Quantcast
Channel: Mongabay.co.id
Viewing all 9485 articles
Browse latest View live

Protes Lewat Ritual Adat, Warga Kaltim Malah Terjerat Hukum

$
0
0
Suasana pelaksanaan peradilan adat yang dijaga ketat sekitar 2.000-an personil polisi Polda Kaltim. Foto: dari Facebook Merah Johansyah

Suasana pelaksanaan peradilan adat yang dijaga ketat sekitar 2.000-an personil Polda Kaltim. Foto: dari Facebook Merah Johansyah

Protes klaim lahan oleh perusahaan tambang PT Kodeco Jaya Agung (Kideco), warga adat Paser melakukan ritual Belian. Anehnya, ahli waris pemilik lahan, Norhayati, malah terjerat hukum, dan kini menjalani proses persidangan. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim memprotes keras kriminalisasi ritual adat Belian oleh Kideco lewat laporan ke Polda Kaltim.

Persoalan bermula dari 2009, saat Kideco land clearing di lahan masyarakat Desa Songka, Kecamatan Batu Sopang, Kabupaten Paser. Lahan 598 hektar itu ada dalam penguasaan Norhayati sebagai ahli waris dengan bukti surat segel tertanda 1957.

Ambriansyah, Tetua Adat Paser menceritakan,  warga berkali-kali protes dan dialog dengan Kideco mempertanyakan penyerobotan tanah itu. Namun, tidak pernah ada kesepakatan. Kideco tetap membuka lahan. “Upacara Belian langkah akhir masyarakat adat menyelesaikan persoalan ini,” katanya.

Ritual adat Belian mulai 16 Juni 2014 selama lima hari di lahan sengketa. Upacara Belian bentuk tolak bala karena lahan dirampas dan dibuka hingga merusak keseimbangan ekologis.

“Pada waktu ritual itu semua baik-baik saja. Kepolisian Paser datang dan tidak melarang, Wakil Bupati juga hadir dan berjanji membentuk tim membantu penyelesaian masalah.”

Warga menunggu terbentuk tim yang dijanjikan wakil bupati, namun yang datang justru surat kepolisian atas laporan Kideco. Norhayati dianggap menganggu pertambangan karena upacara Belian bersama warga di wilayah tambang Kideco.

Sidang mulai November 2014, Norhayati didakwa pasal 162 UU Minerba No. 4 2009. Norhayati, ahli waris lain dan masyarakat adat Paser dianggap merintangi usaha pertambangan Kideco.

Bayu Saputra Laden, Koordinator Divisi Hukum Jatam Kaltim, mengatakan, Pasal 162 UU Minerba yang berpotensi dan kerap dipakai mengkriminalisasi warga. Padahal, katanya, perusahaan sudah melanggar sejumlah UU. Dia menyebut, mulai Pasal 6 UU Hak Asasi Manusia, sampai Pasal 135 dan 136 UU Minerba, yang menyatakan, setiap perusahaan tambang harus menyelesaikan hak atas tanah sebelum kegiatan.

 

Lukai hati masyarakat adat

Margaretha Seting Beraan, Ketua Badan Pengurus Harian AMAN Kaltim menyatakan, kriminalisasi warga masyarakat adat Paser oleh Kideco adalah ketidakhormatan terhadap masyarakat adat.

“Sebagai perusahaan internasional, Kideco juga melanggar peraturan internasional yang mengakui hak-hak masyarakat adat untuk mengontrol, menjaga dan mengembangkan warisan budaya.”

Kideco adalah perusahaan Korea Selatan, produsen batubara terbesar di Indonesia. Ia mendapat izin PKP2B dari pemerintah pusat baru berakhir 2022. Setiap tahun perusahaan ini mengeruk sekitar 40 juta ton batubara dari bumi Paser dan berusaha menambah jumlah produksi.

“Tindakan Kideco menghina masyarakat adat karena menuduh upacara adat Belian sebagai kejahatan. Ini membuat masyarakat adat terhina dan tak bisa dipersalahkan jika marah besar,” kata Seting.

Merah Johansyah, Dinamisator Jatam Kaltim menyesalkan tindakan Polda Kaltim tergesa-gesa dan tidak berkoordinasi dengan Polres Paser menetapkan Norhyati sebagai tersangka.

Merah menyebutkan, sebelum ini, Kideco pernah memperkarakan Norhayati secara perdata terkait keabsahan kepemilikan lahan. Sidang 30 Mei 2013, lewat keputusan nomor 23/Pdt.G/2012/PN.TG, majelis hakim menolak gugatan Kideco dan menerima sebagian eksepsi Noorhayati. “Jadi secara hukum, Kideco tidak bisa mengklaim lahan itu milik mereka.”

Merah menambahkan, izin Kideco hanya memberikan hak atas mineral bukan lahan. “Jadi perusahaan harus memperoleh izin atau membuat kesepakatan dengan masyarakat yang menguasai lahan itu. Tanpa persetujuan masyarakat operasi tambang itu ilegal,” kata Merah.

Kriminalisasi warga kala mengadakan ritual Belian ini dinilai melecehkan hak-hak masyarakat adat dan kebudayaan.“Sengketa tanah soal biasa di Kaltim, namun menuduh upacara Belian sebagai menganggu pertambangan baru pertama kali terjadi. Penegak hukum merespon dengan menetapkan ahli waris sebagai tersangka. Ini preseden buruk.”

 

Peradilan adat

Pada Senin (23/2/15), warga adat Paser melawan Kideco dengan menggelar peradilan adat di Grand Sadurengas, Grogot, Paser, pukul 14.00. Ini kali pertama peradilan adat digelar terhadap perusahaan tambang karena dinilai menghina dan melecehkan ritual adat Belian Paser.

Ambriansyah dalam siaran kepada media mengatakan, masyarakat adat juga punya hukum sendiri. “Jika Kideco menunggangi hukum negara, sekaligus ini jadi pembelajaran kepada masyarakat adat lain jika ada penindasan harus dilawan.”

Pada sidang 18 Februari lalu, sidang lanjutan Norhayati. Ratusan masyarakat adat Paser berhimpun dari berbagai organisasi seperti Paser Bekeray dan AMAN, aksi di Pengadilan Negeri Paser, Tana Grogot. Sekitar 70 personil kepolisian berjaga. Mereka juga mendatangi dan menduduki kantor Kideco sekitar 11 jam. Ratusan warga menggunakan pakaian adat pontun, mandau dan atribut adat tampak di teras hingga ruang pertemuan.

Ditempat terpisah, Minggu, (22/2/15), Baharuddin Demo, anggota Komisi III DPRD Kaltim menyayangkan respon komisi lambat atas persoalan tambang antara Kideco dengan warga.

“Ketua komisi III pernah menyatakan akan mengundang Jatam, tapi sampai sekarang tidak pernah. Persoalan ini berlarut, lembaga perwakilan rakyat seharusnya merespon persoalan ini,” kata Baharuddin.

Komisi III, katanya,  harus bisa menjembatani persoalan ini, misal melalui pertemuan antara masyarakat, perusahaan dan pemerintah. “Persoalan ini harus diselesaikan dengan bijaksana, bukan mengkriminalisasikan acara adat sebagai kejahatan.”

 

 


Protes Lewat Ritual Adat, Warga Kaltim Malah Terjerat Hukum was first posted on February 23, 2015 at 11:26 pm.

Pemerintah Diminta Tindaklanjuti Putusan MK Tentang Pembatalan UU Air. Seperti Apakah?

$
0
0

Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan pembatalan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) melalui putusan bernomor Nomor 85/PUU-XII/2013 pada Sidang Pleno MK pada Rabu (18/02/2015).

Menanggapi hal tersebut, Koalisi Rakyat Untuk Hak Atas Air (Kruha) meminta kepada pemerintah untuk segera membuat kebijakan yang mematuhi putusan MK tersebut. “Pemerintah harus segera melakukan tindakan yang dianggap perlu untuk mematuhi putusan MK, dengan menghentikan kebijakan yang mendorong legitimasi privatisasi air,” kata Koordinator Kruha, Muhammad Reza yang dihubungi Mongabay, akhir pekan kemarin.

Dengan batalnya UU SDA oleh MK, lanjut Reza, membuktikan bahwa pengajuan gugatan oleh mereka sejalan dengan pertimbangan MK bahwa sumber daya air merupakan bagian dari hak asasi manusia dan negara merupakan pemegang hak penguasaan atas air.

 

Lokasi sumber mata air Umberl Gemulo yang debitnya terus menurun. Foto: Tommy Apriando

Lokasi sumber mata air Umberl Gemulo yang debitnya terus menurun. Foto: Tommy Apriando

 

Reza melanjutkan bahwa keputusan MK menyebutkan hak penguasaan atas air dari pemerintah tidak boleh dilimpahkan kepada pihak lain. Privatisasi hak air atau Hak Guna Usaha Air tidak boleh dimaksudkan sebagai pemberian hak oleh pemerintah atas penguasaan atas sumber air, sungai, danau, atau rawa.“Privatisasi air dilarang dalam undang-undang kita. Berbeda dengan minyak dan gas,” katanya.

Dengan pembatalan UU SDA oleh MK, maka peraturan hukum pengelolaan air kembali menggunakan UU No.11/1974 tentang Pengairan. Tetapi UU Pengairan tersebut tidak cukup untuk mengatur tentang hak guna usaha air oleh pihak swasta. “UU Pengairan tidak cukup membatasi privatisasi air,” kata Reza.

Oleh karena itu, pemerintah harus segera merevisi peraturan pemerintah (PP) No 16/2005 tentang Pengembangan Sistem Pengelolaan Air Minum atau PP PAM yang mengatur pengelolaan hak air kepada pihak swasta.

PP PAM itu merupakan salah satu yang diteliti oleh MK, lanjut Reza, dimana pemerintah melegitimasi privatisasi, komersialisasi dan monopoli air kepada pihak lain. Dengan PP tersebut, pihak swasta menganggap air sebagai komoditas ekonomi kepada masyarakat luas.

“Hak penguasaan sumber daya air harus tetap dimiliki oleh negara, yang harus diurus dan dikelola. Kita tinggal menunggu pemerintah cepat bertindak terhadap putusan MK ini dan jangan meletakkan kepentingan sektor bisnis dengan kepentingan warga negara,” tambahnya.

 

Pembatalan UU SDA Keseluruhan

Sebelumnya, MK memutuskan membatalkan keberlakuan secara keseluruhan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) karena tidak memenuhi enam prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air.

Dalam pertimbangannya,  MK menyatakan bahwa sumber daya air sebagai bagian dari hak asasi, sumber daya yang terdapat pada air juga diperlukan manusia untuk memenuhi kebutuhan lainnya, seperti untuk pengairan pertanian, pembangkit tenaga listrik, dan untuk keperluan industri, yang mempunyai andil penting bagi kemajuan kehidupan manusia dan menjadi faktor penting pula bagi manusia untuk dapat hidup layak.

 

Warga Bali kesulitan air bersih. Mereka mencari air bersih ke mana-mana. Air dari PDAM tak jalan, mereka harus membeli per tangki atau harus membuat sumur bor dengan biaya mahal. Foto: Anton Muhajir

Warga Bali kesulitan air bersih. Mereka mencari air bersih ke mana-mana. Air dari PDAM tak jalan, mereka harus membeli per tangki atau harus membuat sumur bor dengan biaya mahal. Foto: Anton Muhajir

 

Wakil Ketua MK Anwar Usman dalam pembacaan putusan MK mengatakan bahwa negara diberi mandat dalam UUD 1945 untuk membuat kebijakan (beleid), masih memegang kendali dalam melaksanakan tindakan pengurusan (bestuursdaad), tindakan pengaturan (regelendaad), tindakan pengelolaan (beheersdaad), dan tindakan pengawasan (toezichthoudensdaad).

