Quantcast
Channel: Mongabay.co.id
Viewing all 9428 articles
Browse latest View live

Dalam Dua Pekan, Ratusan Kali Gempa Guncang Sulut

$
0
0
Peta sebaran gempa di Indonesia. Sumber: BMKG

Peta sebaran gempa di Indonesia. Sumber: BMKG

Gempa bumi berkekuatan 6,8 Skala Ritcher (SR) mengguncang Sulawesi Utara (Sulut), pada Rabu (26/11/14). Pusat gempa pada koordinat 1,99 LU – 126,50 BT, dengan kedalaman 10 Km. Ini gempa susulan, setelah Sabtu (15/11/20), masyarakat Sulut dikagetkan gempa berkekuatan 7,3 SR. BMKG mencatat, sejak Sabtu, terjadi hingga 190 kali aktivitas gempa.

Sandy Nur Eko, staff Operasional Stasiun Geofisika Manado, mengatakan, gempa terjadi karena subduksi ganda di Laut Maluku. Subduksi itu retakan di lempeng pasifik yang menekan lempeng Filipina, kemudian kembali menekan lempeng Halmahera. Gerakan relatif ke arah barat.

Lempeng laut Sulawesi,  katanya, relatif menekan ke arah yang menyebabkan busur Sangihe otomatis menekan ke timur dan tenggara. “Jadi, laut Maluku ditekan dari dua arah, lempeng Halmahera ke arah barat dan busur Sangihe ke timur. Kebetulan sudah lama dipendam. Begitu lepas jadi berkekuatan 7,3 SR,” katanya, Kamis (27/11/14).

Di Indonesia, Sulut termasuk daerah rawan gempa dengan kondisi tektonik paling komplek. Ini bisa dilihat dari aktivitas gempa terjadi hingga 700-800 kali setahun. “Tiap detik selalu bergerak dengan kecepatan enam cm per tahun, di laut Halmahera dan dua sampai tiga cm di busur Sangihe.”

Namun, sejak gempa 7,3 SR, pada Sabtu terjadi 190 kali gempa, dengan pusat sama. “Biasa, aktivitas gempa satu kali sebulan. Dalam dua minggu belakangan bisa merasakan enam sampai tujuh kali gempa.”

Secara statistik setelah gempa berkekuatan 7,3 SR, misal, potensi gempa dengan kekuatan serupa atau lebih membutuhkan waktu lama. Hingga, potensi tsunami dalam waktu dekat kecil kemungkinan.

Gempa susulan sebagai fenomena alamiah. Sejak gempa berkekuatan 7,3 SR lempengan pada posisi tidak seimbang. Upaya mencari keseimbangan dengan melepas gempa-gempa susulan, termasuk fenomena gempa berkekuatan 6,8 SR baru-baru ini. Dia menduga, hingga beberapa hari kedepan masih terjadi gempa susulan dengan kekuatan lebih kecil.

Sandy menyarankan, sejumlah lokasi yang dekat titik gempa tidak perlu menunggu informasi dari BMKG, karena kemampuan teknologi hanya mencapai taraf tertentu. Saat gempa, BMKG langsung menganalisa memerlukan waktu tiga sampai empat menit, setelah itu ada warning yang sering terhambat karena tidak semua orang bisa mengakses.

“Jadi perlu kearifan lokal daerah yang dekat dengan titik gempa. Misal, yang baru-baru ini Bitung dan Kema paling dekat dengan laut Maluku. Di Kema, tsunami hanya butuh waktu 12 menit dari saat gempa.”

“Ketika merasakan gempa yang membuat orang tidak bisa berdiri, tidak usah tunggu warning dari BMKG, langsung cari lokasi aman,” kata Sandy.

Sejarah gempa-tsunami Malut dan Sulut
Menurut catatan Dr. Daryono, Kepala Bidang Mitigasi Gempabumi dan Tsunami BMKG, sejarah menunjukkan, kawasan Maluku Utara-Sulut sudah beberapa kali terjadi gempa bumi merusak.

Di Sulut, gempa bumi Sangir, 1 April 1936, paling dahsyat di zona ini. Guncangan mencapai VIII-IX MMI menyebabkan 127 rumah rusak. Gempa Siau pada 27 Februari 1974 memicu longsoran dan kerusakan rumah di berbagai tempat.

“Terakhir gempa Sangihe-Talaud 22 Oktober 1983 yang merusak beberapa rumah,” tulisnya di situs resmi BMKG.

Zona sumber gempa Maluku Utara-Sangihe juga memiliki beberapa catatan sejarah tsunami merusak. Menurut Daryono, tsunami merusak di Malut dan sekitar sempat terjadi beberapa kali. Pertama, tsunami Banggai-Sangihe, 1858 menyebabkan pantai timur Sulawesi, Banggai, dan Sangihe tsunami.

Kedua, tsunami Banggai dan Ternate 1859, mengakibatkan banyak rumah di pesisir pantai disapu tsunami. Ketiga, tsunami Kema-Minahasa 1859, dilaporkan memicu gelombang tsunami hingga atap rumah.

Keempat, tsunami Gorontalo 1871, juga menerjang sepanjang pesisir Pantai Gorontalo. Kelima, tsunami dahsyat Tahuna 1889, menerjang pesisir pantai hingga kenaikan air laut sekitar 1,5 meter.

Keenam, tsunami Kepulauan Talaud 1907, menerjang kawasan pantai hingga ketinggian mencapai empat meter. Ketujuh, tsunami Pulau Salebabu 1936, dilaporkan menerjang pantai dengan ketinggian tiga meter.

“Gambaran kerangka tektonik, kegempaan, dan catatan sejarah tsunami cukup untuk menyimpulkan Malut dan sekitar memang merupakan zona rawan gempabumi dan tsunami.”


Dalam Dua Pekan, Ratusan Kali Gempa Guncang Sulut was first posted on December 5, 2014 at 10:51 pm.

Opini: Orang Arso, Pepera 1969 dan Perkebunan Sawit

$
0
0
Investasi sawit yang masuk ke Keerom, baik dalam wujud perusahaan negara maupun swasta, makin menjauhkan Orang Arso dari lahan adat mereka. Foto: Sapariah Saturi

Derita warga adat Arso, berlanjut hingga kini. Investasi sawit yang masuk ke Keerom, baik dalam wujud perusahaan negara maupun swasta, makin menjauhkan Orang Arso dari lahan adat mereka. Foto: Sapariah Saturi

“Penciptaan dunia terjadi dua kali. Dunia pertama adalah dunia yang penuh kedamaian dan kesejahteraan. Manusia sebagai ciptaan dan Kwembo-sang Pencipta, hidup bersama dalam artian manusia dapat melihat, menyentuh dan berbicara dengan Kwembo. Namun, dunia dan kehidupan yang penuh kedamaian ini berubah karena ulah manusia. Mereka lantas dikutuk oleh Kwembo dengan mengirim air bah. Akibatnya,  hubungan manusia dan Kwembo terputus, tanah itu dikutuk.”

Dalam mitologi orang Arso, Kwembo lalu mengutus Yonggwai sebagai mesianis yang menata kembali kehidupan dunia yang telah rusak, maka terjadilah penciptaan kedua. Manusia yang tersisa setelah bencana air bah, lantas diperintahkan Tuhan membuat kehidupan. Manusia bagian dari Kwembo. Untuk itu, manusia membutuhkan bahan-bahan, mereka butuh air, tanah dan lain-lain. Hingga alam sebenarnya bagian dari tubuh mereka. Jadi jika kita potong pohon, itu seperti memotong tubuh sendiri,”kata Ferdinand Tuamis, pemuda adat Arso.

Dalam mitologi mereka, manusia Arso tidak datang dan pernah ke tempat lain di luar wilayah adat Suku Daiget. Artinya,  Orang arso diciptakan dan ditempatkan oleh Kwembo di wilayah hukum adat Daiget sejak awal penciptaan hingga sekarang. Suku Daiget belakangan lebih dikenal dengan sebutan Suku Arso.

Orang-orang Arso saat ini, termasuk ketua Suku Daiget –Bapak Servo  Tuamis adalah keturunan orang-orang terpilih yang selamat dari bencana bah dan berhasil membangun kehidupan turun temurun.

Namun, kehidupan aman tenteram itu berubah setelah penentuan pendapat rakyat Papua pada 1969, setidaknya itu yang diingat oleh Ferdinand Tuamis–generasi ketujuh marga Tuamis, salah satu warga Keerom yang berhasil meraih gelar sarjana.

Penentuan pendapat rakyat Papua disingkat Pepera merupakan penentuan nasib sendiri rakyat Papua untuk bergabung dalam Indonesia atau tidak. Saat itu, suara sekitar 800 ribu penduduk Papua hanya diwakili 1.025 orang yang duduk di Dewan Rakyat Pepera. Mereka bulat menyatakan bagian dari NKRI. Keputusan ini digugat tokoh-tokoh dam masyarakat Papua. Mereka menuduh Pepera dengan cara curang dan di bawah tekanan militer. Situasi ini melatari lahirnya gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM).  Human Right Watch (2007) menyebutkan  sejak 1969, ketika  menjadi bagian Indonesia, hingga Oktober 1998, lima bulan setelah mantan Presiden  Soeharto, jatuh, status Papua adalah Daerah Operasi Militer (DOM).

“Setelah Pepera orang-orang Arso ketakutan  dan lari ke hutan. Ada yang mati ditembak. Mereka tinggal di hutan lama sekali. Ada yang sampai dua puluhan tahun. Ada yang lari ke Papua Nugini. Sebagian baru kembali pada 2003,  saat repatriasi antara Indonesia dengan Papua Nugini.”

Di dalam hutan, mereka tak berani beraktivitas seperti di Kampung Arso. “Kami tak berani menyalakan api karena takut tentara Indonesia tahu.  Kami lari ke hutan pasti mereka tuduh OPM. Jika kami tinggal di desa pasti mereka masih tuduh kami mata-mata OPM. Begitupun saat berhadapan dengan OPM, mereka tuduh kami mata-mata TNI.  Demikianpun ketika kami berupaya menyebrang ke wilayah negara tetangga harus berhadapan dengan tentara Indonesia dan tentara Papua Nugini di perbatasan.”

“Kami serba salah, mundur kena maju kena,” katanya.

Selama di hutan, mereka tak bisa melakukan ritual-ritual adat di lokasi-lokasi keramat  hampir dua puluh tahun. Tak hanya ritual adat yang ditinggalkan, banyak orang tua yang  mengetahui sejarah wilayah Keerom, meninggal saat mengungsi di hutan.

Paska Pepera 1969 ini babak penting bagi masyarakat adat Arso, saat mereka tak melakukan ritual adat di tempat-tempat keramat hingga bertahun-tahun kemudian. Ini seperti terlepas dari ikatan,  dengan tanah, ikatan dengan ibu, ikatan dengan Ma.

“Ma, punya tiga makna bagi masyarakat adat Arso Kabupaten Keerom Papua, bisa berarti tanah, susu ibu, dan bermakna ibu,” kata Ferdinand Tuamis. Saat ikatan dengan tanah melemah, maka ikatan sebagai masyarakat adat juga melemah. Apalagi, banyak orang-orang tua yang meninggal saat lama hidup di hutan.

Menurut dia, situasi ini tak hanya terjadi di Keerom juga hampir seluruh Papua kala itu, khusus wilayah perbatasan.

“Kepala suku kami, Pak Servo umur sekitar 62 tahun, namun orang-orang berumur di atas dia, sudah banyak yang meninggal.  Orang-orang yang lahir tahun 1960-an saja yang masih banyak,” ucap Ferdinand.

Saat belum semua orang Arso kembali ke kampung setelah mengungsi bertahun-tahun dalam hutan, pada 1982, mereka kedatangan tamu, PT Perkebunan Nusantara II.  “Sehari sebelumnya, saya disuruh tanda tangan karena besok doser[1] akan datang. Mereka bilang Sagu dan sawit bisa hidup berdampingan karena sama-sama punya duri,”, ujar Pak Servo di depan Komisoner Inkuiri Adat, 26 November 2014 di kantor Kementerian Hukum dan HAM Jayapura.  ”Hanya sebagian yang tanda tangan, sisanya masih banyak lari di hutan. Kami ditodong pakai senjata oleh tentara agar mau tanda tangan.”

Akhirnya, kala itu sekitar 500 hektar lahan dilepaskan untuk PTPN II. Perusahaan perkebunan milik negara ini mulai menebas hutan, meratakan lahan dan membuat pembibitan tanaman sawit. Banyak orang Arso bekerja di pembibitan, mereka mendapat bayaran Rp500–Rp2.000 perpolibag bibit sawit.

Namun ketenangan di sekitar kebun sawit ini tak lama. Tiga tahun kemudian, pada 1985, masyarakat Arso menemukan fakta ada surat pernyataan pelepasan lahan yang diberikan pemerintah kepada PTPN II dan luas mencapai 50.000 hektar. Sejak itu, masyarakat  mulai protes baik kepada instansi pemerintah dan perusahaan.

Setelah Pepera, yang membuat Orang Arso menjauh dari wilayah hidup mereka, muncul transmigrasi dan investasi sawit yang makin menghimpit dan memperpanjang penderitaan mereka. Foto: Sapariah Saturi

Setelah Pepera, yang membuat Orang Arso menjauh dari wilayah hidup mereka, muncul transmigrasi dan investasi sawit yang makin menghimpit dan memperpanjang penderitaan mereka. Foto: Sapariah Saturi

Meski berkali-kali protes, orang-orang Arso tak bisa berbuat banyak. Wilayah perbatasan Papua selalu menjadi wilayah yang khusus, wilayah operasi militer perbatasan negara, lengkap dengan penempatan pos-pos tentara dengan jarak tertentu. Wilayah ini juga menjadi pelarian anggota OPM. Lengkap sudah, keberadaan PTPN II, OPM dan  hutan perbatasan negara tetangga menjadi alasan cukup bagi tentara Indonesia menjadikan wilayah Keerom salah satu prioritas pengamanan.

Masalahnya,  pengamanan menurut negara, bukan berarti rasa aman bagi warga Keerom.

Yang pasti, yang  merasa aman adalah PTPN II dan perkebunan sawit skala besar lain di Keerom yang tumbuh pesat. Pada 2012, Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan Papua, Melkias Monim mengumumkan kebun sawit terluas di Papua berada di Keerom. Total 38.000 hektar, masing masing dimiliki 13.000 hektar oleh PTPN II,  23.000 hektar PT Tandan Sawita Papua itu grup PT Rajawali Grup, sisanya milik PT Palai Abadi.

Meski Rajawali Group paling luas kebun sawitnya, namun sang pionir tetap PTPN II yang mulai membuka lahan sawit sejak 1982. Perusahaan dan pemerintah juga memprakarsai transmigran dari Jawa melalui program transmigrasi perkebunan inti rakyat (PIR) pada 1989. Transmigrasi PIR menyedikana buruh murah bagi PTPN II.

Saat itu usia Ferdinand Tuamis dua belas tahun. “Tiap keluarga mendapat dua hektar lahan sawit, rumah kecil, pekarangan juga lahan usaha.” Kala itu, umur pohon sawit mencapai 6-7 tahun. Pada umur 4–5 tahun sebenarnya sawit sudah berbuah. “Buah muda namanya, dia masih pendek dan buah bisa dipetik langsung.”

Celakanya, para transmigran tak bisa memetik tandan sawit karena pabrik minyak sawit mentah PTPN II baru dibangun dan beroperasi 1992. Sawit menjadi tak terawat hingga batang menjulang  tinggi mencapai 10 meteran. Selama menunggu sawit bisa dipanen, mereka tak punya penghasilan, selain menanam di lahan usaha. Lahan yang disediakan perusahaan untuk menanam jenis hortikultura, macam cabai , tomat, sayuran dan lain-lain.

Tak hanya transmigran yang masuk program PIR. Perusahaan ternyata memasukkan masyarakat adat Arso juga menjadi bagian program PIR. Mereka juga mendapatkan lahan bersertifikat. “Kami punya tiga sertifikat, sertifikat lahan sawit, perumahan dan pekarangan sertifikat lahan usaha.”

Bayangkan. Orang Arso,  ”tuan rumah” wilayah Keerom harus menyerahkan lahan kepada PTPN II. Lantas tanah ini melalui program PIR sawit diberikan perusahaan kepada orang-orang Arso seluas dua hektar, beserta rumah, pekarangan dan lahan usaha- total tak sampai tiga hektar. Mereka harus merawat kebun sawit itu tanpa bayaran. Jika panen menjual kepada PTPN II sebagai penguasa satu-satunya pabrik sawit di lokasi itu.

“Seperti mas Joko  dan mas Susilo dari Jawa yang dapat jatah rumah.  Saya juga dapat jatah rumah , mereka bayar kredit, saya juga harus bayar kredit atas utang yang dibuat oleh perusahaan,”kata Bapa Servo.

Tak hanya itu, mereka juga harus membayar cicilan kepada PTPN II, baik transmigran maupun orang Arso. Sebab mereka tinggal di lahan sawit yang telah disiapkan PTPN II, tak perlu membersihkan lahan dan menanam. Itu semua oleh perusahaan dihitung sebagai utang. Utang ini bervariasi sesuai umur tanaman sawit. Pembayaran baik perkelompok–tiap afdeling dan perkeluarga.

“Tiap afdeling terdiri dari 20 keluarga, biasa berbeda-beda marga. Kami harus membayar Rp100 juta. Baru selesai dibayar enam sampai tujuh tahun kemudian,” ujar Ferdinand. Dia mencermati model afdeling dan membuat perpecahan antar marga, yang tak terjadi sebelumnya. Sebab marga A bisa memiliki lahan sawit di wilayah milik warga B, pun sebaliknya yang memicu perseteruan antarmarga.

Pepera 1969 membuat orang Arso meninggalkan kampung, hingga membentangkan jarak masyarakat adat dengan tempat-tempat keramat mereka di kampung. Meskipun kini mereka kembali ke Arso, namun tak serta merta mereka bisa memulihkan hubungan mereka dengan Penciptanya, dengam Ma, dengan tempat-tempat keramat. Kehadiran transmigrasi PIR dan PTPN II  justru menghilangkan tempat-tempat keramat itu.

Dulu, masyarakat Arso memiliki tempat-tempat sakral, tempat melaksanakan ritual adat Suku Diaget. Gunung Sanggerya yang sekarang dikenal dengan nama Arso 1 merupakan tempat pemujaan kepada Yongwai  atau leluhur yang tertinggi.  Kini, tempat itu berganti nama menjadi Arso 1, perkampungan transmigran. Kampung Tua atau Yakrabu, tempat keramat lain yang diyakini sebagai tempat peristirahatan atau persinggahan para leluhur yang melakukan perjalanan. Lambat laun berubah nama, sekarang  lebih dikenal sebagai PIR 1, atau singkatan PIR 1. “Gunung Sanggerya  masih ada puncak, tapi hutan-hutan di kaki gunung sudah terbongkar,” kata Bapa Servo.

Meskipun telah berjuang puluhan tahun menuntut hutan adat yang dirampas perusahaan sawit, orang Arso baru mengetahui jika PTPN II ternyata tak memiliki hak guna usaha (HGU) perkebunan sebagai syarat membuka kebun sawit. Perusahaan baru memiliki izin HGU setelah 16 tahun alih fungsi hutan adat menjadi kebun sawit. Fakta ini baru terungkap saat DKU Inkuiri Nasional Hak Masyarakat Hukum adat di wilayah hutan, yang digelar di Jayapura, 26–28 November 2014.  Atau  setelah 32 tahun PTPN II beroperasi  di Keerom.

Penulis adalah Fellow Reseracher Sajogyo Institute dan anggota Tim Kerja Perempuan dan Tambang (TKPT).



[1] Buldoser PTPN II untuk meratakan tanah


Opini: Orang Arso, Pepera 1969 dan Perkebunan Sawit was first posted on December 6, 2014 at 2:54 am.

Peneliti: Potensi Penemuan Jenis Burung Baru di Indonesia Sangat Terbuka

$
0
0

 

Inilah spesimen sikatan sulawesi yang dinyatakan sebagai jenis baru. Foto: Rahmadi Rahmad

Inilah spesimen sikatan sulawesi yang dinyatakan sebagai jenis baru. Foto: Rahmadi Rahmad

Penemuan jenis baru burung sikatan sulawesi atau Sulawesi streaked-flycatcher di Sulawesi Tengah pada penghujung November 2014, menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi.

