaman, kata Stanislaus, akan mengalami stagnan. Tanaman-tanaman baru yang dibantu penyerbukan oleh burung pengisap madu atau serangga lain bahkan angin, tidak seunggul penyerbukan lebah. Meskipun tanaman baru tetap tumbuh tetapi daya saing kurang dan proses lama.

Di alam, salah satu penyerbuk terbaik adalah kupu-kupu. Namun, kupu-kupu hanya memilih jenis bunga dan tanaman yang disukai. “Lebah tidak memilih. Ia menghisap semua jenis bunga di tanaman. Dari bunga dengan kelopak besar hingga kelopak paling kecil.”

Di hutan Sulawesi, ada tiga jenis lebah lokal. Yakni Apis trigona, Apis cerana, dan Apis dorsata. Trigona ukuran lebih kecil, memiliki radius jelajah antara 500–700 meter .

Stanislaus menunjukkan bunga dari tanaman puspa, salah satu pakan favorit trigona. Foto: Eko Rusdianto

Stanislaus menunjukkan bunga dari tanaman puspa, salah satu pakan favorit trigona. Foto: Eko Rusdianto

Dorsata ditemukan diketinggian 400–700 dpl dan cerana antara 700–1000 dpl, saat musim bunga mampu menghasilkan hingga 20 kg madu. Untuk menghasilkan satu kilogram madu, lebah pekerja lapangan dapat menempuh perjalanan hingga radius 3.600. km. Ia memerlukan kunjungan lapangan antara 1.200 – 1.500 kali. “Coba bayangkan ada berapa banyak bunga yang penyerbukan di bantu lebah. Ratusan ribu bukan?” kata Stanislaus.

Sang ratu dan ritual kawin

Setiap koloni lebah dipimpin satu ratu. Ratu secara fisik memiliki tubuh proposional dan memiliki alat pengembangbiakan baik. Usia ratu bisa sampai tahun. Usia subur hingga lima tahun, enam sampai tujuh tahun mulai menurun. Lebah lain maksimal berusia enam minggu.

Setiap koloni lebah, meskipun sarang berdekatan, tidak boleh bercampur. Lebah tersesat dan salah masuk koloni akan dibunuh karena dianggap penyusup.

Bagaimana saling mengenal dengan anggota koloni masing-masing, padahal bentuk sama? Ternyata, masing-masing ratu memiliki bau khas (veromon). “Bau inilah yang menjadi penanda dan arah pulang lebah,” kata Peneliti Lebah Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, Mappatoba Sila.

Dalam koloni lebah, ratu hanya kawin sekali seumur hidup. Setelah itu, sepanjang waktu hanya bertugas bertelur. Ratu yang produktif bertelur 1.000–2.000 butir per hari. Ketika produksi telur ratu turun, lebah pekerja membuat quensel (rumah ratu) baru dan menghasilkan lebah pejantan.

Ketika pejantan dewasa dan calon ratu baru siap, ratu lama dibunuh. Ratu baru menunggu sekitar  satu minggu untuk siap dibuahi. Saat tiba, ratu perawan keuar sarang dan terbang menjelah hingga radius 500 meter persegi.

Saat itu, ribuan pejantan berlomba mendekati ratu perawan. Saat pejantan berhasil mengawini ratu, mereka akan saling terkait. Terjatuh, hingga tersangkut pohon, ranting, daun atau terhempas ke tanah. Saat itu, alat reproduksi pejantan melengket di kelamin ratu.

Ratu terbang lagi. Pejantan yang mengawini ratu mati. Pejantan kedua memiliki tugas lebih rumit. Sebelum mengawini ratu, harus melepaskan alat kelamin pejantan. Dalam sekali ritual kawin, biasa hingga 11 pejantan. “Saat itu, kantong telur ratu penuh kembali ke sarang. Lalu bertelur.”

Untuk menjadi lebah dewasa, dari telur, menjadi larva, nimfa, sampai imago memerlukan 21 hari. Lebah muda sampai 10 hari belum bisa keluar sarang dan bertugas membantu merawat sarang. Jika berusia dua minggu akan menjadi lebah pekerja lapangan.  “Karena itulah ratu bertelur sebanyak-banyaknya. Setiap hari akan ada lebah mati.” (Habis)

Sarang lebah trigona yang telah ditinggalkan dan sudah rusak. Foto: Eko Rusdianto

Sarang lebah trigona yang telah ditinggalkan dan sudah rusak. Foto: Eko Rusdianto


Berikut Fakta Unik si Penghasil Madu (Bagian 2) was first posted on December 2, 2014 at 4:07 am.

Wow.. Kerugian Akibat Illegal Fishing Kapal Asing Mencapai 20 Miliar USD Per Tahun

$
0
0

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan pihaknya telah melakukan perhitungan kasar terhadap kerugian dari sektor kelautan akibat pengambilan ikan ilegal alias illegal, unreported and unregulated (IUU) fishing oleh kapal asing dan kapal Indonesia yang tidak berizin mencapai maksimal 20 miliar USD per tahun.

“Kerugian mendekati 12-15 miliar USD. Maksimal 20 miliar USD. Saya berkeyakinan sekitar 12,5 miliar USD,” kata Susi dalam acara pertemuan bersama pimpinan media massa (chief editors meeting) di Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di Jakarta, pada hari Senin (01/12/2014).

Dia mendapatkan perkiraan angka kerugian tersebut setelah melakukan blusukan dan bertemu nelayan para pemilik kapal tangkap ikan di berbagai lokasi, seperti di Pengandaran dan pesisir pantai utara (pantura) Jawa. Dari nelayan disebutkan pendapatan kapal Indonesia berbobot 60-70 gross tonnage (GT) yang hanya menangkap ikan tongkol berkisar Rp 3 – 6 miliar, dengan angka moderat sekitar Rp 4 – 5 miliar per tahun.

Kapal penangkap ikan berlabuh di Pelabuhan Tanjung Luar, Lombok Timr, Nusa Tenggara Barat. Foto : Jay Fajar

Kapal penangkap ikan berlabuh di Pelabuhan Tanjung Luar, Lombok Timr, Nusa Tenggara Barat. Foto : Jay Fajar

Padahal ada berbagai jenis ikan dan spesies laut yang bernilai jual lebih tinggi dibandingkan ikan tongkol, seperti ikan tuna, ikan napoleon, udang, lobster, teripang, kerang, dan sebagainya yang ditangkap dan dibawa keluar negeri oleh kapal-kapal asing.

“Ikan yellow fin itu harga dua kali ikan tongkol. Kalau kapal trawler besar di timur Indonesia, seperti di Merauke, ngambilnya mesti udang, dengan harga  Rp 70 – 100 ribu per kg. Harga ekspor udang mix 11 USD per kkg. Harga udang berkepala sekitar 7-8 USD,” kata Susi.

Data dari KKP menyebutkan ada sekitar 1200 – 1300 izin kapal berbobot lebih dari 30 GT di seluruh perairan Indonesia.  Dan dia mendapatkan informasi dari sumber yang terpercaya bahwa jumlah kapal penangkap ikan ilegal berjumlah lima kali lipat dari kapal resmi, yang berarti sekitar 6000 – 7500 kapal.

Oleh karena itu, Menteri Kelautan dan Perikanan mantap untuk melakukan moratorium perizinan kapal dan pengaturan serta pembatasan penangkapan ikan di perairan Indonesia. Dia juga telah bertemu dengan duta besar negara tetangga dan negara sahabat tentang moratorium ini dan penegakan hukum terhadap kapal asing di Indonesia.

“(Kepada kapal asing) do not anymore fishing di Indonesia. Saya ngomong di depan para Dubes. Dubes ngomong kalo masih ada (kapal asing menangkap ikan di perairan Indonesia), silahkan diproses hukum. Apa yang akan kita lakukan itu sudah sangat biasa,” katanya.

Sesuai aturan perikanan dunia, kapal asing dilarang menangkap ikan di perairan suatu negara. Pelarangan tersebut merupakan hal yang wajar terjadi di dunia.

“(Pelarangan penangkapan ikan di suatu negara oleh negara lain) sudah terbiasa dilakukan di negara-negara lain di dunia. Kenapa kita mesti takut dengan hubungan denengan negara tetangga terganggu oleh itu. Ini tidak perlu dipertanyakan. Untuk kedaulatan (negara, pelarangan) tidak perlu keraguan. Dan setiap negara memberlakukan peraturan yang sama. Kita juga sudah punya undang-undang untuk itu (UU Perikanan),” katanya.

Maka menjadi hal yang wajar penangkapan ikan dilakukan oleh orang pribumi suatu negara dan pengolahan ikannya dilakukan di dalam negeri.

Pemberantasan dan penangkapan kapal asing

Susi menjelaskan sejak diberlakukannya moratorium, jumlah kapal penangkap ikan yang beroperasi di Indonesia jauh berkurang. Hal itu menandakan banyak kapal asing dan ilegal yang selama ini melakukan penangkapan ikan.

Dia menyebutkan data dari satelit dan data monitoring kapal (vessel monitoring system / VMS), ada sekitar 933 kapal ikan yang beroperasi pada tanggal 25 Oktober 2014 atau sebelum moratorium. Dan setelah moratorium diberlakukan pada awal November 2014, kapal yang beroperasi hanya 164 unit. “Ada 933 kapal yang tidak punya VMS, yang berarti tidak benar perizinannya, sehingga mereka pada pulang,” jelasnya.

Sesuai UU No.45/2009 tentang Perikanan menyebutkan pemerintah berhak melakukan penegakan hukum berupa penenggelaman kapal yang terbukti kapal asing ilegal. Susi menjelaskan sejak moratorium diberlakukan, KKP telah ditangkap enam kapal asing yaitu 5 kapal dari Thailand dan satu kapal dari Vietnam. Dan TNI Angkatan Laut telah menangkap empat kapal asing.

“Kita berhak (melakukan penenggelaman kapal). Tinggal lapor Menko Kemaritiman, kapal yang sudah kita tangkap, kita bakar. Saya ketemu dengan Dubes thailand. Dia mengucapkan mohon maaf karena ada nelayan Thailand yang berlayar di Indonesia,” katanya.

Pada kesempatan tersebut, Dirjen Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP, Asep Burhanudin mengatakan sesuai pasal 69 ayat 4 UU Perikanan menyebutkan aparat pemerintah dapat melakuakn tindakan khusus berupa penenggelaman kapal bila telah ada cukup bukti permulaan yaitu adanya anak buah kapal asing, tidak ada surat izin kapal dan secara fisik terbukti kapal asing tersebut berada di wilayah Indonesia.

Akan tetapi proses penenggelaman kapal, kata Asep, mengalami kendala seperti peralatan dan keselamatan aparat pemerintah maupun nelayan asing yang ditangkap.

“Senjata yang kita miliki 12,7 mm. (Kapal ditembak) sampai habis (peluru) satu gudang tidak akan tenggelam kapal itu, hanya bolong-bolong saja. Jadi memang perlu dari TNI AL. ataupun kalau dibakar bisa,” jelasnya.

Nelayan tradisional yang kesulitan karena dampak pencemaran laut, pesisir pantai maupun konversi hutan mangrove ke perkebunan. Foto: Andreas Harsono

Nelayan tradisional yang kesulitan karena dampak pencemaran laut, pesisir pantai maupun konversi hutan mangrove ke perkebunan. Foto: Andreas Harsono

Asep mengatakan pihaknya juga mempertimbangkan keselamatan baik ABK kapal asing yang ditangkap maupun aparat pemerintah. Dia mengilustrasikan jumlah pegawai KKP dalam satu kapal pengawas berkisar 20 orang, sedangkan lima kapal asing yang ditangkap bisa mempunyai ABK sekitar 60 orang.

“Dari sisi keselamatan, lima kapal itu jumlahnya 60 orang personil. Kalau kita tenggelamkan di tengah laut, ABK kita cuma 20. Kalau kita mengamankan 60 dalam satu kapal kita, itu satu banding tiga, bisa hilang kapal kita jangan-jangan,” katanya.

Oleh karena itu, Menteri Kelautan dan Perikanan mengatakan pada Senin kemarin (01/12/2014) pihaknya telah melakukan penandatanganan kerjasama bersama TNI Angkatan Laut untuk penegakan hukum kapal asing di perairan Indonesia.


Wow.. Kerugian Akibat Illegal Fishing Kapal Asing Mencapai 20 Miliar USD Per Tahun was first posted on December 2, 2014 at 1:36 pm.

Keluarkan Izin Tambang di Bangka, Pengacara: ESDM Langgar UU

$
0
0
Kondisi Pulau Bangka kini. Perusahaan mulai menggali tanah di bagian atas--hutan mulai ditebangi-- untuk mereklamasi pantai. Foto: Save Bangka Island

Kondisi Pulau Bangka kini. Perusahaan mulai menggali tanah di bagian atas–hutan mulai ditebangi– untuk mereklamasi pantai. Foto: Save Bangka Island

Sidang pertama gugatan sembilan warga Pulau Bangka, Sulawesi Utara, kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) digelar di PTUN Jakarta Timur, Selasa (2/12/14). Gugatan warga didasari SK Menteri ESDM, 17 Juli 2014, Nomor 3109 K/30/2014 tentang Izin Pertambangan PT Migro Metal Perdana (MMP). Izin itu dinilai melanggar beberapa UU dan mengabaikan hak-hak warga hingga berpotensi mengancam lingkungan dan hidup mereka.