Sehingga, negara masih tetap memegang hak penguasaannya atas air itu, yang menjamin pengguna sumber daya air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk pertanian rakyat tidak dibebani biaya jasa pengelolaan sumber daya air, sepanjang pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk pertanian rakyat di atas diperoleh langsung dari sumber air.

 

Swasta Tidak Boleh Kuasai Pengelolaan Air

Keputusan MK juga menyebutkan hak guna usaha air dari pemerintah kepada pihak lain tidak boleh tidak boleh dimaksudkan sebagai pemberian hak penguasaan atas sumber air, sungai, danau, atau rawa. Dan permohonan hak guna usaha air haruslah melalui permohonan izin kepada Pemerintah yang penerbitannya harus berdasarkan pada pola yang disusun dengan melibatkan peran serta masyarakat yang seluas-luasnya.

“Dengan demikian, swasta tidak boleh melakukan penguasaan atas sumber air atau sumber daya air tetapi hanya dapat melakukan pengusahaan dalam jumlah atau alokasi tertentu saja sesuai dengan alokasi yang ditentukan dalam izin yang diberikan oleh negara secara ketat,” ujar Hakim Konstitusi Aswanto dalam pembacaan putusan MK.

Hal lain yang dipertimbangkan MK, terkait prinsip “penerima manfaat jasa pengelolaan sumber daya air wajib menanggung biaya pengelolaan” harus dimaknai sebagai prinsip yang tidak menempatkan air sebagai objek untuk dikenai harga secara ekonomi.

Dengan demikian, tidak ada harga air sebagai komponen penghitungan jumlah yang harus dibayar oleh penerima manfaat. Di samping itu, prinsip ini harus dilaksanakan secara fleksibel dengan tidak mengenakan perhitungan secara sama tanpa mempertimbangkan macam pemanfaatan sumber daya air.

“Oleh karena itu, petani pemakai air, pengguna air untuk keperluan pertanian rakyat dibebaskan dari kewajiban membiayai jasa pengelolaan sumber daya air,” tambah Aswanto.

 

 

 


Pemerintah Diminta Tindaklanjuti Putusan MK Tentang Pembatalan UU Air. Seperti Apakah? was first posted on February 24, 2015 at 1:00 am.

Riset Temukan Kayu Ilegal Topang Industri, Menteri Siti Buka-bukaan Soal Pelaku

$
0
0

Hutan alam di Kalimantan ini terbabat perusahaan HTI guna menenuhi pasokan kayu bagi industri. Foto: Gapeta Borneo

Hasil penelitian Koalisi Anti Mafia Kehutanan dan Forest Trends menemukan penggunaan kayu oleh perusahaan besar diduga masih dipasok dari sumber-sumber ilegal karena konsumsi lebih besar dari pasokan legal yang tercatat di Kementerian Kehutanan. Bahkan, tahun 2014 perbedaan mencapai 20 juta meter kubik (m3) atau lebih 30%. Sedangkan, jika diakumulasi antara pasokan legal dan penggunaan industri, periode 1991-2014 terjadi perbedaan sebesar 219 juta m3 kayu!

Para 2007, pemerintah membuat Peta Jalan Revitalisasi Industri Kehutanan untuk menyelesaikan dua permasalahan utama, yakni ketidakcukupan persediaan bahan baku, dan kapasitas berlebih dalam pengolahan. Fase pertama Peta Jalan ini, 2009-2014, sudah terlewati, sayangnya dua masalah itu masih terjadi.

Mengacu Peta Jalan, sektor kehutanan harus memenuhi setidaknya 630 juta m3 dalam kurun 2007-2014 pada fase pertama. Dari temuan riset, hanya 49% dari target bisa terpenuhi. Sampai saat ini, pemenuhan kebutuhan perusahaan skala besar, masih tergantung dari hutan alam. Panen kayu dari hutan alampun, bukan dari tebang pilih, tetapi tebang habis.

Analisis Kementerian Kehutanan, mengindikasikan, pada 2005 konsumsi  kayu  bulat  ilegal  mencapai 20,3 juta m3, 46% dari persediaan kayu itu ilegal. Pada 2014, analisi koalisi tak berbeda jauh. “ “Ini mengkhawatirkan mengingat pasokan kayu lestari saat ini belum ada,” kata Riko Kurniawan, Direktur Eksekutif Walhi Riau, kala launching laporan pekan lalu di Jakarta.

Laporan itu menyebutkan, dalam kondisi ketergantungan kayu hutan alam dari pembukaan lahan, dan performa HTI di bawah standar, dibarengi kapasitas terpasang industri berlebih, penggunaan bahan baku kayu saat ini melebihi persediaan legal. Dalam laporan terakhir, APKI menyatakan pulp dan kertas hanya beroperasi pada kapasitas 80%. Jika sektor ini beroperasi pada kapasitas penuh, maka penggunaan kayu akan bertambah lagi 10 juta m3.

Dengan kenyataan ini, sebut laporan itu, pembangunan pabrik baru hanya akan memperparah masalah pasokan kayu yang sudah defisit. Jika peningkatan pasokan kayu legal tidak terjadi, dan pabrik beroperasi kapasitas penuh, ditambah pabrik pulp APP baru di Sumatera Selatan, juga di Kalimantan dan Papua, kekurangan pasokan kayu menjadi 44 juta m3. Dalam skenario ini, lebih 59% konsumsi kayu industri primer akan dari sumber-sumber ilegal.

Hasil riset berjudul Indonesia’s Legal Timber Supply Gap and Implications for Expansion of Milling Capacity ini juga memperlihatkan perbedaan data antara Kementerian Kehutanan dan asosiasi. Kondisi ini, mengindikasikan kredibilitas data Kementerian Kehutanan (kini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dipertanyakan.

Untuk itu, koalisi merekomendasikan beberapa hal. Pertama, kepada Kementerian LHK agar mengevaluasi menyeluruh kemampuan pasokan kayu Indonesia dan konsumsi industri. Kedua, Kementerian LHK menunda rencana perizinan penambahan kapasitas industri hingga evaluasi selesai dengan data akuntabel dan akurat. Ketiga, Kementerian LHK agar menghindari insentif bagi industri yang memungkinkan penggunaan kayu dari hutan alam dengan cara konversi hutan (hutan alam ke hutan tanaman).

Keempat, kepada penyediaan jasa pembiyaan agar due diligence lebih ketat terhadap industri kehutanan untuk menghindari risiko hukum dan pembiayaan.

 

Sumber: presentasi Koalisi Anti Mafia Hutan

Sumber: presentasi Koalisi Anti Mafia Hutan

 

Riko juga memaparkan,  betapa penguasaan HTI di Riau menghancurkan hutan dan gambut daerah itu. Kuasa izin perusahaan yang mencapai 1,6 juta hektar lebih ini juga menciptakan konflik dengan masyarakat.  “Setelah hutan habis dijarah tak ditanami. Lahan dibiarkan kosong…,” katanya.

Pulau-pulau kecil di Riau, yang sesuai aturan tak boleh ada izin konsesi tak luput dari incaran HTI, seperti Pulau Rupat.  Tak pelak, dampak pemenuhan kebutuhan kayu seperti ini, katanya, banyak kerusakan alam dan lahan gambut  “Ini kegagalan industri pulp and paper buat menanam,  mereka lebih senang menebang.”

Grahat Nagara, Juru Bicara Koalisi Anti Mafia Hutan mengatakan, konsumsi industri lebih dari pasokan kayu legal yang tercatat ini memberikan dampak ganda. Tak hanya kerusakan lingkungan, konflik sosial juga kerugian negara.  “Sekitar Rp55 triliun kekayaaan negara tak terpungut periode 1991-2014. Yang dibayarkan kepada negara hanya bagian sangat kecil,” katanya.

Togu Manurung, Ketua Forest Watch Indonesia (FWI) juga menanggapi. Menurut dia, temuan koalisi ini harus menjadi perhatian utama. Karena, sudah ada peta jalan revitalisasi industri kehutanan Indonesia, tetapi tak terealisasi.

Dia menceritakan, pada 2007, bersama tim membuat peta jalan revitalisasi industri kehutanan Indonesia. “Saya yang buat, saya ketua. Saat itu penasehat Menteri Kehutanan. Bentuk tim, ada pakar-pakar dari dalam dan luar Kementerian Kehutanan,” katanya.

Sebelum 2007, sudah lebih tujuh tahun industri kehutanan pengelolahan kayu mengalami permasalahan serius, yakni, kekurangan pasokan kayu. Kekurangan besar itu, ditutup dengan kayu curian, dari hutan alam dan taman nasional.

“Volume kayu ilegal, per Januari 2003, 51 juta meter kubik per tahun. Produksi kayu legal dari HPH, kurang dari 12 juta meter kubik. Jauh lebih besar ilegal.  Ini masalah serius dan hasilkan kerusakan hutan sangat massif.”

Lalu bikin peta jalan revitalisasi industri perkayuan nasional dengan sasaran ke depan pasokan bahan baku kayu tak lagi dari hutan alam tetapi HTI dan hutan tanaman.  Namun,  yang terjadi, pembangunan HTI sampai hari ini berjalan sangat lambat dan data terbitan Kementerian LHK sangat bermasalah.

“Peta jalan mungkin yang bagus prosesnya tapi tak pernah dijalankan.”

Seharusnya, kata Togu, Indonesia bisa menghasilkan banyak sekali kayu karena berada di daerah tropis, yang bisa panen matahari sepanjang tahun. “Pohon bisa cepat tumbuh. Harusnyalah, Indonesia punya keuntungan komparatif, dan mampu mengkapitalisasi keunggulan ini untuk produksi banyak kayu. Ini  yang tak dilakukan selama ini. Kesalahan fatal yang harus dikoreksi,” ujar dia.

 

Sumber: presentasi Koalisi Anti Mafia Hutan

Sumber: presentasi Koalisi Anti Mafia Hutan

 

Pintu masuk dari kayu konversi

Aditya Bayunanda, Koordinator Jaringan Hutan WWF Indonesia mengatakan, Indonesia sudah menerapkan sertifikasi verifikasi legalitas kayu (SVLK) yang wajib bagi semua unit manajemen kehutanan, termasuk kayu-kayu dari hasil konversi dari hutan ke kebun, tambang atau yang lain.

“SVLK kalau benar-benar dilakukan konsekuen akan jadi solusi. Ia memungkinkan pihak lain verifikasi.”

Sayangnya, masih ada kelemahan karena dalam implementasi tak menyeluruh. Sampai saat ini, katanya, kayu-kayu konversi atau dari izin pemanfaatan kayu (IPK) belum ber-SVLK.  “Jadi, wajar saja kalau ada pintu masuk dari sini. SVLK punya kekosongan besar karena tak dijalankan pada kayu-kayu konversi dan IPK.  Kayu-kayu IPK itu tempat pencucian paling mudah kayu-kayu ilegal. Karena areal sudah bersih, bukti fisik sudah bersih. Gak jelas, sudah tak bisa verifikasi.”

Koalisi Anti Mafia Kehutanan ini, antara lain terdiri dari Walhi, Auriga, Eyes on The Forest, ICW, Jikalahari, IWGFF, Transparency International dan WWF.