Dewi Malia Prawiradilaga, salah satu anggota tim peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang terlibat dalam penelitian tersebut, bersama tim gabungan dari Princeton University dan Michigan State University, kepada Mongabay Indonesia menceritakan pengalamannya tentang jenis burung bernama ilmiah Muscicapa sodhii ini.

Sikatan sulawesi merupakan jenis sikatan yang sekilas menyerupai sikatan burik (Muscicapa griseisticta) karena ukuran tubuhnya sekitar 12-14 cm dan warna bulu tubuh yang coklat keabu-abuan. Perbedaan mendasarnya terlihat dari sayap dan kedua ekornya yang lebih pendek. Selain itu, tenggorokannya yang berbintik dengan paruh agak miring merupakan ciri pembedanya.

Perjalanan waktu yang panjang, sejak pertama kali jenis tersebut dilihat tahun 1997 hingga akhirnya ditetapkan sebagai jenis baru yang dirilis dalam Jurnal Ilmiah PlosOne edisi 24 November 2014, merupakan proses penelitian yang sarat akan perjuangan.

Dewi sendiri bukanlah pendatang baru dalam dunia perburungan. Sejak awal 1980-an, Peneliti Utama di Pusat Penelitian Biologi LIPI ini sudah menekuni hal-ikhwal perburungan di Indonesia. Namanya juga identik sebagai ahli elang, mulai dari elang jawa (Nisaetus bartelsi) hingga elang flores (Nisaetus floris), pengidentifikasian jenis-jenis burung akan mudah dijawab olehnya.

Nama Malia, nama tengah Dewi, merupakan nama jenis burung Malia grata atau dikenal dengan malia sulawesi, burung endemik Sulawesi berukuran 28-29 cm, yang warna tubuhnya hijau zaitun. Apakah karena ada kesamaan nama, sehingga wanita berkaca mata ini menekuni perihal satwa bersayap tersebut?

Di sela kesibukannya, Dewi menceritakan pula tentang potensi ditemukannya jenis burung baru di Indonesia sebagaimana sikatan sulawesi, plus tantangan yang dihadapi di masa mendatang, di kantornya, Gedung Widyasatwaloka, LIPI, Cibinong Science Centre, Senin (1/12/2014)

Berikut petikan wawancaranya.

 

Mongabay: Setelah menunggu 17 tahun, akhirnya sikatan sulawesi ditetapkan sebagai jenis baru. Mengapa rentang waktunya begitu lama?

Dewi: Untuk memastikan suatu jenis burung dikatakan sebagai jenis baru secara ilmiah maka harus ada spesimennya terlebih dahulu yang disimpan di Museum Zoologicum Bogoriense-LIPI. Spesimen ini disebut holotype yang nantinya berperan sebagai pedoman guna menggambarkan ciri-ciri umum burung yang dicari tersebut mulai dari warna bulu, warna mata, hingga ukuran tubuh. Dengan kata lain, spesimen ini merupakan rujukan baku.

Nah, untuk dikatakan sebagai jenis baru, tentu saja burung tersebut harus berbeda dari kekerabatannya yang sudah dikenal di dunia ilmu pengetahuan. Perbedaan ini bisa dilihat mulai dari ciri fisik atau penampilannya, suara, hingga karakter DNA yang memang tidak sama.

Untuk sikatan sulawesi ini, memang, sebelumnya sudah ada yang melihatnya yaitu para pengamat burung baik pengamat lokal seperti Danang Dwi Putra dari Celebes Bird Club maupun pengamat burung asing yang sering berkunjung ke Sulawesi Tengah karena tertarik dengan keragaman burung yang ada.

Untuk membuktikan bahwa sikatan sulawesi tersebut memang jenis baru maka suatu ekspedisi diperlukan guna melihat langsung dan mengoleksi burung tersebut. Tentu saja, kegiatan ini memerlukan biaya, waktu, dan tenaga karena prosesnya yang tidak mudah. Terlebih untuk menemukan burung yang selalu terbang guna kebutuhan dijadikan spesimen. Ekspedisi ini tentunya bukan hal yang gampang.

Karena itu, sebelum ekspedisi dilakukan, saya meminta Pak Danang melakukan survei awal untuk mencari lokasi pergerakan burung tersebut. Tujuannya adalah, saat ekspedisi dilakukan, kawasan yang dijelajahi tidak terlalu luas nantinya. Sehingga, bisa menghemat waktu, biaya, dan tenaga. Jangan pula dilupakan, peran serta penduduk lokal seperti Pak Danang dan Pak Nofeni terhadap keberhasilan ekspedisi tahun 2012 lalu sangatlah besar.

Sebagai gambaran, pada 21 Juni 2012, tim ekspedisi berhasil menemukan sikatan sulawesi seperti yang terlihat untuk pertama kalinya sejak tahun 1997. Saat itu, fokus pencarian dilakukan di daerah Baku Bakulu di luar Taman Nasional Lore Lindu, setelah kami bertahan di tenda selama tujuh hari.

Keberhasilan ini harus dilalui dengan kegagalan sebelumnya di tahun 2011 yang kala itu, tim ekspedisi tidak berhasil menemukan sikatan sulawesi yang dicari itu. Kala itu lokasi pencarian memang masih diprioritaskan di beberapa titik seperti Dananu Tambing dan seputaran Taman Nasional Lore Lindu, juga Anaso, Badaeha, dan Baku Bakulu.

Penjelasan ini tentunya menggambarkan bahwa memang diperlukan waktu yang lama untuk mendapatkan jenis yang baru. Selain itu, hampir seluruh jenis burung yang ada di dunia, sekitar 98 persen, sudah diketahui dalam ilmu pengetahuan. Sehingga sangat sulit untuk mendapatkan jenis baru. Menurut catatan LIPI, Indonesia saat ini memiliki jumlah jenis burung sebanyak 1.606 jenis.

Kondisi ini jelas berbeda dengan jenis ikan baru atau serangga yang mungkin jauh lebih mudah ditemukan ketimbang burung yang sudah banyak diketahui. Namun begitu, disinilah sisi menariknya, kita bisa menemukan burung jenis baru.

Jadi, tidak ada patokan waktu apakah dalam waktu 15 tahun, 17 tahun, atau juga 20 tahun, kita dapat menemukan jenis burung baru.

 

Dewi Malia Prawiradilaga,  anggota tim peneliti dari LIPI yang terlibat langsung terhadap penemuan sikatan sulawesi. Foto: Rahmadi Rahmad

Dewi Malia Prawiradilaga, anggota tim peneliti dari LIPI yang terlibat langsung penemuan sikatan sulawesi. Foto: Rahmadi Rahmad

 

Mongabay: Apakah ada peluang ditemukan spesies baru di Sulawesi terlebih Wallacea, mengingat wilayah ini kaya akan keragaman hayati?

Dewi: Tentu saja masih ada peluang untuk ditemukannya spesies burung baru di Wallacea, karena wilayah ini memiliki banyak spesies khas yang tidak akan ditemui di tempat lain di dunia.

Wallacea sendiri merupakan kawasan yang terdiri dari ribuan pulau yang terletak di antara kawasan Oriental dan Australasia yang kaya akan keragaman hayati. Pulau-pulau ini dibagi dalam tiga kelompok yaitu Sulawesi dan pulau satelitnya, Kepulauan Maluku, serta Kepulauan Nusa Tenggara.

Sulawesi merupakan daerah dalam kawasan Wallacea yang kaya akan keragaman faunanya. Termasuk, penemuan sikatan sulawesi ini. Selain tentunya ada anoa (Bubalus Spp.), babirusa (Babyrousa babirussa), dan maleo senkawor (Macrochepalon maleo). Saat ini, kami masih menggarap bakal spesies burung baru dari lokasi di Sulawesi Tengah lainnya serta Pulau Taliabu di Maluku Utara.

Papua juga berpeluang ditemukannya jenis burung baru. Mengingat, belum banyak misteri keragaman hayati yang terkuak di sana.

 

Mongabay: Bagaimana kondisi burung-burung di kawasan Wallacea, apakah terancam?

Dewi: Jelas terancam, karena burung banyak disukai dan dijadikan binatang peliharaan sehingga, sering ditangkap. Padahal, sudah banyak burung yang dilindungi undang-undang seperti UU No 5 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Selain ancaman dari penangkapan manusia, habitat alaminya juga sering dirusak atau dialihkan fungsinya. Perubahan iklim juga merupakan ancaman terhadap kelestarian flora dan fauna yang ada.

Sangat memprihatinkan tentunya, karena burung memiliki peranan penting dalam ekosistem ini. Mulai dari penyerbuk, penebar biji, hingga sebagai indikator alami kesehatan lingkungan. Kita juga belum banyak mengungkapkan fungsi dan potensi burung yang bermanfaat bagi kehidupan di alam.

Untuk Wallacea, masih banyak hal yang harus digali lagi terkait jumlah jenis burung yang ada dan juga persebarannya, karena ada yang tersebar di pulau-pulau kecil. Yang harus diperhatikan adalah jangan sampai ada burung yang punah sebelum kita mengetahui keberadaannya. Jangan sampai punah seperti yang terjadi dengan burung dodo.

 

Dewi Malia Prawiradilaga menunjukkan koleksi spesimen burung yang ada di Museum Zoologicum Bogoriense-LIPI. Sekitar seribu spesimen berada di museum ini. Foto: Rahmadi Rahmad

Dewi Malia Prawiradilaga menunjukkan spesimen burung yang ada di Museum Zoologicum Bogoriense-LIPI. Sekitar seribu spesimen berada di museum ini. Foto: Rahmadi Rahmad

 

Mongabay: Peneliti asing begitu antusias ke Indonesia. Apa penyebabnya?

Dewi: Tentu saja peneliti asing sangat antusias ke Indonesia karena kita memiliki keragaman hayati yang tinggi dan masih banyak yang belum terungkap. Bagi para peneliti asing, pencarian jenis baru merupakan tantangan yang begitu menarik.

Bisa jadi, di negara mereka, segala pengetahuan yang berkaitan dengan sumber daya alam yang mereka miliki sudah dikupas habis, sementara di Indonesia masih banyak misteri pengetahuan yang belum terungkap. Hal yang menyenangkan menurut para peneliti asing ini adalah kondisi alam kita yang indah, kaya, dan iklim yang cukup nyaman.

 

Mongabay: Penemuan sikatan sulawesi juga melibatkan peneliti asing. Apakah kita tidak mampu melakukannya?

Dewi: Dalam penelitian ada rangkaian yang harus dilakukan. Sebagaimana sikatan sulawesi yang menjadi jenis baru maka tahapan yang dilakukan adalah mendeskripsikan secara umum burung tersebut, bagaimana jenis suaranya, selanjutnya melacak kekerabatannya, hingga perbandingan tes DNA dengan jenis yang sudah ada yang tentunya sudah diketahui dunia pengetahuan.

Nah, yang bisa kita lakukan saat ini adalah deskripsi morfologi secara umum. Untuk melakukan tes DNA, kita belum mampu melakukannya.

Pertama, peralatan yang kita miliki sudah tertinggal jauh dari peneliti asing. Inilah kelemahan kita yang masih bergantung dengan peneliti asing, yang saya sendiri kurang setuju dengan hal ini. Tapi, saat ini memang harus dilakukan. Kedua, pendanaan untuk penelitian tidak memadai. Anggaran yang ada saja terkadang masih ditarik untuk keperluan lainnya.

Perlu dicatat, tidak semua temuan jenis baru dilakukan oleh peneliti asing. Peneliti kita juga ada yang menemukannya seperti punggok togian (Ninox burhani) dan kacamata togian (Zosterops somadikartai).

 

Mongabay: Bagaimana status kepemilikan sikatan sulawesi ini?

Dewi: Tetap di Indonesia karena sikatan sulawesi memang ada di Indonesia. Temuan ini memang sudah ada aturannya, jadi tidak akan dibawa keluar Indonesia. Sebelum penelitian hingga ekspedisi dilakukan, segala aturan dan perjanjian telah disepakati terlebih dahulu.

Segala pihak yang bekerja sama dengan LIPI dapat dikawal. Namun begitu, kita juga harus waspada karena pintu masuk untuk melakukan penelitian di Indonesia itu banyak. Bisa melalui penelitian mahasiswa atau kerja sama dengan universitas.

Dengan disatukannya Kementerian Riset dan Teknologi dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang sekarang menjadi Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Ristek dan Dikti) diharapkan akan ada perubahan yang signifikan dan koordinasi lebih baik terkait penelitian.

 

Mongabay: Apakah yang harus kita lakukan kedepan agar penemuan jenis baru dapat kita lakukan?

Dewi: gairah penelitian dan apresiasi terhadap ilmu pengetahuan harus ditingkatkan. Penghargaan terhadap alam Indonesia yang potensi alamnya luar biasa harus dilakukan dengan baik dan bijak.

Memang, kemungkinan ditemukan burung jenis baru selalu terbuka, namun alangkah baiknya jika jenis yang sudah ada kita jaga. Ini lebih utama, karena untuk menemukan jenis baru, kita tidak tahu kapan dan berapa lama waktu yang dibutuhkan.

Yang patut diingat, penemuan jenis baru merupakan awal dari perjalanan kita untuk menyibak misteri keragaman hayati alam Indonesia. Bukan setelah ditemukan lalu ditinggalkan. Tapi, kita harus mencari tahu lebih tentang jenis tersebut di alam, bagaimana sebarannya, berapa populasinya, dan apa peranannya.

 

Sikatan bubik, jenis sikatan berukuran 13 cm yang sepintas seperti sikatan burrik. Foto: Asep Ayat

Sikatan bubik, jenis sikatan berukuran 13 cm yang sepintas seperti sikatan burik. Foto: Asep Ayat


Peneliti: Potensi Penemuan Jenis Burung Baru di Indonesia Sangat Terbuka was first posted on December 6, 2014 at 7:46 am.

Hiuphoria, Berlari Sambil Berkampanye Selamatkan Hiu

$
0
0

Penangkapan Hiu Lombok6

Pusat Studi Kewirausahaan Universitas Atma Jaya Yogyakarta (Puswira UAJY) melalui Mata Kuliah Kewirausahaan Fakultas Ekonomi menyelenggarakan serangkaian acara bertajuk Hiuphoria. Acara ini sebagai bentuk kampanye penyelamatan hiu di Indonesia dan belahan dunia umumnya yang terus berkurang jumlahnya karena perburuan. Bekerja sama dengan Save Sharks Indonesia, Hiuphoria diselenggarakan pada Jumat, 5 Desember 2014 pukul 16.00 sampai 22.00 WIB di Foodcourt Jogja Expo Centre (JEC).

 

Ketua panitia Hiuphoria, Immanuel TB Manullang mengatakan mereka ingin menyadarkan masyarakat bahwa daging hiu tidak aman untuk dikonsumsi karena mengandung mercury. Selain itu, kampanye ini juga bertujuan untuk menyelamatkan populasi hiu di Indonesia yang mulai terancam.  “Karena itulah kami menyelenggarakan kampanye ini tetapi dikemas dalam konsep berbeda,” tutur Immanuel.

 Hiuphoria digelar berbentuk running on the track yaitu lari santai sejauh lima kilometer pada malam hari dengan menggunakan glow. Masyarakat cukup antusias, terbukti ada 1000 1000 peserta yang ikut. Para peserta berlari dari titik pertama di Jalan Janti, Banguntapan, Bantul hingga ke titik kedepalan. Setelah mengikuti running on the track para peserta akan mengikuti kampanye penyelamatan hiu yang disampaikan oleh Save Sharks Indonesia.

Secara terpisah, ketua Save Sharks Indonesia Adhisti Djangkaru mengatakan  dukungannya untuk acara Hiuphoria ini. Ia berharap para peserta dapat menjadi konsumen yang bijak. Menurutnya konsumen bijak berarti memilih makanan yang tidak berdampak buruk bagi diri sendiri maupun bagi lingkungan. Adhisti menjelaskan saat ini populasi hiu menurun hingga 90 persen dalam 10 tahun terakhir.

 “Bila jumlah hiu semakin menurun apalagi sampai punah, berarti no more udang, no more kerapu. Ekosistem biota laut lainnya terancam,” katanya. Karena hiu merupakan predator tertinggi dalam rantai makanan sehingga memiliki peranan penting di dalam ekosistem biota laut.

Selain running on the track, Hiuphoria memiliki serangkaian acara lainnya seperti Selfie Contest, Speak up Save Sharks, Live music, DJ Performance, Doorprize dan Glow Party.

Panitia Acara Hiuphoria dari Pusat Studi Kewirausahaan Universitas Atma Jaya Yogyakarta (Puswira UAJY). Foto : Humas UAJY

Panitia Acara Hiuphoria dari Pusat Studi Kewirausahaan Universitas Atma Jaya Yogyakarta (Puswira UAJY). Foto : Humas UAJY

Dalam catatan WWF Indonesia menjelaskan, hiu merupakan satu spesies yang populasinya terancam punah. Melonjaknya jumlah permintaan sirip hiu dan produk-produk hiu lainnya telah menyebabkan terjadinya penangkapan besar-besaran terhadap hiu. Data FAO tahun 2010 menujukkan bahwa Indonesia berada pada urutan teratas dari 20 negara penangkap hiu terbesar di dunia.

“Mendukung perlindungan hiu bukan semata-mata untuk hiu itu sendiri, namun karena peran pentingnya untuk menjaga ketersediaan pangan kita dari sektor kelautan,” kata  Efransjah, CEO WWF-Indonesia.

Sebagai predator teratas, hiu mengkontrol populasi hewan laut dalam rantai makanan. Dengan demikian, populasi hiu yang sehat dan beragam berperan penting untuk menyeimbangkan ekosistem laut, termasuk menjaga kelimpahan ikan-ikan yang dikonsumsi manusia.

Praktik keji tersebut dilakukan terhadap 38 juta hiu setiap tahunnya (Clarke, 2006) dari sekitar 26-73 juta hiu yang tertangkap dalam aktivitas perikanan dunia (Fordham, 2010). Ini berarti sekitar 1-3 individu hiu tertangkap setiap detiknya. Di sisi lain, hiu adalah ikan yang perkembangbiakannya lambat serta menghasilkan sedikit anakan sehingga rentan eksploitasi berlebih.

Secara umum, sirip hiu atau terkadang bagian tubuh lainnya didapatkan dengan memotong sirip mereka hidup-hidup atau disebut Shark Finning. Lalu, hiu tanpa sirip tersebut dibuang ke laut dalam keadaan masih bernyawa untuk kemudian mati secara perlahan.

“Pengelolaan hiu yang berkelanjutan menjamin potensi laut Indonesia semakin bermanfaat bagi kehidupan manusia,” tambah Efransjah.

 


Hiuphoria, Berlari Sambil Berkampanye Selamatkan Hiu was first posted on December 7, 2014 at 12:09 am.

Buah Tangan dari Hutan Adat Rantau Kermas

$
0
0

Buah Tangan dari Hutan Adat Rantau Kermas berupa tas pilin hasil kerajinan tangan ibu -ibu kelompok pengajian di Desa Rantau Kermas, Kecamatan Jangkat Kabupaten Merangin, Jambi.

Buah Tangan dari Hutan Adat Rantau Kermas berupa tas pilin hasil kerajinan tangan ibu -ibu kelompok pengajian di Desa Rantau Kermas, Kecamatan Jangkat Kabupaten Merangin, Jambi.

Jari-jemari Saodah (42) bergerak lincah menganyam jalinan pandan menjadi sebuah tas pilin yang menarik. Setiap sore perempuan yang disapa Mak Ade ini berkumpul bersama ibu-ibu kelompok pengajian di Desa Rantau Kermas, Kecamatan Jangkat Kabupaten Merangin, Jambi.

Mereka biasanya akan mengerjakan beberapa tas, dompet bahkan alas kaki dari anyaman pandan dan bambu untuk mengisi waktu luang setelah hampir seharian berkutat di sawah. Sepulang dari sawah, Saodah akan mengambil bahan baku di pinggir hutan yang saat ini telah menjadi Hutan Adat Rantau Kermas.

Sudah hampir dua tahun, Saodah beserta kelompok ibu-ibu pengajian di Desa ini memproduksi berbagai anyaman dari pandan dan bambu. Pesanan pun silih berganti berdatangan. Bahkan kelompok ibu-ibu ini juga akan melakukan kerjasama dengan beberapa hotel lokal untuk memasok alas kaki. Setiap hari mereka mampu menghasilkan sekitar 25 pasang alas kaki.