Johny Nelson Simanjuntak, kuasa hukum warga mengatakan, Menteri ESDM menerbitkan izin usaha pertambangan yang bertentangan UU. “UU Pulau Kecil dan Pesisir, UU Kehutanan, UU Sumber Daya Air, UU Lingkungan Hidup. Peruntukan pulau ditetapkan sebagai wisata. Izin usaha itu harus dibatalkan,” katanya usai sidang.

Dia mengatakan, SK Menteri ESDM aneh. Sebelumnya, dari PTUN Manado, PPTUN Makassar, dan Mahkamah Agung pada 2013, memenangkan warga dan mempunyai kekuatan hukum tetap.

Menurut dia, selain bertentangan dengan UU, izin usaha juga bertentangan dengan kepentingan masyarakat. Mereka, hidup di sana sebagai petani dan nelayan. “Kalau pertambangan  berlanjut, kehidupan warga bisa bubar. Meskipun mereka dipindahkan ke tempat lain, itu bukan cara yang baik.”

Jika perusahaan beroperasi, Bangka bisa tenggelam. Sebab, material yang akan dibawa sangat banyak. Website Aempire Resource (perusahaan induk MMP yang berkedudukan di RRC) menyebut, dalam tiga tahun pertama operasi, MMP akan memproduksi 40,2 juta kiloton bijih besi setara 40,2 juta metrik ton. Jika masa berlaku izin produksi selama 20 tahun, akan mengeruk bijih besi 267,99 juta metrik ton. Sedang lahan yang mendukung kurang 50% dari bijih besi atau setara 133,50 juta metrik ton.

Hingga total volume Bangka yang akan dikeruk 267,99 juta metric ton ditambah 133,50 juta metric ton=401,49 juta metrik ton atau + 401,50 juta metrik ton.

Data ini, katanya, jelas memperlihatkan jika izin dipaksakan, ekosistem Bangka akan hancur. Penambangan bijih besi massif menyebabkan sedimentasi di terumbu karang di sana. Selama ini, katanya, terumbu karang menjadi primadona ekowisata di Sulut. Hal ini juga bertentangan dengan komitmen perlindungan “segitiga karang” sebagai warisan dunia.

Hutan-hutan mulai botak, tanah diambil buat reklamasi pantai. Air di tepian mulai berubah keruh. Foto: Save Bangka Island

Hutan-hutan mulai botak, tanah diambil buat reklamasi pantai. Air di tepian mulai berubah keruh. Foto: Save Bangka Island

Penambangan bijih besi ini, berakibat negatif terhadap biota endemik seperti tarsius, maupun di perairan atau pesisir.

“Kami minta batalkan karena menimbulkan konflik horizontal antara masyarakat. Segelintir orang tertarik dengan sejumlah uang. Jadi merasa mau menjual tanah. Mayoritas tak mau.”

Konflik vertikal juga terjadi. Konflik antara masyarakat dengan pemerintah kabupaten, kecamatan dan desa. Perjalanan pemerintahan menjadi tersendat dan menimbulkan diskriminasi.

Warga menolak pertambangan, tidak dilayani hingga mereka protes.

“Juga konflik terjadi antara perusahaan dengan masyarakat. Gejolak perlawanan karena warga marah. Malah warga dikriminalisasi karena ada kebakaran alat berat perusahaan. Kita tidak tahu siapa yang membakar, tetapi polisi menyangkakan warga menentang pelaku,” katanya.

Ada juga konflik antara masyarakat dengan pemimpin gereja.  Masyarakat berharap gereja membela masyarakat tetapi hingga kini tak ada.

“Jadi kedatangan investasi menimbulkan malapetaka dan masalah besar. Tidak hanya fisik terhadap pulau, juga malapetaka kepada masyarakat. Warga diintimidasi, hidup tidak tenang. Antarsesama tidak harmonis.”

Terus beroperasi

Merti Mais Katulung, warga Bangka penggugat, mengatakan, sampai hari ini MMP masih beroperasi. “Warga sudah mempunyai kekuatan hukum kuat dan mengikat dari MA.”

MMP, katanya, hingga kini masih mereklamasi pantai. Material reklamasi diambil dari pengerukan gunung-gunung. “Tanah dikeruk, ditimbun ke laut. Ada dua sungai ditutup, yaitu Sungai Sipi dan Pahepa. Penutupan ini otomatis air berubah drastis, tak keluar langsung karena tertutup reklamasi pantai.”

Sadjie Faturahman dari Jatam mengatakan, keputusan Kementerian ESDM sudah salah. “Seharusnya menegakkan hukum, malah membelokkan hukum sendiri. Kami optimis dengan gugatan masyarakat. Semoga menang.”


Keluarkan Izin Tambang di Bangka, Pengacara: ESDM Langgar UU was first posted on December 2, 2014 at 4:45 pm.

Warga OKI Menuntut Perda Lelang Lebak Lebung Dicabut

$
0
0

Sungai Komering merupakan salah satu sungai kebanggaan masyarakat Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). Sungai ini sangat bersejarah dalam membangun peradaban masyarakat di Sumatera Selatan. Foto: Taufik Wijaya

Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), merupakan daerah paling luas rawa lebaknya di Sumatera Selatan. Dari luas wilayah 21.469,90 kilometer persegi, sekitar 146.279 hektar nya merupakan kawasan lebak. Atau, sekitar 58,96 persen dari luasan lebak yang ada di Sumatera Selatan. Namun, lebak yang menjadi sumber pendapatan masyarakat dalam beberapa tahun terakhir ini terampas oleh lelang lebak lebung yang dikelola pemerintah OKI.

Padahal, sistem usaha tani dan perikanan yang dibangun dalam kebudayaan lebak lebung di OKI adalah sistem terpadu tanaman semusim. Misalnya padi sawah, palawija, sayuran, ternak kerbau dan itik, serta usaha penangkapan ikan.

Musim tanam padi di lebak juga hanya sekali dalam setahun. Palawija dan sayuran ditanam bersamaan dengan padi yang ditanam pada galangan sawah lebak. Sedangkan pada musim penghujan, petani mengharapkan penghasilan dari menangkap ikan. Secara adat setiap keluarga petani memiliki lahan lebak seluas satu hingga dua hektar.

Namun, tahun 2005, pemerintah OKI mengklaim kawasan lebak tersebut milik pemerintah. Pemerintah OKI juga menguasai sumber ikan alami yang ada di lebak lebung.

Kebijakan tersebut menimbulkan protes di masyarakat yang menuntut pencabutan perda. Salah satu organisasi yang mendampingi adalah Serikat Petani Indonesia (SPI). Tuntutan ini berhasil, pemerintah OKI mengeluarkan perda tahun 2008 yang isinya mengembalikan lebak lebung kepada masyarakat.

Tapi tahun 2010, pemerintah OKI kembali mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor  18 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Lebak Lebung dan Sungai (L3S). Mereka menyelenggarakan lelang lebak lebung dan sungai. Artinya, lebak lebung kembali dilelang. Alasannya, saat lebang lebung dikembalikan kepada masyarakat sering terjadi keributan dalam pengelolaannya.

Rugikan petani

Sebagian masyarakat di Kabupaten OKI menilai, lelang lebak lebung menghilangkan akses petani pada sumber daya alam di atas lahan yang sebenarnya menjadi hak mereka secara adat.

Slamet (55), petani nelayan di Kecamatan Sirah Pulau Padang, mengatakan L3S yang dibuat pemerintah OKI lebih berpihak kepada pemilik modal. Karena umumnya, pemenang lelang di OKI dan yang membiayai kelompok masyarakat adalah para pemilik modal sebagai pengemin (pemenang lelang).

Sedangkan masyarakat, kata dia, harus membayar dalam jumlah besar kalau ingin menangkap ikan di lebak yang sudah dikuasai pengemin. “Untuk mendapatkan izin menangkap ikan di lebak yang sudah dikuasai pengemin harus membayar Rp 1 juta alat tangkap berupa tajur atau pancing. Kalaupun tidak mampu membayar, masyarakat diperbolehkan menangkap ikan namun ikan hasil tangkapannya harus dijual kepada pengemin dengan harga yang sangat murah, 25 persen dari harga pasar,” katanya.

“Tidak jarang hasil tangkapan kecil, sehingga mereka banyak meninggalkan utang,” kata Slamet, Selasa (02/12/2014).

Heriyanto, warga Kecamatan Pedamaran, mengatakan sistem L3S yang dibangun selama ini jelas mengancam para petani di Kabupaten OKI. Pasalnya, lebak tersebut merupakan sumber kehidupan mereka di saat musim hujan.

Menurutnya, pemerintah OKI harus lebih memperhatikan kesejahteraan petani, sehingga dapat mempertimbangkan untuk menghentikan L3S.

Suasana lelang lebak lebung di Kecamatan Sirah Pulau Padang, OKI. Perda lelang ini dianggap merugikan masyarakat karena tidak bisa mengakses sumber daya alam dan hanya menguntungkan para pemodal. Fomi Maradona

Suasana lelang lebak lebung di Kecamatan Sirah Pulau Padang, OKI. Perda lelang ini dianggap merugikan masyarakat karena tidak bisa mengakses sumber daya alam dan hanya menguntungkan para pemodal. Foto: Romi Maradona

Sulit dikembalikan

Hasanudin, Kepala Dinas Perikanan Kabupaten OKI menegaskan, terkait permintaan masyarakat untuk membebaskan lebak lebung, pihaknya sudah melakukan konsultasi kepada sekretaris daerah (Sekda) Kabupaten OKI. Namun, pembebasan itu tidak mungkin dilakukan karena sudah diatur dalam perda. “Kita pernah membebaskan lebak lebung tersebut agar tidak dilelang. Tapi, di lapangan sering terjadi keributan sehingga pemerintah memutuskan untuk mengambil kembali dengan membuat sistem lelang,” katanya.

Di Kabupaten OKI, lelang lebak lebung menjadi salah satu primadona pendapatan asli daerah (PAD). Pada 2013 pemerintah OKI menargetkan PAD dari sektor ini sebesar Rp 5 miliar dan terealisasi sekitar Rp 4 miliar lebih. Sementara tahun 2014 target PAD dari sektor tersebut di atas Rp 5 miliar.

L3S merupakan salah satu primadona PAD di Kabupaten OKI. “Data sementara yang kita peroleh berdasarkan hasil lelang pada Selasa (25/11/2014) sudah melampaui target yaitu Rp 5 miliar lebih. Angka ini bisa bertambah karena masih ada sebagian lebak yang belum dilelang,” katanya.

Menurutnya, pelaksanaan lelang ini sudah diatur oleh Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Ogan Komering Ilir Nomor 18 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Lebak Lebung dan Sungai.

Tahun ini, setidaknya ada 350 lebak lebung yang telah dilelang pada Selasa (25/11/2014) lalu yang dilakukan serentak di 18 kecamatan.

Ketua Paguyuban Agung Family, Nurmuin, Selasa (02/12/2014) mengatakan, pemerintah harus jeli dalam mencari sumber pendapatan daerah dan jangan sampai masyarakat yang dirugikan. “Saya tahu, lelang lebak lebung merupakan primadona. Tapi masyarakat yang jadi korban,”katanya.

Sebenarnya, kata dia, masih banyak sektor yang diyakini bisa memberikan pendapatan fantastis, di antaranya pajak angkutan perairan berupa tongkang. Belum lagi, sekitar 53 perusahaan perkebunan yang beroperasi di OKI dan masing-masing perusahaan membawa hasil bumi OKI yang tidak dikenakan pajak.

“Pemerintah harus merancang perda dan regulasi, karena banyak sumber pendapatan di OKI yang tidak tersentuh. Bila telah dibuat perda maka lebak lebung bisa dibebaskan dan dikembalikan kepada masyarakat.”

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio


Warga OKI Menuntut Perda Lelang Lebak Lebung Dicabut was first posted on December 3, 2014 at 4:07 am.

GCF Telah Terima Komitmen Pendanaan Iklim Sebesar 9,7 Miliar USD

$
0
0
Menteri Lingkungan Peru,  Manuel Pulgar-Vidal, yang terpilih sebagai Presiden COP ke-20 mendapatkan selamat dari pimpinan UNFCCC dalam acara pembukaan konferensi perubahan iklim (COP) ke-20 di Lima, Peru pada Senin (01/12/2014) waktu setempat.

Menteri Lingkungan Peru, Manuel Pulgar-Vidal, yang terpilih sebagai Presiden COP ke-20 mendapatkan selamat dari pimpinan UNFCCC dalam acara pembukaan konferensi perubahan iklim (COP) ke-20 di Lima, Peru pada Senin (01/12/2014) waktu setempat. Foto : UNFCCC

Konferensi tahunan perubahan ikilm atau Conference of the Parties (COP) ke-20 dari Kerangka Kerja untuk Konvensi Perubahan Iklim PBB (UNFCCC)  yang berlangsung di Kota Lima, Peru, telah dibuka secara resmi pada Senin (01/12/2014) waktu setempat.