 

Banyak yang terlibat

Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, ketika dimintai tanggapan soal riset Koalisi Anti Mafia Kehutanan ini, langsung membenarkan. Dia juga menghitung soal selisih antara pasokan kayu dan penggunaan industri serta melihat ada sumber kayu ilegal.

Menurut dia, laporan dari Kementerian Perdagangan juga mengindikasikan hal sama. “Kalau dilihat ekspor juga gitu. Kata Perdagangan,  ada US$10 miliar tetapi menurut yang dideteksi dari legalitas kayu cuma US$6,6 miliar. Trus yang lain dari mana? Berarti kita kehilangan. Aku langsung mikir,  itu soal illegal logging,” katanya di Jakarta.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, katanya, sudah mempunyai data dan sedang memformulasikan masalah ini. Pelaku, kata Siti, tak hanya kalangan swasta, juga sampai TNI.  “Kita sudah punya data, swasta yang terlibat, lokasi di mana dan tinggal sedikit lagi. Berkoordinasi dengan Polri. Karena ada unsur-unsur TNI saya mesti konsul dengan panglima,” katanya.

Menurut dia, modus illegal logging itu bermacam-macam dari pemberian izin sampai pembabatan dalam luasan kecil tetapi banyak. “Ada yang tahu-tahu sudah rapi jadi sawit. Ada yang terjadi aja,  kecil-kecil, banyak, di ujung-ujung,  di pinggir-pinggir, lewat IPK. Ada kena di transportasi. Begitu dicek surat, dan kejadian lain, volume dengan surat lain, bisa juga ngambil di daerah yang tak berizin, dia punya izin lalu ngambil di luarnya. Macam-macam model. Kita sudah petakan,” ucap Siti.

Dia menyadari, pembalakan liar dengan berbagai modus ini terjadi karena pengawasan lemah, termasuk dengan begitu banyak izin keluar di kawasan hutan. “Iya, itu dari awal saya bilang, kita kasih izin banyak-banyak tapi kesalahan tak lakukan pengawasan dengan baik dan  lengkap. Saya pikir, malah bagus, pengawasan bareng-bareng aja dengan independen, biar integritas terjaga semua.”

Untuk itu, katanya, kementerian akan mengintensifkan kerja sama dengan PPATK. Sedang internal kementerian, katanya, dilakukan upaya pemurnian birokrat. “Yang pasti, birokrasi dimurnikan, kembali jadi birkorat beneran dengan segala tanggung jawab.”

 

Perbandingan pasokan kayu dan penggunaan oleh industri. Sumber: Koalisi Anti Mafia Hutan

Perbandingan pasokan kayu dan penggunaan oleh industri. Sumber: Koalisi Anti Mafia Hutan

 

 

Poin-poin temuan penelitian Koalisi Anti Mafia Kehutanan: 

*Sektor kehutanan terus berevolusi dari komoditas utama kayu lapis menjadi pulp dan kertas.

*Hal ini akan meningkatkan tekanan pada sektor hutan tanaman, baik terhadap luas HTI baru maupun tingkat produktivitas HTI.

*Karena itu, peningkatkan konflik sosial baru berpotensi terjadi seriing dengan dibukannya HTI baru.

*Masih ada kekurangan 86 juta m3 dari target pasokan kayu HTI sebagaimana dicanangkan dalam Peta Jalan Kementerian Kehutanan, atau industri mestinya harus menghasilkan 46% lebih banyak pasokan kayu

*Pasokan kayu HTI tidak cukup untuk menunjang produksi pabrik pulp saat ini; peningkatan kapasitas produksi akan memperparah situasi.

*Industri kehutanan akan terus membutuhkan kayu dari hutan alam sebagai sumber bahan baku. Tekanan ini akan “terfasilitasi” oleh pabrik pulp yang bisa menerima bahan baku dari berbagai tipe kayu.

*Terdapat kebutuhan yang mendesak untuk melengkapi inventori HTI yang ada saat ini dan data pembukaan hutan yang dibuka untuk HTI baru.

*Pasokan kayu dari pembukaan lahan untuk HTI dilaporkan menurun, namun proses ini tidak lagi diregulasi dengan izin IPK – kayu yang dipanen selama pembukaan lahan untuk HTI saat ini dilaporkan di dalam Laporan Tahunan Kementerian Kehutanan sebagai kayu yang berasal dari sumber “lainnya”. Hal ini dapat berdampak terhadap kerangka kebijakan yang mengelola proses konversi hutan, termasuk kegiatan pemantauannya. Ini cukup mengkhawatirkan karena di masa lalu saja, ketika izin IPK masih bisa berlaku, kontrol konversi hutan saja tidak memadai (volume kayu yang ditebang saat pembukaan lahan untuk perkebunan kayu dan kelapa sawit jauh melampaui volume yang dilaporkan dalam IPK).

*Konversi lahan yang kurang diregulasi dengan baik cenderung merugikan pendapatan negara, karena kayu hutan alam yang seharusnya dikenakan iruan Dana Reboisasi (DR) tidak lagi terpantau ketika dimasukkan dalam kategori HTI (atau tidak dilaporkan dilaporkan sama sekali).

*Konversi lahan yang kurang diregulasi dengan baik dapat berdampak buruk terhadap kontrol SVLK yang bertujuan mencegah pencucian kayu ilegal ke dalam rantai pasokan yang legal. Hal ini dapat merusak legalitas peraturan perundang-undangan yang diatur oleh VPA.

*Untuk data yang paling terkini, antara 2009–2013, deforestasi terkait dengan pembukaan lahan berkontribusi terhadap 60% hingga 74% dari seluruh kayu yang dilaporkan berasa dari hutan alam. (Catatan: Hal ini tidak mencakup kayu yang kemungkinan besar dipanen saat pembukaan lahan untuk perkebunan namun tidak dilaporkan dalam perijinan IPK. Jika volume ini dimasukkan, maka kemungkinan akan meningkatkan kontribusi kayu yang dipanen dari deforestasi hingga hampir 90%).

*Secara keseluruhan, penggunaan kayu yang dilaporkan terus melampaui persediaan legal.

*Kementerian Kehutanan cenderung melaporkan tingkat penggunaan kayu yang lebih rendah: i) laporan produksi pulp dari industri lebih besar dari pemerintah, ii) penggunaan kayu oleh pengelola berskala kecil tidak termasuk, begitu juga dengan kayu yang diselundupkan tidak dilaporkan.

*Kesenjangan antara penggunaan dan persediaan kayu legal cenderung lebih besar daripada yang dilaporkan di sini. Hal ini tidak hanya mencerminkan kelemahan dalam tata kelola tetapi juga indikasi terjadinya pendapatan negara yang tidak terpungut.

*Peningkatan kapasitas yang telah direncanakan akan memperparah kesenjangan persediaan kayu secara legal, dan industri akan terus bergantung pada pasokan kayu hutan alam yang sangat mungkin tidak dilaporkan, dan ilegal.

*Indonesia sebaiknya tidak meningkatkan kapasitas industri hingga kekurangan persediaan kayu sudah teratasi. Kajian independen, dengan data yang akurat untuk dievaluasi, dapat mengkonfirmasi persediaan kayu secara legal dari HTI dan hutan alam.

Sumber: Penelitian Koalisi Anti Mafia Kehutanan

Sumber: presentasi Koalisi Anti Mafia Hutan

Sumber: presentasi Koalisi Anti Mafia Hutan

 


Riset Temukan Kayu Ilegal Topang Industri, Menteri Siti Buka-bukaan Soal Pelaku was first posted on February 24, 2015 at 1:44 am.

Walah! Di Hutan Lokasi Latihan TNI, Polisi Sita Kayu Ilegal

$
0
0
Ini salah satu contoh pembalakan di hutan  SImalungun ini. Kayu diangkut pada malam hari agar tak ketahuan. Foto: Ayat S Karokaro

Ini salah satu contoh pembalakan di hutan Simalungun ini. Kayu diangkut pada malam hari agar tak ketahuan. Foto: Ayat S Karokaro

Aparat gabungan dari Polda Sumatera Utara bersama Polres Simalungun, menutup lokasi latihan pasukan TNI Kodam I/BB, khusus di Desa Togur, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun. Police line ini, karena penemuan ribuan kubik kayu bulat dan olahan, diduga hasil kejahatan kehutanan dan pembalakan liar.

Dari data dihimpun Mongabay, barang bukti kayu bulat dan kayu olahan dari hutan di Simalungun disita sebanyak 1.340 meter kubik (m3).

AKBP Heri Sulismono, Kapolres Simalungun, ketika dikonfirmasi Senin (23/2/15) membenarkan. Kasus ini, katanya, masuk kepentingan dua institusi, maka penanganan diambil alih Polda Sumut di Medan. Hal ini mencegah gesekan antara dua institusi, mengingat lokasi yang dipolice line, selama ini menjadi tempat latihan prajurit jajaran Kodam I/BB.

“Lokasi ribuan kubik kayu di  Desa Togur, selama ini menjadi tempat latihan prajurit TNI. Jadi sekali lagi, agar tidak ada gesekan antar institusi, diambilalih Polda Sumut, ” kata Heri.

Meskipun penangan diambilalih penyidik Polda Sumut, untuk pengumpulan barang bukti dan penyidikan, Polres Simalungun membantu, seperti pemeriksaan tambahan, guna melengkapi berkas segera dilimpahkan ke kejaksaan.

Kasus ini, katanya, sudah berulangkali terbongkar, dengan barang bukti bervariasi. Lokasi juga hampir sama, tempat latihan militer. Namun dia sedikit mengalami kendala, jika ingin ke lokasi, karena latihan TNI.

“Kita amankan, muncul lagi, diamankan, muncul lagi. TKP lokasi itu. Agak susah sih masuk ke lokasi, tetapi kita akan terus menyidik kasus ini hingga tuntas untuk mengungkap siapa aktor intelektual.”

Kepala Penerangan Daerah Militer Kodam I/BB, Letkol Inf. Enoh Solahuddin, ketika dikonfirmasi Mongabay, membantah ada penutupan lokasi daerah militer oleh penyidik kepolisian.

Namun, katanya, lokasi ber-police line adalah tempat penemuan barang bukti ribuan kubik kayu dari hutan yang selama ini  jadi lokasi latihan militer. Dia menyatakan, tidak mengalami gangguan apapun, latihan militer tetap berjalan.

Dia khawatir jika proses penyidikan tidak memberitahu Kodam I/B. Sebab, jika ada yang masuk tanpa diketahui, sangat berbahaya, khusus jika ada latihan militer.

“Meski begitu kami akan konfirmasi ulang di lapangan. Sejauh ini belum ada masalah. Kami harus diberitahu jika mau masuk ke dalam. Jangan nanti masuk gak diketahui, eh saat latihan militer terkena peluru nyasar karena prajurit tengah latihan, kan bisa berbahaya.” Dia juga berjanji mendalami dugaan tindak pidana kehutanan di kawasan latihan militer TNI ini.

TNI, kata Enoh, akan mendukung penuh penegakan hukum kehutanan, khusus penyidikan perkara illegal logging.  “Kami akan membantu jika perlu penyidik baik Polri maupun PPNS dari Dinas Kehutanan, TNI komit memerangi kejahatan kehutanan.”

Sementara itu, Jopinus Ramli Saragih, Bupati Simalungun menyatakan telah menerima surat dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya, yang mendesak agar menangani serius perkara illegal logging di kabupaten ini.

Dia mengatakan, sejak lama komit memberantas pembalakan liar, dengan membentuk satgas pemberantasan illegal logging, melibatkan Dinas Kehutanan, kepolisian dan TNI, kejaksaan, serta masyarakat.