Kelompok ibu-ibu pengrajin di Desa Rantau Kermas, Kecamatan Jangkat Kabupaten Merangin, Jambi. Foto : Elviza Diana

Kelompok ibu-ibu pengrajin di Desa Rantau Kermas, Kecamatan Jangkat Kabupaten Merangin, Jambi. Foto : Elviza Diana

Selain melayani pesanan yang datang, mereka juga menjual langsung berbagai hasil anyamannya ke pasar di Danau Pauh. Dengan menggunakan kendaraan bermotor dengan menempuh perjalanan 45 menit saja, Saodah sudah dapat menggelar barang dagangannya.

Harga yang dipatok untuk setiap tas dan dompet pun cukup terjangkau. Untuk setiap tas dipatok dengan kisaran Rp 50-100 ribu sesuai dengan model dan ukurannya. Sementara untuk dompet hanya dengan membayar Rp 10 ribu, sudah bisa terbeli.

Dan siapa yang menyangka hanya bermodalkan pandan, bambu dan rotan dari hutan ditambah keahlian, Saodah mampu meraup pendapatan Rp3 – 4 juta setiap bulannya. Meskipun produksi dan pemasarannya sudah baik, namun Saodah bercerita ada beberapa kendala yang masih mereka hadapi. Ketidaktersediaan beberapa bahan pelengkap untuk memproduksi kerajinan anyaman menjadi masalah setiap kali mereka mendapatkan pesanan yang cukup banyak.

“Misalnya saja untuk spon dan lem yang digunakan kami masih harus pesan dari Jawa. Jadi kalau ado pesanan sandal dalam jumlah banyak, kami susah juga untuk mengerjakannya”, lanjutnya.

Menghidupkan Tradisi Menganyam

Kegiatan menganyam bukan menjadi hal baru bagi masyarakat di Desa Rantau Kermas. Hampir rata-rata perempuan yang sudah beranjak dewasa bisa menganyam. Meskipun hanya membuat sebuah kipas, ataupun tikar, para perempuan remaja memang dituntut dapat menganyam sebelum menikah.  Tapi sedikit berbeda dengan peralatan yang mereka gunakan menganyam pandan dan bambu yang sudah mereka ketahui. Kali ini anyaman bisa berubah menjadi tas, dompet serta alas kaki yang menarik.

Seorang ibu pengrajin sedang menjahit tas di Desa Rantau Kermas, Kecamatan Jangkat Kabupaten Merangin, Jambi. Foto : Elviza Diana

Seorang ibu pengrajin sedang menjahit tas di Desa Rantau Kermas, Kecamatan Jangkat Kabupaten Merangin, Jambi. Foto : Elviza Diana

“Dari dulu kami sudah terbiasa menganyam tikar, tapi sekarang kami sudah bisa membuat tas pilin, dompet dan sandal”, ungkap Saodah.

Rendahnya minat generasi muda untuk mempelajari  keterampilan menganyam juga turut memudarkan budaya ini di tengah masyarakat. Kemajuan teknologi dengan menghasilkan tikar-tikar plastik yang murah dan menarik mengganti tikar anyaman, membuat anyaman jarang disentuh lagi.

“Kami berharap dengan adanya pelatihan menganyam ini, anak-anak muda di kampung kami bisa menganyam lagi. Jadi kalau kami yang tuo-tuo ini dak ado lagi, mereka yang melanjutkan tradisi menganyam ini,” kata Saodah.

Melihat kondisi ini, Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi mulai menghidupkan kembali tradsi menganyam di tengah-tengah masyarakat. Hingga saat ini sudah hampir delapan desa di Kabupaten Merangin dan Kabupaten Muara Bungo yang sudah mendapatkan pelatihan menganyam.

“Setidaknya kita sudah melakukan pelatihan menganyam ini di beberapa desa di Kabupaten Merangin, diantaranya di Renah Alai, Rantau Kermas, Batang Kibul, Guguk dan Beringin Tinggi. Sementara di Kabupaten Bungo, ada di Desa Senamat Ulu, Sungai Mengkuang dan Lubuk Beringin”, sebut Ridwan Firdaus selaku Spesialis Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) KKI Warsi.

Pemilihan desa-desa tersebut lebih diutamakan terkait dengan ketersediaan bahan baku yang memang banyak terdapat di daerah tersebut. Pelatihan menganyam ini juga dikatakan Ridwan sebagai upaya pemanfaatan dan pengelolaan sumber-sumber HHBK  yang saat ini masih rendah dilakukan masyarakat. “Pelatihan kerajinan ini sebagai upaya untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam mengelola sumber-sumber hasil hutan non kayu. Diharapkan ini dapat berkembang menjadi sebuah usaha industri kerajinan. Minimal produk-produknya dapat menjadi souvenir,” tambahnya.

 


Buah Tangan dari Hutan Adat Rantau Kermas was first posted on December 7, 2014 at 12:46 am.

Konflik Agraria di Kabupaten OKI Tinggi Karena Status Lahan Tidak Clear and Clean: Anwar Sadat

$
0
0
Anwar Sadat dengan pakaian tahanan. Foto Norman Cegame_Walhi Sumsel

Anwar Sadat dalam pakaian tahanan ketika dibui di Rumah Tahanan Pakjo, Palembang. Foto Norman Cegame/Walhi Sumsel

Anwar Sadat terdiam setelah mendengar kabar Pengadilan Negeri Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, yang menolak gugatan PT Sumber Wangi Alam (SWA) dan eksepsi masyarakat Desa Sungai Sodong yang menjadi tergugat.

“Terus-terang dengan keputusan tersebut, pemerintah memiliki tugas yang sangat berat. Mereka harus melakukan mediasi, sehingga konflik berdarah yang terjadi pada April 2011 yang menyebabkan tujuh orang tewas, tidak terulang lagi,” jelas Anwar Sadat, mantan Direktur Walhi Sumsel yang kini aktif memimpin Serikat Petani Sriwijaya (SPS) kepada Mongabay Indonesia akhir November lalu.

Menurutnya keputusan pengadilan akan berpotensi memperpanjang konflik antara masyarakat dengan perkebunan sawit tersebut.

Konflik antara warga Desa Sungai Sodong dengan PT SWA merupakan satu dari puluhan konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan di Kabupaten OKI yang belum terselesaikan. Konflik warga Desa Sungai Sodong yang terletak di Kecamatan Mesuji, dengan PT SWA meletus pada tahun 2011 yang lalu.

“Ini tugas berat bagi (Bupati) Iskandar yang baru setahun memimpin Kabupaten OKI. Tapi jika dia mampu menyelesaikan berbagi kasus tersebut, itu merupakan prestasi yang luar biasa di mata masyarakat,” ujarnya. Kabupaten Ogan Kemiring Ilir (OKI) sendiri merupakan salah satu kabupaten di Sumatera Selatan yang terdapat banyak perusahaan ekstraktif seperti pertambangan, perkebunan dan HTI.

 

***

 

Dalam pandangan Anwar Sadat, persoalan konflik masyarakat akar rumput tidak bisa dilepaskan dari persoalan yang lebih besar yaitu pemberian izin konsesi kepada perusahaan tanpa adanya batas-batas konsesi yang jelas, dan tanpa ada penjelasan terlebih dahulu kepada masyarakat secara jujur dan adil.

Hal itu yang membuat Sadat mendukung aksi masyarakat untuk mempertahankan lahan miliknya. Salah satunya di Kecamatan Pangkalan Lampam dan Tulung Selapan OKI, dimana tujuhbelas desa berkonflik dengan PT Bumi Sriwijaya Sentosa (BSS), satu perusahaan perkebunan tebu.

“Perlawanan masif dilakukan warga karena realitasnya perencanaan perkebunan tebu mengancam secara langsung areal perkebunan rakyat yang selama ini menopang ekonomi setempat,” ujar Sadat.

Saat itu aksi masa lumayan besar, sekitar delapan ribuan warga mendatangi Bupati OKI untuk menuntut pencabutan izin lokasi perkebunan, aksi massa juga mendatangi kantor Gubernur Alex Noerdin untuk meminta agar Gubernur mengeluarkan rekomendasi kepada Bupati OKI untuk mencabut izin lokasi PT BSS. Massa juga menuntut BPN Sumsel untuk tidak mengeluarkan Hak Guna Usaha (HGU). Tuntutan warga pada akhirnya disetujui.

 

Daftar Sengketa/ Konflik Tanah antara Warga dengan Perusahaan di Kabupaten OKI, Sumatera Selatan:
  1. Masyarakat Desa Sungai Sodong, Kecamatan Mesuji dengan PT SWA,
  2. Masyarakat Desa Nusantara, Kecamatan Air Sugihan dengan PT Selatan Agro Makmur Lestari (SAML),
  3. Masyarakat Kecamatan Cengal dan Sungai Menang dengan PT London Sumatera (Lonsum),
  4. Masyarakat Desa Cipta Sari, Kecamatan Mesuji Raya dengan PT Tania Selatan,
  5. Masyarakat Desa Mataram Jaya dan Kemang Indah dengan PT AEK Tarum,
  6. Masyarakat Desa Jungkal, Kecamatan Pampangan dengan PT Maha Indo,
  7. Masyarakat Desa Sidomulyo, Kecamatan Sungai Menang dan Sungai Tepuk dengan PT Telaga Hikmah IV
  8. Masyarakat Desa Purwosari, Kecamatan Lempuing dengan PT Tania Selatan,
  9. Masyarakat Desa Pulau Geronggang, Kecamatan Pedamaran Timur dengan PT Tempirai Palm Respurces,
  10. Masyarakat Desa Cinta Jaya, Kecamatan Pedamaran dengan PT Rambang Agro Jaya,
  11. Masyarakat Desa Sungai Menang, Kecamatan Sungai Menang dengan PT Mutiara Bunda Jaya,
  12. Masyarakat Desa Gajah Mati, Kecamatan Sungai Menang dengan PT Russelindo Putra Prima,
  13. Masyarakat Sungai Menang dengan PT Pratama Nusantara Sakti,
  14. Masyarakat Desa Sungai Belida, Kecamatan Lempuing dengan PT Buluh Cawang Plantation,
  15. Masyarakat Desa Bumi Makmur, Kecamatan Mesuji Raya dengan PT Waimusi Agro Indah,
  16. Masyarakat Desa Pedamaran V, Kecamatan Pedamaran dengan PT Rambang Agro Jaya,
  17. Masyarakat Desa Balian, Kecamatan Mesuji Raya dengan PT Gunung Tua Abadi,
  18. Masyarakat Desa Rantau Durian I, Kecamatan Lempuing Jaya dengan PT Mutiara Bunda Jaya,
  19. Masyarakat Desa Jungkal, Kecamatan Pampangan dengan PT Gading Cempaka Graha, PT Tempirai Palm Resources dan PT Waringin Agro Jaya.
  20. Masyarakat Desa Mulya Jaya, Desa Karya Mukti, Desa Jaya Bakti, Kecamatan Mesuji Raya dengan PT Sinar Sasongko,
  21. Masyarakat Pedamaran dengan PT Sampoerna Agro,
  22. Masyarakat Desa Mukti Air Sugihan, Kecamatan Air Sugihan dengan PT Selatan Agro Makmur Lestari (SAML).

 

Sumber: Walhi Sumsel  

 

Tidak hanya sekali Sadat mendampingi kelompok-kelompok masyarakat yang haknya terenggut. Pada tahun 2006, dia dan Walhi mengadvokasi konflik lahan warga Desa Riding dengan perusahaan pemasok HTI  Sinar Mas Group yaitu PT Bumi Mekar Hijau. Pada tahun 2010 dia mendampingi masyarakat Desa Sidomulyo, Kecamatan Tungkal Ilir yang berkonflik dengan PTPN VII Betung terkait sengketa lahan transmigrasi bersertifikat oleh perusahaan perkebunan tersebut sejak 2001.

Pada 2010, Sadat mendampingi masyarakat Desa Nusantara, OKI yang mempertahankan lahan pangan seluas 1.200 hektar dari PT. Selatan Agro Makmur Lestari (SAML) yang menyatakan memiliki HGU di atas lahan tersebut.

“Keberadaan perusahaan ini akan menghancurkan tata sosial dan ekonomi masyarakat setempat, termasuk lahan gambut. Selain norma hukumnya, terbitnya HGU ini tak melalu proses yang clean and clear di atas tanah masyarakat tersebut. Juga tidak ada sosialiasi, tak ada izin peralihan hak atas tanah rakyat tersebut,” jelas Sadat coba berargumentasi tentang duduk persoalan.

Bekerja mengadvokasi lahan masyarakat pernah membuat Sadat dibui selama tujuh bulan  di Rumah Tahanan Pakjo Palembang. Saat itu dia dianggap melakukan tindakan perusakan pagar Markas Polda Sumsel, saat bersama dengan warga petani 17 desa melakukan aksi menuntut tanah yang disengketakan dengan PTPN VII Cinta Manis.

Keberhasilan advokasi tampaknya menjadi obat mujarab perjuangan, seperti saat warga Jermun, Kecamatan Pampangan akhirnya diperkenankan oleh pemerintah Kabupaten OKI untuk memperoleh lahan enclave setelah sarat berkonflik dengan pihak perusahaan.

 

Anwar Sadat dan Dedek Chaniago saat mengikuti persidangan di PN Palembang tahun 2013. Keduanya dijerat hukum karena dinilai merusak Mapolda Sumsel saat aksi menuntut pembebasan petani Ogan Ilir. Foto Norman Cegame_Walhi Sum

Anwar Sadat (kanan) dan Dedek Chaniago (kiri) saat mengikuti persidangan di PN Palembang tahun 2013. Keduanya dijerat hukum karena dinilai merusak Mapolda Sumsel saat aksi menuntut pembebasan petani Ogan Ilir. Foto Norman Cegame/Walhi Sumsel

 

Petani Harus Sejahtera di Lahannya

Agenda lain yang penting paska konflik adalah bagaimana petani dapat mengolah lahan tersebut dengan optimal. “Banyak petani kebingungan setelah lahan didapat. Mereka akhirnya memilih tanaman tidak baik bagi lingkungan gambut seperti sawit, dan tidak berorientasi pangan,” kata Sadat.

Artinya, agenda kerja kedepan bukan lagi sebatas aksi protes dan pendudukan lahan, tetapi mengembangkan pengetahuan pertanian dan perkebunan, serta membangun organisasi petani yang lebih mapan dan modern sehingga menunjang ketahanan pangan, kelestarian lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan petani.

“Petani harus sejahtera, dan juga di depan menjaga kelestarian lingkungan, seperti menjaga hutan dan lahan gambut,” pungkas Sadat.


Konflik Agraria di Kabupaten OKI Tinggi Karena Status Lahan Tidak Clear and Clean: Anwar Sadat was first posted on December 7, 2014 at 6:43 am.

Benarkah Limbah Perkebunan dan Kapal Tongkang Menyebabkan Sungai Air Sugihan Tercemar?

$
0
0
Tongkang sarat akan muatan ini membawa hasil kayu dari hutan tanaman industri melalui jalur Sungai Air Sugihan. Foto: Taufik Wijaya

Tongkang sarat akan muatan ini membawa hasil kayu dari hutan tanaman industri melalui jalur Sungai Air Sugihan. Foto: Taufik Wijaya

Sungai Air Sugihan yang mengalir di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) dan Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, kondisinya memburuk akibat pencemaran.

Fakta mengenai Sungai Air Sugihan yang tercemar ini, berdasarkan penelitian yang dilakukan Universitas Sriwijaya (Unsri) dengan nama “Ekspedisi Penelitian Air Sugihan.”

Dr. Iskhaq Iskandar, Kepala Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Unsri, mengatakan bahwa kesimpulan Sungai Air Sugihan tercemar didasarkan sejumlah parameter yang dilakukan sejumlah peneliti. Yakni biologi, kimia, fisika yang pemeriksaannya menggunakan dua laboratorium.

“Sejauh ini, memang ada parameter-parameter yang bisa dikatakan sudah mendekati nilai baku mutu lingkungan. Tetapi masih di bawah nilai ambang batas. Detailnya saya tidak hafal,” kata Iskhaq, yang ditemui awal Desember 2014.

Iskhaq mengatakan ekspedisi penelitian Sungai Air Sugihan dilakukan sebanyak tiga kali. Ekspedisi pertama dilakukan Juli 2014 untuk mewakili musim kemarau. Ekspedisi kedua, dilakukan akhir Agustus 2014 untuk mewakili musim kemarau, dan musim peralihan dari kemarau menuju penghujan. Sementara, ekspedisi ketiga rencananya dilaksanakan pada minggu kedua Desember 2014, mewakili musim hujan.

“Kita ingin melihat apakah perbedaan musim ini akan memengaruhi kualitas air di Sungai Sugihan. Pasti ada pengaruhnya, tinggal lagi seberapa signifikan pengaruh tersebut,” ujar akademisi yang meraih doktor bidang kelautan dan klimatologi dari Universitas Tokyo pada 2007 ini.

Apa penyebab pencemaran tersebut? Sumber pencemaran sub-sub sungai di Daerah Aliran Sungai (DAS) Air Sugihan, salah satunya akibat pelayaran perahu tongkang guna menunjang aktivitas berbagai perusahaan, baik perkebunan sawit maupun hutan tanaman industri.

“Pencemaran dari tongkang ini bisa karena banyak hal, seperti tongkang yang sudah tua, sudah tidak layak, tumpahan oli, minyak, karat dan lain-lain. Ini menyebabkan peningkatan beban pencemaran bagi sub-sub sungai di DAS Air Sugihan. Ini perlu dievaluasi oleh perusahaan yang beroperasi di daerah ini,” jelasnya.

Iskhaq menambahkan, penyebab lain yang turut memberi kontribusi bagi pencemaran di Sungai Air Sugihan adalah penggunaan pestisida dan bahan kimia lainnya dalam kegiatan perkebunan dan pertanian, serta limbah domestik berupa sampah rumah tangga dan limbah mandi dan mencuci yang dihasilkan masyarakat sekitar.

Masalah pendidikan

Penelitian yang dilakukan Iskhaq juga memetakan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat dan persepsi mereka mengenai aktivitas perusahaan di sekitar Sungai Sugihan. “Kita juga menangkap kondisi riil masyarakat dan harapan mereka terhadap aktivitas perusahaan. Pendidikan masyarakat desa di sepanjang sub-DAS sangat rendah, sekitar 40 persen penduduk hanya tamat SD,” kata Iskhaq.

Kondisi tersebut yang kemudian disampaikan ke beberapa perusahaan yang beraktivitas di sana. Tim peneliti mengirimkan rekomendasi agar perusahaan yang beroperasi di sekitar Sungai Air Sugihan memprioritaskan CSR mereka untuk bidang pendidikan dan kesehatan.

“Harus ada pembangunan sarana pendidikan, tenaga pendidik juga harus diperhatikan karena akses ke sana cukup sulit. Sarana kesehatan dan tenaga medis juga masih kurang. Jika masyarakat terdidik dan sehat, kita yakin ini akan memberi kontribusi positif bagi lingkungan,” jelasnya.

Setiap hari, ratusan perahu membawa buah sawit dari perkebunan dengan melintasi Sungai Air Sugihan. Foto: Taufik Wijaya

Setiap hari, ratusan perahu membawa buah sawit dari perkebunan dengan melintasi Sungai Air Sugihan. Foto: Taufik Wijaya

Belum ada basis data

Iskhaq mengatakan selama ini belum ada basis data yang lengkap mengenai Sungai Sugihan, oleh karenanya dia berharap penelitian tersebut dapat terus berlanjut, sehingga dapat dilakukan pemantauan perkembangan kualitas Sungai Air Sugihan, serta potensi lainnya yang ada di sekitar DAS Air Sugihan.

“Ada Suaka Margasatwa Padang Sugihan yang memiliki satwa dan flora yang beragam. Daerah ini juga memiliki potensi pengembangan kerbau rawa, yakni kerbau pampangan. Sementara untuk kualitas nilai baku mutu lingkungan akan kita pantau di beberapa titik untuk dilihat perubahannya,” ujar Iskhaq.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio


Benarkah Limbah Perkebunan dan Kapal Tongkang Menyebabkan Sungai Air Sugihan Tercemar? was first posted on December 8, 2014 at 2:52 am.

Diduga Tercemar Limbah PLTU, Petani Rumput Laut di Kupang Barat Merugi

$
0
0
Rumput laut milik Obet Leo mengalami kerusakan diduga limbah pencemaran PLTU Bolok. Foto : Tommy Apriando

Rumput laut milik Obet Leo mengalami kerusakan diduga limbah pencemaran PLTU Bolok. Foto : Tommy Apriando

Obet Leo berjalan cepat menuju pesisir laut di Desa Bolok,  Kupang Barat, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Melewati jalan setapak bebatuan karang. Di kanan dan kiri pepohonan kayu putih menjulang tinggi berkisar lima sampai sembilan meter. Pepohonan kering dan satu sarang lebah juga kami jumpai.