Sekretaris Eksekutif UNFCCC, Christiana Figueres mengatakan dunia membutuhkan komitmen dari semua negara untuk melakukan aksi nyata dalam penanganan perubahan iklim. “Dunia sekarang butuh aksi nyata untuk perubahan iklim seperti garis Nazca yang tak lekang oleh waktu,” katanya dalam sambutan pembukaan konferensi seperti dikutip dari siaran pers UNFCCC.

Christiana menekankan empat isu utama dalam COP ke-20 yang berlangsung pada 1 – 12 Desember 2014.  Empat isu utama untuk dibahas dan dicapai kesepakatannya dalam COP20 yaitu tercapainya draft perjanjian penanganan perubahan iklim global sebagai pengganti Protokol Kyoto periode komitmen kedua sebelum tahun 2020, kejelasan komitmen target penurunan emisi dari setiap negara baik mitigasi maupun adaptasi, aksi global bersama dari semua pihak untuk meningkatkan dan mengakselerasi solusi penanganan perubahan iklim, dan kejelasan mengenai mekanisme distribusi pendanaan dari Green Climate Fund (GCF) bagi negara-negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Pengelolaan dana perubahan iklim dilakukan oleh GCF yang merupakan badan resmi dibawah UNFCCC.

Sedangkan Menteri Lingkungan Peru,  Manuel Pulgar-Vidal, yang dipilih menjadi Presiden COP ke-20 juga meminta semua negara pihak UNFCC untuk berkomitmen memberikan dana bagi GCF.

Pendanaan menjadi salah satu isu utama dalam konferensi, dimana negara-negara rentan dampak perubahan iklim menagih kepastian realisasi komitmen mobilisasi pendanaan dari negara maju sebesar 100 miliar USD per tahun sampai 2020 seperti yang dijanjikan pada COP-15 di Kopenhagen, Denmark, pada 2009.

Pendanaan tersebut sangat penting untuk mendukung aksi mitigasi dan adaptasi di negara berkembang hingga tahun 2020 untuk membantu dunia menjaga peningkatan suhu rata-rata tidak lebih dari 2 derajat Celcius dibandingkan dengan tingkat suhu sebelum Revolusi Industri. Jumlah komitmen tersebut sebetulnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan pengurangan emisi dan adaptasi perubahan iklim di sekitar 129 negara berkembang yang menjadi Pihak UNFCCC.

Sebelumnya, pada 28 November 2014 atau tiga hari sebelum penyelenggaraan COP ke-20, pemerintah Spanyol mengumumkan komitmennya untuk memberikan dana sebesar 120 triliun Euro kepada GCF. Ini melengkapi komitmen Pemerintah Kanada untuk memberikan pendanaan sebesar 300 juta dolar Kanada kepada GCF.  Dengan komitmen Spanyol dan Kanada, maka telah ada 22 negara yang memberikan komitmen pendanaan bagi GCF, dengan total sebesar 9,7 miliar USD.

“Komitmen Spanyol membangun momentum positif dalam konferensi COP. Kami emngajak semua negara yang belum berkontribusi untuk bergabung dan berinventasi di GCF,” kata Direktur Eksekutif GCF, Héla Cheikhrouhou seperti dikutip dari siaran pers UNFCCC.

Sedangkan Kepala Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim yang juga Kepala Delegasi RI untuk COP ke-20, Rachmat Witoelar mengatakan Indonesia memancing komitmen dari negara maju untuk berkontribusi dalam GCF.

“Pledges kontribusi dari negara maju ke Green Climate Fund dengan kontribusi yang kecil saja, 250.000 dolar Amerika Serikat, namun diapresiasi oleh negara-negara maju karena dianggap memberikan inspirasi dan motivasi,” ujar Rachmat dalam siaran pers DNPI.

GCF yang dibentuk dari keputusan konferensi COP-16 di Cancun, Meksiko tahun 2010, saat ini sudah operasional. GCF telah menerima komitmen pendanaan toal 9,7 miliar USD dari negara maju, dan juga negara berkembang seperti Korea Selatan, Indonesia, dan Meksiko.

Beberapa negara lain diperkirakan  akan ikut berkontribusi dan menambah pundi-pundi GCF sehingga menjadikan dana ini sebagai dana multilateral utama untuk membantu aksi perubahan iklim di negara-negara berkembang.

Saat ini DNPI bekerjasama dengan Sekretariat GCF melakukan beberapa kegiatan untuk meningkatkan kapasitas lembaga nasional—pemerintah dan non pemerintah—untuk dapat mengakses pendanaan GCF termasuk menyiapkan proposal proyek dan program yang terbaik.

 


GCF Telah Terima Komitmen Pendanaan Iklim Sebesar 9,7 Miliar USD was first posted on December 3, 2014 at 6:39 am.

Kambing Hutan Sumatera, Penakluk Lereng Terjal yang Tak Kenal Lelah

$
0
0

 

Kambing hutan sumatera, si penakluk lereng terjal yang tidak pernah lelah. Hidupnya, berada di ketinggian 200 meter di puncak dataran tinggi Sumatera. Sumber: Wikimedia

Hutan hujan Sumatera merupakan salah satu bentang alam Indonesia yang kaya akan ragam fauna. Dari jenis mamalia yang ada di Sumatera, 22 hanya ditemukan di Asia dan tidak bisa dijumpai di belahan dunia lainnya. Sekitar 15 diantaranya merupakan spesies asli Indonesia, termasuk orangutan sumatera.

Satu jenis satwa yang kurang terpublikasikan padahal merupakan satwa endemik pulau Sumatera adalah kambing hutan sumatera. Masih sedikit penelitian mengenai jenis ini sehingga minim akan referensi. Sedikit telaah yang diketahui adalah spesies ini merupakan satu dari enam jenis kambing hutan yang ada di Asia bagian timur.

Kambing Hutan Sumatera atau dalam Bahasa Inggris disebut Sumatran Serow ini merupakan jenis kambing hutan yang hanya ada di hutan tropis Pulau Sumatera. Ciri fisik kambing bernama ilmiah Capricornis sumatraensis sumatraensis ini adalah bertanduk ramping, pendek dan melengkung ke belakang. Berat badannya antara 50- 140 kg dengan panjang badan antara 140-180 cm. Saat dewasa, tingginya mencapai 85-94 cm.

Umumnya, kambing hutan sumatera hidup soliter. Namun begitu, terkadang, ia juga berjalan dalam grup kecil. Sebagaimana harimau, kambing ini juga mempertahankan suatu wilayah dalam hutan untuk digunakannya sebagai tempat mencari makan, berupa dedaunan dan rerumputan, serta tempat tinggal. Nah, untuk menandai suatu wilayah sebagai daerah kekuasaannya maka kambing ini akan mengeluarkan kotoran dan air seni.

Kambing hutan sumatera tentu saja berbeda dengan kambing yang biasa kita ternakkan. Karena, jenis ini merupakan perpaduan antara kambing dengan antelop, jenis yang mirip kambing dengan tanduk tegak lurus. Bahkan, masih memiliki hubungan dekat dengan kerbau.

Kambing ini merupakan satwa yang tangkas memanjat lereng terjal yang biasanya hanya  bisa dicapai manusia dengan bantuan tali. Biasanya, hidupnya diketinggian 200 meter dari puncak dataran tinggi di Sumatera atau bukit-bukit kapur. Habitatnya adalah hutan primer dan hutan sekunder yang dekat pegunungan. Mereka aktif pada pagi dan sore hari. Siangnya, istirahat di tempat teduh di bebatuan.

Saat ini, populasinya yang masih tersisa berada di Taman Nasional Kerinci Seblat (Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, dan Sumatera Selatan) juga dapat ditemukan di Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) yang secara administratif berlokasi di Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Provinsi Sumatera Utara dan Taman Nasional Gunung Leuser (Nanggroe Aceh Darussalam).

Kambing hutan sumatera yang ditemukan warga Desa Beras Tepu, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo saat erupsi Sinabung, Januari 2014. Foto: Ayat S Karokaro

Awal 2013, warga di sekitar Gunung Sinabung, tepatnya di Desa Beras Tepu, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, menemukan seekor kambing hutan sumatera yang keluar dari hutan, karena aktivitas Gunung Sinabung yang terus mengeluarkan erupsi waktu itu.

Menurut keterangan tetua masyarakat yang sudah tinggal turun temurun di desa itu, mereka sama sekali tidak pernah melihat kambing hutan Sumatera. Memang, di alam bebas keberadaan satwa ini semakin langka dan bahkan terancam kepunahan.

International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN), memasukkan satwa ini dalam kategori Rentan (Vulnerable/VU). Pemerintah Indonesia juga menetapkan kambing hutan sumatera sebagai salah satu satwa yang dilindungi dari kepunahan berdasarkan PP Nomor  7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Begitu langkanya satwa ini, sampai-sampai hanya sedikit kebun binatang di dunia yang memiliki koleksi kambing hutan sumatera. Bahkan, di kebun binatang di Indonesia sendiri, sepertinya tidak banyak yang memilikinya.

Masalah utama yang menyebabkan satwa ini langka adalah semakin menyempitnya habitat mereka akibat penebangan liar, alih fungsi hutan, dan perburuan liar. Mereka diburu, baik di area perlindungan ataupun area bebas, untuk dimakan dagingnya sebagai bahan baku obat tradisional. Sementara tanduknya, diperjualbelikan sebagai hiasan. Bahkan, perdagangan tanduk kambing hutan sumatera bisa kita temukan dengan mudah di media online.

Adalah tanggung jawab kita semua untuk memastikan bahwa kekayaan alam Sumatera ini terus lestari dan bukan hanya cerita. Ayo semua!

Kambing hutan Sumatera yang terekam kamera saat ekspedisi Kawasan Ekosistem Leuser pada 2013 lalu. Foto: Eyes on Leuser

 

Referensi:

http://eol.org/pages/1038801/overview

http://www.iucnredlist.org/details/3812/0

http://animaldiversity.org/accounts/Capricornis_sumatraensis/

http://www.britannica.com/EBchecked/topic/1486491/serow

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/5/52/Serow_Capricornis_sumatraensis.JPG


Kambing Hutan Sumatera, Penakluk Lereng Terjal yang Tak Kenal Lelah was first posted on December 3, 2014 at 7:42 am.

Hutan Sulteng Tidak akan Hilang jika Tetap Dijaga

$
0
0

Kondisi Cagar Alam Morowali, hutan konservasi yang digarap karena ada tambang di dalamnya. Jika sudah begini, siapa yang harus memulihkan kondisinya seperti sedia kala? Foto: Jatam Sulteng

Kepala Dinas Kehutanan Sulawesi Tengah, Nahardi, menanggapi positif prediksi Relawan Orang dan Alam (ROA) yang mengatakan bahwa hutan Sulteng akan habis dalam kurun waktu 16 tahun.

“Saya kira kita tanggapi positif saja. Pernyataan itu mengingatkan kita semua agar lebih bijak mengelola sumber daya alam dan menjaga hutan,” kata Nahardi usai mengikuti acara Hari Menanam Pohon Indonesia (HMPI) di Bukit Soeharto, Sigi, Sulawesi Tengah, Selasa, (2/12/14).

Kesadaran masyarakat untuk mencintai lingkungan harus dibangun sejak dini sehingga kita bisa mewariskan hutan yang rindang kepada anak cucu di masa mendatang. Pemerintah Sulteng melalui Dinas Kehutanan juga telah melakukan langkah antisipasi kerusakan hutan melalui moratorium perizinan. “Kami mempertahankan hutan yang masih ada, hutan yang masih bagus, dan masih utuh.”

Nahardi melanjutkan, Dinas Kehutanan juga melakukan gerakan rehabilitasi hutan yang tandus. Sebanyak 4.663.738 batang pohon telah ditanam tahun 2014. “Itu semua dilakukan untuk mempertahankan hutan Sulteng,” ujarnya.

Kepada Mongabay Indonesia, Kepala BPDAS Palu-Poso, Eko Gathut Wirawanto mengatakan, kekhawatiran akan hilangnya hutan Sulteng dalam kurun waktu 16 tahun seperti yang diprediksi ROA tidak akan terjadi. Dengan catatan, semua elemen masyarakat dan Pemerintah Sulteng melakukan gerakan penanaman 1 miliar pohon.

Untuk mengantisipasi terjadinya kekhawatiran itu, Eko menyebutkan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Palu-Poso saat ini sudah mempunyai penyemaian permanen dengan kapasitas  1 juta pohon.

“Kalau ada masyarakat yang ingin menanam pohon silakan datang ke BPDAS. Untuk tanaman buah-buahan kami hanya menyiapkan 30 persen dan selebihnya tanaman kayu sebanyak 70 persen. Tanaman kayu yang paling cocok di daerah ini adalah mahoni dan trembesi,” urainya.

Eko juga menaruh harapan pada masyarakat agar tidak larut dalam kekhawatiran tersebut. Pihaknya akan merangkul masyarakat untuk mendorong gerakan menanam 1 miliar pohon sehingga kekhawatiran itu tidak akan terjadi.

Inilah kondisi hutan yang berubah menjadi lapangan setelah tambang nikel beroperasi. Jika tidak dijaga, bukan tidak mungkin Sulteng akan kehilangan hutannya dalam 16 tahun kedepan. Foto: Christopel Paino

Ayub, warga Palu sangat menyayangkan jika dalam kurun waktu 16 tahun mendatang hutan Sulteng akan habis.