Inilah kayu-kayu dari hutan Simalungun. Pembalakan liar di kawasan ini memang marak.  Polisi belum lama inii mengamankan para pembalak liar yang terkait dengan pejabat daerah itu. Kini, ribuan kubik disita dari hutan ini. Foto: Ayat S Karokaro

Inilah kayu-kayu dari hutan Simalungun. Pembalakan liar di kawasan ini memang marak. Polisi belum lama inii mengamankan para pembalak liar yang terkait dengan pejabat daerah itu. Kini, ribuan kubik disita dari hutan ini. Foto: Ayat S Karokaro

 

 

 

 


Walah! Di Hutan Lokasi Latihan TNI, Polisi Sita Kayu Ilegal was first posted on February 24, 2015 at 3:22 am.

Inilah Kota-kota “Berlangit Biru” Terbaik di Indonesia, Benarkah?

$
0
0

Kota Palembang, masih masuk kota yang kerap diselimuti kabut asap kebakaran hutan dan lahan hingga kualitas udara tak baik. Kota ini masuk kota ‘berlangit hijau’ 2014, karena dinilai berudara baik. Dalam evaluasi itu, kementerian menilai, kebijakan pemerintah daerah terutama soal transportasi terbilang ‘hijau’ . Foto: Muhammad Ihksan

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengevaluasi kualitas udara perkotaan (Ekup) sepanjang Maret-Oktober 2014.  Tujuannya, untuk mengetahui kualitas udara sekaligus mendorong agar kota-kota di Indonesia mengelola kualitas udara.

Hasil terbaik evaluasi 2014,  kategori kota metropolitan diraih Palembang (skor indeks 78,50),  Surabaya (75,78), Jakarta Pusat (70,27), Jakarta Selatan (69,11) dan Medan (68,82). Kategori kota besar diraih Tangerang Selatan (82,34), Pontianak (72,54), Balikpapan (71,63), Malang (67,79) dan Padang (65,08). Untuk kota sedang dan kecil Ambon (77,58), Serang (74,95), Banda Aceh (72,78), Pangkal Pinang (72,01) dan Palu (71,18).

“Palembang menjadi terbaik karena kota itu sudah membuat perda emisi. Di Palembang kendaraan umum sudah menggunakan bahan bakar gas. Pemerintah Bali dan beberapa daerah lain juga sudah mencoba ke arah sana,” kata  MR Karliansyah, Deputi Pengendalian Pencemaran Lingkungan KLHK, di Jakarta, Rabu (18/2/15).

Dia mengatakan, yang dievaluasi 13 kota metropolitan, 15 kota besar dan 16 kota sedang atau kecil. KLHK,  bekerjasama dengan berbagai pihak, seperti pemerintah provinsi, pemerintah kota, Polresta, Dinas Perhubungan, tim ahli, laboratorium, LSM dan perguruan tinggi.

Menurut dia, indikator penilaian adalah uji emisi, kinerja lalu lintas dan pemantauan kualitas udara. Pengukuran kualitas udara di jalan raya meliputi parameter karbon monoksida (CO), nitrogen monoksida (NO2), hidrokarbon (CO), oksidan (O3), partikulat (PM10) dan sulfur dioksida (SO2). Penilaian di tiga ruas jalan arteri pilihan bersama dan dianggap mewakili suatu kota selama tiga hari.

“KLHK berusaha mendorong kota-kota di Indonesia memberikan kontribusi bagi udara bersih dan sehat yang memenuhi baku mutu kualitas udara ambien.”

Kota yang melebihi ambang batas ambien hidrokarbon seperti Medan, Semarang, Tangerang, Makassar, Bandar Lampung, Banjarmasin, Batam, dan Samarinda. Lalu, Pekanbaru, Banda Aceh, Pangkal Pinang, Bengkulu, Tanjung Pinang, Mataram dan Jayapura. Sedang, kota yang melebihi ambang batas ambien PM10 adalah Tangerang dan Yogyakarta.

Melalui evaluasi ini, katanya, mendorong pemerintah kota menerapkan konsep transportasi berwawasan lingkungan. ”Ini penting karena 70% pencemaran udara di perkotaan dari transportasi,” katanya.

Beberapa waktu lalu, katanya,  Menteri LHK Siti Nurbaya sudah mengirimkan surat kepada Menteri Perekonomian guna pembahasan bahan bakar menuju Euro-4.

“Di ASEAN ada kesepakatan 2016 negara yang tergabung harus menggunakan bahan bakar standar Euro-4. Pertamina baru bisa 2019.”

Karliansyah mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat bagus, bahkan masuk 10 besar ekonomi dunia. Namun, tidak dibarengi perbaikan kualitas udara dan lingkungan hidup.

“Yale University April 2014 mengeluarkan indeks kualitas lingkungan hidup. Indonesia urutan 112 dari 178 negara. Salah satu indikator adalah kualitas udara. Ini berkorelasi dengan indeks kualitas manusia, Indonesia urutan 121 dari 186.”

Melalui program ini, KLHK menghasilkan rekomendasi perbaikan kebijakan, strategi dan rencana aksi pengelolaan kualitas udara bagi tiap kota.

“Indeks kualitas udara kita saat ini 63,80. Di dalam RPJM dipatok bisa meningkatkan indeks 2015 menjadj 81 dan akhir kabinet ini 84.”

Dia mengatakan, menaikkan indeks bukan hal mudah, perlu perbaikan menyeluruh terutama transportasi dan bahan bakar. ”Kami menyarankan pemerintah daerah menerapkan kebijakan pembatasan kendaraan pribadi.”


Inilah Kota-kota “Berlangit Biru” Terbaik di Indonesia, Benarkah? was first posted on February 24, 2015 at 10:17 pm.

Berharap Tanggung Jawab Pengusaha HPH untuk Hijaukan Kembali Pesisir Timur OKI. Akankah Dilakukan?

$
0
0

Kehidupan masyarakat di pesisir timur Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan memang harus diperhatikan. Kehidupan mereka hanya mengandalkan pertanian dan mencari ikan. Foto: Rhett Butler

Kerusakan hutan dan lahan gambut di Pesisir Timur Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, tidak lepas dari tanggung jawab dari para pengusaha yang memiliki izin hak pengusahaan hutan (HPH) di era rezim Orde Baru. Harusnya, para pengusaha HPH tersebut bertanggung jawab dengan melakukan reboisasi atau penghijauan, serta membantu para petani atau masyarakat desa yang hidupnya miskin.

“Jika mereka diproses hukum, hanya mereka yang menderita atau menyesal, tapi hutan dan lahan gambut tetap rusak. Menurut saya, alangkah baiknya mereka yang selama ini menikmati kekayaan dari hasil penggundulan hutan, melakukan upaya perbaikan kembali hutan yang rusak tersebut,” kata Anwar Sadat, Sekretaris Jenderal Serikat Petani Sriwijaya (SPS), Selasa (24/02/2015).

Menurut Sadat, program penanaman satu miliar pohon saat ini masih kurang efektif. Pasalnya, yang melakukan penanaman bukanlah pihak yang secara langsung merambah hutan sehingga kurang begitu paham kondisi hutan saat ini. “Akibatnya, gerakan ini hanya menghasilkan aksi penanaman pohon di lingkungan perkantoran, taman kota, atau di sekolah. Hampir semua dilaksanakan di kota, padahal yang rusak kan hutan,” kata Sadat.

Sadat menerangkan, sejarah HPH dimulai dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (UUPK). Motifnya adalah demi kepentingan nasional. Pengusahaan hutan diupayakan untuk menopang pembangunan nasional sebagai penyumbang devisa negara, penyerapan tenaga kerja, dan membangun industri pengelolaan hasil kehutanan. UUPK menjadi salah satu pintu bagi penanaman modal asing maupun modal dalam negeri.

Selanjutnya, setelah era reformasi, UUPK diganti dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUK). UU ini mengubah paradigma pengelolaan hutan yang sebelumnya hanya bersifat ekonomi sentris menjadi lebih bersifat ekologi sentris yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. UUK juga mengatur mengenai hutan adat dan kedudukan serta peran masyarakat.

Oleh karena itu, Sadat juga menghimbau pemilik HPH untuk memperhatikan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan hutan serta meminimalisir konflik dengan masyarakat di sekitar.

“Pada prinsipnya, semua hutan dan kawasan hutan dapat dimanfaatkan dengan mempertimbangkan sifat dan karakteristiknya, sehingga keseimbangan dan kelestariannya dapat terpelihara,” ujar Sadat.

Rimba menjadi padang rumput

Kawasan lahan gambut di pesisir timur Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, pada 1970-an masih dipenuhi hutan. Meskipun saat itu sudah ada usaha penebangan pohon.

Tapi sejak 1982, aktivitas penebangan hutan kian menjadi. Ini dibarengi dengan program transmigrasi dan pengembangan perkebunan sawit. Puncak kerusakan hutan terjadi tahun 1990-an.

Berdasarkan data yang dimilikinya, Sadat menuturkan, awal 1990-an, tercatat 125 perusahaan pemotongan dan penggegajian kayu yang beroperasi di pesisir timur Kabupaten OKI. Setiap hari perusahaan tersebut mengeluarkan minimal 20 kubik kayu, atau 2.500 kubik kayu dikeluarkan dari pesisir timur OKI setiap harinya.

Dalam satu bulan, dengan asumsi 20 hari kerja, sekitar 50.000 kubik dikeluarkan. Jika dikalikan 12 bulan, maka 600.000 kubik kayu setiap tahun. Jumlah itu sama dengan 300.000 pohon.

“Ini dilakukan selama delapan tahun. Angka ini belum ditambah dengan penebangan yang dilakukan tahun 1970-an hingga 1980-an. Ironinya, setelah gundul terjadi kebakaran besar pada 1997 dan 1998, sehingga habislah wilayah pesisir timur tersebut,” katanya.

Tidak heran, kata Sadat, saat mengunjungi wilayah pesisir timur Kabupaten OKI, banyak ditemukan padang rumput. Sementara, kehidupan masyarakatnya saat ini sangat miskin. Mereka hanya mengandalkan hidup dari bertani padi, mencari ikan, dan berjualan kayu gelam. “Untuk membangun rumah, membutuhkan biaya yang lebih besar dari masyarakat kota. Belum lagi, fasilitas transportasi, listrik, kesehatan, pendidikan, yang sangat minim. Lengkaplah sudah kemiskinan dan penderitaan mereka,” ujarnya.

Najib Asmani, Staf Ahli Gubernur Sumsel Bidang Lingkungan Hidup, yang telah mengunjungi wilayah pesisir timur OKI, Kamis (19/2/2015), mengatakan bahwa terhadap kehidupan masyarakat yang minim fasilitas listrik dan air bersih maka diwilayah tersebut nantinya akan dikembangkan instalasi listrik tenaga matahari.

Namun begitu menurut Najib, pengembangan listrik juga harus dilakukan berbarengan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat berbasis lingkungan. Menurutnya, semua pihak terutama pemerintah dan pelaku usaha harus segera memperbaiki kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan produksi pertanian dan perikanan.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio


Berharap Tanggung Jawab Pengusaha HPH untuk Hijaukan Kembali Pesisir Timur OKI. Akankah Dilakukan? was first posted on February 25, 2015 at 1:41 am.

Peredaran Merkuri di Kalimantan Barat Masih Marak. Bagaimana Pengawasannya?