Setelah berkisar dua ratus meter berjalan, tibalah di pondok dan pesisir laut tempatnya menanam rumput laut. Tatapan Obet langsung tertuju pada jemuran rumput laut miliknya. Kemudian ia memegang dan menunjukkan kepada saya. Ia juga menunjukan luasan rumput laut miliknya.

Dari pondoknya, terlihat botol-botol plastik mengapung di permukaan laut, pertanda tanaman rumput laut dibawahnya.

“Sudah turun temurun saya bertani rumput laut. Baru kali ini mengalami kerusakan. Rumputnya mudah putus dan berwarna putih pucat. Mungkin ini karena limbah,” kata Obet Leo kepada Mongabay pada 19 November 2014 lalu.

Obet Leo menunjukan rumput laut miliknya yang rusak. Foto : Tommy Apriando

Obet Leo menunjukan rumput laut miliknya yang rusak. Foto : Tommy Apriando

Usia Obet Leo 58 tahun. Sudah lebih dari tiga puluh tahun ia bertani rumput laut. Baru di bulan Oktober 2014 kemarin hasil pertaniannya rusak dan pendapatannya menurun. Jika sebelumnya  ia bisa memanen rumput laut kering hingga satu ton setiap bulan. Namun saat ini, hanya berkisar setengahnya saja. Sudah ada pelanggan tetap yang membeli satu ton rumput laut seharga Rp15 juta sudah ada pembeli tetap.

Di musim hujan tanaman rumput laut jadi lebih baik, namun kendalanya pengeringan menjadi lebih lama.

Obet menambahkan, belum ada dari pihak dinas terkait datang untuk mengecek di lokasi pertanian kami. Ia menduga rusaknya rumput laut karena limbah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Bolok. Ia membandingkan, sebelum PLTU beroperasi berpuluh tahun lalu, tidak pernah ada masalah dengan rumput laut. Namun setelah beberapa bulan beroperasi rumput laut rusak.

Rumput laut  di jemur oleh Obet Leo untuk dikeringkan, sebelum di jual ke pasar. Foto : Tommy Apriando

Rumput laut di jemur oleh Obet Leo untuk dikeringkan, sebelum di jual ke pasar. Foto : Tommy Apriando

Pada 2010 lalu, PLTU Bolok berkapasitas 2 x 6,5 Mega watt tersebut bersengketa dengan PT Timor Osuky Mutiara (TOM), perusahaan pembudidaya budidaya mutiara. Sengketa terjadi karena PT TOM tidak ingin tongkang-tongkang batubara  PLTU merusak budidaya mutiara  terutama dampak limbah pembuangannya. Akan tetapi, PT TOM juga telah melanggar ijin usaha budidaya mutiara, karena telah melebihi batas dari titik kordinat seluas 200 meter.

Dari pemantauan Mongabay di lapangan, jarak PLTU Bolok dengan pertanian rumput laut milik Obet Leo hanya berkisar 100 hingga 300 meter. Kepulan asap dari cerobong PLTU juga cukup tebal.

Terkait kerusakan rumput laut di sepanjang Kupang Barat, Melky Nahar dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) NTT mengatakan, pemerintah daerah harus melakukan riset. untuk memastikan faktor penyebab kerusakannya.

Kawasan Bolok, Kupang Barat sesuai tata ruang NTT merupakan kawasan industri. Namun demikian, yang perlu diperhatikan pemda adalah jangan menghadirkan suatu industri yang tidak mendukung keberlangsungan pertumbuhan rumput laut di wilayah itu.

“Menghadirkan industri dengan menghancurkan industri yang sudah ada dan terbukti menghidupi masyarakat adalah hal fatal dan merugikan masyarakat petani rumput laut,” kata Melky.

Belum lagi, dalam catatan Walhi NTT, rencana pembangunan smelter (pemurnian) dari PT Kuoang resources yang mendapatkan dukungan pemerintah provinsi NTT. Kehadiran perusahaan ini juga menjadi ancaman pehidupan para petani rumput laut dan nelayan sepanjang pesisir Bolok, Kecamatan Kupang Barat. Terutama ancaman dari pencemaran limbah.

Mama Aleta Baun, anggota DPRD Provinsi Nusa Tenggara Timur, Fraksi PKB kepada Mongabay mengatakan baru mendengar keluhan warga bahwa ada kerusakan pertanian rumput laut di Kupang Barat. Dia berjanji akan berkirim surat kepada Bupati Kupang dan dinas terkait untuk turun ke lapangan melakukan penanganan.

“Jika memang karena limbah pembuangan PLTU maka harus segera dilakukan penanganan khusus dan memanggil pihak terkait,” kata Aleta Baun.

Botol-botol plastik mengapung di permukaan laut, merupakan tanda adanya pertanian rumput laut di bawahnya. Foto : Tommy Apriando

Botol-botol plastik mengapung di permukaan laut, merupakan tanda adanya pertanian rumput laut di bawahnya. Foto : Tommy Apriando

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan NTT, Abraham Maulana kepada Mongabay mengatakan, sudah mendengar adanya keluhan petani rumput laut di pesisir Kupang Barat. Pihaknya sudah mempersiapkan tim untuk turun ke lapangan dan mengecek penyebab rusaknya pertanian rumput laut warga.

“Kami akan cek apa penyebabnya. Apakah limbah baik dari PLTU Bolok atau limbah lainnya, nanti akan kami cek laboratorium sampel air laut dan rumput lautnya,” kata Abraham.

Hasil tidak bisa diperoleh dalam waktu dekat, terutama hasil temuan laboratorium. Tetapi dia akan berkordinasi dengan dinas terkait untuk secepatnya melakukan penanganan rusaknya rumput laut warga tersebut.

 

 


Diduga Tercemar Limbah PLTU, Petani Rumput Laut di Kupang Barat Merugi was first posted on December 8, 2014 at 3:45 am.

Belajar Kearifan Lokal dari Kampung Bu Susi: Bertambak Udang Sembari Menjaga Lingkungan

$
0
0
Penyu yang ditetaskan dan dibesarkan sebagai upaya konservasi penyu di Pangandaran. Foto: Taufik Wijaya

Penyu yang ditetaskan dan dibesarkan sebagai upaya konservasi penyu di Pangandaran. Foto: Taufik Wijaya

Berdasarkan catatan sejarah, hubungan masyarakat Sumatera Selatan dengan Jawa Barat sudah terbangun sejak puluhan abad lalu. Hubungan ini ditandai dengan pernikahan Sobakancana, putri kedua Suryawarman, penguasa terakhir Kerajaan Tarumanegara, dengan Dapunta Gyang Sri Janayasa, yang mendirikan Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 Masehi.

Pada abad pertengahan, hubungan ini ditandai kehadiran keturunan Kerajaan Demak yang berasal dari Cirebon. Mereka ini menjadi bagian dari pendirian Kerajaan Palembang dan Kesultanan Palembang Darussalam.

Hubungan ini yang menyebabkan tradisi kesenian, kuliner, pertanian dan perikanan kedua wilayah tersebut terus terhubung hingga saat ini. Begitu pula ketika pertambakan udang melanda Jawa Barat, pertambakan udang ini pun berkembang di wilayah Sumatera Selatan, khususnya di pesisir timur.

Meskipun perkembangan informasi dan teknologi lebih maju dari masa lalu, ternyata transformasi pertanian dan perikanan dari wilayah Jawa Barat ke pesisir timur Sumsel berjalan lamban. “Mereka hanya menangkap usahanya, tidak dibarengi dengan transformasi pengetahuan dan teknologinya,” kata Najib Asmani, dari REDD+ Sumatera Selatan, bersama tim dari pemerintahan Sumatera Selatan dan Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), saat studi banding ke Pangandaran, Jawa Barat, 3-6 Desember 2014.

“Kunjungan ini sebagai upaya mempercepat proses tranformasi pengetahuan dan teknologi yang berkembang di masyarakat petani dan nelayan di Jawa Barat ke Sumatera Selatan,” ujarnya.

Mengapa Pangandaran? Dijelaskan Najib, ada beberapa alasannya dipilihnya Pangandaran. Pertama, kampung Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, itu sukses dalam pengembangan pertambakan udang, dan pengolahan hasil laut lainnya. “Tidak heran kesuksesan tersebut melahirkan tokoh nasional seperti Ibu Susi,” katanya.

Kedua, ternyata pengaruh pertambakan udang windu di wilayah pesisir timur Sumatera Selatan karena adanya aktivitas pertambakan udang windu di Pangandaran. “Bahkan bibit udang yang dibeli petambak udang pesisir timur dari Lampung, sebetulnya berasal dari Pangandaran,” ujarnya.

Ketiga, tata kelola lingkungan pesisir juga lebih baik dibandingkan di wilayah pesisir timur. Misalnya sukses melakukan konservasi penyu, dan merehabilitasi pantai dan lahan gambut.

Di sisi lain, pertanian, khususnya sawah, juga dapat dipelajari dari wilayah yang tidak jauh dari pantai, seperti di Ciamis. Persawahan yang dipelajari terkait sawah ramah lingkungan, yakni sawah organik. “Sawah organik sangat cocok di wilayah pesisir timur Sumatera Selatan, karena di sana juga terdapat kerbau dan sapi, yang kotorannya dapat dijadikan pupuk. Juga, hasil dari sawah organik ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sawah menggunakan pupuk buatan atau sistem bakar (sonor) yang biasa dilakukan masyarakat di pesisir timur,” ujarnya.

Lahan gambut di Parigi, Pangandaran, Jawa Barat, yang direhabilitasi dengan penanaman mangrove dan nyamplung. Foto: Taufik Wijaya

Lahan gambut di Parigi, Pangandaran, Jawa Barat, yang direhabilitasi dengan penanaman mangrove dan nyamplung. Foto: Taufik Wijaya

Tambak udang

Terkait pembenuran dan pembesaran udang windu, Najib dan rombongan melakukan kunjungan ke kelompok petambak udang di Desa Cibenda, Kecamatan Parigi, Kabupaten Pangandaran.

Para petambak di lokasi tersebut tidak membutuhkan lahan yang luas seperti petambak udang windu di pesisir timur Kabupaten OKI, Sumatera Selatan, seperti di Tulung Selapan, Cengal, Mesuji, maupun Air Sugihan. “Kalau di OKI satu tambak luasnya rata-rata satu hektar. Di sini cukup 100 meter persegi,” kata Najib.

“Akibat membutuhkan lahan yang luas, akibatnya banyak lahan gambut yang dibuka masyarakat untuk tambak udang. Lahan gambut pun menjadi rusak,” katanya.

Tambak udang milik masyarakat di Pangandaran tidak lagi tradisional seperti di pesisir timur Sumatera Selatan, sudah semi modern dan modern. Sehingga hasilnya lebih banyak. Misalnya, satu hektar tambak udang tradisional di Tulung Selapan hanya menghasilkan 300 kilogram per tahun, maka di Pangandaran hasilnya dapat mencapai 1,5 ton.

Bahkan, ada tambak yang menggunakan plastik atau tidak menggali tanah. Tambak menggunakan plastik lebih memudahkan petambak melakukan pembersihan dan menghindari hama.

Pembenuran udang windu di Desa Cibenda juga sangat sederhana. Mereka menggunakan bak yang ditutupi dengan atap nipah, berdinding gedek dan plastik. “Ini artinya dapat dilakukan masyarakat petambak secara mandiri di mana pun tempat,” kata Najib.

Hanya, guna memoderenkan para petambak tradisional di pesisir timur Kabupaten OKI, sedikit terhambat karena minimnya penyediaan energi listrik. Energi listrik digunakan untuk penyedotan air yang disalurkan ke kolam. “Soal ilmu mengenai pembenuran udang windu dan teknik pertambakan di pesisir timur, mungkin dapat disalurkan dari sejumlah petambak di sini. Tapi persoalan yang terpenting adalah listrik. Jadi harus ada sumber listrik yang di wilayah pesisir guna mengembangkan pertambakan udang menjadi modern,” kata Najib.

Nyamplung dan konservasi penyu

Salah satu ancaman dari pertambakan udang yakni kerusakan lahan gambut dan pantai, serta terancamnya sejumlah biota laut, seperti penyu. Pangandaran pernah merasakan hal tersebut. Pantai dan lahan gambut mereka rusak akibat pertambakan tradisional. Termasuk pula penyu yang terancam akibat telurnya yang diburu masyarakat.

Guna merehabilitasi lahan gambut dan pantai, sepanjang pantai Pangandaran ditanami mangrove dan pohon nyamplung. Misalnya yang dilakukan di Desa Babakan. Lahan seluas delapan hektar, ditanami nyamplung bersama tanaman lainnya seperti kelapa.

Tanaman yang buahnya dapat dijadikan bahan bakar solar, dan limbahnya dapat dijadikan sabun cuci ini, ternyata tumbuh cukup baik di pantai Pandaran yang minim dengan unsur hara.

“Saya pikir kalau nyamplung ditanam di wilayah pesisir timur Sumsel, akan tumbuh lebih baik dibandingkan di sini. Sebab di sana unsur hara lahannya masih bagus,” kata Iwa, penanggungjawab rehabilitasi pantai di Desa Babakan.

Lahan gambut dan pantai di Desa Babakan, Pangandaran, yang ditanami mangrove dan nyamplung. Foto: Taufik Wijaya

Lahan gambut dan pantai di Desa Babakan, Pangandaran, yang ditanami mangrove dan nyamplung. Foto: Taufik Wijaya

Junaidi, dari Dinas Kehutanan Kabupaten OKI, membenarkan rencana pemerintah Kabupaten OKI merehabilitasi lahan gambut yang berada di pesisir timur dengan penanaman pohon nyamplung.

“Salah satu langkah mencegah kebakaran hutan dan memperbaiki lahan kritis, yakni melakukan penanaman pohon yang memiliki potensi ekonomi yang baik bagi masyarakat, tanpa harus melakukan penebangan tanaman tersebut. Nyamplung menurut saya sangat benar untuk merehabilitasi lahan kritis di wilayah pesisir OKI. Selain dapat mengembalikan lahan menjadi hijau, juga memberikan pendapatan bagi masyarakat tanpa merusak lingkungan,” ujarnya.

Dikatakan Junaidi, saat ini sekitar 21.000 hektar lahan kritis yang ada di pesisir timur Kabupaten OKI. Lahan kritis ini sebagai akibat pembalakan, kebakaran hutan, serta pertambakan udang tradisional.

Pangandaran juga melakukan konservasi penyu. Sebab, keberadaan penyu di wilayah tersebut menjadi buruan para nelayan dan masyarakat. Konservasi penyu ini seperti dilakukan Kelompok Penangkaran Biota Laut Batu Hiu di Desa Ciliang, Kecamatan Parigi. Di tempat ini, telur-telur penyu yang didapatkan di pantai, ditetaskan dan dibesarkan. “Jika sudah berusia lima tahun, penyu-penyu ini dilepaskan kembali ke laut,” kata Jajat Sudrajat, seorang penggiat lingkungan hidup di Pangandaran.

Wilayah pesisir timur Kabupaten OKI, tepatnya di Pulau Maspari, merupakan tempat penyu sisik bertelur dan menetas. Sejumlah pihak mengkhawatirkan penyu ini akan musnah dengan meningkatnya aktivitas pertambakan maupun kegiatan ekonomi lainnya.

“Saya kira di sana dapat dilakukan konservasi penyu sisik. Konservasi ini dapat dilakukan secara sederhana. Yang terpenting, lokasi tempat penyu sisik bertelur harus terjaga dari cahaya dan suara. Sebab penyu sangat sensitif dengan cahaya dan suara, jika mereka ingin bertelur. Selama wilayah tersebut terjaga, penyu sisik dapat dijaga keberadaannya,” kata Jajat.


Belajar Kearifan Lokal dari Kampung Bu Susi: Bertambak Udang Sembari Menjaga Lingkungan was first posted on December 8, 2014 at 4:13 am.

Apakah Penangkaran Cara Terakhir untuk Selamatkan Badak Sumatera dari Kepunahan?

$
0
0

 

Badak sumatera di tempat penangkaran sedang diberi makan. Photo Courtesy: Alain Compost

 

Saat ini, tidak lebih dari 75 badak Sumatera yang tersisa di alam liar. Akankah badak sumatera hanya tinggal kenangan?

 

Tak banyak pilihan untuk menyelamatkan badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), salah satu mamalia besar di Indonesia dari kepunahan.  Dalam 30 tahun terakhir, populasi badak bercula dua terkecil di dunia telah menurun dari kira-kira 800 individu menjadi tidak lebih dari 75 saja yang tersisa di alam liarnya saat ini yaitu hutan-hutan Sumatera dan Kalimantan.

Meskipun pernah diadakan pertemuan untuk membahas strategi penyelamatan satwa liar ini pada tahun 1984, 1993 dan yang terbaru 2013, namun berbagai program telah gagal untuk meningkatkan jumlah populasi secara signifikan. Untuk itu diperlukan suatu strategi yang lebih agresif untuk menghindarkan badak sumatera dari kepunahan.

Dalam artikel terbarunya “Inikah Kesempatan Terakhir untuk Badak Sumatera?” Fransesco Nardelli, seorang naturalis berkebangsaan Italia yang merupakan pendiri Rhino Project Sumatra, menyerukan diperlukan suatu rencana aksi untuk melakukan pembiakan untuk penyelamatan populasi badak yang terus menurun ini. Menurutnya, hanya suatu proyek pembiakan intensif di kawasan konservasi yang terus-menerus dipantau, adalah harapan terakhir dari eksistensi spesies ini.

Meskipun Nardelli mengakui metode in-situ (di dalam habitat asli) adalah cara terbaik untuk melestarikan keanekaragaman hayati, namun metode penangkaran ex-situ (di luar habitat asli) adalah satu-satunya cara badak sumatera akan mampu berkembang biak secara memadai. Nardelli pun merekomendasikan agar badak-badak yang terisolasi di habitat yang terpisah dikumpulkan bersama-sama untuk kemudian ditangkarkan.

 

Badak sumatera dalam proses translokasi ke kawasan ex-situ yang lebih aman. Photo courtesy: Alain Compost

 

Populasi Badak Sumatera turun secara tajam karena perburuan dan perusakan habitat aslinya. Tingkat kepadatan badak sumatera yang sangat rendah saat ini juga berarti bahwa badak jantan dan betina jarang bertemu, apalagi berkembang biak. Situasi ini telah menyebabkan “tidak ada pengembangan diinduksi ovulasi, tumor pada saluran reproduksi betina, dan aktivitas sperma yang rendah pada badak jantan,” jelas Nardelli kepada mongabay.com. Hanya melalui strategi ex-situ harapan meningkatkan reproduksi badak dapat dilakukan, lanjut Nardelli.

Saat ini, hanya sembilan badak yang ada dalam program penangkaran ex-situ, lima di Sumatera, Indonesia; tiga di negara bagian Sabah, Malaysia; dan seekor lagi di kebun binatang Cincinnati, AS.

Dalam kawasan ex-situ-nya, badak-badak tersebut ditempatkan pada kawasan yang “besar, alami dan berpagar” dan “terus dipantau secara hati-hati.” Dalam 13 tahun terakhir, empat badak telah berhasil dilahirkan di penangkaran, tapi tiga dari mereka semua lahir dari pasangan yang sama.

Nardelli berargumen bahwa tentu saja kondisi ex-situ merupakan pilihan terakhir bagi spesies yang terancam punah selalu dianggap tidak ideal untuk memindahkan mereka dari habitat alaminya. Namun, badak sumatera sudah sangat dekat dengan kepunahan sehingga campur tangan manusia sangat diperlukan. Dengan pemantauan intensif di tempat penangkaran, memungkinkan para ahli konservasi untuk menghindarkan kesalahan yang pernah dibuat di masa lalu.

“Penangkaran badak Sumatera adalah sebuah kerja jangka panjang, sehingga waktu yang tersisa harus dimaksimalkan,” jelas Nardelli. Dia berpendapat bahwa kita perlu bergerak secepat mungkin untuk memastikan badak sumatera tidak punah.

 

Badak sumatera di dalam lubang, siap untuk ditranslokasikan. Photo courtesy: Alain Compost

 

Namun agar rencana ini bisa berjalan, pihak yang memiliki otoritas harus menyetujui program konservasi ex-situ yang intensif ini. Namun, seperti Nardelli jelaskan, ini adalah masalah yang sangat sensitif di Indonesia. “Pemerintah Indonesia seolah enggan membuat langkah baru aksi spesies yang terancam punah ini, dialog harus dimulai agar terdapat saling kepercayaan.”