“Kalau melihat catatan ROA yang menyebutkan kurang lebih 1.100 industri pengelola kayu yang ada di Sulawesi Tengah namun hanya sekitar 310 yang aktif, itupun hanya empat perusahaan yang terdaftar verifikasi legalitas kayunya (VLK), saya sebagai masyarakat awam khawatir,” terangnya.

“Saya berharap, pemerintah dan penegak hukum bisa menekan laju kerusakan hutan melalui aturan-aturan yang ada. Tidak lupa menerapkan sanksi tegas terhadap pelaku kejahatan di sektor lingkungan. Jika hal itu diterapkan, keberlangsungan pemanfaatan sumber daya alam dapat kita rasakan bukan hanya hari ini atau esok, tetapi juga di masa akan datang,” harap Ayub.

Sebelumnya, Givents, Koordinator Riset dan Kampanye ROA, memprediksi kurang dari 16 tahun hutan di Sulteng akan habis. Pernyataan tersebut didasarkan pada Dokumen Strategi Daerah REDD+ Provinsi Sulawesi Tengah yang menuliskan ada 902.776 hektar luas hutan Sulteng berkurang yang sudah disahkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2014-2030.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio


Hutan Sulteng Tidak akan Hilang jika Tetap Dijaga was first posted on December 4, 2014 at 12:37 am.

Wujudkan Eco City, Pemkot Surabaya Gelar Green Building Awareness

$
0
0
Beberapa bangunan dan gedung di Surabaya. Foto : Petrus Riski

Beberapa bangunan dan gedung di Surabaya. Foto : Petrus Riski

Kondisi ideal sebuah kota tidak hanya soal kesehatan masyarakat dan kebersihan lingkungan, tetapi juga bagaimana terciptanya lingkungan yang ideal untuk tinggal. Salah satunya adalah kesadaran untuk membuat bangunan yang ramah lingkungan.

Oleh karena itu, Walikota Surabaya Tri Rismaharini telah menetapkan kotanya sebagai eco city, untuk mewujudkan kota yang bersih, hijau dan hemat energi yang nyaman bagi masyarakatnya. Salah satu penerapan eco city dengan penerapan konsep green building. Untuk itu, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya menyelenggarakan Green Building Awareness Award bagi pengelola bangunan di Surabaya.

“Penghargaan Green Building ini diharapkan dapat menjadi pemicu masyarakat luas untuk menciptakan bangunan yang lebih ramah lingkungan, yang pada akhirnya dapat menjadikan Surabaya sebagai kota ekologi yang hijau dan sehat,” kata walikota yang akrab dipanggil Risma kepada Mongabay-Indonesia.

Ada 59 dari 200 bangunan atau gedung berupa hotel, apartemen, pusat perbelanjaan, hingga perkantoran yang mengikuti penilaian oleh pemkot Surabaya bersama para pakar, yang dinilai telah menerapkan kriteria bangunan hijau dan ramah lingkungan.

 

Konsep Konstruksi Hijau 

Bangunan hijau, atau konstruksi hijau atau bangunan berkelanjutan, mengarah pada struktur dan pemakaian proses yang bertanggung jawab terhadap lingkungan dan hemat sumber daya sepanjang siklus hidup bangunan tersebut, mulai dari pemilihan tempat sampai desain, konstruksi, operasi, perawatan, renovasi, dan peruntuhan.

Praktik ini memperluas dan melengkapi desain bangunan klasik dalam hal ekonomi, utilitas, durabilitas, dan kenyamanan.Bangunan hijau dirancang untuk mengurangi dampak lingkungan bangunan terhadap kesehatan manusia dan lingkungan alami dengan:

 

  1. Menggunakan energi, air, dan sumber daya lain secara efisien
  2. Melindungi kesehatan penghuni dan meningkatkan produktivitas karyawan
  3. Mengurangi limbah, polusi dan degradasi lingkungan

 

Green Building Awareness Award, kata Kepala Bidang Fisik dan Prasarana, Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya, Dwijaya Wardhana, merupakan wujud masyarakat mendukung dan berkontribusi menjadikan Surabaya sebagai eco city.

“Mewujudkan kota yang berwawasan lingkungan itu bisa diwujudkan dari lingkungan yang kecil dulu, lingkungan yang kecil itu bisa berupa lingkungan bangunan tempat mereka melakukan aktivitas, apakah itu kantor, hotel, aparteman atau pusat-pusat perbelanjaan.,” ujar Dwijaya.

Sesuai peraturan dearah, Pemkot Surabaya juga bakal memberikan insentif pemotongan pajak berkisar 25 – 50 persen bagi  pengelola gedung green building.  “Bangunan yang ramah lingkungan itu bisa diberikan insentif PBB (Pajak Bumi Bangunan),” kata Dwijaya.

Salah satu bangunan yang dinilai adalah Hotel Singgasana Surabaya karena dianggap memiliki kriteria sebagai bangunan hijau. Dengan konsep resort tanpa bangunan tingkat serta mengandalkan konsep taman, hotel itu hanya menggunakan 20 persen dari 7 hektar luas tanahnya, selebihnya untuk taman dan ruang terbuka hijau.

Manajer Public Relation Hotel Singgasana, Virtaloka mengungkapkan hemat energi sebagai aspek bangunan hijau diterapkan dengan membuat jendela yang lebar sehingga menghemat penerangan ruangan serta tidak adanya lift atau escalator di dalam gedung. Mereka juga mulai menggunakan lampu LED yang lebih hemat energi.

Hotel Singgasana juga memanfaatkan air sungai untuk operasional hotel. Dengan water treatmen plan untuk mengolah air limbahnya dan digunakan untuk mandi, mencuci dan menyiram tanaman.

 

Pengolahan air sungai Surabaya untuk konsumsi Hotel Singgasana  Surabaya. Foto : Petrus Riski

Pengolahan air sungai Surabaya untuk konsumsi Hotel Singgasana Surabaya. Foto : Petrus Riski

 

“Dari awal sudah mempunyai yang namanya water treatment plan, jadi kita pengolahan dari air baku menjadi air siap untuk dipakai mandi dan cuci. Air baku kita ambil dari Kali Brantas,” terang Manajer Teknik Hotel Singgasana, Susilo.

Perumahan Graha Natura merupakan salah satu yang telah memikirkan persoalan sanitasi dan pengolahan limbah rumah tinggal, sebelum bangunan perumahan terbangun. Direktur Intiland Grande, David Hosea mengatakan mereka mengusung konsep hijau untuk keseimbangan tempat tinggal dan lingkungan.

“Konsep green yang kami tekankan, selain hijau dan tidak merusak lingkungan, aplikasinya kita wujudkan dalam bentuk taman di sekeliling rumah. Pengaturan desain yang memungkinkan cahaya tercukupi di dalam ruangan, tapi tetap tidak panas. Dari situ penggunaan lampu dan pendingin ruangan dapat dikurangi, karena sirkulasi udara dan pencahayaan sudah bagus,” kata David.

“Khusus untuk limbah rumah tinggal, kita sudah buat IPAL komunal, jadi kita satukan di tempat penampungan sementara untuk tiap 4 rumah, kemudian disedot dengan teknologi kami ke tempat penampungan pusat. Dari situ limbah rumah tangga diolah sehingga tidak sampai mencemari lingkungan, airnya bahkan bisa dipakai menyiram tanaman,” katanya yang menegaskan pengelola bangunan harus bertanggungjawab terhadap lingkungan.

 

Salah satu rumah contoh di Perumahan Graha Natura Surabaya  yang memiliki konsep green building dg desain dan bangunan yang  memperhatikan faktor energi, sirkulasi serta kelestarian lingkungan. Foto : Petrus Riski

Salah satu rumah contoh di Perumahan Graha Natura Surabaya yang memiliki konsep green building dg desain dan bangunan yang memperhatikan faktor energi, sirkulasi serta kelestarian lingkungan. Foto : Petrus Riski

 

Menurut Sekretaris Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Jawa Timur Mastri Indrawanto, penerapan aspek green building tidak cukup hanya pada desain bangunan yang berorientasi lingkungan. Aspek-aspek lain seperti sistem sirkulasi serta pemanfaatan energi di dalam dan di luar gedung, perlu juga mendapat perhatian sebelum gedung dibangun.

“Ada aspek-aspek green building yang bisa dianut atau bisa diacu, misalnya bagaimana kita membangun sistem sirkulasi yang hemat energi, di dalam area atau blok bangunan kita bisa desain itu cukup dengan berjalan kaki, artinya kebutuhan pejalan kaki juga diperhatikan,” kata Mastri.

 

 


Wujudkan Eco City, Pemkot Surabaya Gelar Green Building Awareness was first posted on December 4, 2014 at 2:28 am.

Dari Jakarta sampai Solo, Ramai-ramai Tolak Reklamasi Teluk Benoa

$
0
0
Walhi akan lanjutkan langkah hukum jika persoalan Taman Hutan Raya Ngurah Rai tidak mendapat perhatian dari gubernur Bali. Foto: Ni Komang Erviani

Taman Hutan Raya Ngurah Rai, salah satu kawasan penting yang akan ikut terdampak jika Teluk Benoa direklamasi. Foto: Ni Komang Erviani

Waktu menunjukkan pukul 13.00, Sabtu, 29 November 2014.  Tim bersepeda yang tergabung dalam kelompok Samas Bali, memasuki Tugu Monas, Jakarta. Keringat mereka bercucuran. Delapan orang ini bersepeda dari  Bali ke Jakarta, menyuarakan penolakan reklamasi Teluk Benoa.

Pesan-pesan bertuliskan penolakan reklamasi Teluk Benoa, terbentang. Mereka mulai bersepeda Pulau Dewata pada 20 November 2014. Momen ini diperingati sebagai Hari Puputan Margarana, menurut histori masyarakat Bali untuk mengenang kisah-kisah heroisme pahlawan-pahlawan Bali yang gugur berjuang mempertahankan tanah leluhur.

Tim yang dipimpin Road Captain Dekotel Sugiartha ingin menyampaikan pesan-pesan sosial kepada seluruh rakyat Indonesia.  Edo Rakhman Manajer Kampanye Walhi Nasional yang menyambangi Samas kala sampai ke Jakarta, mengatakan, dengan bersepeda mereka bisa turut membantu kampanye-kampanye sosial.  Termasuk menyelamatkan lingkungan hidup dari kerakusan pelaku bisnis dan oknum-oknum pemerintah yang memikirkan kepentingan sesaat. “Juga mengabaikan keberlanjutan lingkungan hidup yang menjadi hak generasi ke depan,” katanya.

Komunitas pencinta olahraga sepeda ini juga menyampaikan pesan-pesan penting, bagaimana mengajak semua orang menjaga lingkungan hidup, termasuk Teluk Benoa, Bali.  Kini, Teluk Benoa, terancam reklamasi PT. Tirta Wahana Bali International (TWBI).

Di Solo, Minggu (20/11/14) aksi tolak reklamasi datang dari Ikatan Mahasiwa Geografi Indonesia (Imahagi) Regional III Jawa Tengah dan Yogyakarta.  Aksi ini diadakan di Universitas Negeri Sebelasmaret (UNS) Solo.

Tommy Langgeng Abimanyu panitia kegiatan mengatakan, banyak dampak negatif reklamasi pesisir pantai. Di Semarang, Jateng, pernah ada reklamasi Pantai Marina.

Berdasarkan penelitian, Dr.Moh Gamal Rindarjono, reklamasi ini mengakibatkan banjir rob di Semarang dan abrasi di sepanjang pesisir Pantai Sayung, Demak.

Aksi penolakan rencana reklamasi Teluk Benoa, dengan bersepeda dari Bali ke Jakarta. Foto: Samas

Aksi penolakan rencana reklamasi Teluk Benoa, dengan bersepeda dari Bali ke Jakarta. Foto: Samas

“Jika Teluk Benoa terjadi perubahan bentang alam melalui reklamasi, banjir rob dan abrasi tidak terelakkan seperti di Semarang dan Demak. Ini merugikan pariwisata dan masyarakat Bali,” kata pengurus Imahagi ini.

Sebelum aksi, malam hari Imahagi sosialisasi tentang dampak buruk reklamasi Teluk Benoa. Penolakan itu juga dituliskan pada kain putih sepanjang tiga meter.

“Imahagi menolak reklamasi Teluk Benoa karena khawatir dampak negatif bagi lingkungan Bali.”

Rencana ini bertentangan dengan visi Presiden Jokowi yang berkomitmen melindungi laut, selat dan teluk. “Imahagi mendukung Presiden menghentikan rencana reklamasi Benoa dengan mencabut Perpres 51 tahun 2014.”

Nur Salam, Sekretaris Jenderal Imahagi mengatakan, tidak sepakat dengan reklamasi Benoa. Rencana ini dipaksakan demi kepentingan ekonomi.

Menanggapi dukungan meluas dari luar Bali, Suriadi Darmoko selaku Direktur Walhi Bali mengatakan, setiap orang sayang dan memperhatikan keberlangsungan pariwisata Bali sebagai ikon pariwisata Indonesia.

“Saya melihat mereka tidak rela Bali dijarah dan dibangun dengan cara merusak untuk kepentingan segreintir orang. Orang Bali terancam di tanah sendiri.”