$
0
0

Tambang emas di Danau Serantangan. Foto: Yohanes Kurnia Irawan

Peredaran merkuri secara ilegal di Kalimantan Barat masih marak. Padahal, Peraturan Daerah (Perda) No 4 Tahun 2007 tentang Pengendalian, Distribusi, dan Penggunaan Merkuri serta bahan sejenisnya, hingga ancaman hukuman selama enam bulan kurungan atau denda paling banyak Rp50 juta bagi pihak yang melanggar, jelas-jelas mengaturnya. Lalu, mengapa perdagangannya masih bebas?

Hamdani (40) warga Desa Monterado, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, yang sebelumnya berprofesi sebagai pendulang emas, mengatakan bahwa sebagian besar para penambang di wilayahnya dapat memperoleh merkuri dengan mudah dari para penampung emas. “Sebut saja cuka putih, mereka akan mengerti,” katanya belum lama ini.

Sementara di Kecamatan Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang, merkuri dapat dibeli dalam plastik es. Merkuri tersebut dijual di warung. Ian Hilman, pegiat lingkungan di daerah tersebut, menuturkan bahwa penjualan merkuri bahkan dilakukan terang-terangan. “Tidak ditutupi,” ujar Ian.

Terhadap peredaran merkuri tersebut, Kepolisian Daerah Kalimantan Barat (Kalbar) tahun 2007, pernah menggulung sindikat penyelundup merkuri impor asal Kirgistan sebanyak 285 kilogram yang nilainya sekitar Rp132 juta. Tiga tersangka yang ditangkap, diyakini sebagai pemasok merkuri untuk penambang emas ilegal yang tersebar di Kalbar.

Sementara, tahun 2011, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kalimantan Barat pernah mewacanakan melacak perdagangan merkuri ilegal dan sejenisnya. Namun, upaya tersebut tidak ada dampaknya.

Terkait peredaran merkuri ilegal ini, Kapolda Kalbar Brigadir Jenderal Polisi Arief Sulistyanto mengatakan, akan melakukan investigasi khusus mengenai peredaran merkuri. Menurutnya, berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun, pihaknya akan berupaya menggulung sindikatnya dengan mengikuti arus uang yang mengalir dari pengusaha emas terutama dari hasil penambangan emas tanpa izin (PETI) di Kalbar.

Eko Darmawansyah, Kepala Bidang Perdagangan Luar Negeri Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kalimantan Barat, menyatakan, sepanjang pengetahuannya, di Kalimantan Barat tidak ada perusahaan yang mengimpor langsung bahan kimia yang peredarannya di awasi pemerintah tersebut.  “Satu-satunya perusahaan yang ditunjuk sebagai pengimpor merkuri atau air raksa di Indonesia adalah PT. Perusahaan Perdagangan Indonesia,” ujarnya.

Direktur Walhi Kalimantan Barat, Anton P Wijaya mengatakan, peredaran merkuri ilegal yang masih marak di Kalbar memang harus ditangani serius. Menurutnya, saat ini penanganannya belum menyentuh ke pemain besarnya. “Meskipun akan dilakukan penindakan terhadap PETI yang menggunakan merkuri namun ini belum menjawab persoalan,” ujarnya.

Menurut Anton, harusnya Perda No 4 Tahun 2007 tersebut harus disosialisasikan juga ke masyarakat agar mereka paham. “Walhi merupakan organisasi non pemerintah yang terlibat dalam penyusunan perda tersebut. Agaknya, perda ini belum sepenuhnya berjalan,” ujar Anton.

Penelitian

Thamrin Usman tahun 2008, dari Universitas Tanjungpura (Untan) yang saat ini merupakan Rektor Untan pernah melakukan penelitian dampak merkuri terhadap baku mutu air Sungai Kapuas. Dalam penelitiannya itu, Thamrin mengambil sampel di hulu Sungai Kapuas, yakni di Sekadau dan Sintang.

Hasil penelitiannya di Sekadau menunjukkan kandungan merkuri (Hg) mencapai 0,2 ppb (parts per billion) atau dua kali lipat dari ambang batas normal. Sedangkan, penelitiannya di Kabupaten Sintang menunjukkan kandungan merkuri hingga 0,4 ppb. Dari hasil penelitian tersebut, Thamrin yakin, bahwa pencemaran yang terjadi di hulu Sungai Kapuas itu dipastikan akan berimbas juga di wilayah hilir.

Pada penambangan emas tanpa izin, merkuri biasanya digunakan untuk memurnikan emas. Namun, bila merkuri tersebut telah merasuk ke tubuh manusia maka ia akan menjalar ke otak, ginjal, dan hati. Dampaknya, bagi ibu hamil maka bayi yang akan dilahirkannya bisa cacat seperti autis dan bibir sumbing. Gejala lainnya adalah dapat menyebabkan tremor hingga stroke.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio


Peredaran Merkuri di Kalimantan Barat Masih Marak. Bagaimana Pengawasannya? was first posted on February 25, 2015 at 2:21 am.

Gubernur Jateng Surati Menteri Kelautan, Ini Tanggapan KKP Tentang Larangan Penggunaan Cantrang

$
0
0

Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo pada Januari 2015 kemarin telah mengirimkan surat kepada Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti perihal tindak lanjut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.2/Permen-KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (trawls) dan Pukat Tarik (seine nets) di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Indonesia.

Dalam surat tersebut Ganjar menyatakan, pemberlakuan Permen tersebut akan berdampak terhadap kesejahteraan nelayan, pengolah dan pemasar perikanan di Jawa Tengah.

Suasan di Kampung Nelayan Kelurahan Gunung Anyar Tambak, Surabaya. Foto : Petrus Riski

Suasan di Kampung Nelayan Kelurahan Gunung Anyar Tambak, Surabaya. Foto : Petrus Riski

Dalam perhitungannya Ganjar menjelaskan, jumlah kapal ikan dengan alat tangkap yang dilarang sesuai peraturan tersebut sebanyak 10.758 unit atau 41,25 % dari jumlah kapal perikanan di Jawa tengah.

“Produksi tangkapan tercatat sebanyak 60.396,1 ton (27,26% dari produksi perikanan tangkap tahun 2014) dan jumlah anak buah kapal (ABK) 120.966 orang nelayan 79,52%,” tulis Ganjar.

Ia menambahkan, pengolah dan pemasar hasil perikanan yang terkait dengan produksi kapal dengan alat tangkap yang dilarang sesuai peraturan tersebut meliputi 6.808 Unit Pengolah Ikan (UPI) skala UMKM dengan jumlah tenaga kerja 107.918 orang. Ada 30 UPI skala ekspor dengan tenaga kerja 5.203 orang dan 18.401 unit pemasar hasil perikanan.

“Total tenaga kerja yang terdampak sebanyak 252.488 orang. Volume ekspor hasil perikanan yang terdampak 29.808 ton dengan nilai US$. 333.140.262 (2014),” tambahnya.

Dalam surat tersebut ia menuliskan, berdasarkan UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa, kelautan dan perikanan merupakan urusan pemerintah pilihan (bagian dari urusan pemerintah daerah). Selain itu pemerintah daerah memiliki kewenangan dalam pengelolaan penangkapan ikan di wilayah laut sampai 12 mil,  penertiban ijin usaha perikanan tangkap untuk perikanan berukuran diatas 5 GT  sampai 30 GT, serta pengawasan sumber daya kelautan.

“Berdasarkan pertimbangan tersebut kami meminta Menteri KKP meninjau kembali Permen Nomor 2 Tahun 2015 dengan tetap memberikan perijinan bagi kapal perikanan dibawah 30 GT sesuai kewenangan provinsi,” tulis Ganjar.

Surat Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo untuk Menteri Susi Pudjiastuti tentang pelarangan alat tangkap pukat hela dan cantrang. Foto : Tommy Apriando

Surat Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo untuk Menteri Susi Pudjiastuti tentang pelarangan alat tangkap pukat hela dan cantrang. Foto : Tommy Apriando

Selain itu, ia meminta apabila peraturan tersebut tetap dilaksanakan, dimohon hanya diperuntukkan bagi kapal perikanan berukuran di atas 30 GT atau pemerintah pusat menganggarkan pergantian alat penangkapan ikan yang dilarang dan pelatihan penggunaan alat penangkapan ikan pengganti. Memberikan bantuan modal melalui fasilitasi kredit perbankan bagi penggantian desain kapal perikanan yang sesuai. Menyediakan lapangan pekerjaan alternatif bagi yang terdampak dan membuka kemudahan impor ikan sebagai bahan baku industri pengolahan hasil perikanan.

“Alat penangkapan sebagaimana peraturan tersebut tetap masih berlaku di perairan wilayah kewenangan pemerintah provinsi sampai dengan 12 mil dari garis pantai,” tulisnya.

Menanggapi surat Gubernur Jawa Tengah dan keberatan dari para nelayan di Jawa Tengah, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tetap tegas melarang penggunaan alat penangkapan ikan pukat tarik atau cantrang, terutama untuk kapal diatas 30 GT sesuai Permen tersebut.

“Penggunaan cantrang telah lama menimbulkan kerusakan sehingga berpengaruh pada menurunnya ketersediaan sumber daya ikan”, ungkap Sekretaris Jenderal KKP Sjarief Widjaja pada konferensi pers yang digelar di Jakarta, pada Minggu, (22/02/2015).

Menurut Sjarief, penggunaan cantrang selain merusak sumber daya alam juga berdampak buruk bagi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat nelayan di beberapa daerah. Salah satu daerah yang menggunakan alat tangkap yang masuk dalam kelompok pukat tarik berkapal (boat or vessel seines) ini adalah Jawa Tengah. Maraknya penggunaan cantrang di Kabupaten Rembang, Pati, Batang, dan Kota Tegal telah lama menimbulkan berbagai permasalahan termasuk konflik antar nelayan.

“Seharusnya cantrang tidak digunakan lagi di Jawa Tengah, karena telah sangat merugikan,” katanya.

Sjarif menjelaskan, dalam perkembangannya jumlah kapal yang menggunakan alat penangkapan ikan cantrang di Jateng bertambah dari 3.209 pada tahun 2004 menjadi 5.100 pada tahun 2007 dengan ukuran kapal sebagian besar diatas 30 GT. Permasalahan timbul karena banyaknya kapal cantrang di atas 5 GT yang izinnya dikeluarkan oleh pemerintah daerah dengan alat penangkapan ikan yang lain, sehingga terjadi upaya hukum untuk menertibkan dan menimbulkan konflik dengan nelayan dari daerah lain. Permasalahan lain adalah terjadinya penurunan produksi sebesar 45 persen dari 281.267 ton (2002) menjadi 153.698 ton (2007).

“Situasi tersebut juga berdampak pada penurunan sumber daya ikan demersal sebanyak 50 persen”, kata Sjarief.

Nelayan tradisional yang kesulitan karena dampak pencemaran laut, pesisir pantai maupun konversi hutan mangrove ke perkebunan. Foto: Andreas Harsono

Nelayan tradisional yang kesulitan karena dampak pencemaran laut, pesisir pantai maupun konversi hutan mangrove ke perkebunan. Foto: Andreas Harsono

Sementara itu, Direktur Jenderal Perikanan KKP Tangkap Gellwynn Jusuf yang memberikan keterangan pers mengatakan, larangan penggunaan alat tangkap sudah mulai diberlakukan sejak tahun 1980. Kala itu dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Pertanian Nomor 503/Kpts/UM/7/1980, cantrang secara tegas dilarang. Kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Keputusan Dirjen Perikanan Nomor IK.340/DJ.10106/97 sebagai petunjuk pelaksanaan dari peraturan tersebut.