Nardelli menegaskan pandangannya tidak mewakili institusi IUCN atau Save the Rhino International. Para ahli konservasi harus menggunakan program kolaboratif dan pelestarian metode ex-situ yang solid untuk menjaga badak Sumatera dari kepunahan total.

“Hanya dengan menghentikan perusakan habitat, dan mencegah perburuan badak Sumatera akan terhindar dari kepunahan. Apakah pilihan tersebut masih mungkin? Sayangnya tidak.” Mungkin hal ini bisa menjadi perdebatan. Satu hal yang pasti bahwa badak sumatera harus diselamatkan dari kepunahan sekarang atau terlambat sama sekali.

 

Referensi:

Nardelli, Francesco. “The Last Chance for the Sumatran Rhinoceros?” Pachyderm 55 (2014): 43-53.

 


Apakah Penangkaran Cara Terakhir untuk Selamatkan Badak Sumatera dari Kepunahan? was first posted on December 8, 2014 at 6:23 am.

Raichul Amar, Sosok Ulama Peduli Lingkungan Dari Bukittinggi

$
0
0

Ketika para sarjana agama telah banyak menjadi penyambung lidah nabi dalam menyiarkan agama, ulama yang satu ini lebih memilih menyiarkan agama melalui kegiatan-kegiatannya dibidang lingkungan. Bagi dia masalah lingkungan sangat dekat kaitannya dengan moralitas. Maka berdakwah dalam menyeru manusia untuk peduli lingkungan merupakan hal yang langka dilakukan oleh para ulama lainnya.

Dialah Drs. Raichul Amar, MPd (66), seorang pendakwah dan dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Imam Bonjol Padang, Sumatera Barat.  Ulama lingkungan peraih penghargaan Kalpataru 2000. Pria kelahiran Bukittinggi, 10 November 1945 ini, sejak kecil telah akrap dengan alam. Sebagai anak kampung, masih jelas diingatannya tentang hamparan sawah-sawah, ladang-ladang serta hijaunya perbukitan disekeliling desanya. Saking akrabnya dengan alam, diah hafal nama hampir seluruh bukit yang berada di Bukittinggi.

Ulama Lingkungan Raichul Amar memperlihatkan lobang biopori yang dibuat di depan rumahnya di Lubuk Lintah, Kota Padang, Sumatera Barat. Foto: Riko Coubut

Ulama Lingkungan Raichul Amar memperlihatkan lobang biopori yang dibuat di depan rumahnya di Lubuk Lintah, Kota Padang, Sumatera Barat. Foto: Riko Coubut

Seiring dengan berkembangnya zaman, hamparan sawah, lahan-lahan hijau tersebut disulap menjadi bangunan-bangunan permanen. Bahkan Jam Gadang, jam tertinggi di kota Bukittinggi itu telah kalah tingginya dengan bangunan hotel dan bangunan bertingkat lainnya. Masih segar dalam ingatannya bahwa jam gadang yang dapat dipandang dari empat arah itu terlihat jelas dari kampungnya pada tahun 1955.

Suatu ketika dia pulang kampung ke Bukittinggi, ia melihat kegiatan penambangan pasir di Bukit Cimpago Ipuh untuk pembuatan batako. Ia terperangah melihat bukit-bukit digali, alam dirusak akibat oleh masyarakat setempat. Lantas ia mencoba mengabadikan kegiatan tersebut dengan kameranya.

Aksinya diketahui oleh para penambang pasir dan pembuat batako tersebut dan tidak senang dengan pemotretan yang dilakukannya. Mereka mengira seorang wartawan sedang melakukan liputan atas aktifitas penambangan yang tak berizin itu. Mereka berusaha merebut kameranya. Walau telah dijelaskan dia bukan wartawan, namun tetap saja mereka tidak percaya dan bersikeras meminta roll film dan kamera itu diserahkan. “Untung saja masyarakat lainnya datang melihat kerumunan kami dan akhirnya saya dapat lepas dari amukan penambang itu,” ungkap pria yang akrap disapa Pak Men itu saat diwawancarai Mongabay (29/11) dirumahnya. Dia memang aktif mendokumentasikan setiap peristiwa lingkungan melalui kamera foto berbaterai AAA itu.

Ia teringat satu peristiwa yang berkesan, yaitu setelah melaksanakan sholah Idul Fitri di halaman kantor gubernur Sumbar pada tahun 1984. Ia menyaksikan tumpukan sampah koran alas sajadah berserakan, yang tidak pungut kembali oleh jamaah. Padahal khatib berapi-api menyeru jamaah untuk menjaga kebersihan guna meningkatkan keimananan. Selanjutnya ia melihat seorang anak kecil berbaju koko, berdiri disamping tumpukan koran yang dikumpulkan ayahnya. Sepertinya koran itu akan mereka jual untuk tambahan uang lebaran.

Sejak tahun 1984, pria berkacamata ini telah mengabadikan kecintaannya terhadap lingkungan. Ia kerap menulis artikel, opini dan puisi-puisi lingkungan yang dimuat di berbagai media cetak, majalah dan jurnal ilmiah di Padang. Sebagian besar artikel yang ditulisnya berasal dari pengamatannya mengenai persoalan lingkungan yang ditemui di berbagai tempat.

Saat ini ia telah menghasilkan 100 buah lebih artikel dan 28 buah buku pembelajaran mengenai lingkungan, kumpulan puisi dan ceramah agama, 2000 buah foto lingkungan yang dicetak dalam ukuran 10R, serta lebih dari 20.000 buah foto dalam ukuran 3R.

Banyak cara untuk mencintai lingkungan

Berawal dari hobi memotret peristiwa lingkungan hingga menjadikannya sebagai seorang pendakwah lingkungan. Kegiatannya ini sangat relevan dan dipandang cocok dengan profesinya sebagai dosen di Fakultas Adab, IAIN Imam Bonjol, Padang.

Ia kerap menyelipkan kampanye lingkungan dengan menampilkan foto-foto lingkungan dalam proses belajar mengajar dan kepada pegawai serta rekan dosen pada kegiatan di kampusnya. Ia juga aktif dalam pameran foto lingkungan di berbagai tempat, baik di kampusnya, maupun di luar kota Padang.

Ia juga menyelipkan pesan-pesan lingkungan saat berkhutbah jumat, ceramah atau pengajian di berbagai tempat.

Bahkan saat resepsi pernikahan anak pertamanya, Ramel Yanuarta di tahun 2000, amplop undangan di desain berwana hijau daun, dihiasi oleh foto-foto kerusakan lingkungan yang diperolehnya dari berbagai tempat dan sebuah puisi sebagai bentuk kepedulian lingkungan.

Resepsi pernikahan itu dilangsungkan di gedung Aula IAIN Imam Bonjol, ruangan dihiasi oleh pajangan foto-foto lingkungan hidup berbagai ukuran. Umumnya berukuran 10R dan foto-foto tersebut merupakan foto yang sering dipajang dalam pameran foto lingkungan yang diikutinya.

Adapun cenderamata acara, sengaja disiapkan berupa tiga buah biji pohon mahoni dan berharap para undangan yang hadir untuk menanam di lingkungan masing-masing.

Biji pohon itu dibungkus dalam kertas yang berisikan pesan : Andaikata kita menanam biji pohon ini dan Allah berkenan menumbuhkannya, belum sebanding dengan jumlah pohon yang sudah kita tebang di negeri ini. Namun kepedulian kita terhadap lingkungan sudah saatnya dalam bentuk nyata, terima kasih.”

Beberapa hari setelah perhelatan itu, beberapa tamu undangan memberi kabar bahwa biji pohon yang diberikan tersebut sudah ditanam.

Menurutnya, masalah lingkungan merupakan tanggungjawab semua orang. Memelihara dan menjaga kelestarian lingkungan hidup merupakan seruan kepada kebaikan. Sedangkan mencegah terjadinya pencemaran, penebangan hutan,  pembakaran lahan, kerusakan lahan akibat penambangan merupakan larangan kepada kemungkaran. Kedua tugas ini wajib dilakukan oleh setiap muslim.

Kerusakan di hutan, rusaknya laut, tercemarnya sungai dan udara serta rusaknya lahan-lahan produktif, akibat ulah manusia. Inilah yang menjadi alasan yang kuat baginya untuk aktif berdakwah menyebarkan pengetahuan dan pemahaman tentang lingkungan hidup, upaya-upaya pelestarian yang mungkin dilakukan oleh masyarakat dan sikap kepedulian yang sungguh-sungguh.

Dia berharap ulama tidak hanya berbicara tentang keimanan, karena ulama yang berdakwah di bidang lingkungan, masih dapat dihitung dengan jari.

Meraih Kalpataru

Pada tahun 2000, dia diundang ke kantor Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedalda) Propinsi Sumbar, guna membicarakan segala sesuatu mengenai pencalonannya sebagai penerima penghargaan Kalpataru berdasarkan rekomendasi dari penjaring Kalpataru Sumbar.

Peraih Kalpataru Raichul Amar memeluk piala penghargaan Kalpataru yang diperolehnya pada tahun 2000. Foto: Riko Coubut

Peraih Kalpataru Raichul Amar memeluk piala penghargaan Kalpataru yang diperolehnya pada tahun 2000. Foto: Riko Coubut

Maka dikumpulkanlah 100 artikel mengenai lingkungan yang pernah terbit di berbagai media, 3.342 foto ukuran 3R dan 250 buah ukuran 10R, 2 buah buku berisi tulisan mengenai lingkungan, sebuah buku puisi dan foto lingkungan untuk dibawa diserahkan dalam pertemuan tersebut.

Setelah melakukan wawancara dan memeriksa kelengkapan seluruh dokumen kegiatan mengenai lingkungan, Bapedalda menetapkan Raichul sebagai calon peraih Kalpataru dari Sumbar.

Tim penilai dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) didampingi pegawai Bapedalda Sumbar datang mengunjungi rumahnya. Banyak pertanyaan yang dilontarkan seputar bahan-bahan yang telah dikirimkan sebelumnya. Tim KLH juga melakukan wawancara terkait dengan kegiatan lingkungan yang pernah dilakukan beserta dampaknya kepada masyarakat dan lingkungan itu sendiri.

Tim itu juga mendatangi kampus IAIN Imam Bonjol untuk mewawancarai pegawai, dosen dan mahasiswa mengenai aktifitas Raichul terhadap kegiatan lingkungan yang dilakoninya.

Akhirnya pada 2 Juni 2000, Bapedalda Sumbar memberikan kabar bahwa dia lulus dalam nominasi penerima penghargaan Kalpataru dan diundang datang ke Istana Negara di Jakarta.

Pada tanggal 5 juni 2000, dilaksanakan penyerahan penghargaan Kalpataru kepada 11 orang yang terbagi kedalam empat kategori, yaitu perintis lingkungan, pengabdi lingkungan, penyelamat lingkungan dan pembina lingkungan. Presiden Republik Indonesia, Megawati Soekarno Putri, langsung menyerahkan penghargaan tersebut kepada masing-masing penerima.

Sudah tiga penghargaan Kalpataru yang diraihnya, mulai dari penghargaan Kalpataru tingkat Kota Padang ditahun 1991 dalam kategori pengabdi lingkungan, penghargaan nominasi Kalpataru tingkat propinsi di tahun 2000 dalam kategori perintis lingkungan dan penghargaan Kalpataru tingkat nasional tahun 2000 dalam kategori pembina lingkungan.

Setelah meraih penghargaan Kalpataru, Raichul mendirikan rumah baca lingkungan. Di bagian depan rumahnya disusun berbagai buku-buku lingkungan, di dindingnya dipajang foto-foto lingkungan. Hampir 3000 buku menjadi koleksinya.

Layaknya pustaka, dia berharap rumah bacanya dapat menjadi referensi bagi setiap orang dalam pembelajaran permasalahan lingkungan. Semenjak rumah baca ini dibuka, warga setempat cukup antusias datang dan membaca. Mereka yang datang kebanyakan ibu-ibu rumah tangga, yang melihat-lihat koleksi fotonya dan sedikit yang membaca buku-buku lingkungan itu.

Namun berbeda bila yang datang anak-anak sekolah atau mahasiswanya. Mereka lebih banyak membaca dan berdiskusi mengenai lingkungan dan karya-karyanya.

Rumah bacanya hanya dibuka saat dia sudah pulang dari kegiatan mengajar di kampus, karena belum ada yang menjaganya. Namun saat dia sudah pensiun, rumah baca ini selalu terbuka dari pagi sampai sore.

Disisi lain, ia sedikit kecewa dengan pemerintah. Kalpataru hanya sebatas seremonial belaka, tidak ada tindak lanjut yang jelas mengenai kegiatan apa yang dapat disinergikan bersama pemerintah. “Pemerintah tidak pernah berkomunikasi dengan kami sebagai peraih penghargaan kalpataru di Sumatera Barat, apakah mereka masih hidup atau sudah meninggal, apakah mereka masih beraktifitas atau sudah menjadi pembalak liar dan lain-lain,” tegas Raichul.

Peraih Kalpataru adalah pahlawan lingkungan, seharusnya pemerintah meningkatkan pembinaan para peraih agar dapat memicu semangat kalpataru kepada masyarakat lainnya. Melakukan monitoring terhadap aktiftasnya, melibatkan dalam berbagai kegiatan dan acara-acara lingkungan serta jika perlu diberi dukungan biaya usaha.


Raichul Amar, Sosok Ulama Peduli Lingkungan Dari Bukittinggi was first posted on December 8, 2014 at 3:16 pm.

Investor Yakinkan Reklamasi Benoa Tak Rusak Lingkungan. Benarkah?

$
0
0
Aksi yang dikoordinatori ForBALI pada  Jumat (28/11/14). Ribuan massa longmarch ke kantor DPRD Bali minta parlemen membuat pansus tentang rencana reklamasi karena ditenggarai ada sejuamlah penyimpangan. Foto: Luh De Suryani

Aksi yang dikoordinatori ForBALI pada Jumat (28/11/14). Ribuan massa longmarch ke kantor DPRD Bali minta parlemen membuat pansus tentang rencana reklamasi karena ditenggarai ada sejuamlah penyimpangan. Foto: Luh De Suryani

Pada Senin (8/12/14) ini ada seminar bertajuk “Pro Kontra Revitalisasi Teluk Benoa,” di Denpasar, Bali. Namun, hanya judul bahas pro kontra,  sedang  pembicara, semua pendukung reklamasi. Tak ada perwakilan yang kontra, seperti, dari Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa (ForBALI). Kursi-kursi berpita warna keemasan di ballroom Hotel Inna Jl Veteran, penuh.

Investor dan ahli pendukung reklamasi hampir 700 hektar hadir. Investor dari PT. Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) berbicara guna meyakinkan reklamasi menguntungkan Bali dan alam sekitar.

Heru Budi Wasesa, Direktur TWBI dengan nada gusar mengumbar pernyataan. “Secara fisik kami tak merugikan, saya komitmen punya janji ke masyarakat. Jika diizinkan dan melakukan perusakan lingkungan, marjinalkan warga, saya orang pertama kali menggantung TWBI dan gantung diri di Pulau Pudut,” katanya.

Dia membantah sejumlah tuduhan. “Ada tuduhan warga tak boleh masuk, jadi kawasan eksklusif. Ndak mungkin, kami bangun kanal biar nelayan masuk 24 jam. Tidak mungkin kami eksklusif.” Lalu, penolakan warga dengan alasan persaingan usaha, juga tak benar. TWBI, tak akan membuat bisnis watersport seperti yang ada di Tanjung Benoa, tetangga Teluk Benoa.

Dia juga kesal sinisme pada sang bos. “Emang kenapa pak Tommy Winata, apa salahnya? Apa yang sudah kami lakukan di Bali? Kami punya hotel sudah balik modal. Kalau tiap keuntungan tak boleh dibawa ke Jakarta harus diaplikasikan ke warga. Saat bom Bali kami membangun Discovery Mall.”

Marvin Lieano, komisaris TWBI mempresentasikan rencana pembangunan di Teluk Benoa memperlihatkan belasan model yang diklaim setara bintang lima dan enam, antara lain, pusat perdagangan produk Bali dan nasional ke seluruh dunia, pusat konvensi dan selebrasi dunia. “Kalau memakan usaha lain, apa yang dimakan? Konsep waterfront yang kita jual, yang kita jual bukan pantai tapi air, mangrove,” katanya.

Sumber: presentasi perusahaan

Sumber: presentasi perusahaan

Dia  menambahkan, akan dibangun sekolah, universitas dan rumah sakit bertaraf internasional. “Saat APEC semua bawa tim medis, orang internasional tak percaya dengan kualitas kita.” Dia juga menyebut kawasan mewah di Teluk Benoa berbeda dengan kebanyakan resor mewah tetapi di belakang kumuh.

Menurut Marvin, tak mungkin buang-buang uang triliunan dalam reklamasi ini. “Kita tak buang Rp30 triliun ke laut nanti semua digantung Tommy Winata.” Proyek ini, untuk 50 tahun ke depan. Pajak daerah bisa didapat Bali disebut-sebut besar seperti PPN dari Rp30 triliun sekitar Rp3 triliun, pajak hotel dan restoran, dan lain-lain.

Di awal seminar, tiga akademisi mempresentasikan dan meyakini revitalisasi berbasis reklamasi menguntungkan dan tidak merusak lingkungan. Dimulai dari Prof. Dietriech Geoffery Bengen, bidang pengelolaan pesisir dan guru besar di Institut Pertanian Bogor (IPB) yang menjadi tim ahli TWBI. Presentasi sama dengan penjelasan-penjelasan tentang perlindungan bakau dan biota laut di teluk.

Di sekitar Benoa ada 1.373 hektar kawasan mangrove dengan dominan Sonneratia alba atau prapat yang kondisi harus mendapat air laut. Eustaria kaya karena dapat air laut dan darat. Biota juga kaya ada benthos, plankton, tumbuhan laut.

Abrasi dan erosi Pudut di dalam area teluk makin keras. Keluar masuk perahu nelayan makin sulit karena pendangkalan yang makin besar. “Air laut makin susah ke mangrove, perlu flushing atau limpasan. Salinitasnya makin jauh ke mangrove karena makin dangkal.”

Revitalisasi dengan membuat pulau penyangga dia klaim sebagai mitigasi kalau ada arus kencang atau evakuasi. “Paling optimal 700 hektar, harus ada ruang terbuka hijau 40%,” kata Bengen. Kalau reklamasi bisa jalan, banyak kenikmatan seperti nelayan jadi guide wisata mancing.

Prof. Herman Wahyudi dari bidang geoteknik Institut Teknologi Surabaya menuding masyarakat baru mendengar revitalisasi berbasis reklamasi sudah alergi. “Dulu memang sebelum Perpres lahir reklamasi keliru, asal nimbun. Pasi lari ke mana-mana rusak lingkungan.”

Dia mengaku sudah memperhitungkan teknis dan dampak timbunan. Untuk itu reklamasi disusun berbentuk pulau-pulau kecil. Herman mengklaim tak ada potensi banjir, erosi, dan sedimentasi.

“Direncanakan dengan timbunan pulau dan bangunan yang cukup tinggi beserta fasilitas penunjangnya sebagai area tempat pelarian masyarakat menghindar dari gelombang tsunami. Karena memang masuk zona rentan tsuami.”

Stabilitas pada keruntuhan juga disebut sudah diperhitungkan. Kalaupun ada peristiwa longsor akibat material timbunan,tidak mengenai tiang eksisting jalan tol dan area hutan bakau.

Lalu ada Dedi Tjahjadi Abdullah bidang sumber daya air ITB dari teknik sipil. Limpasan air dari sejumlah daerah aliran sungai di teluk diklaim tak mungkin membuat rob atau banjir kawasan sekitar. Kenaikan air juga menurutnya sangat rendah sekitar 14 sentimeter menurut hitung-hitungannya. “Kalau ada pulau-pulau (hasil reklamasi) pasti ada yang bersihkan sedimennya.”

Kawasan ini,  masuk area rentan tsunami tetapi  akan terlimpasi karena tinggi gelombang sekitar empat meter sementara timbunan reklamasi lebih tinggi dari itu.

Balai Pemberdayaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Denpasar Ikram M. Sangaji mengaku murid Bengen juga menjadi pembicara dan menyatakan belum ada satu kesepahaman konservasi kawasan.