Reklamasi, katanya, berkedok revitalisasi ini jelas tidak perlu di Bali. Mayoritas anak-anak muda menolak. Aksi ini juga dukungan kepada pemerintahan baru agar menghentikan rencana ini.

“Saya berharap Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tidak ragu menghentikan seluruh pembahasan Amdal reklamasi ini.”

Aksi ini juga bentuk dukungan kepada Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan untuk menghentikan seluruh perizinan berkaitan reklamasi Benoa. “Termasuk mencabut izin lokasi reklamasi yang pernah diberikan menteri periode lalu, Syarif Cicip Sutardjo.”

Dalam aksi  ini dibentangkan poster betuliskan “Say No To Reklamasi Benoa.” “Bali Tolak Reklamasi Harga Mati.” “Tolak Perpres 51 tahun 2014, Save Teluk Benoa Bali.” “Rakyat Butuh Nasi, Bukan Reklamasi.”

 Di Solo, Minggu (20/11/15) aksi tolak reklamasi datang dari Ikatan Mahasiwa Geografi Indonesia (Imahagi) Regional III Jawa Tengah dan Yogyakarta.  Aksi ini diadakan di Universitas Negeri Sebelasmaret (UNS) Solo. Foto: Imahagi


Di Solo, Minggu (20/11/14) aksi tolak reklamasi datang dari Ikatan Mahasiwa Geografi Indonesia (Imahagi) Regional III Jawa Tengah dan Yogyakarta. Aksi ini diadakan di Universitas Negeri Sebelasmaret (UNS) Solo. Foto: Imahagi


Dari Jakarta sampai Solo, Ramai-ramai Tolak Reklamasi Teluk Benoa was first posted on December 4, 2014 at 12:45 pm.

Buku: Kisah dari Lubuk Beringin

$
0
0
Para perempuan dari Lubuk Beringin, yang mencari solusi menghadapi kemiskinan lewat membentuk koperasi. Foto: dokumentasi ditulis Syafrizaldi

Para perempuan dari Lubuk Beringin, yang mencari solusi menghadapi kemiskinan lewat membentuk koperasi. Foto: dokumentasi Syafrizaldi

Pada Agustus 2000, sebanyak 23 perempuan Dusun Lubuk Beringin, Kabupaten Bungo, mengadakan yasinan setiap Jumat sore. Yasinan ini hanya melibatkan kaum perempuan.

Seusai wirid, mereka leluasa mendiskusikan hal-hal berkaitan keuangan rumah tangga. Diskusi ini berlangsung setiap hari di tepian pemandian. Dari situ lahirlah gagasan membuat lembaga keuangan mikro. Mereka menyebut lembaga itu dengan nama “Dahlia.”

Begitulah penggalan paragraf awal dalam buku “Namaku Dahlia” yang ditulis Syafrizaldi. Aal Jepang, begitu biasa dipanggil meluncurkan buku 24 November lalu di Jambi. Aal juga Manager Program Flora dan Fauna Indonesia (FFI) di Aceh.

Buku ini, kata Aal, bercerita tentang kisah inspiratif kaum perempuan di Dusun Lubuk Beringin yang selama 15 tahun mendirikan Koperasi Dahlia. Ia menjadi unit simpan pinjam warga.  “Sekarang modal berputar sudah Rp500 juta. Mereka berusaha melawan kemiskinan dengan cara positif,” katanya kepada Mongabay.

Namun, peristiwa yang melatarbelakangi pembentukan Koperasi Dahlia tidak diuraikan. Kata Aal,  berkali-kali mempertanyakan itu kepada warga, tetapi tak pernah terjawab.

Dia mengatakan, banyak peristiwa konflik di sana tetapi mereka memandang sebaliknya. “Dulu, Lubuk Beringin salah satu lokasi pembalakan liar. Anehnya masyarakat tidak merasa terancam. Mereka menyambut ramah pembalak liar. Bahkan masyarakat sering menyuguhi minum teh di rumah. Ada perbedaan cara pandang bukan? Mungkin karena masyarakat kelewat ramah?”

Dusun Lubuk Beringin, pintu masuk ke kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Pembalakan liar besar-besaran terjadi awal 1970-an hingga akhir 1980-an. Klimaksnya 1998-1999. Ia juga hutan desa pertama di Indonesia dengan izin keluar era Menteri Kehutanan, MS Kaban pada 2009.

Berapa lama mengerjakan buku ini? “Saya mulai April 2014. Tidak sampai setahun. Kebetulan, sebelumnya saya juga pernah bolak balik ke sana. Jadi bahan-bahan dasar sudah ada. Saya mengerjakan buku ini setiap akhir pekan. Di sela-sela kesibukan bekerja untuk NGO di Aceh.”

Buku ini bukan pertama ditulis Aal. Sebelumnya, dia menulis buku Riak-riak Mendesau, Lentera Kampung Hutan. Semua hasil kerjasama dengan SSS Pundi Sumatera. “Paling tidak buku ini menambah sederetan kisah-kisah perjuangan masyarakat yang berusaha melawan kemiskinan,” katanya.

Namaku Dahlia, begitu juudl buku yang menceritakan kegigihan perempuan-perempuan Lubuk Beringin, membangun koperasi hingga berkembang. Foto: dokumentasi Syafrizaldi

Namaku Dahlia, begitu judul buku yang menceritakan kegigihan perempuan-perempuan Lubuk Beringin, membangun koperasi hingga berkembang. Foto: dokumentasi Syafrizaldi


Buku: Kisah dari Lubuk Beringin was first posted on December 4, 2014 at 10:55 pm.

Proper 2014: 21 Perusahaan ‘Hitam’, Sembilan Itu Rumah Sakit

$
0
0
Siti Nurbaya, Menteri LHK

Siti Nurbaya, Menteri LHK. Foto: Sapariah Saturi

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan penilaian peringkat kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan (Proper) 2013-2014, dengan 21 perusahaan berlabel hitam, 516 merah, 1.224 biru dan hanya 121 hijau serta sembilan peringkat emas. Dari 21 Proper hitam, sembilan di antaranya rumah sakit.

“Daftar hitam rumah sakit ada sembilan, hotel-hotel juga tekstil dan pabrik logam. Itu perusahaan yang requirement tinggi. Rumah sakit kita takut limbahnya. Ada jarum, logam, segala macam, zat kimia,” kata Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Selasa malam (2/11/14) di Jakarta.

Kementerian LHK, katanya, akan mengirim surat kepada perusahaan Proper hitam agar memperbaiki kinerja dan lebih memperhatikan lingkungan hidup. Lalu, publikasi nama perusahaan di buletin kementerian dan media, diharapkan bisa menjadikan lecutan perusahaan memperbaiki kinerja.

“Kita terus dorong ke arah perbaikan. Inginnya sih sama-sama melangkah dengan kesadaran bersama. Lingkungan sekarang cukup kritis dan mari bersama-sama menanggulangi.”

Pada Proper 2012-2013, 17 berpredikat hitam dan telah ditindak. Sekitar 10 perusahaan kena sanksi administrasi paksaan pemerintah, empar proses pulbaket dan tiga perusahaan taat hingga kembali pada mekanisme Proper.

Siti mengatakan, penetapan Proper dengan berbagai kriteria, antara lain, aspek manajemen lingkungan, instalasi limbah, penerapan praktik daur ulang, partisipasi masyarakat dan lain-lain.

Awal pertama, hanya 187 perusahaan ikut Proper. Sekarang, menjadi 1908 perusahaan. Kementerian ini didukung 584 pengawas dan 95 tim ahli, sebagian besar (89%) dari provinsi. Dalam tahun terakhir, ketaatan perusahaan terhadap peraturan lingkungan naik dari 49% menjadi 72%.

Proper 2013-2014 diikuti 1908 perusahaan, naik 6%. Siti mengatakan, Proper telah menurunkan beban pencemaran dan meningkatkan upaya konservasi. Dari 173 perusahaan kandidiat predikat emas dan hijau telah efisiensi energi 26.105.806 Giga joule, konservasi air 288.386.554 meter kubik. Lalu, pengelolaan limbah padat non B3 melalui program 3R sebanyak 11.385.591 ton, reduksi limbah B3 2.428.069 ton dan kontribusi CSR Rp1,16 triliun.

Dalam kesempatan sama, Jusuf Kalla, Wakil Presiden mengatakan, perusahaan yang mendapatkan predikat emas dan hijau mendapatkan insentif nama baik. Insentif tidak diberikan dalam pengurangan pajak.

“Saya minta ke menteri diumumkan  agar kinerja perusahaan dalam menjaga lingkungan meningkat,” katanya.

JK mengatakan, isu lingkungan hidup bisa mempersatukan dunia. Semua orang boleh berbeda pandangan banyak hal, tetapi disatukan dengan isu lingkungan hidup. “Karena perusakan lingkungan di tempat lain akan mempengaruhi dunia. Kerusakan yang dibuat industri, akan mempengaruhi dunia. Dunia bersatu memperbaiki lingkungan.”

Perusahaan Proper Hitam
Hotel Amboina (Kabupaten Seram bagian barat)
Hotel Incla (Maluku Tenggara)
Hotel Quality (Makassar)
PLN Persero sektor pembangkit Ombilin (Kota Sawahlunto)
PT Dactex Indonesia (Kabupaten Bandung)
PT Darmex Oil (Kabupaten Bekasi)
PT Darmex Biofuel (Kota Bekasi)
PT Easterntex (Kabupaten Pasuruan)
PT JFE Shoji Steel Indonesia (Kabupaten Bekasi)
PT Latexindo Toba Perkasa (Kabupaten Deli Serdang)
PT Nutricia Indonesia Sejahtera (Jakarta Timur)
PT Sumatra Trading Tobacco Company (Pematang Siantar)
PT Toyogiri Iron Steel (Kabupaten Bekasi)
Rumah Sakit Elim (Kabupaten Toraja Utara)
RS Islam (Mataram)
RSUD Dr. Pirngadi (Medan)
RSUD Nene Mallomo (Kabupaten Sidrap)
RSUD Poso (Kabupaten Poso)
RSUD Praya (Lombok Tengah)
RSUD Raden Mattaher (Jambi)
RS Harapan Keluarga (Mataram)
RSUD Mamuju (Kabupaten Mamuju).

 

Proper Emas
PT Badak NGL (Bontang, Kaltim)
Star Energy Geothermal Wayang Windu Limited (Kabupaten Bandung, Jabar)
PT Holcim Indonesia (pabrik Cilacap, Jateng)
PT Pertamina (Terminal BBM Rewulu, Bantul-DIY)
PT Pertamina Geothermal Energy (Area Kamojang, Garut-Jabar)
PT Bukit Asam (Muara Enim, Sumsel)
PT Medco E&P Indonesia (Rimau Asset, Musi Banyuasin-Sumsel)
PT Bio Farma (Bandung, Jabar)
PT Pertamina Aviasi Regional III DPPU Ngurah Rai (Kabupaten Badung, Bali).
Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan


Proper 2014: 21 Perusahaan ‘Hitam’, Sembilan Itu Rumah Sakit was first posted on December 4, 2014 at 11:46 pm.

Mengungkap Kepunahan Satwa Masa Lalu Lewat Karya Seni Mesir Kuno

$
0
0

 

Apa yang telah terjadi selama ribuan tahun di ekosistem Serengeti di Mesir?  Karya seni Mesir kuno membantu para ilmuwan mengungkap “misteri” masa lalu itu.

Para ilmuwan menyimpulkan bahwa hilangnya mamalia dalam skala besar bertepatan dengan perubahan iklim dan lingkungan. Graphic oleh: William Mariotto dan Vinicius Sueiro, Estadao.

Kehidupan di Mesir moderen memang tak bisa jauh dari Sungai Nil. Jalur hijau di tengah gurun ini didiami oleh sekitar 2.300 orang per kilometer persegi (atau 6.000 per mil persegi), sehingga tak cukup lagi ruang untuk satwa liar hidup. Serigala, rubah, hyena, ibex, dan beberapa spesies mamalia besar lainnya berhasil eksis di masa lalu. Namun, 6.000 tahun yang lalu, seluruh Mesir adalah kawasan hijau, penuh dengan kehidupan seperti ekosistem Serengeti saat ini. Seiring waktu, ekosistem yang kaya ini runtuh.

Meskipun kepunahan ini  tak tercatat dalam sejarah, sebuah studi baru dalam Proceedings of the National Academy of Sciences  berhasil membangun sebuah model jaring interaksi lintas milenium antar-mamalia.

“Kita seringkali melihat kepunahan dari sisi “sebelum dan sesudah”, tetapi dalam kasus ini, kita bisa melihatnya secara kronologis” kata Paul Koch, paleoekolog dari Universitas California, Santa Cruz, salah satu penulis studi tersebut. Kepada Mongabay.com, Koch menuturkan bahwa seringkali kita tidak bisa mengetahui proses kepunahan satwa kuno secara rinci.

Contoh paling umum dari karya seni Mesir kuno adalah hieroglif, para pelukis maupun pengukir di Mesir kuno juga menggambarkan adegan kehidupan satwa secara detil, seringkali juga menggambarkan perburuan satwa yang dilakukan oleh raja-raja Mesir. Photo: Charles Edwin Wilbour Fund, Brooklyn Museum

Untuk membangun modelnya, para ilmuwan tidak menggunakan sampel tulang atau fosil; sebaliknya, mereka menggunakan seni. Secara khusus, mereka meneliti lukisan yang sangat rinci dan ukiran satwa liar Mesir kuno yang berada di vas, furnitur, dan dinding.