“Pada intinya cantrang hanya diberikan bagi kapal dibawah 5 GT dengan kekuatan mesin di bawah 15 PK”, tukas Gellwynn.

Permasalahan penggunaan cantrang di Jateng, Gellwynn mengungkapkan bahwa pemerintah pusat bersama pemerintah daerah beberapa kali melakukan upaya stategis. Pada tanggal 24 April 2009 dilakukan dialog antara Perwakilan Nelayan Kabupaten Rembang, Pati, Batang, dan Kota Tegal dengan KKP di BBPPI Semarang. Pertemuan tersebut menyepakati beberapa hal, yaitu KKP melanjutkan kebijakan lama yaitu tidak memberikan izin cantrang bagi kapal di atas 30 GT. Kedua, kapal ukuran di atas 30 GT yang izin usahanya menggunakan alat tangkap selain cantrang tetapi operasinya memakai cantrang diberikan tenggang waktu tujuh hari untuk mendaftarkan kembali kepada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten/Kota setempat untuk di data ulang. Ketiga, izin penggunaan alat tangkap Cantrang kapal ukuran di bawah 30 GT diserahkan kepada pemerintah daerah masing-masing.

Hasil dialog tersebut disepakati bahwa kebijakan Pemprov Jateng adalah memberikan izin penggunaan cantrang untuk kapal di bawah 30 GT. Namun, Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Jawa Tengah tidak memberikan izin baru atau hanya memberikan perpanjangan izin bagi cantrang lama. Dalam waktu dua minggu akan dilakukan evaluasi data perizinan cantrang untuk kapal di bawah 30 GT yang ada di Jawa Tengah.

Gellwynn menambahkan, upaya strategis lainnya yang ditempuh pemerintah yakni menerbitkan Peraturan Menteri KP Nomor : PER.02/MEN/2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di WPPNRI sebagaimana diubah terakhir dengan Permen KP No. 42/Permen-KP/2014. Izin penempatan cantrang hanya diberikan untuk kapal perikanan dengan ukuran sampai dengan 30 GT di jalur penangkapan II (4 mil laut sd. 12 mill laut) dan jalur penangkapan III (12 mil laut ke atas) di WPP-NRI 711, 712, dan WPP-NRI 713. Dengan berlakunya PERMEN KP No. 2/PERMEN-KP/2015, maka pengaturan tersebut di atas secara hukum tidak berlaku lagi.

“Dirjen Perikanan Tangkap melalui surat No. 1722/DPT.4/PI.420.D4/IV/09 tanggal 30 April 2009 telah menghimbau agar Dinas KP Provinsi Jawa Tengah menghentikan pemberian izin kepada kapal-kapal yang menggunakan Cantrang mengingat semakin banyaknya Cantrang di Laut Utara Jawa,” kata Gellwynn.

Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI atas pengelolaan Sumber Daya Ikan Berkelanjutan, Nomor 44/LHP/XVII/12/2013, tanggal 27 Desember 2013 diketahui bahwa Kepala Dinas KP Pemprov Jateng melalui surat No. 523.4/1037 tanggal 16 Agustus 2005 menyatakan bahwa penerbitan izin penangkapan ikan menggunakan Cantrang dihentikan per tanggal 1 September 2005 karena merusak lingkungan di dasar laut. Kemudian terungkap bahwa Dinas KP Pemprov Jateng pada tanggal 18 Maret 2013 ternyata telah membuat kesepakatan dengan perwakilan nelayan cantrang Jawa Tengah. Dalam kesepakatan itu disebutkan, kapal cantrang yang sudah terlanjur dibangun dapat memperoleh fasilitas perizinan SIUP dan SIPI.

Menurut database perizinan SIPI, diketahui jumlah izin kapal dengan alat tangkap cantrang 10-30 GT yang telah diterbitkan sampai tahun 2012 sebanyak 835 unit. Berbeda dengan penyataan Kepala Dinas KP Pemprov Jateng dalam suratnya No. 523.52/134 tanggal 16 Januari 2013 yang menyebutkan 484 unit. Berdasarkan LHP tersebut, maka Pemprov Jateng dinilai tidak konsisten dalam pengaturan alat penangkap ikan Cantrang. Seharusnya Pemerintah Provinsi Jawa Tengah tidak lagi memberikan izin kapal perikanan dengan menggunakan Cantrang terhitung sejak 1 September 2005.

Lebih lanjut Gellwynn mengatakan, fakta lapangan tentang operasional alat penangkapan ikan cantrang di Jawa Tengah terungkap bahwa jumlah kapal meningkat dari 5.100 (2007) menjadi 10.758 unit (2015). Padahal sesuai komitmen seharusnya dikurangi secara bertahap. Kedua, telah terjadi pelanggaran berupa pengecilan ukuran gross tonnage kapal yang dibuktikan dengan hasil uji petik di Kabupaten Tegal, Pati, dan Rembang. Ketiga, spesifikasi teknis alat penangkapan ikan yang tidak sesuai ketentuan baik ukuran mesh size maupun ukuran tali ris. Keempat, telah terjadi pelanggaran daerah penangkapan ikan yang menyebabkan konflik dengan nelayan setempat, seperti kasus di Kota Baru, Kalimantan Selatan, Masalembo, Sumenep. Selanjutnya, juga telah terjadi potensi kehilangan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan subsidi BBM akibat pengecilan ukuran GT kapal.

Berdasarkan kronologis kejadian pengaturan diatas dan memperhatikan kerusakan yang ditimbulkan terhadap kesediaan sumber daya ikan, maka secara prinsip kapal cantrang dilarang beroperasi diseluruh WPP-NRI. Sedangkan, berdasarkan pertemuan antara pemerintah daerah dengan perwakilan nelayan dari Rembang, Pati, Batang, dan Kota Tegal yang difasilitasi oleh KKP pada tahun 2009, maka para nelayan memahami dan sepakat bahwa cantrang merupakan alat penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan dan siap mengalihkannya secara bertahap.

“Penyelesaian permasalahan kapal cantrang yang beroperasi di luar ketentuan agar diselesaikan oleh pemerintah daerah provinsi, karena pemerintah provinsi memiliki kewenangan dan pengendalian terhadap pemberian izin kapal dibawah 30 GT,” kata Gellwynn.

Wujudkan Pengelolaan Berkelanjutan

Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) punya pandangan terhadap surat Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo kepada Menteri KKP Susi Pudjiastuti terkait alat tangkap cantrang. Misbachul Munir, selaku ketua bidang Penggalangan Partisipasi Publik mengatakan, KNTI percaya bahwa salah satu reformasi dan harus dikawal keberhasilannya adalah mewujudkan desentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan. Perkembangannya pengelolaan sumber daya kelautan di bawah 12 mil laut adalah kewenangan gubernur. Namun mengingat sistem lingkungan dan sistem sosio-kultural di laut kerap tidak mengenal batas-batas administratif tersebut maka memperkuat koordinasi vertikal antara pemerintah pusat dan daerah menjadi sangat penting.

“KNTI percaya baik KKP maupun Pemerintah Provinsi Jawa Tengah sama-sama berkepentingan untuk mewujudkan optimalisasi pengelolaan sumberdaya perikanan dan kesejahteraan nelayan,” kata Munir.

Ia menambahkan, surat Gubernur Jateng Ganjar Pranowo kepada Menteri Susi harus menjadi pintu masuk untuk mengefektifkan masa transisi dari model perikanan tidak adil dan merusak, menjadi lebih adil dan berkelanjutan. Selain itu tambahnya, KNTI percaya bahwa kunci keberhasilan pengelolaan perikanan adalah partisipasi masyarakat nelayan itu sendiri.

“Maka, melibatkan nelayan dalam inisiasi, penyusunan, hingga pengawasan adalah teramat penting. Sehingga kerugian ditingkat nelayan bisa dicegah, konflik sosial dapat dihindari, di lain sisi kepentingan mendorong pengelolaan perikanan secara adil dan lestari bisa segera kita wujudkan bersama,” tutup Munir.


Gubernur Jateng Surati Menteri Kelautan, Ini Tanggapan KKP Tentang Larangan Penggunaan Cantrang was first posted on February 25, 2015 at 3:52 am.

Rafflesia Mekar: Dari Mitos Cawan Hantu Hingga Fakta Keterancamannya

$
0
0
Ibnu Hajar (memegang batang) menunggu yang pengunjung melihat Rafflesia Arnoldii yang mekar di kawasan Hutan Lindung, Taba Penanjung, Bengkulu Tengah, Minggu (22022015).

Ibnu Hajar (memegang batang) dari kelompok masyarakat pengelola rafflesia, mengantar pengunjung melihat Rafflesia Arnoldii yang mekar di kawasan Hutan Lindung, Taba Penanjung, Bengkulu Tengah, Minggu (22/02/2015). Foto: Dedek Hendry

Masyarakat suku Rejang, salah satu masyarakat asli di Provinsi Bengkulu ternyata memiliki nama dan mitos tersendiri tentang rafflesia. Mereka menamakannya Ibeun Sekedei atau Cawan Hantu. Penamaan itu dikaitkan dengan mitos tentang mahluk gaib atau hantu yang ada di hutan. Namun, kini nama dan mitos tersebut telah dilupakan.

“Sudah tidak banyak lagi yang mengetahuinya. Sekarang lebih tahu [namanya] rafflesia,” kata Ibnu Hajar (32), Anggota Kelompok Pengelola Rafflesia yang mendampingi para pengunjung Rafflesia arnoldii yang mekar di kawasan Hutan Lindung Taba Penanjung, Bengkulu Tengah, Minggu (22/2/2015) siang.

Cerita yang diperoleh Ibnu, nama Ibeun Sekedei diberikan karena bentuk rafflesia mirip dengan cawan atau tempat sirih. Lalu, bentuk batang dan daun inang rafflesia mirip dengan batang dan daun sirih. Dikarenakan berada di tengah hutan, maka dianggap kalau cawan tersebut adalah milik dan dijagai mahluk gaib.

“Dulu, bila menemukannya [rafflesia] akan langsung menjauh. Karena diyakini di sekitar lokasi ditemukannya, ada ‘nenek’ atau harimau jadi-jadian. Sehingga, tidak ada orang yang berani merusaknya. Mendekatinya saja tidak berani,” kata Ibnu yang bersuku Rejang dan berdomisili di Desa Taba Teret, Taba Penanjung.

Ibnu tidak mengetahui secara pasti kapan mitos tersebut mulai ditinggalkan. Yang jelas, kini Kelompok Pengelola Rafflesia menilai informasi tentang rafflesia mekar penting untuk dipublikasikan. Sehingga, siapapun yang berkeinginan melihat secara langsung rafflesia mekar, bisa mewujudkannya.

“Seminggu sekali kami melakukan survei. Ada 17 titik lokasi yang terus kami pantau. Selama tahun ini (2015) saja, sudah ada 10 rafflesia yang mekar di 17 titik lokasi tersebut. Selain memasang spanduk yang mengumumkan rafflesia mekar, kami juga memancang kayu untuk menjadi pegangan pengunjung dan bersedia mengantarkan pengunjung,” kata Ibnu.

 

Konservasi Jenis

Terpisah, Anggota KKI Warsi, Nurkholis Sastro, yang juga bersuku Rejang, tidak menampik cerita Ibu Hajar. Dia menambahkan, warna rafflesia yang kemerah-merahan dan aroma busuk menyengat yang keluar dari rafflesia juga dikaitkan dengan hal yang menyeramkan atau angker.