“Sumberdaya harus punya nilai ekonomi. Amed dan Tulamben tak ada penetapan status (zonasi) tapi banyak perputaran uang. Lingkungan harus dikelola agar memberi nilai tambah.”

Dia mendorong tiap perencanaan wilayah mengacu ekonomi berkelanjutan tanpa abaikan ekologis dan sosial. Setelah reklamasi, dia berharap penghasilan warga lebih besar.

Sumber: presentasi perusahaan

Sumber: presentasi perusahaan

Dampak buruk reklamasi

Berbeda dengan ungkapan  I Ketut Sarjana Putra, Vice President Conservation International (CI). Lembaga ini membuat studi awal mengenai dampak reklamasi di Teluk Benoa. Riset ini dirilis tahun lalu menarik perhatian banyak pihak karena membuat modelling. “Kami ingin melanjutkan study ini karena belum sempurna untuk mengetahui dampak proyek dan bagaimana harus mengantisipasi,” katanya yang bekerja di bidang lingkungan lebih 30 tahun ini.

Studi ini, katanya, sebagai bagian mewujudkan pembangunan Bali lebih sustainable dan komprehensif. “Studi ini pengetahuan yang harus kita bagi. Kita tak ingin dampak buruk reklamasi Serangan tak terjadi dan tidak tahu solusi.”

Jika terjadi hujan, ada DAS yang air mengalir ke teluk. Sekitar 7,9 juta kubik meter mengalir ke sini, hingga risiko rob sangat besar. Air diperkirakan naik empat meter di dalam teluk jika reklamasi 80%. Modelling yang dibuat CI Indonesia ketika itu reklamasi 80% teluk karena dalam surat izin pemanfaatan yang dikeluarkan Gubernur Bali untuk TWBI, tertulis lebih 800 heltar.

Dia menyebut, ada dua spot diving hilang di Sanur karena reklamasi Serangan. “Padahal dulu orang tak perlu pakai speedboat untuk ke spot diving, hingga mahasiswa mudah bisa akses tanpa biaya mahal.
Sebaran terumbu karang di pesisir selatan sampai timur termasuk Sanur, Nusa Dua, Benoa, sampai Teluk Benoa harus dilindungi.

“Sebagai pulau kecil harus hati-hati mengelola Bali. Harus membangun kawasan konservasi perairan.”  Menurut dia, banyak spesies belum ditemukan, misal Euphyllia baliensis yang baru-baru ditemukan.

Dari sisi ekologi, teluk itu sebuah sistem tak stabil dan selalu mencari bentuk atau titik seimbang.

Aksi berlanjut

Warga penolak reklamasi juga terus aksi. Terakhir, Jumat (28/11/14), dikoordinir ForBALI, ribuan massa longmarch ke kantor DPRD Bali minta parlemen membuat pansus tentang rencana reklamasi karena ditenggarai ada sejuamlah penyimpangan. Mulai proses pemberian izin dan rekomendasi sampai perpres yang merevisi kawasan konservasi di Teluk Benoa oleh mantan Presiden SBY. “Penolak reklamasi seperti yatim piatu karena gubernur dan DPRD tak peduli,” kata I Wayan Suardana, Koordinator ForBALI.

Aksi lanjutan penolak rencana reklamasi Teluk Benoa. Mereka sudah melihat contoh gagal reklamasi di Pulau Serangan, tetangga Teluk Benoa. Namun, pro reklamasi bergerak. Berbagai spanduk sampai seminar diadakan. Mereka mempopulerkan istilah revitalisasi Teluk Benoa atau revitalisasi berbasis reklamasi, begitu salah satu ahli dari mereka menyebutnya. Foto: Luh De Suryani

Aksi lanjutan penolak rencana reklamasi Teluk Benoa. Mereka sudah melihat contoh gagal reklamasi di Pulau Serangan, tetangga Teluk Benoa. Namun, pro reklamasi bergerak. Berbagai spanduk sampai seminar diadakan. Mereka mempopulerkan istilah revitalisasi Teluk Benoa atau revitalisasi berbasis reklamasi, begitu salah satu ahli dari mereka menyebutnya. Foto: Luh De Suryani


Investor Yakinkan Reklamasi Benoa Tak Rusak Lingkungan. Benarkah? was first posted on December 8, 2014 at 11:22 pm.

Ekonomi Hijau, Obat Mujarab untuk Jantung Borneo

$
0
0

 

Beginilah kondisi habitat orangutan di Desa Melemba, Kecamatan Batang Lupar, Kabupaten Kapuas Hulu. Foto: Dok. WWF-Indonesia

Beginilah kondisi habitat orangutan di Desa Melemba, Kecamatan Batang Lupar, Kabupaten Kapuas Hulu. Foto: Dok. WWF-Indonesia

Tiga negara anggota Heart of Borneo (HoB) bertemu di Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Pertemuan Trilateral HoB ke-8 yang berlangsung sejak 3 – 5 Desember 2014 ini diikuti delegasi Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Ketiganya sepakat mengikat komitmen menerapkan ekonomi hijau untuk konservasi dan pembangunan berkelanjutan.

Pertemuan tersebut membahas kemajuan dan langkah-langkah pelaksanaan Deklarasi HoB ke depan. Ini dimaksudkan agar pembangunan hijau dan berkelanjutan di kawasan jantung Borneo dapat tercapai.

Gubernur Kalimantan Tengah, Agustin Teras Narang, mengapresiasi pertemuan itu sebagai upaya menciptakan kemajuan di tataran implementasi nyata. “Jangan hanya sekadar konsep dan proposal. Saya sangat menantikan hasil pertemuan ini tepat sasaran dalam wujud kegiatan yang terukur dampaknya ketika terlaksana,” katanya di Palangka Raya, Rabu (3/12/2014).

Sementara Asisten Deputi Kehutanan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, yang juga Ketua Kelompok Kerja Nasional (Pokjanas) HoB Indonesia, Prabianto Mukti Wibowo menekankan pentingnya HoB mengambil langkah tegas. “Semua pihak terkait harus mencurahkan waktu dan energinya untuk melaksanakan kebijakan dan kegiatan yang bisa melahirkan perubahan nyata dalam rangka menghijaukan masa depan pulau kaya keanekaragaman hayati ini,” jelasnya.

Ada dua proposal yang dibahas dalam agenda pertemuan trilateral itu. Muaranya untuk pengembangan ekowisata dan destinasi pariwisata di HoB. Selain itu, pertemuan juga membahas implementasi koridor HoB. Termasuk membangun hubungan erat hutan-hutan bernilai tinggi di Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam.

Selain merencanakan pembangunan HoB ke depan, delegasi pemerintah HoB juga mempelajari pelaksanaan pembangunan di wilayah HoB selama ini. Ketiga negara HoB menyajikan laporan mengenai perkembangan dan kemajuan pelaksanaan rencana aksi HoB yang mengacu pada Deklarasi HoB yang ditandatangani pada 2007.

Leader Program Borneo WWF, Thomas Maddox, menekankan perlunya tindakan nyata bagi pemerintah, sektor swasta, masyarakat, dan kelompok masyarakat sipil untuk dapat berinteraksi dan berpartisipasi dalam mendorong agenda ekonomi hijau. “Borneo menghadapi tekanan dari kebutuhan lahan untuk permukiman, pertanian, perkebunan, pertambangan, infrastruktur dan kehutanan,” jelasnya.

Tujuh Fungsi Penting HoB

HoB lahir pada 12 Februari 2007 atas inisiatif tiga negara yakni Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam untuk mengelola kawasan hutan tropis dataran tinggi di Borneo. Dasarnya pada prinsip konservasi dan pembangunan berkelanjutan. Inisiatif ini bertujuan mempertahankan dan memelihara keberlanjutan manfaat salah satu kawasan hutan hujan terbaik yang masih tersisa di Borneo. Luasnya mencapai 23 juta hektar yang secara ekologis saling berhubungan.

Tujuh fungsi penting kawasan HoB yang harus dijaga adalah sebagai tutupan kawasan hutan, wilayah yang memiliki keanekaragaman hayati yang melimpah, sebagai menara air, daerah yang memiliki kelerengan kawasan, wilayah penyimpan karbon, memiliki sosial-budaya serta daerah ekowisata. Salah satu fungsi penting kawasan adalah sebagai menara air, di mana 14 dari 20 sungai utama di Pulau Borneo berhulu di kawasan HoB di antaranya Sungai Barito, Sungai Mahakam, dan Sungai Kapuas.

Kawasan HoB juga merupakan rumah dan sumber penghidupan bagi masyarakat lokal yang sebagian besar Suku Dayak dengan beragam sosial dan budaya. Secara ekonomi, sosial, dan budaya, masyarakat lokal bergantung pada hutan untuk pemenuhan kebutuhan pangan, obat-obatan, sarana tempat tinggal, dan adat istiadat.

Peta rencana monitoring laju peluruhan sarang orangutan di Bukit Peninjau, Dusun Meliau, Desa Melemba, Kecamatan Batang Lupar, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalbar. Peta: WWF-Indonesia

Peta rencana monitoring laju peluruhan sarang orangutan di Bukit Peninjau, Dusun Meliau, Desa Melemba, Kecamatan Batang Lupar, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalbar. Peta: WWF-Indonesia

 

Semangat Tumbang Anoi

Pertemuan Trilateral ke-8 HoB di Palangka Raya itu tak sekadar mengevaluasi atau merencanakan serangkaian program aksi. Sejumlah tokoh adat dan masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan HoB juga menyampaikan pernyataan sikap pada 2 Desember 2014. Sikapnya dilandasi semangat Rapat Adat Perdamaian Tumbang Anoi l-894.

Melalui diskusi intensif dan perenungan mendalam tentang bagaimana masyarakat adat berperan aktif dalam pembangunan berkelanjutan di kawasan HoB, para tokoh adat dan masyarakat Dayak dari Pulau Kalimantan/Borneo yaitu lndonesia, Malaysia (Sabah dan Sarawak) itu menyampaikan Pernyataan Sikap Bersama kepada Pemerintah lndonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam.

Bahwa kami menghargai dan mendukung segala upaya yang dilakukan oleh Pemerintah lndonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan ekonomi hijau di kawasan HoB;

Bahwa kami mendorong agar ada perhatian dan pengakuan khusus dari pemerintah tiga negara Trilateral HoB terhadap keberadaan dan perlindungan wilayah adat, tanah adat, hutan adat, dan hukum adat;

Bahwa kami mendorong kepada pemerintah tiga negara Trilateral HoB untuk melibatkan secara aktif masyarakat adat dalam Kelompok Kerja HoB dan dalam forum-forum resmi HoB di negara masing-masing;

Bahwa kami mendorong agar ada rencana strategis HoB yang memuat secara rinci upaya-upaya peningkatan kesejahteraan dan pemberdayaan masyarakat adat;

Bahwa kami sepakat dan sepaham untuk membentuk jaringan kerja masyarakat adat dalam wilayah HoB sebagai mitra strategis pemerintah tiga negara Trilateral HoB dalam mendorong pembangunan ekonomi berkelanjutan di kawasan HoB.

Merawat Jantung Borneo

Koordinator Inisiatif HoB Program Kalbar, Adri Aliayub mengatakan sejumlah upaya telah dilakukan guna menjaga dan melindungi kawasan penting di HoB. “Di Kalbar, kita sudah menjalankan sejumlah program menuju green economy,” katanya di Pontianak, Senin (8/12/2014).

Adri menjelaskan, program tersebut di antaranya, Desa Hijau Mandiri di Desa Tanjung. Desa penyangga Kawasan Ekosistem Muller ini secara administratif berada di Kecamatan Mentebah, Kabupaten Kapuas Hulu. Mayoritas penduduknya adalah Suku Dayak Suyu’, dan tersebar di tiga dusun yaitu Dusun Roban, Gurung Langkung, dan Dusun Biang II. Mereka bermata pencarian sebagai petani karet.

Ada pula Indigenous Peoples’ and Community Conserved Territories and Areas (ICCAs). Program ini diluncurkan guna mendukung masyarakat dalam melindungi dan mengelola kawasan yang sangat penting dalam kehidupan mereka.

Selain itu, skema sertifikasi jasa lingkungan juga tak luput dilakukan di Desa Melemba, Kecamatan Batang Lupar, Kapuas Hulu, restorasi atau pemulihan hutan dan pembentukan kembali tutupan hutan di koridor Taman Nasional Betung Kerihun-Taman Nasional Danau Sentarum, pembentukan Forum DAS Labian – Leboyan, praktik terbaik perkebunan sawit swadaya, dan konservasi orangutan.

Adri berharap, apa yang direncanakan dalam Pertemuan Trilateral ke-8 HoB di Palangka Raya itu, dapat dijadikan sebagai acuan dalam menjalankan program pembangunan berkelanjutan di lansekap HoB.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio


Ekonomi Hijau, Obat Mujarab untuk Jantung Borneo was first posted on December 9, 2014 at 2:46 am.

Opini: Daerah Aliran Sungai di Bengkulu Rusak Akibat Pertambangan Terbuka

$
0
0

Salah satu pertambangan batubara terbuka di kabupaten Bengkulu Utara. Pertambangan terbuka mengancam daerah aliran sungai dan merusak area persawahan. Foto: Taufik Wijaya

Provinsi Bengkulu memiliki luas sekitar 1.987.870 hektar, tapi aktifitas pertambangan batubara cukup marak. Tercatat 68 izin pertambangan menguasai 208.467 hektar (10 persen dari total wilayah) dengan sebanyak 24 izin eksplorasi dan 36 izin eksploitasi. Meskipun sudah banyak diprotes, aktifitas pertambangan batubara terus berjalan hingga saat ini.

Pertambangan batubara ini tidak banyak memberikan dampak positif bagi sekitar 2 juta penduduk Bengkulu, secara khusus di wilayah perdesaan. Bahkan dampak aktifitas batubara ini telah merusak lingkungan hidup, secara khusus wilayah DAS (Daerah Aliran Sungai) dan memiskinkan masyarakat.

Sebenarnya sudah banyak anak sungai di Bengkulu yang dirusak atau ditutup akibat aktifitas pertambangan batubara. Contoh terbaru adalah yang menimpa 450 kepala keluarga di Desa Kota Niur, Kabupaten Bengkulu Tengah, Bengkulu. Perusahaan PT Citra Selaras Abadi, yang menutup salah satu anak Sungai Manggis kemudian mengakibatkan ratusan hektar sawah milik masyarakat rusak atau kehilangan pasokan air. Sungai Manggis sendiri bermuara ke Sungai Air Bengkulu, sungai terbesar di Bengkulu.

Pertanyaannya kemudian, mengapa perusahaan batubara melakukan hal tersebut?

Pertambangan batubara di Propinsi Bengkulu rata-rata dilakukan dengan cara pertambangan terbuka. Lokasi konsesi banyak berada pada wialayah Daerah Aliran Sungai (DAS), seperti DAS Ketahun, DAS Air Bengkulu, dan lainnya.

Akibatnya, saat ini rata-rata sungai besar di Bengkulu mengalami kerusakan total, baik itu dalam bentuk warna, rasa, dan bentang alamnya. Ini semua atas ketidakpatuhan perusahaan tambang dalam menjaga lingkungan.

Kondisi terparah saat ini adalah Sungai Air Ketahun dan Sungai Air Bengkulu. Pemerintah Bengkulu belum menindak tegas terhadap para perusak lingkungan khususnya penghancuran sumber air  masyarakat, seperti Sungai Air Bengkulu yang merupakan sumber utama bahan baku PDAM PT Tirta Dharma di Kota Bengkulu.

Sumber air PDAM berasal dari Sungai Air Bengkulu telah tercemar, yang merupakan akibat pencucian pertambangan batubara dan juga limbah pabrik karet. Hasil penelitian Walhi Bengkulu, di hulu Sungai Air Bengkulu terdapat enam perusahaan tambang batubara yaitu PT Inti Bara Perdana, PT Bukit Sunur, PT Fetro Rejang, PT Sirat Unggul Permai, PT Kusuma Raya Utama, PT Danau Mas Hitam, dan terdapat dua pabrik CPO yaitu PT Cahaya Sawit Lestari dan PT Palma Mas Sejahtera, serta dua  pabrik karet PT Batang Hari Bengkulu dan PT Bengkulu Angkasa Makmur.

Semua perusahaan tersebut beraktifitas di sepanjang Sungai Air Bengkulu, seperti gambar di bawah ini menunjukkan bahwa tambang terbuka beroperasi dengan memutus anak-anak sungai yang ada di hulu Sungai Air Bengkulu.

 

Salah satu citra udara dari Google menunjukkan salah satu aliran sungai yang ditutup oleh perusahaan tambang batubara di Bengkulu. Courtesy: Google

Salah satu citra udara dari Google menunjukkan salah satu aliran sungai yang ditutup oleh perusahaan tambang batubara di Bengkulu. Courtesy: Google

 

Pasal 33 UUD 1945 yang Terabaikan

Dalam konteks yang lebih mendasar, salah satu mandat pasal 33 UUD 1945 terabaikan, yang isinya, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Pasal ini merupakan salah satu prinsip mendasar bagaimana seharusnya mengelolah sumberdaya alam termasuk air harus di kedepankan bukan malah di jadikan penopang perekonomian investasi kotor yang dipraktikan perusahaan pertambangan batubara dan lain sebagainya.

Tindakan perusahaan batubara di Bengkulu sangat jelas menyalahi UU nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sehingga wajar menerima sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pencemaran lingkungan (termasuk air di dalamnya) yang tertuang pada pasal 59, pasal 98 sampai dengan 103.

Terhadap kondisi ini, Walhi Bengkulu bersama masyarakat  berencana menyusun laporan agar semua perusahaan pertambangan batubara yang mencemari sungai di Bengkulu, masuk dalam sengketa lingkungan hidup di Propinsi Bengkulu.

Harapannya, Pemerintah Daerah Bengkulu akan berani bertindak tegas dalam upaya penyelamatan sumberdaya alam, terutama terkait dengan sumber mata air, sehingga generasi ke depan dapat menikmati mata air yang bersih bukan mengeluarkan air mata kesedihan kekurangan air bersih.

 

*Beni Ardiansyah, penulis saat ini adalah Direktur Walhi Bengkulu. Artikel ini merupakan opini penulis.

 


Opini: Daerah Aliran Sungai di Bengkulu Rusak Akibat Pertambangan Terbuka was first posted on December 9, 2014 at 2:58 am.

Meski Telah Kumpulkan 9,95 Miliar USD, GCF Belum Salurkan Dana Iklim Global

$
0
0
Menteri Lingkungan Peru,  Manuel Pulgar-Vidal, yang terpilih sebagai Presiden COP ke-20 mendapatkan selamat dari pimpinan UNFCCC dalam acara pembukaan konferensi perubahan iklim (COP) ke-20 di Lima, Peru pada Senin (01/12/2014) waktu setempat.

Menteri Lingkungan Peru, Manuel Pulgar-Vidal, yang terpilih sebagai Presiden COP ke-20 mendapatkan selamat dari pimpinan UNFCCC dalam acara pembukaan konferensi perubahan iklim (COP) ke-20 di Lima, Peru pada Senin (01/12/2014) waktu setempat.

Konferensi tahunan perubahan ikilm atau Conference of the Parties (COP) ke-20 dari Kerangka Kerja untuk Konvensi Perubahan Iklim PBB (UNFCCC)  yang digelar di Kota Lima, Peru, telah memasuki minggu kedua dari penyelenggaraan selama 1 – 12 Desember 2014.

Salah satu isu perundingan yang dicermati semua pihak adalah tentang pendanaan, yang dibahas dalam berbagai jalur perundingan dalam COP ke-20. Suzanty Sitorus, koordinator perundingan isu pendanaan Delegasi RI untuk COP20 mengatakan konferensi membahas laporan dari Board of the Green Climate Fund (GCF) yang pada tahun 2014 melakukan tiga kali pertemuan. Board GCF memulai pertemuan pertamanya pada Agustus 2012.

“Hingga saat ini GCF belum menyalurkan pendanaan ke negara berkembang dan Board GCF masih menyelesaikan berbagai kebijakan, sistem dan prosedur terkait operasionalisasi penuh GCF,” kata Suzanty melalui surat elektronik kepada Mongabay.

Selama tahun 2014, Board GCF berhasil mengambil beberapa keputusan kunci, antara lain mengenai kebijakan akreditasi. Semua lembaga yang berminat untuk mengakses pendanaan dari GCF, baik sebagai implementing entity (entitas pelaksana) maupun sebagai intermediary (perantara), harus mendapatkan akreditasi dari Board GCF sebelum menyampaikan proposal. Proses akreditasi online telah resmi diluncurkan pada tanggal 17 November 2014.