“Kami tertegun dengan akurasi dan detail dari lukisan maupun ukuran satwa-satwa tersebut yang kita tahu tidak ada lagi di Mesir jaman ini” kata Justin Yeakel, peneliti utama dari studi ini, dalam sebuah wawancara dengan Mongabay.com.

Potongan-potongan awal, yang diyakini para arkeolog berasal dari 6.000 tahun yang lalu, menggambarkan 38 spesies mamalia besar termasuk di dalamnya jerapah, singa, gajah dan hippopotami. Seribu tahun kemudian, ketika iklim mulai bergeser dari lembab ke kering, lukisan maupun ukiran satwa-satwa tersebut mulai menghilang dari karya seni di sana. Dua kepunahan berikutnya cocok dengan dua kali pergeseran iklim yang terjadi sekitar 4.200 dan 3.000 tahun yang lalu. Ekosistem gurun yang ada di mesir era sekarang adalah hasil dari beberapa kali pergerseran iklim ribuat tahun lalu.

“Semuanya ada hubungannya, bahwa perubahan iklim yang besar mungkin memiliki dampak yang besar bagi semuaya” kata Yeakel,  yang sekarang bekerja di Santa Fe Institute di New Mexico. Sebuah kepunahan besar-besaran keempat terjadi sekitar 150 tahun yang lalu saat Mesir memulai proses industrialisasi.

Di luar pencocokan catatan paleontologis dengan sejarah, model ini juga menggambarkan interaksi seperti jaring laba-laba, saling terhubung antar-satwa satu sama lain, terutama hubungan antara predator dengan mangsanya.

Awalnya, jaringan ini memiliki banyak garis korelasi.  Namun ketika zebra punah, singa dan macan tutul bisa beralih berburu rusa atau kijang. Tetapi dalam setiap kepunahan, predator tak punya banyak alternatif makanan. Akhirnya, bagian utama dari jaringan tersebut runtuh.

Karya seni Mesir kuno yang diteliti para ilmuwan memang tidak dapat menggambarkan ukuran setiap satwa, maupun urutan kepunahan masing-masing satwa. Hal ini tentunya menyulitkan para peneliti untuk merumuskan teori tentang penyebab dan dampak dari setiap kepunahan satwa tertentu. Namun, ahli ekologi Justin Brashares dari University of California, Berkeley, yang tidak terlibat dalam penelitian ini, menyatakan bahwa model ini berguna untuk menciptakan struktur awal sebuah ekosistem.

“Ia menawarkan cetak biru untuk meramalkan penurunan ekosistem di masa depan,” katanya kepada Mongabay.com.

Pada karya seni yang dipelajari, pola kepunahan satwa mesir kuno tidaklah acak. Awalnya, hewan ternak pertama kali menghilang, meninggalkan sebagian besar karnivora. Inilah yang membuat jaring tidak stabil, karena satwa yang tersisa adalah predator. Di era paling dekat dengan era sekarang, kunci ekosistemnya adalah herbivora berukuran kecil-menengah, seperti rusa, mungkin karena peran penting mereka sebagai makanan untuk karnivora.

Menurut Paul Koch, cara bagaimana ekosistem kemudian runtuh sangatlah mengejutkan.

“Sebenarnya, satwa-satwa tersebut berhasil bertahan hidup melewati berbagai tantangan, tapi kemudian seolah “dipaksa” untuk punah” katanya. “Dan kepunahan satwa dalam beberapa abad terakhir terjadi dengan sangat buruk.”

Kawasan yang dihuni oleh manusia di Mesir hanyalah 3,5% dari seluruh luas negara tersebut. Di luar kawasan delta Nil, hanya satwa-satwa gurun yang tangguh yang mampu bertahan hidup. Sumber: Wikipedia Commons.

 

* Kim Smuga-Otto adalah mahasiswa pascasarjana Program Ilmu Komunikasi Universitas California, Santa Cruz.

Referensi:
Yeakel JD, Pires MM, Rudolf L, Dominy NJ, Koch PL, Guimarães PR Jr, Gross T. Collapse of an ecological network in Ancient Egypt. PNAS, (2014) 111(40): 14472-14477. doi: 10.1073/pnas.1408471111

Mengungkap Kepunahan Satwa Masa Lalu Lewat Karya Seni Mesir Kuno was first posted on December 5, 2014 at 2:14 am.

Drone Kayu untuk Pemetaan DAS dan Hutan ala Swandiri Institute

$
0
0
Drone kayu rakitan. Inilah penampakan drone rakitan Swandiri Institute Pontianak. Pesawat tanpa awak jenis multicopter ini dirakit dengan menggunakan bahan baku kayu oleh Irendra Radjawali, warga negara Indonesia yang kini menjadi staf pengajar di Fakultas Ekologi Politik Universitas Bonn, Jerman. FOTO: Andi Fachrizal

Drone kayu rakitan. Inilah penampakan drone karya Swandiri Institute Pontianak. Pesawat tanpa awak jenis multicopter ini dirakit dengan menggunakan bahan baku kayu oleh Irendra Radjawali, warga negara Indonesia yang kini menjadi staf pengajar di Fakultas Ekologi Politik Universitas Bonn, Jerman. Foto: Andi Fachrizal

Kisahnya berawal pada 2011. Kala itu, seorang warga negara Indonesia yang telah mendedikasikan dirinya sebagai staf pengajar di Fakultas Ekologi Politik Universitas Bonn, Jerman, hendak melakukan riset di Daerah Aliran Sungai (DAS) Kapuas, Kalimantan Barat. Irendra Radjawali atau dipanggil Radja adalah nama anak muda itu.

Kisah Radja, yang saat ini ada di Cologne, Jerman, seketika menjadi buah bibir lantaran teknologi pesawat tanpa awak (drone) rakitannya yang murah meriah. Radja dan tim dari Swandiri Insititute telah berhasil membawa teknologi drone ke ranah publik. Padahal sesungguhnya yang dia lakukan adalah riset yang berkaitan dengan tutupan lahan di DAS Kapuas, dari hulu hingga hilir.

Pada awalnya saat melakukan kegiatan riset tersebut, sejumlah kendala di lapangan mulai timbul. Keterbatasan infrastruktur, membatasi ruang gerak pria kelahiran kota Bandung itu dalam menjalankan risetnya. Aksesibilitas terlampau sulit. Sementara menggunakan citra satelit, tidak bisa menghasilkan detil gambar sesuai harapan.

Sadar tantangan kian berat, akhirnya Radja, dibantu tim peneliti Swandiri Institute berupaya mencari solusi guna menjawab sejumlah tantangan yang dihadapi dalam riset tersebut. Penelusuran lewat alam maya dilakukan. “Kita terinspirasi dengan pesawat tanpa awak yang sudah ada sebelumnya. Lalu kita berupaya bagaimana teknologi itu bisa disederhanakan,” kata Arif Munandar, peneliti Swandiri Institute ketika dijumpai oleh Mongabay Indonesia di Pontianak (3/12/2014).

Penelusuran kembali dipertajam melalui sejumlah jaringan. Akhirnya, Radja menemukan salah seorang sahabat lamanya di Bandung. Saling tukar informasi terjadi. Selanjutnya, teknik perakitannya pun dipelajari melalui youtube.

Radja kemudian mempelajari teknik perakitan drone di Cologne, Jerman. Improvisasi dilakukan dengan menggunakan bahan baku dari kayu. Pada 2012, dia sudah mampu merakit pesawat tanpa awak itu dengan biaya yang sangat murah. Dari harga semula yang mencapai ratusan juta rupiah, turun drastis menjadi hanya Rp10-an juta saja.

Pada 2013, dia kembali ke tanah air dan melanjutkan risetnya dengan menggunakan drone. Riset aksi yang direncanakan berjalan dari 2011-2016 ini akhirnya menyedot perhatian publik. “Kita melayani ekspektasi warga yang begitu tinggi dan tetap memegang komitmen bahwa teknologi ini harus dilarikan ke ranah publik,” kata Arif.

 

Multicopter rakitan Swandiri Institute saat didemonstrasikan oleh Irendra Radjawali di Kampus Universitas Tanjungpura Pontianak, 24 April 2014. FOTO: Andi Fachrizal

Multicopter rakitan Swandiri Institute saat diujicobakan di kampus Universitas Tanjungpura Pontianak, 24 April 2014. Foto: Andi Fachrizal

 

Teknologi Pemantauan yang Dapat Digunakan oleh Masyarakat Perdesaan

Menurut Arif, membangun kapasitas masyarakat, khususnya warga perdesaan, mutlak dilakukan agar mereka cerdas dan berdaya guna, agar dapat menggunakan teknologi drone secara mandiri.

“Sekarang kita sudah lakukan berbagai upaya yang dibutuhkan masyarakat desa. Warga diasupi ilmu sekaligus menuntun melakukan pemetaan hutan adat dan wilayah kelola mereka,” ucapnya. Teknologi drone yang digagas Swandiri saat ini sudah mulai dipakai oleh masyarakat di pedalaman Kalimantan.

Melalui drone, DAS Kapuas diketahui memiliki danau-danau hidrolik. Bukan hanya Danau Sentarum seperti diketahui publik saat ini. Selain itu, drone dapat memperkuat pemetaan partisipatif masyarakat. Sedangkan tata guna lahan bisa dipotret dengan sangat jelas, terutama tata ruangnya. Hal ini dianggap masih bersinergi dengan Undang-Undang Desa.

Lantaran animo masyarakat yang begitu tinggi, Swandiri Institute akhirnya mendirikan sekolah drone di Pontianak. “Siswanya adalah warga desa dari pedalaman Kalbar. Kita ajari teori di kelas, sekaligus praktik terbang di desa masing-masing. Tapi kita tegaskan sekali lagi, drone ini bukan tujuan. Ia hanya alat yang digunakan untuk membantu masyarakat menjawab sejumlah tantangan yang dihadapi warga di pedalaman,” jelasnya.

Arif menjelaskan bahwa sejauh ini, drone yang dirakit Swandiri Institute sudah ada dua jenis. Masing-masing multicopter dan fixed wing. Kalau menggunakan pesawat, bisa mencapai 500 hektar untuk satu jam penerbangan. Dalam sehari, bisa terbang hingga lima kali. Kalau sekadar buat land survey, drone punya kamampuan hingga 50 kilometer sekali terbang,” urainya.

Harga teknologi ini bisa ditekan hingga terjangkau lantaran hanya motor dan kameranya saja yang asli. Sedangkan spesifikasi lainnya seperti bodi pesawat, dirakit dari barang-barang bekas seperti gabus atau kayu. “Tidak mungkinlah masyarakat desa mau membeli alat ini hingga Rp300-an juta. Tapi kalau cuma Rp10 juta – Rp15 juta, mampulah,” kata Arif sambil mengumbar senyum dan pamitan melanjutkan perjalanan ke pedalaman Tayan Hilir, Kabupaten Sanggau.


Drone Kayu untuk Pemetaan DAS dan Hutan ala Swandiri Institute was first posted on December 5, 2014 at 2:28 am.

Ada Apa Dengan Adat Sajang di Lereng Rinjani? (Bagian II)

$
0
0
Rumah adat Sajang di Desa Sajang, Sembalun. terlihat jelas puncak Gunung Rinjani. Foto :Tommy Apriando

Rumah adat Sajang di Desa Sajang, Sembalun. terlihat jelas puncak Gunung Rinjani. Foto :Tommy Apriando

Waktu menunjukan pukul 16.25 wita, pada Sabtu (15/11/2014), di Desa Sembalun Lawang, Kecamatan Sembalun, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB).  Dari lereng Sembalun di ketinggian sekitar 1.500 meter di atas permukaan laut (mdpl), terlihat hamparan luas semak belukar, dengan latar belakang Gunung Pegangsingan dan perumahan warga.  Berhadapan dengan itu, berdiri megah Gunung Rinjani, dengan puncak 3.726 mdpl, yang merupakan gunung berapi tertinggi kedua  berketinggian

Seorang warga sepuh di desa Sembalun Lawang, memandang ke hamparan semak belukar di depannya. “Hanya satu batang kopi itu saja yang tersisa, lainnya sudah habis ditebas,” kata lelaki yang bernama Haji Mulyono, menunjukkan arah sebatang kopi di ujung ladang.

Ia kemudian menceritakan kisah lahan miliknya dan enam tetangganya yang diambil proyek perkebunan kopi.  25 tahun yang lalu, sekitar 200 orang warga di Kecamatan Sembalun ditawari proyek kerja sama perkebunan kopi oleh petugas Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun)  yang saat ini menjabat kepala UPT Dishutbun Kecamatan Sembalun bernama Kirno.

Saat itu, warga diminta menanam kopi, dimodali rombong, pupuk dan racun pembasmi hama, yang dibagi ke beberapa orang. “Jika berhasil bapak untung, jika gagal tidak ganti rugi,” kata Mulyono menirukan perkataan pihak Dishutbun kala itu.