Sayangnya, sambung Nurkholis, pewarisan pengetahuan atau mitos tersebut tidak berjalan lagi. Sebaliknya, tidak banyak lagi masyarakat yang takut untuk mendekati, memegang, bahkan merusak rafflesia. Oleh karena itu, Nurkholis menilai pewarisan pengetahuan atau mitos tersebut perlu dilakukan dengan mengkaitkannya dengan model konservasi kekinian.

“Nilai-nilai yang dibangun dari pengetahuan tersebut adalah mistik, eksotis dan ekologis. Kalau sekarang ini, nilai yang terbangun adalah eksotis dan komersil. Jadi, saya pikir, pengetahuan lokal tersebut wajib direvitalisasi dan dikolaborasikan dengan model konservasi kekinian. Bila tidak, upaya pelestarian rafflesia sulit berhasil,” jelasnya.

 

Seorang pengunjung berfoto di dekat Rafflesia Arnoldii yang mekar di kawasan Hutan Lindung, Taba Penanjung, Bengkulu Tengah, Minggu (22022015).

Perbandingan besar Rafflesia Arnoldii dengan seorang pengunjung di kawasan Hutan Lindung, Taba Penanjung, Bengkulu Tengah, Minggu (22/02/2015). Foto: Dedek Hendry.

 

Holoparasit

Peneliti Rafflesia dari Universitas Bengkulu Agus Susatya menerangkan, rafflesia merupakan salah satu tumbuhan yang sangat unik. Tidak memiliki akar, batang dan daun, rafflesia hanya berupa kuncup atau bunga dan dilengkapi haustorium yang memiliki fungsi mirip akar yang menghisap sari makanan hasil fotosistesa dari tumbuhan inang. “Oleh karena itu, rafflesia digolongkan sebagai tumbuhan holoparasit,” ujar Agus Susatya, Minggu (22/2/2015).

Inang rafflesia merupakan liana atau tumbuhan berkayu yang merambat dan memerlukan inang struktural dari tumbuhan lainnya sebagai tumpuan untuk merambat. Inang rafflesia berasal dari genus tetrastigma. Dari 97 jenis tetrastigma di Asia, hanya 10 jenis yang tercatat menjadi inang rafflesia. Yaitu, T. tuberculatum, T. curtisii, T. pedunculare, T. scortechinii, T. diepenhorstii, T. papillosum, T. quadrangulum, T. harmandii dan T. loheri.

Siklus hidup rafflesia bisa mencapai 5 tahun dan terdiri dari 7 fase, meliputi proses penyerbukan, pembentukan buah dan biji, penyebaran biji, inokulasi biji ke inang, kemunculan kuncup bunga atau knop, kuncup yang matang dan bunga mekar. Kuncup rafflesia tumbuh di akar atau batang inang. Sehingga, bisa ditemui tumbuh di permukaan tanah atau menggantung di batang inang. Kuncup yang menggantung disebut juga aerial bud.

Masa mekar rafflesia berlangsung antara 3 – 8 hari. Saat musim kemarau, bunga akan mekar pada hari terjadi hujan. Sedangkan saat musim penghujan, bunga akan mekar pada hari tidak tejadi hujan. Saat mekar, bau daging busuk akan tercium dan mengundang banyak lalat. Lalatlah yang membantu penyerbukan bunga rafflesia. Setelah mekar, mahkota bunga membusuk. Namun bagian dasar bunga rafflesia betina akan membentuk buah. Sebagai agen penyebar benih adalah satwa, diantaranya tupai (Tupaia javanica), landak (Hystrix javanica), musang (Paradoxurus hermaphroditus) dan serangga.

Hingga saat ini spesies rafflesia di dunia tercatat sebanyak 25 jenis (lihat grafis). Dengan sebaran dari perbatasan Burma dan Thailand, Semenanjung Malaysia, Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Filipina. Dari 25 jenis tersebut, 12 jenis dapat dijumpai di Indonesia, dengan 10 diantaranya ditemukan di Sumatera.

 

Klik pada gambar untuk memperbesar

Klik pada gambar untuk memperbesar

 

Ancaman Kepunahan

Agus Susatya menambahkan, rafflesia sangat rentan mengalami kepunahan. Ini karena rafflesia yang bersifat holoparasit yang tergantung inangnya, sedangkan kehidupan inang juga sangat tergantung dengan tumbuhan lainnya yang menjadi inang strukturalnya. Dari aspek reproduksi, rafflesia memerlukan bunga jantan dan betina yang mekar agar terjadi penyerbukan, dan agen penyerbukannya.

Padahal, sangat jarang ditemukan bunga jantan dan betina yang mekar saat bersamaan dalam satu lokasi. Ironisnya lagi, tidak semua bunga betina yang mengalami penyerbukan akan menghasilkan biji buah yang terletak didasar mahkota bunga. “Hingga saat inipun, masih menjadi misteri bagaimana proses inokulasi dan perkembangan biji dalam tubuh inang,” tambah Agus Susetya sang penemu Rafflesia bengkuluensis dan Rafflesia lawangensis melanjutkan.

Kematian rafflesia juga cukup tinggi, dari injakan satwa hutan, dimakan oleh tupai dan landak hingga perusakan kuncup atau bunga oleh manusia jahil. Ancaman lebih serius disebabkan oleh pemotongan inang, pembalakan liar dan perladangan yang tidak mendukung siklus hidup rafflesia.

“Meskipun tidak mengalami gangguan akibat aktivitas manusia, populasi rafflesia akan cenderung turun atau sangat rentan mengalami kepunahan. Itu dikarenakan sedikit kuncup yang hidup dan menjadi bunga, dan sedikit bunga yang menjadi buah, serta sedikit biji yang berubah menjadi kuncup,” tutur Agus.

Di Bengkulu, orang asing yang pertama kali melihat rafflesia adalah Dr. Joseph Arnold. Ahli botani dari Inggris itu melihatnya di Pulau Lebar, Bengkulu Selatan pada 1818. Saat melihatnya, Joseph Armold juga belum mengetahui atau memberi namanya. Baru pada 1820, ahli tumbuh-tumbuhan dari Inggris bernama Robert Brown memberi nama Rafflesia arnoldii. Nama diberikan untuk menghormati Sir Stamford Raffles yang merupakan Gubernur Inggris di Bengkulu dan Joseph Arnold.

 

 

 


Rafflesia Mekar: Dari Mitos Cawan Hantu Hingga Fakta Keterancamannya was first posted on February 25, 2015 at 5:24 am.

Kala Palembang, Kota Tertua di Indonesia Cemas akan Kualitas Air Bersih. Apa yang Dilakukan?

$
0
0

Sungai Musi merupakan identitas Palembang dan kebanggaan Masyarakat Sumatera Selatan. Foto: Muhammad Ikhsan

Palembang merupakan kota tertua di Indonesia. Sejak dijadikan pusat pemerintahan Kerajaan Sriwijaya pada abad ke tujuh hingga saat ini, Palembang dikenal sebagai kota air, karena dipenuhi sungai dan rawa. Sungai dan rawa ini selain menjadi sarana transportasi, juga sebagai sumber air bersih.

Namun, kini kualitas air baku, seperti air tanah dan sungai di Palembang kian menurun. Penurunan kualitas ini secara umum disebabkan limbah industri, sampah rumah tangga, berkurangnya anak sungai dan rawa, serta minimnya pepohonan sebagai penyaring dan penyerap air.

Salah satu langkah yang akan dilakukan Pemerintah Palembang guna menata sanitasi, terkait dengan limbah rumah tangga, adalah dengan membangun sanitasi terpusat atau komunal.

“Kualitas air baku harus dijaga. Jika dibiarkan seperti ini, bukan tidak mungkin di masa mendatang Palembang terancam krisis air bersih. Pemerintah harus hadir dalam mengatasi persoalan ini,” kata Hadi Jatmiko, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan, Senin (23/02/2015).

Terkait rencana Pemerintah Kota Palembang yang akan membangun sanitasi komunal di lima kecamatan, yakni Kalidoni, Sako, Sematang Borang, Sukarami, dan Gandus pada 2015 ini dengan target 2.000 rumah melalui dukungan INDII (Indonesia Infrastructure Initiative) Hadi menilai sebagai upaya positif.

Salah satu kampung di Palembang, tepatnya di Kelurahan Sei-Selayur, Kecamatan Kalidoni, yang sanitasinya kurang baik. Foto: Muhammad Ikhsan

Salah satu kampung di Palembang, tepatnya di Kelurahan Sei-Selayur, Kecamatan Kalidoni, yang sanitasinya kurang baik. Foto: Muhammad Ikhsan

“Penurunan kualitas air baku ini penyebabnya bukan hanya dari limbah rumah tangga di Palembang saja. Ini juga dikarenakan rusaknya huluan Sungai Musi, akibat perkebunan dan penambangan, serta aktivitas industri,” kata Hadi.

Persoalan di huluan, kata Hadi, harus diselesaikan dengan menghentikan semua perizinan terkait perkebunan dan penambangan. Serta, mengevaluasi perusahaan yang masih berjalan. “Lakukan juga rehabilitasi hutan atau lahan yang rusak,” katanya.

Sementara industri di wilayah Palembang, harus terus dipantau. “Bisa saja produksinya meningkat, yang tidak seimbang dengan data awal saat analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) diajukan. Peningkatan produksi ini jelas menghasilkan limbah baru,” kata Hadi.

Selanjutnya, Pemerintah Palembang harus menghentikan semua pembangunan yang menimbun rawa lalu melakukan normalisasi anak Sungai Musi. Penataan dan pengelolaan sampah, yang jumlahnya terus meningkat harus dilakukan. Luasan rawa di Palembang yang semula seluas 200 hektar kini tersisa 50 hektar. Kemudian anak Sungai Musi yang berada di Palembang, sekitar 100 tahun lalu sekitar 316, yang hilang sekitar 221 anak Sungai Musi.

Mengenai program sanitasi komunal atau terpusat, Hadi mengharapkan wilayah yang ditetapkan pemerintah Palembang untuk dijalankan programnya, masyarakat harus dilibatkan dalam perencanaannya, sehingga tidak menimbulkan persoalan. “Misalnya persoalan pembebasan lahan,” katanya.

Sanitasi komunal salah satu upaya pemerintah Palembang dalam mengelola limbah rumah tangga, sehingga mutu air tanah menjadi baik. Foto: Muhammad Ikhsan

Sanitasi komunal salah satu upaya pemerintah Palembang dalam mengelola limbah rumah tangga, sehingga mutu air tanah menjadi baik. Foto: Muhammad Ikhsan

Mengembalikan kenyamanan Palembang

Di masa lalu, berdasarkan catatan sejarah, Palembang merupakan kota yang paling nyaman. Selain air bersih yang melimpah, Palembang juga dipenuhi beragaman tanaman. Pemukimannya tertata dan indah, termasuk adanya kebun buah, seperti pada masa Kerajaan Sriwijaya.

“Kita menginginkan kisah indah tersebut kembali dirasakan masyarakat Palembang saat ini dan mendatang,” kata M. Sapri Nungcik, Kepala Bappeda Kota Palembang, Rabu (25/02/2015).

Penyelamatan air baku melalui program sanitasi komunal, merupakan salah satu cara untuk mencapai hal tersebut. Tentunya, kegiatan ini sejalan dengan kegiatan penghijauan atau perluasan ruang terbuka hijau (RTH), perbaikan atau normalisasi anak Sungai Musi, hingga pengelolaan sampah. “Penghargaan Palembang sebagai kota metropolis yang berudara terbaik di Indonesia harus dipertahankan,” kata Sapri.