Suzanty menjelaskan selama 2014, Board GCF melaksanakan initial resources mobilization dan hingga 20 November 2014 berhasil menggalang dana lebih dari 9 miliar USD, yang bila digabungkan dengan kontribusi yang telah masuk sejak awal menjadi 9,95 miliar USD.

“Dengan dana tersebut, GCF menjadi dana multilateral perubahan iklim yang memiliki komitmen pendanaan terbesar. Bandingkan dengan Global Environment Facility (GEF) yang proses replenishment terakhir (ke-6, tahun 2014) menghasilkan komitmen sebesar 4,43 miliar USD (untuk perubahan iklim dan isu-isu lain dari berbagai konvensi PBB mengenai lingkungan) dan Climate Investment Facility (CIF) yang dikelola oleh bank-bank pembangunan multilateral dan sejak 2008 menggalang sebesar 8 miliar USD,” katanya.

Meski masuk sebagai negara berkembang, Indonesia turut berkontribusi memberikan komitmen pendanaan kepada GCF sebesar 250.000 USD pada Februari 2014,  sebagai bagian dari total dana 9,95 miliar USD.

“Kontribusi tersebut memang kecil bila dibandingkan pledges dari negara-negara lain, tapi saat itu sangat diapresiasi oleh negara-negara maju karena dinilai memberikan dorongan dan dasar untuk mereka melakukan persiapan di dalam negerinya termasuk melobi parlemen mereka untuk menyetujui anggaran kontribusi ke GCF,” katanya.

Kesiapan negara-negara berkembang untuk mengakses pendanaan menjadi persoalan penting operasionalisasi GCF. Oleha karena itu, GCF memiliki program khusus yang disebut Readiness and Preparatory Support Programme (RPSP) untuk membantu negara berkembang melakukan: penguatan national designated authority/focal point (NDA/FP) yang menjadi penghubung dengan GCF dan juga mengkoordinasi pengusulan lembaga dan proposal dari tiap negara berkembang; meningkatkan kapasitas lembaga-lembaga nasional agar berhasil dalam proses akreditasi; mempersiapkan proposal proyek dan program adaptasi dan mitigasi yang akan diajukan kepada GCF.

“Isu kesiapan negara berkembang yang diangkat di negosiasi adalah modalitas untuk meningkatkan kesiapan, mengingat Sekretariat GCF masih baru, sementara minat dari negara berkembang sangat tinggi,” jelas Suzanty.

GCF menargetkan pada bulan Maret 2015 sudah ada lembaga-lembaga yang terakreditasi dan sekitar Juni/Juli 2015 Board GCF telah menyetujui proposal proyek/program.

Dia menerangkan Indonesia merupakan salah satu dari 4 negara pertama yang menjadi penerima RPSP. Alokasi RPSP per negara per tahun kalender hingga satu juta USD. Saat ini Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) menjadi National Designated Authority (NDA) untuk GCF di Indonesia.

DNPI bekerjasama dengan Kementerian Keuangan dan Sekretariat GCF sedang melaksanakan berbagai kegiatan untuk memperkuat kesiapan lembaga-lembaga nasional agar dapat mengakses langsung pendanaan tanpa melalui perantara lembaga multilateral.  Indonesia menargetkan pada bulan Maret 2015 setidaknya ada 3 lembaga nasional yang terakreditasi.

Selain melalui negosiasi di UNFCCC, Delegasi Indonesia memperjuangkan kepentingan nasionalnya melalui pertemuan Board Green Climate Fund. Indonesia menjadi anggota Board Green Climate Fund sejak tahun 2012, diwakili oleh Wakil Kementerian Keuangan, Bambang Brodjonegoro pada tahun 2012-2013 dan Irfa Ampri dari Kementerian Keuangan sejak tahun 2013 hingga sekarang.

Komitmen pendanaan Norwegia

Norwegia memberikan komitmen pendanaan sebesar 1,6 miliar NOK atau 258 juta USD selama empat tahun ke depan kepada GCF. Dengan komitmen ini, maka total komitmen dana yang dikumpulkan GCF menjadi 9,95 miliar USD.

“The Green Climate Fund punya potensi yang sangat besar dan dapat memainkan peranan kunci dalam mencapai sebuah kesepakatan ikilm global di Paris pada tahun 2015,” kata Menteri Luar Negeri, Borge Brende seperti dikutip dari laman Kementerian Luar Negeri Norwegia.

Komitmen Norwegia melengkapi komitmen Spanyol dan Kanada. Pada 28 November 2014 atau tiga hari sebelum penyelenggaraan COP ke-20, pemerintah Spanyol mengumumkan komitmennya untuk memberikan dana sebesar 120 triliun Euro kepada GCF. Sedangkan Pemerintah Kanada untuk memberikan pendanaan sebesar 300 juta dolar Kanada kepada GCF.

Dalam konferensi tahunan perubahan iklim, negara berkembang dan negara dunia ketiga memang selalu mendesak negara maju untuk mobilisasi pendanaan sebesar 100 miliar USD per tahun sampai 2020 seperti yang dijanjikan pada COP-15 di Kopenhagen, Denmark, pada 2009.

Pendanaan tersebut sangat penting untuk mendukung aksi mitigasi dan adaptasi di negara berkembang hingga tahun 2020 untuk membantu dunia menjaga peningkatan suhu rata-rata tidak lebih dari 2 derajat Celcius dibandingkan dengan tingkat suhu sebelum Revolusi Industri. Jumlah komitmen tersebut sebetulnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan pengurangan emisi dan adaptasi perubahan iklim di sekitar 129 negara berkembang yang menjadi Pihak UNFCCC.

 

 

 


Meski Telah Kumpulkan 9,95 Miliar USD, GCF Belum Salurkan Dana Iklim Global was first posted on December 9, 2014 at 3:20 am.

Masuk Kampung, Harimau Terkam Lembu, Warga Langkat Resah

$
0
0
Menerawang. Harimau Sumatera di Taman Margasatwa Ragunan ini tampak melamun. Mungkin ia memikirkan habitat mereka yang rusak hingga terancam. Konflik dengan manusiapun kerab terjadi, seperti di Desa Timbang Lawan dan Sei Landak, Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumut. Harimau masuk kampung dan memangsa ternak-ternak warga. Warga jadi khawatir. Desa mereka berada di dekat Taman Nasional Gunung Leuser, yang sudah merana karena beragam aktivitas merusak alam. Foto: Sapariah Saturi

Harimau Sumatera di Taman Margasatwa Ragunan ini tampak melamun. Mungkin ia memikirkan habitat mereka yang rusak hingga terancam. Konflik dengan manusiapun kerab terjadi, seperti di Desa Timbang Lawan dan Sei Landak, Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumut. Harimau masuk kampung dan memangsa ternak-ternak warga. Warga jadi khawatir. Desa mereka berada di dekat Taman Nasional Gunung Leuser, yang sudah merana karena beragam aktivitas merusak alam. Foto: Sapariah Saturi

Warga Desa Timbang Lawan dan Sei Landak, Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, resah. Pasalnya, beberapa lembu mereka luka-luka dan tewas diterkam harimau. Kedua desa memang berada di dekat Taman Nasional Gunung Leuser.

Harimau masuk desa membawa hasil buruan inipun terlihat dari rekaman camera track TNGL, Minggu malam (7/12/14). Namun, yang terekam harimau makan rusa, sedang di kampung, lima lembu menjadi korban.

Jon Purba, petugas Resort TNGL Timbang Lawang, mengatakan, harimau diduga betina, dan terekam tengah menyeret hasil buruan kemudian menyantap hingga habis.

Sedang warga Desa Sei Landak dan Desa Timbang Lawan, warga heboh karena lembu mati diduga diterkam harimau.

Unang Holid, warga Timbang Lawan mendengar kegaduhan di kandang lembu, berjarak 20 meter dari rumah yang berada di kebun karet dan durian. Ketika dicek, satu lembu tergeletak di tanah, dengan luka cakar sekitar perut, paha, dan leher.

Ada jejak-jejak kaki dan dia sempat mendengar auman. “Saya mendengar seperti auman harimau sekitar pukul 2.00. Pasti harimau itu, karena ada cakaran di lembu. Jadi takut kami setelah peristiwa itu,” katanya, Senin (8/12/14).

 

Senada disampaikan Hajar, warga Timbang Lawan. Dia bernasib baik, dua lembu masih selamat, meski paha, punggung, dan perut sebelah kiri ada bekas cakaran.  Ada juga gigitan menyerupai taring.

Hari Munthe, warga Desa Sei Landak, tak beruntung. Lembu peliharaan dia mati di kebun. Di hutan yang berdekatan dengan TNGL itu, biasa lembu menyantap rumput. “Perut robek dan sebagian hati hilang. Daging paha dan perut sudah tercabik-cabik. Dari jejak seperti diterkam harimau.”

Warga khawatir hingga membuat perangkat desa meminta bantuan petugas TNGL. Dari analisis dan kesaksian pemilik hewan, menurut Mislam, Kepala Resort TNGL, kuat dugaan diserang harimau. Ini dikuatkan tertangkap kamera mereka kala harimau tengah berburu di TNGL.

Namun, dia belum berani mengambil kesimpulan. “Itu berbahaya jika harimau masuk perkampungan. Kami sampaikan ke Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Sumut.”  Mereka juga memasang kamera lacak di kampung.

Parbel Turnip, kepala seksi wilayah V TNGL, mengimbau masyarakat tetap tenang, dan waspada.  “Kami akan pantau ini. Masyarakat jangan panik, dan harus hati-hati.”

Sedang Herbert Aritonang, kepala seksi Wilayah II Stabat BBKSDA Sumut, menyatakan, dari fakta dan data terbaru, dipastikan yang menyerang harimau. Jika harimau kembali, mereka akan mengevakuasi, dan meminta masyarakat tidak membunuhnya. BBKSDA dan TNGL akan trus memantau sekitar lokasi.

 

 


Masuk Kampung, Harimau Terkam Lembu, Warga Langkat Resah was first posted on December 9, 2014 at 5:53 am.

Gugatan UU P3H: Masyarakat Ungkapkan Ketidakjelasan Tata Batas Hutan

$
0
0
Rumah warga adat Semende Banding Agung, yang dibakar Polhut, kala operasi gabungan TNBBS, di Bengkuku, Senin (23/12/13). Keempat wargapun ditangkap dan dijerat UU P3H serta vonis maksimal 3,5 tahun dengan denda miliaran.Anehnya, dari pemerintah selalu membantah ada masyarakat terjerat UU P3H yang katanya ada buat menjerat kejahatan korporasi.Foto: AMAN Bengkulu

Rumah warga adat Semende Banding Agung, yang dibakar Polhut, kala operasi gabungan TNBBS, di Bengkuku, Senin (23/12/13).  Keempat wargapun ditangkap dan dijerat UU P3H serta vonis maksimal 3,5 tahun dengan denda miliaran.Anehnya, dari pemerintah selalu membantah ada masyarakat terjerat UU P3H yang katanya ada buat menjerat kejahatan korporasi.Foto: AMAN Bengkulu

“Dulu kami cukup pangan dan aman masuk hutan tanpa ketakutan. Sejak 2002 berubah. Kami biasa ambil pohon buat bangun rumah meminta bantuan perusahaan PT Sari Bumi Kusuma, tetapi menolak dan bilang pohon sudah ada pemilik, Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Bakar,” kata Albertus Mardius,  masyarakat adat Ketumenggungan Siyai Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat, kala memberikan kesaksian di Mahkamah Agung pada sidang lanjutan gugatan UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H), Rabu (3/12/14).

Ketumenggungan Siyai pernah bermigrasi sembilan kali. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain hingga menetap di satu lokasi tahun 1980. Bersamaan itu, masuk Sari Bumi Kusuma berjarak tujuh km dari kampung mereka.

Tahun 1998, mereka pemetaan partisipatif bersama instansi terkait. Pemerintah, Dinas Kehutanan, dan beberapa LSM untuk mengetahui luas wilayah adat. Hasil pemetaan luas wilayah 14.259 hektar dengan 517 keluarga.

Mereka biasa meminta bantuan perusahaan untuk mengangkut kayu karena jarak jauh dan akses masuk hutan sulit. Perusahaan menolak, masyarakat marah. Mereka aksi penutupan jalan hingga enam warga ditahan selama 49 hari.“Ditangkap tanpa ada penjelasan apapun.”

Keadaan diperparah patroli meningkat di lokasi masyarakat biasa  bekerja. Tahun yang sama, mereka tidak boleh lagi masuk kawasan, berladang, mengambil hasil hutan, membawa rotan dan lain-lain.

“Termasuk tidak boleh menyadap karet sekitar dua km dari kampung. Patroli berlanjut sampai 2007, ketika ada enam warga berladang, dua orang ditangkap. Perkara hingga ke Mahkamah Agung. Kami dinyatakan bersalah karena berladang di taman nasional.”

Sebelumnya, kata Albertus, masyarakat, tidak mengetahui TN Bukit Baka-Bukit Bakar. Penunjukan hingga penetapan tidak pernah melibatkan mereka. Padahal, masyarakat mengelola kawasan itu puluhan tahun.

“Tidak jelas bukit mana yang dipakai untuk menyebut itu. Tahun 2007,  kami baru tahu, saat itu  ladang-ladang tidak boleh ditanami padi. Kami aksi, sangat sulit, setiap aksi hanya bertemu polhut. Upaya menyelesaikan gagal terus,” katanya.

Albertus mengatakan, masyarakat merada tidak aman lagi, ladang dan pondok dirusak. Warga juga diusir.

Tersingkir dari wilayah hidup juga dialami Masyarakat Adat Cek Bocek di Kecamatan Ropang, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Datuk Sukanda, dari komunitas adat Cek Bocek menceritakan, mereka turun menurun hidup mengelola hutan. Namun, 1935,  Belanda mengusir mereka hingga pindah ke Desa Lawi. “Mereka menetap di sana tetapi kegiatan di hutan terus berjalan,” katanya.

Namun, pada 2011 masyarakat tidak boleh masuk hutan. Pemerintah melarang keras dengan alasan sudah menjadi hutan lindung.

“Pemerintah memutuskan hutan lindung diam-diam. Kami ragu beraktivitas, tidak sebebas dahulu. Kalau itu hutan lindung, mengapa ada perusahaan beroperasi?”

Pos jaga untuk memantau segala aktivitas di SM Dangku. Di dalam kawasan ini juga tinggal komunitas adat, dan belum lama ini beberapa orang ditangkap dan sudah vonis hukum. Warga tinggal dan berkebun sejak lama dituding merambah suaka margasatwa, sedang ada perusahaan bercokol di sana aman-aman saja. Foto: BKSDA Sumsel

UU P3H abai legal policy

Pakar Hukum Tata Negara Maruarar Siahaan mengatakan, putusan MK 45 Tahun 2011 tegas menyatakan, penunjukan kawasan hutan tanpa melalui melalui proses  yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, merupakan pelaksanaan pemerintahan otoriter. Begitu juga Putusan MK Nomor 35 tahun 2012 yang mengeluarkan hutan adat dari hutan negara. “Ini pengakuan dan implementasi konstitusi tentang hak-hak masyarakat hukum adat menjadi bagian tidak terpisahkan  dari arah perubahan dan pembaharuan hukum yang dilakukan,” katanya.

Pada Pasal 15 UU Kehutanan,  disebutkan penunjukan kawasan hutan adalah salah satu tahap proses pengukuhan, bukan bentuk final dari rangkaian penetapan kawasan hutan.”

Ketentuan ini, katanya, harus memperhatikan kemungkinan ada hak-hak perseorangan maupun ulayat pada kawasan hutan yang akan ditetapkan. Kala terjadi, penataan dan pemetaan batas kawasan hutan harus dikeluarkan agar tidak merugikan masyarakat.

“Ketidaktaatan arah yang dirumuskan dalam politik hukum harus ditempuh baik karena kesengajaan maupun kelalaian, menyebabkan produk hukum yang dihasilkan tidak bergerak ke arah ius constituendum yang diinginkan. Tidak memenuhi harapan mewujudkan tujuan negara yang ditetapkan dalam konstitusi.”

Dia berpendapat, norma-norma dalam UU P3H mengabaikan legal policy yang sepatutnya dikenali dalam UUD 1945 dan putusan MK nomor 45 dan 35. “Khusus kawasan hutan yang ditunjuk dengan implikasi luas atas kepentingan hukum rakyat yang sah berkenaan  dengan kawasan hutan. Ini membawa akibat tidak dapat dipertahankan norma-norma baru itu.”

Dalam pembuatan UU, katanya,  seharusnya identifikasi terhadap seluruh regulasi yang saling berkaitan.

Advokat PilNet Andi Muttaqin mengatakan, para saksi bisa menjelaskan bagaimana konflik wilayah yang ditetapkan pemerintah dengan wilayah adat. “Hingga wilayah masyarakat adat hilang. Itu disertai kriminalisasi. Meski saksi-saksi ini mengatakan peristiwa penangkapan dan kriminalisasi terjadi jauh sebelum UU P3H disahkan, dengan P3H kejadian pasti terulang. Karena ancaman pidana P3H lebih kompleks daripada UU Kehutanan.”

Usai sidang Gunardo Agung, dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, pendapat ahli mempunyai semangat sudah benar. Hanya dia merasa, ahli belum membaca UU P3H secara utuh.

“Kalau sudah membaca utuh, tentu tak akan ngomong seperti itu. Defenisi kawasan hutan sudah terkoreksi. Bahwa kawasan hutan itu yang sudah ditetapkan. Kami juga lebih paham daripada dia,” katanya.

Begitu juga keterangan masyarakat adat. Menurut dia, mereka hanya mempunyai semangat tetapi tak paham substansi UU P3H.

“Justru kalau UU P3H tidak lahir, marak penebangan liar. Apa hutan mau dijadikan padang pasir? UU ini untuk menjerat kejahatan terorganisir. Pembalakan liar oleh korporasi. Masyarakat tak ada yang kita tangkap. Malah kita bina,” katanya. Dia menutup mata beberapa warga yang hidup di kawasan hutan sudah terjerat P3H.

Namun, dia mengakui selama ini belum ada perusahaan dijerat UU P3H. Dia menilai, perusahaan sudah ketakutan dengan UU P3H.


Gugatan UU P3H: Masyarakat Ungkapkan Ketidakjelasan Tata Batas Hutan was first posted on December 10, 2014 at 2:12 am.

Kabut Asap, Bencana Lingkungan yang Menginspirasi Pelukis Palembang Berkarya

$
0
0

 

Pelukis Fajar Agustono menjelaskan karyanya yang bertema lingkungan pada pengunjung pameran seni rupa, yang diselenggarakan oleh Dewan KEsenian Palembang pada 1-6 Desember 2014. Foto: Muhammad Ikhsan

Pelukis Fajar Agustono menjelaskan karyanya yang bertema lingkungan pada pengunjung pameran seni rupa. Pameran ini diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Palembang pada 1-6 Desember 2014. Foto: Muhammad Ikhsan

Persoalan lingkungan hidup yang terjadi di Sumatera Selatan seperti bencana kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan gambut beberapa waktu lalu telah menginspirasi sejumlah perupa untuk berkarya. Karya tersebut mereka wujudkan dalam bentuk lukisan bertema lingkungan.

Persoalan kabut asap tersebut terlihat jelas dari lukisan karya Rudi Maryanto yang berjudul “Ruang Polusi.”

“Lukisan Rudi ini terinspirasi dari kabut asap akibat kebakaran lahan gambut dan hutan yang terjadi di berbagai wilayah di Sumsel dan Palembang,” ungkap Marta Astrawinata, kuraktor senirupa di Palembang, yang ditemui baru-baru ini di sela Pameran Seni Rupa “Kata” Rupa di Gedung Wanita, Jalan Kapten A. Rivai Palembang. Acara yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Palembang (DKP) ini berlangsung pada 1-6 Desember 2014 lalu.

Marta menambahkan karya Rudi cukup unik karena ditampilkan dalam rangkaian kanvas aneka bentuk, bulat, lonjong, segitiga, asimetris, serta mampu memanfaatkan limbah kayu jati dengan baik untuk memerindah detail karyanya.

Dari 38 karya milik 26 perupa yang ditampilkan, hampir setengahnya bertemakan persoalan lingkungan hidup. Misalnya saja “New Earth” karya Rodiah. A Manan, yang menggambarkan keindahan terbitnya mentari pagi di laut lepas. Ada juga “Unhappy” karya Eliza Dewi yang menggambarkan bunga yang layu dengan kelopak bunga yang berguguran jatuh ke tanah.