Tanaman kopi gagal dan proyek pun gagal. Yang menyakitkan, ia dan enam rekannya dianggap berhutang Rp700.000,- kepada Dishutbun. Padahal mereka masih ingat bahwa jika proyek gagal maka warga tidak ganti rugi. Ia bingung ingin melapor kepada siapa dan kemana.  “Kami takut. Melihat orang memakai celana panjang dan bersepatu kami lari dan bersembunyi,” katanya.

Tanah Mulyono seluas tiga hektar diambil. Ia kecewa, karena  hanya tanahnya dan enam rekannya yang diambil. Tanah milik warga lainnya tidak diambil. “Tanah milik warga menengah kebawah diambil. Tanah milik warga menengah atas tidak,” katanya sedih dan prihatin.

Sejak itu, anak dan adik kandungnya pergi ke sebagai TKI ke Arab Saudi. Hingga sekarang, mereka terus menanyakan status tanah tersebut, apakah sudah dikembalikan. “Saya minta untuk kembalikan tanah kami yang sudah diambil. Sesuai katanya dulu, jika gagal kami tidak ganti rugi,” kata Mulyono penuh harap.

Lahan terlantar akibat proyek kopi yang merugikan masyarakat adat Sembalun. Foto : Tommy Apriando

Lahan terlantar akibat proyek kopi yang merugikan masyarakat adat Sembalun. Foto : Tommy Apriando

Dua rekan Mulyono, Haji Nasrudin (79 thn) dan  Zulkarnain (80), tanahnya juga diambil karena dianggap tidak mampu membayar hutang. “Inilah lahan kami, yang diambil petugas UPTD Kec Sembalun,” kata Zulkarnain sambil menunjukan luas lahan miliknya.

Tanah Zulkarnain yang diambil seluas satu hektar dan tanah Nasrudin seluas 900 meter persegi. Mereka masih ingat apa yang terjadi ketika dua puluh lima tahun lalu. Mereka kaget karena di tagih hutang. Mereka tidak punya uang, karena perkebunan kopi gagal. Menyerahkan lahan menjadi pilihan terakhir mereka.

“Berapa hutang kami tidak ada yang tahu. Kami hanya dimodali peralatan berkebun, pupuk satu karung dibagi tiga warga. Tidak ada dalam bentuk uang,” kata Zulkarnain.

Haji Nasrudin menujukkan lokasi tanah miliknya yang dirampas karena Proyek Kopi. Foto : Tommy apriando

Haji Nasrudin menujukkan lokasi tanah miliknya yang dirampas karena Proyek Kopi. Foto : Tommy apriando

Nasrudin bercerita, sejak lahannya diambil, perekonomian keluarga hancur. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Biasanya ia bisa menanam kol, wortel dan cabe. Namun, saat ini lahan tidak ada. “Harapan kami lahan kembali agar kami bisa bertani dan mencukupi kebutuhan ekonomi,” kata Zulkarnain penuh harap.

Kondisi Masyarakat Adat Desa Sajang.

Rumah pemangku Adat Sajang di Desa Sajang, Kecamatan Sembalun, Lombok Timur, beratap jerami, berdinding anyaman bambu. Lampu sentir menjadi alat penerangannya. Di halamannya, pohon klengkeng, manggis dan jeruk mulai berbunga.

Di depan rumah itu, duduk seorang lelaki bernama Indrawan, yang merupakan Ketua Pemuda Adat Sajang.  Ia mulai bercerita tentang Adat Sajang dan ritual memelihara hutan adat dan lingkungan.

Sajang berasal dari kata sajen atau saji. Adat Sajang adalah bagian adat Sasak. Adat Sasak mempunyai empat rumpun bahasa yaitu Selaparang, Pejanggi, Petungbayan, dan Briak Breto. Adat Sajang masuk Sasak Petungbayan. Sedangkan Adat Sembalun merupakan Sasak Selaparang.

Ketua pemuda adat Sajang Indrawan bercerita tentang sejarah adat mereka. Foto : Tommy Apriando

Ketua pemuda adat Sajang Indrawan bercerita tentang sejarah adat mereka. Foto : Tommy Apriando

Adat Sasak Sajang mengenal jabatan Mangku Gunung, Langlang Gunung dan Emban Dalem yang khusus memilihara hutan adat. Jabatan pemangku wajib keturunan pemangku. Dan ritual adat masih terus terlaksana, misalnya ritual sedekah bumi sebagai syukuran pertanian bernama Selamat Jerami.

Adat Sasak juga mengenal ritual Bruga, yang dilaksanakan jika ada kebakaran gunung atau orang meninggal. Ada bijak tawar atau tetemer, tujuannya supaya hal buruk atau jelek terjadi bisa ditawarkan atau diselesaikan.

Ada juga ritual potong kepala kerbau bila seseorang warga punya nazar /janji, atau bila berhasil menyelamatkan mata air.  Kepala kerbau akan di tanam di sekitar sumber air, karena masyarakat meyakini air milik alam bila diambil harus ditebus.  Akan tetapi pada Adat Sembalun, ritual ini dihilangkan.

Indrawan menjelaskan ada sekitar 1600 kepala keluarga di Desa Sajang yang hidup yang hidup bertani. “Warga adat Sajang hidup bertani kopi, cengkeh, kakao, panili, durian dan tanaman kayu. Itu komoditi kami,” katanya.

Tetapi sejak penetapan kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR), masyarakat Adat Sajang tidak boleh memasuki kawasan hutan.  Bahkan tidak boleh membuat jalan. Mereka di usir dan tanaman mereka di rusak.  Masyarakat marah besar.

Pihak TNGR tidak memperbolehkan masyarakat luar mendaki Gunung Rinjani melewati jalur Desa Sajang.  Pendakian hanya boleh lewat pos pendakian TNGR di Desa Sembalun.  “Jalur legal ada di Sembalun. Masyarakat bayar tiket untuk masuk TNGR. Warga disini hanya bisa menjadi porter. Itupun di bulan tertentu saja,” kata Indrawan.

Karena lahan terbatas, pendapatan masyarakat di Desa Sajang tidak pasti dan tetap. Oleh karena itu, banyak pemuda mencari pekerjaan di luar negeri menjadi TKI. Selebihnya, menjadi porter saat musim pendakian di bulan Juli, Agustus dan September.

Memanfaatkan kekayaan alam berupa air terjun, seratusa pemuda Desa Sajang merintis bisnis pariwisata alam. Mereka membangun fasilitas jalan, membuat warung-warung kecil, parkir dan jasa porter.  Berawal dari situ masyarakat adat mengangkat pemuda adat sebagai pelopor membangun dan menjaga kelestarian air terjun Mangku Sakti.

“Kami menjaga alam dan mencari rejeki lewat kekayaan alam. Semoga Tuhan memberikan rejeki untuk kemajuan masyarakat  adat dari wisata air terjun ini,” kata Indrawan.

Hingga saat ini masyarakat adat Sajang punya kebun adat, lapangan sepak bola dari tanah yang di tinggalkan masyarakat adat. Termasuk hutan adat seluas tujuh hektar yang masih terjaga kelestariannya.

Konflik Lahan Masyarakat vs Perusahaan Kopi

Masyarat Desa Sajang mendapatkan kesempatan mengadukan permasalahan lahan mereka yang direbut oleh Dishutbun dan diserahkan kepada PT Sembalun Kusuma Emas (SKE) dalam acara Dengar Keterangan Umum (DKU)  yang diselenggarakan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Aula Kanwil Kemkumham, Kota Mataram,  pada pertengahan November 2014.

Dengar Keterangan Umum Inkuiri Adat Komnas HAM oleh Masyarakat Adat Sembalun di Aula Kanwil Depkumham, Mataram, Jumat, 14 November 2014. Foto : Tommy Apriando

Dengar Keterangan Umum Inkuiri Adat Komnas HAM oleh Masyarakat Adat Sembalun di Aula Kanwil Depkumham, Mataram, Jumat, 14 November 2014. Foto : Tommy Apriando

Dalam kesempatan itu, Nurlim, Kepala Seksi Hak Tanah dan Pendataan Tanah, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Lombok Timur, NTB  menjelaskan PT. SKE memiliki lahan seluas 555 hektar, dimana 183 hektar dikelola PT Agrindo Nusantara dan sebelumnya PT Sampoerna Agro.

Asnawi selaku staf Balai TNGR dalam mengatakan belum ada ijin hak guna usaha (HGU) dari pembebasan lahan 555 hektar atas nama PT SKE. Sebelumnya ada pemohonan HGU oleh PT. Sampoerna Agro sekitar 185 hektar. Dan sejak berpindah ke PT Agrindo Nusantara, telah ada HGU untuk 183 hektar tersebut. “Perluasan sisanya masih diindikasi tanah terlantar sesuai UU No. 5/1960 (tentang Pokok-pokok Agraria) kelebihan batas maksimal dan akan menjadi objek land reform,” katanya.

Dia mengaku tidak mengetahui lahan tersebut apakah akan digunakan sebagai perkebunan kopi oleh PT SKE. Yang ia tahu lahan tersebut milik negara yang dikuasai oleh masyarakat.

Asnawi mengatakan dirinya tidak mengetahui adanya keberadaan masyarakat adat di sekitar Gunung Rinjani. Dia mengatakan kajian tanah adat merupakan tugas BPN Lombok Timur, bukan tugas TNGR.

Dia mengatakan hingga saat ini BPN Lombok Timur belum mengkaji keberadaan tanah adat Sajang, serta tidak ada upaya  mengutamakan lahan masyarakat adat.

Sedangkan Abdul Rahman Sembalun, selaku pemangku Adat Sembalun punya harapan besar dari Inkuiri Adat Komnas HAM. Ia ingin hutan dan wilayah adat yang dirampas kala penetapan TNGR dikembalikan kepada masyarakat adat. Ia yakin, hutan dan satwa akan semakin lestari dan baik jika diberikan di masyarakat adat.

“Jika ingin hutan terjaga berikan pengelolaan  tanah adat ke kami. Jika ingin hutan rusak, biarkan saja pihak TNGR mengelolanya,” katanya.

Enny Suprapto selaku Majelis Sidang Inkuiri Adat Komnas HAM memberikan rekomendasi sementara bahwa masyarakat hukum adat sudah ada sebelum adanya Republik Indonesia. Negara mengakui kesatuan hukum adat selama masih ada dan sesuai dengan perkembangan zaman.

Pengakuan dan penghormatan hukum adat beserta hak-haknya merupakan hak konstitusional yang harus dihormati oleh semuanya. Dalam Undang-undang No.41/1999 tentang Kehutanan menetapkan keberadaan hukum adat beserta wilayahnya harus di formalkan dan diberi kewenangan kepada pemerintah daerah demi kepastian hukum.

“Kami mendorong Pemkab Lombok Timur segera menerbitkan Perda pengukuhan masyarakat Sembalun beserta wilayah adatnya dan juga kerjasama dengan komunitas Sembalun  untuk mengidentifikasi wilayah adatnya,” kata Enny.

Saur Tumiur Sitomorang dari Majelis Sidang Inkuiri Adat dari Komnas Perempuan merekomendasikan bahwa berkurangnya akses masyarakat adat Sembalun berakibat berkurangnya hasil produksi, terjadi kerusakan dan pengurangan sumber air, ada ketidakjelasan terkait HGU, diskriminasi ijin pengolohan lahan dimana ratusan hektar diberi kewenangan kepada perusahaan besar, sementara kepada warga tidak diberikan.

“Pemerintah pusat dan daerah harus memastikan keterlibatan perempuan dalam segala kegiatan dan memberikan partisipasti, pengetahuan dan keterampilan bagi warga,” kata Saur Tumiur.

Dan terakhir, Sandra Moniaga selaku pimpinan Majelis Sidang Inkuiri Adat mengatakan, akibat proses yang dirasa tidak adil di masyarakat Adat Sembalun maka harus ada penelitian singkat tentang keberadaan masyarakat adat melalui Perda dan pemerintah harus berupaya mencegah dengan didasari pada penghormatan kepada korban, dan pemerintah kabupaten harus bisa melakukannya.

“Kami mengakui masyarakat adat Sembalun walaupun belum ada pengakuan secara resmi,” pungkas Sandra.


Ada Apa Dengan Adat Sajang di Lereng Rinjani? (Bagian II) was first posted on December 5, 2014 at 6:08 am.

Belajar dari Peru: Petani Koka Beralih ke Kopi dan Kakao Organik (Bagian 2)

$
0
0
Petani Lamas, Peru, yang bertani  secara organik. Foto: Anton Muhajir

Petani Lamas, Peru, yang bertani secara organik. Foto: Anton Muhajir

Berada di ketinggian sekitar 800 mdpl, Lamas termasuk salah satu daerah subur di Region San Martin, Peru. Daerah di pedalaman Peru ini menjadi rumah berbagai tanaman termasuk kopi, kakao, asparagus, dan…koka!

Koka merupakan bahan dasar kokain, narkotika ilegal di banyak negara termasuk Peru. Namun, petani lokal telah menanam koka turun temurun dan menggunakan daun sebagai bahan minuman sehari-hari. Bagi warga lokal, koka diseduh sebagai minuman layaknya teh ataupun obat.

Meskipun ilegal, masih banyak petani Peru menanam koka dan memperdagangkan. Menurut laporan Badan PBB untuk narkoba dan kejahatan (UNODC) dan pemerintah Peru, tanaman koka di negara ini sekitar 60,400 hektar.