Kemudian, karya Fajar Agustono berjudul “Polusi” yang melukiskan seorang gitaris mengenakan masker dengan latar pabrik bercerobong besar yang asapnya memenuhi langit. Karya lain milik Fajar berjudul “Lelah”, bercerita tentang seekor kupu-kupu.

Fuad El Akhmed Phino turut menampilkan karyanya berjudul “Alarm Alam” yang  dibuat dari limbah kayu, triplek, dan kulit pohon membentuk seekor burung.

Sementara, pelukis Halimatus Sadiyah menampilkan karya “Lahan Habis”. Lukisan ini ingin mengambarkan alam yang hijau kian terdesak oleh pembangunan gedung-gedung bertingkat.

Kesadaran bahaya kabut asap

Fajar Agustono, membenarkan peristiwa lingkungan memberi inspirasi bagi karyanya. “Ya, lukisan kan salah satu media untuk mengungkapkan ekspresi. Lukisan “Polusi” inspirasinya dari kabut asap beberapa waktu lalu. Saya ingin menunjukkan kabut asap sangat mengganggu aktivitas masyarakat. Pelajar, anak-anak, orang tua, lansia, pekerja kantor, supir, buruh pabrik, hingga aktivitas berkesenian pun terganggu,” terang Fajar.

“Harapan saya lukisan ini memberikan kesadaran orang yang melihatnya, sehingga peduli lingkungan dengan menjaga hutan dan lahan gambut,” katanya.

Yusuf Susilo Hartono, pemimpin redaksi Majalah Galeri, yang hadir di Palembang sebagai pembicara dalam diskusi bertajuk “Seni Rupa Kita di Era Anything Goes”, mengapresiasi karya seni pelukis Palembang terkait apa yang terjadi di alam dan lingkungan sekitar.

Saat ini, kata Yusuf, di era seni rupa global, tepatnya era wacana estetis “apapun boleh (anything goes)”. Perupa di seluruh penjuru dunia, melalui bantuan media dan teknologi informasi, menciptakan karya dengan semangat tak hanya meniru benda, melainkan juga petualangan ke alam persepsi, ke lapisan terdalam jiwa, hingga ke ambang batas rasa sakit, kegilaan, dan kematian.

“Seharusnya persoalan lingkungan hidup juga lebih jauh dimasuki, pertualangan yang lebih liar dan kaya,” katanya.

“Di pameran ini, sudah ada perupa yang coba memasuki ranah anything goes, dengan memarodikan Monalisa menjadi Malelisa. Di bagian lain, nampak masih kuatnya cengkraman nilai-nilai agama dan tradisi, misalnya karya kaligrafi dan lukisan abstrak berbasis spritualitas, lingkungan alam, dan karya-karya figuratif berlatar sejarah,” ujar Yusuf.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio


Kabut Asap, Bencana Lingkungan yang Menginspirasi Pelukis Palembang Berkarya was first posted on December 10, 2014 at 3:08 am.

Indonesia Perlu Buat Roadmap Riset Kelautan

$
0
0

Isu kelautan menjadi salah satu topik perundingan dalam Konferensi Perubahan Iklim atau Conference of the Parties (COP) ke-20 yang berlangsung di Kota Lima, Peru pada 1 – 12 Desember 2014.

Salah satu kesimpulan perundingan pada  jalur perundingan  Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) COP20 menyebutkan upaya para pihak untuk secara aktif terlibat dalam penelaahan terhadap laporan status dan untuk mendukung pengembangan rencana pelaksanaan baru, termasuk pada aspek yang berhubungan dengan pengamatan kondisi laut, termasuk pengasaman.

Laut yang telah dikotak-kotak demi alasan 'pembangunan ekowisata' di Kota Manado. Kehidupan nelayan pun makin terdesak. Foto: Christopel Paino

Laut yang telah dikotak-kotak demi alasan ‘pembangunan ekowisata’ di Kota Manado. Kehidupan nelayan pun makin terdesak. Foto: Christopel Paino

“Indonesia di era maritim perlu membuat peta jalan (roadmap) dan rencana aksi terkait pengamatan laut dan pengasaman,” kata  Agus Supangat, Koordinator Divisi Peningkatan Kapasitas Penelitian dan Pengembangan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) sekaligus juru runding Delegasi RI, melalui surat elektronik kepada Mongabay.

Peta jalan pengukuran dan riset di laut Indonesia menjadi penting karena  akan membantu pemahaman mengenai variasi dari permukaan sampai dasar laut Indonesia dalam mempengaruhi sistem iklim atmosfer-lautan, dan akan berguna untuk menilai pentingnya nilai ekonomi perubahan ekosistem regional.

“Peta jalan pengukuran dan riset laut akan mampu memberikan pertimbangan penting untuk memandu upaya konservasi laut yang sedang berlangsung di Indonesia dan negara-negara tetangganya. Sifat arus laut memiliki pengaruh langsung terhadap jumlah nutrisi yang dibawa ke organisme laut di wilayah tersebut,” kata mantan peneliti laut di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) itu.

Pemahaman tentang laut di Indonesia akan dapat membantu untuk membuat prakiraan tentang dampak global perubahan iklim yang terjadi. “Lautan di Indonesia bagi kami merupakan tempat terbaik untuk melakukan pengamatan secara berkelanjutan untuk memantau situasi dan potensi perubahan di seluruh samudera dunia akibat dampak perubahan iklim,” katanya.

Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim sekaligus Ketua Delegasi Republik Indonesia, Rachmat Witoelar mengatakan Indonesia berfokus memperjuangkan lima sektor penting terkait penanggulangan perubahan iklim yakni, adaptasi, mitigasi, transfer teknologi, pengembangan kapasitas, dan pendanaan dengan memasukkan perspektif kemaritiman.

“Di era pemerintahan yang baru, sektor kemaritiman perlu mendapat perhatian khusus karena sangat erat kaitannya dengan perubahan iklim. Masyarakat yang hidup di daerah pesisir menjadi sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim,”ujar Rachmat dalam High Level Session: Towards a Low Carbon Society di Indonesia Pavilion dari booth Delegasi RI pada COP20 yang digelar Rabu (09/12/2014) waktu setempat.

Indonesia sebagai negara kepulauan sangat bergantung pada maritim yang sangat dipengaruhi oleh iklim. Karenanya, diperlukan aksi adaptasi dan mitigasi dalam perkembangan sektor kemaritiman.

2014 Tahun Terpanas Sepanjang Sejarah

Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization /WMO) mencatat tahun 2014 adalah tahun terpanas . Hal ini terutama disebabkan karena suhu permukaan laut global yang tinggi, yang sangat mungkin akan tetap berada di atas normal sampai akhir tahun. Suhu laut yang tinggi, bersama-sama dengan faktor-faktor lain, berkontribusi menimbulkan hujan yang sangat deras deras dan banjir di banyak negara dan kekeringan ekstrim di beberapa  negara.

Dalam laporan Status Iklim Global pada 2014, WMO menunjukkan bahwa suhu udara rata-rata global atas permukaan darat dan laut untuk Januari-Oktober sekitar 0.57 ° Celsius (1,03 Fahrenheit) di atas rata-rata 14,00 ° C (57,2 ° F) untuk periode referensi 1961-1990 referensi, 0,09 ° C (0,16 ° F) di atas rata-rata selama sepuluh tahun terakhir (2004-2013).

Bila temperatur bulan November dan Desember cenderung sama, maka 2014 kemungkinan akan menjadi rekor terpanas, setelah pernah terjadi pada 2010, 2005 dan 1998. Hal ini menegaskan jangka panjang tren pemanasan yang mendasari.

Tingginya suhu Januari – Oktober 2014 terjadi karena El Niño-Southern Oscillation (ENSO) tidak terjadi secara penuh. ENSO terjadi ketika hangat daripada rata-rata suhu permukaan laut di bagian timur Pasifik tropis menggabungkan, dalam pusaran memperkuat diri, dengan sistem tekanan atmosfer, sehingga mempengaruhi pola cuaca global.

Selama tahun ini, suhu permukaan laut meningkat hampir ke ambang El Niño tetapi ini tidak dibarengi dengan respon atmosfer. Namun, banyak pola cuaca dan iklim biasanya terkait dengan El Nino / Southern Oscillation (ENSO) yang diamati di banyak bagian dunia.

“Informasi sementara untuk 2014 berarti bahwa empat belas dari lima belas tahun terpanas semuanya terjadi pada abad ke-21,” kata Sekretaris Jenderal WMO Michel Jarraud dalam siaran pers WMO.

“Apa yang kita lihat pada tahun 2014 sesuai dengan apa yang kita duga dari perubahan iklim. Rekor panas pecah dengan kombinas dengan hujan deras dan banjir yang menghancurkan pemukiman dan dan kehidupan. Apa yang sangat tidak biasa dan mengkhawatirkan tahun ini adalah suhu tinggi wilayah luas permukaan laut, termasuk di belahan bumi utara, “katanya.

“Tingginya emisi gas rumah kaca dan konsentrasi atmosfer terkait membuat masa depan planet ini tidak pasti dan tidak ramah. WMO dan anggotanya akan terus meningkatkan perkiraan dan layanan untuk membantu orang mengatasi kondisi cuaca dan iklim yang lebih sering dan merusak ekstrim, “kata Jarraud

Perubahan Iklim Nyata

Laporan Kajian ke-5 (AssessmentReport/AR5) yang dirilis Kelompok Kerja Basis Ilmiah dari IPCC  (Intergovermental Panel on Climate Change) menyebutkan adanya perubahan iklim yang nyata yaitu suhu udara di permukaan daratan dan lautan lebih tinggi dari 100 tahun lalu; air permukaan samudera jauh lebih hangat dibandingkan 100 tahun yang lalu.

Juga banyak kejadian cuaca dan iklim ekstrim dalam 50 tahun terakhir, gletser di seluruh dunia menyusut, menurunnya luas dan ketebalan es Kutub Utara selama tiga dekade terakhir, serta permafrost (daerah yang tertutup oleh salju permanen) di belahan bumi utara tiap tahun menyusut selama 50 tahun terakhir.

AR5 juga menyebutkan Laut Artik secara substansial telah menghangat selama 50 tahun terakhir, permukaan laut global naik 0,19 m selama periode 1901-2010, tingkat keberadaan di atmosfer dari gas rumah kaca utama telah meningkat sejak awal era industri (~1750), dan lautan telah menyerap sekitar 3% dari karbon dioksida yang dipancarkan oleh manusia kegiatan sampai saat ini.

AR5 memproyeksikan pemanasan lebih besar terjadi di permukaan tanah daripada laut. Pada akhir abad ke-21 akan lebih banyak “hari-hari sangat panas” dan lebih sedikit “hari dingin”. Daerah kering akan menjadi lebih kering dan daerah basah menjadi lebih basah.

Sekitar 90 persen lapisan es Kutub Utara terus menyusut dan menipis, volume gletser diperkirakan turun. Permafrost di belahan bumi utara, daerah yang tertutup salju diproyeksikan akan terus menyusut. Tinggi muka laut global diproyeksikan akan terus meningkat abad ini. Dan penyerapan karbon oleh laut akan meningkatkan pengasaman laut.


Indonesia Perlu Buat Roadmap Riset Kelautan was first posted on December 10, 2014 at 3:15 am.

DAS Batang Arau Padang Tercemar

$
0
0
Bangkai kapal dibiarkan lapuk dan tenggelam di dasar sungai Batang Arau, kawasan Muaro, dengan latar belakang Jembatan Sitti Nurbaya kota Padang. Foto : Riko Coubut

Bangkai kapal dibiarkan lapuk dan tenggelam di dasar sungai Batang Arau, kawasan Muaro, dengan latar belakang Jembatan Sitti Nurbaya kota Padang. Foto : Riko Coubut

Jika anda sempat jalan-jalan di kota Padang, jangan lupa singgah menikmati jagung bakar di jembatan Siti Nurbaya. Anda akan disuguhi deretan kapal-kapal penangkap ikan dan kapal pesiar yang bersandar di dermaga. Namun coba perhatikan aliran sungainya, sesekali akan terlihat sampah plastik yang mengapung dan terbawa hanyut. Sampah-sampah itu berjejer, terombang-ambing dihempas riak kapal yang setiap waktu melintas. Mungkin saja sampah ini berasal dari hulu sungai dan terbawa arus hingga ke muara atau memang sengaja dibuang oleh masyarakat yang tinggal di sepanjang bantaran Sungai Batang Arau.

Sungai Batang Arau merupakan daerah aliran sungai (DAS). Perbedaan antara DAS dan sungai adalah terletak pada fungsinya saja. Sungai hanya terfokus pada aliran air semata, sementara DAS lebih menekankan pada siklus hidrologinya. Ruang lingkup DAS terdiri atas daratan  yang merupakan kesatuan ekosistem termasuk sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah pengairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.

DAS Batang Arau terdiri dari beberapa anak sungai dan sungai utamanya adalah Sungai Batang Arau. Sumber air DAS Batang Arau berasal dari hulu DAS pada kawasan pegunungan Bukit Barisan di sebelah timur kota Padang dan bermuara di Samudera Indonesia. Hulu DAS Batang Arau dimulai dari sungai Lubuk Paraku yang berada di timur laut kota Padang, dengan daerah tangkapan air seluas 2.504 hektar yang merupakan Taman Hutan Raya Dr. Muhammad Hatta, Kawasan Suaka Alam Barisan I dan Arau Hilir.

Citra satelit dari sempadan sungai dipadati oleh pemukiman masyarakat dan berbagai kegiatan industri, akibatnya beban sungai Batang Arau Kota Padang meningkat. Foto : Google

Citra satelit dari sempadan sungai dipadati oleh pemukiman masyarakat dan berbagai kegiatan industri, akibatnya beban sungai Batang Arau Kota Padang meningkat. Foto : Google

Dari Status Lingkungan Hidup (SLHD) Kota Padang tahun 2013, disebutkan DAS Batang Arau memiliki luas 17.467 hektar yang terbagi kedalam; hutan primer 572,14 ha, hutan sekunder 4.944,46 ha, pemukiman 3,425,05 ha, pertanian campuran 3.660,23 ha, sawah 3.405,86 ha, tambang 342,43 ha, tanah terbuka 32,49 ha, tubuh air (sungai) 91,61 ha.

Permasalahan utama tercemarnya DAS Batang Arau adalah tingginya sedimentasi setiap tahunnya, ekosistem air  sungai  dan kualitas air Batang  Arau menurun,  terjadi konflik dan alih fungsi lahan untuk perumahan serta degradasi hutan dan lahan. Menurunnya kualitas air di Batang Arau disebabkan oleh limbah pabrik dan limbah domestik dari hulu hingga hilir. Di bagian hulu terdapat arel pertambangan untuk bahan baku semen, bagian tengah terdapat pabrik karet dan industri crude palm oil (CPO). Sedangkan dibagian hilir terdapat rumah sakit, usaha perbengkelan, hotel, pasar dan tempat bersandarnya kapal.

Kepala Bidang Pengawasan dan Pengendalian (Wasdal) Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedalda) Kota Padang, Mairizon, saat ditemui Mongabay (08/12/2014) mengatakan, jika merujuk pada ketentuan Peraturan Pemerintah No. 82/2001 tentang pengendalian dan pencemaran air, Batang Arau tidak masuk dalam sungai kelas IV. Artinya air sungai ini sudah tidak layak digunakan oleh manusia bahkan untuk pertanian sekalipun.

Kualitas air Batang Arau diatas ambang batas baku mutu, dari 12 titik lokasi sampling yang dilakukan, paling parah kualitas airnya dilokasi jembatan Siti Nurbaya di mana untuk parameter TSS mencapai 130 mg/l, BOD mencapai 10,00 mg/l dan COD mendapai 72,00 mg/l.

Pabrik karet yang lokasinya tidak jauh dari bibir sungai Batang Arau di kelurahan Lubuk Begalung, kota Padang. Foto: Riko Coubut

Pabrik karet yang lokasinya tidak jauh dari bibir sungai Batang Arau di kelurahan Lubuk Begalung, kota Padang. Foto: Riko Coubut

Bapedalda setiap tahunnya telah melakukan uji sampling atas kualitas air Batang Arau. Perusahaan-perusahaan yang berada tidak jauh dari bantaran sungai telah dihimbau untuk tidak membuang limbah ke aliran sungai dan bahkan telah memberikan teguran kepada perusahaan yang mangkir terhadap himbauan tersebut. Tercemarnya Batang Arau akibat akumulasi limbah mulai dari hulu hingga hilir, tambahnya.

Darman (57) salah seorang nelayan di kawasan Muaro Padang mengaku pasrah melihat sampah-sampah berserakan di sungai. “Ya, bagaimana lagi pak, kawasan muara memang seperti ini, sampah-sampah berserakan, jika pasang air laut surut, sampah-sampah itu baunya menyengat, busuk tidak tanggung-tanggung,” katanya.

Sampah-sampah itu umumnya berasal dari hulu sungai. Seluruh sampah akan bermuara disini. “Beginilah nasib kami yang tinggal dimuara, setiap hari menikmati pemandangan sampah, terutama saat pasang surut,” kata Darman.

Hanya terdapat dua bak sampah di sepanjang bantaran sungai antara kelurahan Pangalangan (arah muara) hingga kelurahan Seberang Palinggam yang berjarak sekitar 2 kilometer. Bak sampah yang disediakan pemerintah ini dalam pengakuan warga sekitar Seberang Palinggam diangkut 3 hari sekali. Walaupun begitu karena minimnya pengetahuan masyarakat dan kesadarannya dalam menjaga lingkungan tetap saja masih ada yang membuang sampah langsung ke sungai.

Perbandingan rasio debit maksimum dan minimum Sungai Batang Arau yaitu 144,00 m3/detik pada saat musim hujan dan 1,12 m3/detik pada saat musim kemarau. Artinya saat musim hujan Batang Arau akan mengalami luapan aliran air permukaan sehingga berpotensi menyebabkan kebanjiran sementara di musim kemarau mengalami kekeringan. Maka tidak salah jika terjadi hujan lebat, kelurahan Seberang Palinggam, Batang Arau dan Pangalangan mengalami kebanjiran.

Nina (49), seorang ibu rumah tangga, mengatakan daerahnya menjadi langganan banjir saat musim hujan, tidak hanya air yang mengenangi rumahnya tapi juga sampah-sampah yang terbawa dari hulu. Sampah itu berserakan saat air sungai surut setelah banjir. Dia tidak menampik dirinya pernah membuang sampah ke Batang Arau. Disisi lain dia juga menyayangkan keberadaan bak sampah yang tidak memadai di daerahnya, hanya berukuran 1,5 x 1 meter dan sudah pecah pula.

Tumpukan sampah berserakan di bibir sungai Batang Arau, namun petugas sering lalai memungutnya. Foto : Riko Coubut

Tumpukan sampah berserakan di bibir sungai Batang Arau, namun petugas sering lalai memungutnya. Foto : Riko Coubut

Banyak kapal-kapal bersandar di kawasan Muaro Padang, dilokasi ini mereka juga melakukan kegiatan perbaikan kapal, bongkar mesin, ganti oli, pengecatan dan lain-lain sebagainya. Jika pasang surut, kita dapat saksikan bangkai-bangkai kapal karam di kawasan ini. Bangkai kapal itu dibiarkan begitu saja. Keberadaan kafe-kafe di sepanjang kawasan Muaro juga berkontribusi sebagai penyumbang pencemaran di Batang Arau, walau hanya beroperasi dari jam 20.00 – 24.00, kebanyakan dari kafe ini langsung membuang limbahnya ke sungai.

Perubahan penggunaan lahan di DAS Batang Arau adalah faktor yang dapat merusak fungsi hidrologis DAS yang diindikasikan oleh seringnya terjadi banjir di kawasan hilir DAS Batang Arau. Diperlukan pengelolaan lingkungan hidup yang serius untuk menyelamatkan Batang Arau. Diantaranya perlu didorong pembangunan yang berwawasan lingkungan agar dapat mengendalikan pemanfaatan sumberdaya alam sesuai dengan daya dukung dan daya tampung yang dimiliki. Dengan pertimbangan itu maka perlu dilakukan berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran yang muncul akibat suatu kegiatan yang berpotensi merusak lingkungan termasuk akibat pembangunan.

 


DAS Batang Arau Padang Tercemar was first posted on December 10, 2014 at 8:02 am.
Viewing all 9428 articles
Browse latest View live