Peru merupakan negara produsen koka dan kokain terbesar di dunia bersama Kolomboia dan Bolovia, dua negara tetangganya.

Kurun waktu 1980-an hingga akhir 1990-an, muncul pemberontakan di Peru dimotori Partai Komunis Peru (CCP). Dalam bahasa lokal partai ini dikenal dengan Sendero Luminoso. Basis mereka di pedalaman Peru, termasuk Lamas. Muncul pula sempalan CCP lebih radikal seperti Túpac Amaru Revolutionary Movement (MRTA). Aliran politik mereka adalah Marxis, Leninis, dan Maois. Kedua kelompok itu kerap menculik dan membunuh warga yang tidak setuju dengan ideologi mereka. Pemerintah Peru pun menyebut mereka sebagai kelompok teroris.

Lamas, berjarak sekitar 1,5 jam perjalanan dengan pesawat dari Lima, ibu kota Peru, salah satu basis mereka. Petani lokal turut mendukung kelompok ini dengan menanam dan mengolah koka menjadi kokain.

Hildebrando Cardenas Salazar, 36 tahun, termasuk anak muda dengan masa kecil melalui fase ini. “Menanam dan mengolah koka hingga menjadi kokain kegiatan petani sehari-hari,” katanya, pertengahan November 2104 di Lamas.

Kokain dijual ilegal ke pasar lokal maupun internasional. Muncullah istilah narkoterorisme, bisnis narkoba ilegal untuk mendanai gerakan terorisme.

Sejak 1988, pemerintah Peru melarang budidaya koka. Pada 1993-1994, pemerintah mulai mengawasi ketat. Petani tetap saja menanam.

Masa pemerintahan Alberto Fujimori, mulai 1991, pemerintah Peru perang besar-besaran terhadap Partai Komunis Peru dan Gerakan Revolusioner Tupac Amaru. Begitu pula dengan perang terhadap narkoba ilegal, sumber pendanaan utama kelompok ini.

Pemerintah Peru mengajak warga melawan, melatih, dan mempersenjatai mereka. Kebijakan ini yang membuat Alberto Fujiomori, Presiden Peru keturunan Jepang, dituduh melanggar hak asasi manusia (HAM).

Sejak 1999, 56 petani Lamas mendirikan Koperasi Oro Verde. Nama ini dari bahasa Spanyol berarti emas hijau, mengacu pada koka yang saat itu menjadi sumber pendapatan utama. Namun, pasar koka menurun, seiring perang besar-besaran terhadap terorisme dan narkoba ilegal, petanipun beralih. Mereka tak lagi menanam koka.

Dengan bantuan Badan PBB, para petani Lamas membudidayakan kopi dan kakao, yang memang sudah tumbuh subur di pegunungan Lamas. Pertanian mereka organik. Koperasi ini berkembang cepat. Hanya dua tahun setelah terbentuk, petani mendapatkan sertifikasi organik dan fair trade.

Kini Oro Verde memiliki 1.350 anggota di mana 500 petani kakao dan 850 petani kopi. Dari 1.350 anggota, 75% warga asli (indigineus people). Mereka tak hanya di Lamas juga provinsi tetangga seperti San Martin, Picota, dan Eldorado. Komoditas mereka bertambah dengan asparagus dan madu.

San Martin, termasuk pusat produksi kopi di Peru. Tiap tahun, ia menghasilkan 30.000 ton kopi. Komoditas ini diekspor terutama ke perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat, Kanada, dan Eropa.

Untuk kakao mereka menghasilkan 1.200 ton per tahun. Sekitar 250 ton di jenis fino de aroma yang disebut-sebut sebagai kakao terbaik dunia.

Hilderbrando,direktur koperasi mengatakan, Oro Verde menembus pasar internasional karena dua alasan. Pertama, pasar internasional untuk kakao dan kopi memang besar. Kedua, ada sertifikasi organik dan fair trade untuk dua komoditas itu.

Anggota koperasi, Felix Terero Amasifun Sangama (23) mengatakan, kakao komoditas penting bagi petani karena bagus untuk bisnis. Dia tertarik menjadi petani melanjutkan pekerjaan orang tua.

Felix sebelumnya tidak tahu tentang kakao. Setelah kakao menjadi produk andalan petani Lamas, Felix menambah pengetahuan.

Dia kini menambah keterampilan dalam mengawasi mutu dengan kursus pemantauan kualitas kakao. Saat ini Felix magang di Koperasi Oro Verde sebagai penguji coba kualitas kakao produksi petani.

Melalui anak-anak muda seperti Felix, petani Lamas memiliki masa depan lebih cerah. Jika pada 1990-an Lamas masuk titik merah daerah berbahaya, kini mereka masuk titik hijau, wilayah penting produsen produk pertanian. (Bersambung)

Menikmati aroma kopi organik dari Lamas. Foto: Anton Muhajir

Menikmati aroma kopi organik dari Lamas. Foto: Anton Muhajir


Belajar dari Peru: Petani Koka Beralih ke Kopi dan Kakao Organik (Bagian 2) was first posted on December 5, 2014 at 12:09 pm.

Mengenaskan! 40 Butir Peluru Ditemukan Bersarang di Tubuh Orangutan Ini

$
0
0

 

Inilah kondisi orangutan betina malang dengan sejumlah luka di tubuhnya sebelum operasi. Foto: Yayasan BOS Nyaru Menteng

Inilah kondisi orangutan betina malang dengan sejumlah luka di tubuhnya sebelum operasi. Foto: Yayasan BOS Nyaru Menteng

Konflik antara industri perkebunan kelapa sawit dengan satwa liar kembali terjadi di Nyaru Menteng, Kalimantan Tengah. Kali ini, menimpa seekor orangutan betina dewasa yang nyawanya tidak bisa diselamatkan. Dari tubuh orangutan malang tersebut, ditemukan sekitar 40 butir peluru yang bersarang di tubuhnya.

Monterado Fridman, Koordinator Komunikasi dan Edukasi Nyaru Menteng Borneo Orangutan Survival Foundation (Yayasan BOS), dalam rilisnya yang diterima Mongabay Indonesia menyatakan bahwa orangutan malang tersebut diterima Tim BOS Nyaru Menteng Kamis, 4 Desember 2014, sekitar pukul 03.00 dini hari. Saat diterima, kondisinya cukup mengenaskan: kedua kaki dan lengannya patah.

Menurut Monterado, tim medis BOS Nyaru Menteng yang segera melakukan penanganan menemukan kondisi yang benar-benar memprihatinkan akan kondisi orangutan betina tersebut. Kaki kanan bagian paha atas patah, tangan kiri membusuk, tulang lengan kiri atas patah dengan luka terbuka digerogoti belatung, serta tubuhnya kurus akibat malnutrisi.

Tim medis memperkirakan bawa luka yang diderita orangutan ini sudah lebih tiga hari. Hasil x-ray juga menunjukkan adanya 18 peluru bersarang di kaki dan panggul kanan, 10 peluru di kepala, 8 peluru di kaki dan panggul kiri, serta 6 peluru di dada dan tangan kanan.

Monterado melanjutkan, atas izin BKSDA Kalimantan Tengah, tim media segera melakukan operasi dan mengamputasi lengan kiri orangutan itu yang telah membusuk. Kaki kanannya juga dibersihkan dan dijahit karena ada bagian yang robek dan tulang yang keluar. Namun, upaya maksimal ini tidak mampu menolong orangutan malang tersebut yang tepat pukul 18.07, Kamis 4 Desember 2014, menghembuskan nafasnya yang terakhir. “Kejadian ini menambah lagi angka kematian akibat konflik antara industri perkebunan dan satwa liar serta praktik eksploitasi alam yang tidak berkelanjutan,” tuturnya.

Kondisi orangutan ini sebelum dioperasi cukup mengenaskan. Kedua kaki dan lengannya patah. Foto: Yayasan BOS Nyaru Menteng

Kondisi orangutan ini sebelum dioperasi cukup mengenaskan. Kedua kaki dan lengannya patah. Foto: Yayasan BOS Nyaru Menteng

Kondisi tulang lengan yang patah. Foto: Yayasan Bos Nyaru Menteng

Kondisi tulang lengan yang patah. Foto: Yayasan Bos Nyaru Menteng

Kronologis

Berdasarkan lembar kronologi yang dibuat dan ditandatangani pihak perusahaan yaitu Arifin Susilo, Seno, dan Nyoto Suroso, orangutan malang tersebut sebelumnya ditemukan dalam kondisi lemah dan terluka pada Rabu, 3 Desember 2014, sekitar pukul 06.30 pagi di Blok F 37 – Afdeling 7 oleh Seno, karyawan perawatan yang sedang bekerja. Lokasi penemuannya berada di areal PT. Surya Inti Sawit Kahuripan (SISK), perusahaan kelapa sawit yang merupakan anak perusahaan Makin Group.

Penemuan ini selanjutnya dilaporkan kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Tengah yang kemudian mengevakuasi dan menyerahkannya kepada Yayasan BOS di Nyaru Menteng, esok harinya. “Orangutan tersebut diantar dan diserahkan kepada Yayasan BOS oleh Bapak Nandang dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Tengah,” jelas Monerado.

Terkait jumlah orangutan yang berasal dari areal perkebunan milik Makin Group, Yayasan BOS sendiri memiliki catatan yang cukup lengkap yaitu sekitar 166 individu. Menurut Monerado, saat ini, sekitar 100 individu sudah berhasil ditranslokasikan ke hutan-hutan sekitar yang relatif aman dan 47 individu masih dalam perawatan di Nyaru Menteng.  Namun, dari 100 individu yang telah ditranslokasikan tersebut sekitar 19 individu mati, termasuk orangutan betina terakhir ini yang diserahkan ke Yayasan BOS.

Sementara, dari 47 orangutan yang masih dalam perawatan tersebut, hanya 3 individu saja yang tidak dapat dilepasliarkan alias harus tetap dirawat seumur hidup di Yayasan BOS Nyaru Menteng.

Tantangan utama yang dihadapi Yayasan BOS Nyaru Menteng untuk melepasliarkan kembali orangutan ke habitat aslinya adalah sulitnya untuk menemukan hutan yang benar-benar layak dan aman untuk dijadikan tempat tinggal orangutan.

Foto rotgen kepala yang jumlah pelurunya mencapai 10 butir. Foto: Yayasan BOS Nyaru Menteng

Foto rontgen kepala yang jumlah pelurunya mencapai 10 butir. Foto: Yayasan BOS Nyaru Menteng

Hasil rontgen perut. Foto: Yayasan BOS Nyaru Menteng

Hasil rontgen perut. Foto: Yayasan BOS Nyaru Menteng

Terancam

Jamartin Sihite, CEO Yayasan BOS, sebelumnya saat acara #ClimbForOrangutan, awal November 2014, mengatakan bahwa penebangan liar, kebakaran hutan, alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit, hingga perburuan membuat “jiwa” orangutan terancam. Dampaknya adalah banyak orangutan yang mati atau juga menjadi binatang peliharaan.

Menurut Jamartin, orangutan hanya ada di Kalimantan dan Sumatera. Di Kalimantan, keberadaan orangutan borneo (Pongo pygmaeus) yang jumlahnya sekitar 54 ribu individu berada di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur. Sementara, orangutan sumatera (Pongo abelii) yang jumlahnya diperkirakan sekitar 6.500 individu tersebar di kawasan Leuser.

Jamartin menjelaskan, saat ini sekitar 750 orangutan berada di pusat rehabilitasi Yayasan BOS. Sekitar 530 individu berada di Program Reintruduksi Orangutan Kalimantan Tengah (Nyaru Menteng) dan 220 individu berada di Program Reintroduksi Orangutan Kalimantan Timur (Samboja Lestari). Untuk merehabilitasi satu individu orangutan, waktu yang dibutuhkan sekitar tujuh tahun.

Orangutan merupakan satwa yang dilindungi Undang-undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem. Upaya pelestariannya juga telah disusun dalam Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia 2007-2017 saat Konferensi Perubahan Iklim di Bali, Desember 2007. Poin penting yang perlu digarsibawahi dalam rencana aksi tersebut adalah paling lambat, tahun 2015, semua orangutan di pusat rehabilitasi sudah dikembalikan ke habitatnya.

Bila kondisinya seperti ini, akankah target tersebut tercapai?

Operasi medis dilakukan untuk menyelamatkan orangutan betina malang tersebut. Foto: BOS Nyaru Menteng

Operasi medis dilakukan untuk menyelamatkan orangutan betina malang tersebut. Foto: BOS Nyaru Menteng

Sampel peluru yang berada di tubuh orangutan malang ini. Pertolongan medis telah dilakukan, namun nyawa orangutan betina ini tidak dapat diselamatkan. Foto: Bos Nyaru Menteng

Sampel peluru yang berada di tubuh orangutan malang ini. Pertolongan medis telah dilakukan, namun nyawa orangutan betina ini tidak dapat diselamatkan. Foto: Bos Nyaru Menteng


Mengenaskan! 40 Butir Peluru Ditemukan Bersarang di Tubuh Orangutan Ini was first posted on December 5, 2014 at 2:05 pm.
Viewing all 9432 articles
Browse latest View live