Mengapa pembangunan dilakukan di pinggiran Palembang? Dijelaskan Sapri, pertama karena kesediaan lahan lebih gampang termasuk dalam pembebasannya.

Kedua, mencegah perluasan kerusakan lingkungan, sebab pemukiman baru di Palembang terus meluas sehingga meningkatkan kebutuhan air bersih dan limbah rumah tangga bertambah, “Diharapkan ke depan setiap adanya pemukiman baru, diwajibkan adanya sanitasi komunal dengan adanya contoh ini,” katanya.

Selain sanitasi komunal, pemerintah Palembang juga akan mengembangkan sanitasi kota, yang targetnya 21.700 rumah, pertokoan atau perkantoran. “Jika semua program sanitasi tersebut berjalan, lingkungan Palembang akan lebih baik, dan kualitas air baku kian membaik,” katanya.

Contoh bagian dalam IPAL komunal di Kecamatan Cepu, Blora, Jawa Tengah. Foto: Dwi Kusuma Sulistyorini

Mengapa pembangunan tidak diterapkan pada pemukiman yang lebih kumuh, seperti perkampungan di tepian Sungai Musi?

Dikatakan Sapri, ada beberapa hambatan jika pembangunan difokuskan pada pemukiman yang berada di tepian Sungai Musi. Pertama, sulit mendapatkan lahan untuk pembangunan sanitasi komunal. Kedua, penataan sanitasi juga dibarengi dengan kegiatan yang lain, sebab persoalan lingkungan di perkampungan di tepian Sungai Musi jauh lebih kompleks.

“Tapi itu bukan berarti kita tidak akan menatanya. Saat ini pemerintah Palembang tengah menyusun program penataan sanitasi di perkampungan Sungai Musi. Wacananya, instalasi pengelolaan air limbah (IPAL) terapung,” katanya.

“Bentuk lainnya penghijauan yang berbasis energi terbarukan, seperti penanaman pohon yang dapat dijadikan sumber energi terbarukan, seperti nyamplung,” ujarnya.

Najib Asmani, Staf Ahli Gubernur Sumatera Selatan Bidang Lingkungan Hidup, menilai upaya yang dilakukan Pemerintah Palembang ini harus mendapatkan apresiasi yang positif. “Tapi yang harus dijaga, program ini benar-benar berjalan sesuai rencana dan targetnya, melibatkan masyarakat, serta sasarannya tiap tahun terus bertambah. Sehingga, dapat dirasakan manfaatnya oleh setiap warga Palembang. Karena, hidup sehat merupakan hak setiap warga negara,” kata Najib.

Sungai Musi malam hari yang indah diterangi pancaran sinar lampu dari Jembatan Ampera. Pencemaran terhadapa air Sungai Musi harus diatasi. Foto: Rahmadi Rahmad

 


Kala Palembang, Kota Tertua di Indonesia Cemas akan Kualitas Air Bersih. Apa yang Dilakukan? was first posted on February 25, 2015 at 11:25 am.

Kala Daerah Abai, Orangtua Korban Tambang Ngadu ke Menteri Lingkungan

$
0
0
Rahmawati (memakai baju biru) dan Siti Maimunah dari Jatam, kala bertemu Menteri Siti Nurbaya, Selasa (24/2/15) di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi

Rahmawati (memakai baju biru) dan Siti Maimunah dari Jatam, kala bertemu Menteri Siti Nurbaya, Selasa (24/2/15) di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi

Orangtua M Raihan Saputra, korban tewas lubang tambang, Rahmawati dan Misransyah, bertemu Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta. Mereka menuntut keadilan karena daerah seakan abai, baik pemerintah maupun perusahaan. Namun, mereka baru mendapat janji. Menteri Siti, berjanji, mengirimkan surat perintah kepada Bupati Samarinda, agar serius menangani kasus ini serta mengajak elemen masyarakat ikut mengawasi.

Muhammad Abidzar tampak gelisah. Beberapa kali dia menangis. Bayi 1,4 tahun ini mungkin ngantuk atau asing dengan suasana sekeliling. Kedua orangtuanya bergantian menggendong. Lebih sejam, akhirnya,  Abidzar terlelap di pangkuan sang ayah.

Siang itu, Selasa (24/2/15), kedua orangnya, Rahmawati dan Misransyah, tengah mencari keadilan di Jakarta. Dari Samarinda, Kalimantan Timur, bersama organisasi pendukung petisi tutup lubang tambang, Walhi, Jatam dan Change, mereka datang ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, buat bertemu Menteri Siti Nurbaya.

Anak mereka berusia 10 tahun, M Raihan Saputra, abang dari Abidzar, pada 22 Desember 2014, tewas tenggelam di lubang tambang tak jauh dari rumah di Jl. Padat Karya, Sempaja Selatan. Namun, belum terlihat tindakan dari pemerintah maupun aparat di daerah terhadap perusahaan yang sudah meninggalkan lubang tambang menganga sejak tiga tahun lalu itu.

Rahmawati tampak berat untuk berkata-kata. “Saya gak tau masalah hukum. Saya mau, tak ada kejadian lagi. Cukup saya saja. Jangan sampai orangtua lain rasakan apa yang saya rasakan,” katanya terbata.

Dia mengenang kejadian kelam sekitar dua bulan lalu itu.  Kala itu, dia sedang sakit. “Ada yang kasih tahu kalau Raihan jatuh. Saya awalnya tak tahu…Saya shock.” Rahmawati menangis seraya minta tolong.  Menurut dia, anaknya, tak pernah bermain ke sana. “Kami sudah 15 tahunan di sana. Awalnya kami tak tahu kalau ada lubang batubara.”

Rahmawati khawatir, kejadian seperti ini bakal berulang jika tak ada perhatian serius pemerintah. Lubang-lubang tambang masih menganga di berbagai tempat. “Saya pesan pada pemerintah, waspada dalam mengelola batubara.”

Misransyah juga berharap sama. Menurut dia, perlu perhatian serius dari pemerintah segera. “Jangan sampai kejadian lagi. Ini harus bisa dipastikan pemerintah. Kalau masih dibiarkan dan terjadi lagi, benar-benar tak ada pikirannya,” ujar dia.

Peta letak rumah Rahmawati dan kolam tambang di Samarinda. Sumber: Jatam Kaltim

Peta letak rumah Rahmawati dan kolam tambang di Samarinda. Sumber: Jatam Kaltim

Desak keseriusan pemerintah

Pada pertemuan itu, Merah Johansyah, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur (Jatam Kaltim) mengatakan, pemerintah harus mampu menyelesaikan secara menyeluruh, mencegah tak terulang lagi. “Bukan cuma penyelesaian case by case, tapi holistik,” katanya.

Dengan kejadian anak tewas di lubang tambang, yang menelan sembilan korban dalam empat tahun terakhir ini, Merah, menggarisbawahi beberapa hal. Pertama,  ada pembiaran dan perbuatan melawan hukum dari pemerintah daerah. Keadaan ini, bisa terlihat dalam beberapa aspek dari kasus ini. Dia mencontohkan, kala kerusakan lingkungan hidup mengakibatkan hilang nyawa itu melanggar UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). “Itu tak hanya penanggung jawab usaha tapi pemerintah daerah yang memiliki kewenangan pengawasan juga bertanggung jawab.”

Sayangnya,  sudah sembilan anak meninggal dalam lima kasus tenggelam di lubang tambang, tetapi tak ada penegakan hukum sama sekali. “Sembilan orang itu yang tercatat dan terjangkau media. Bisa jadi lebih banyak lagi.”

Kedua, kasus ini peristiwa terulang dan belum ada kejelasan penanganan di daerah. Kala, pemerintah daerah tak memberikan sanksi atau menyelidiki pidana lingkungan ini, kata Merah, sudah seyogyanya pemerintahan lebih tinggi, yaitu provinsi dan KLHK bisa mengambil tindakan. “Jadi ada perbuatan melawan hukum. Ada kelalaian.”

Ketiga, pemberian izin dan operasi perusahaan tambang juga menyalahi aturan. Di mana,  dalam peraturan Menteri Lingkungan Hidup, tahun 2012, tentang indikator tambang, bahwa lubang tambang minimal berjarak 500 meter dari pemukiman. Di Samarinda, lubang-lubang tambang, berada dekat pemukiman, bahkan lahan-lahan pertanian warga ada yang berubah menjadi tambang. “Kasus anak tewas 2011, lubang tambang PT Panca Prima Mining 50 meter dari pemukiman. Kasus Raihan, 189 meter. Ini jelas melawan hukum.”

Kondisi berat bagi warga Samarinda kala 71% luas kota itu sudah terbagi-bagi ke dalam 52 izin usaha pertambangan—dari sebelumnya 76 IUP. “Ruang hidup dikapling jadi tambang. Ini risiko pemukiman berdekatan dengan tambang.”

Pelanggaran aturan lain, katanya, soal dokumen lingkungan, salah satu Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) yang menyebutkan tentang pengaturan reklamasi. Dalam peraturan pemerintah soal reklamasi pasca tambang itu 30 hari kalender setelah operasi, lubang tambang harus ditutup. Namun, di lapangan, bertahun-tahun tetap menganga bak danau.

“Kami lihat struktur perbuatan hukum ini, tak ada itikat dan niat baik pemda untuk tegakkan hukum.  Kami menghargai UU PPLH. Sayangnya, gak jalan di lapangan. Ini jadi persoalan. Polisi menyelidiki tapi paling pakai pasal KUHP. Dari dulu gak ada kasus selesai.”

Untuk itu, dia meminta, ada penyelesaian terhadap masalah serius ini. “Ada penegakan hukum. Ada formulasi atau tindakan agar keselamatan warga terjamin. Terutama izin-izin tambang yang terlanjur terbit di kawasan padat penduduk. Solusi dan rekomendasi apa yang bisa didorong?” katanya.

ta3-IMG_1416 Misransyah tengah memangku M Abidzar, kala pertemuan dengan Menteri Siti Nurbaya di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi

Siti Maimunah, aktivis Jatam, menekankan lagi kepada kementerian betapa berbahaya lokasi di sekitar tambang. Dari kejadian terulang, terakhir Raihan itu, terlihat pemerintah daerah tak bisa diandalkan karena tak ada penanganan, bahkan pembiaran. “Tak ada penegakan hukum. Hingga penting, LHK bertindak segera.”

Kondisi Samarinda yang dikuasai tambang ini, katanya, mengisyaratkan ancaman warga bukan hanya tewas di lubang tambang. Tetapi, warga bakal tewas pelahan karena pencemaran-pencemaran dampak tambang, seperti air dan udara buruk.

Maimunah mengatakan, di sana, banyak kawasan pertanian menjadi tambang. “Kawasan pertanian jadi berbahaya karena jadi tambang. Saya rasa sudah waktunya pemerintah pusat tak lagi bicara itu urusan pemerintah daerah. Segera ambil tindakan,” katanya.

Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi Nasional meminta upaya KLHK di lapangan diketahui hingga rekan-rekan di Samarinda bisa memonitor perkembangan.  “Ini isu serius. Menurut kami, kasus ini jadi momentum kementerian buat melihat lubang-lubang  tambang oleh perusahaan. Karena bisnis tambang akan seenaknya kalau kelakuan macam ini. Mereka tak ada tangung jawab lingkungan. Ini yang buat komoditas murah karena biaya sosial ditanggung publik,” katanya.

Dia mempertanyakan, bentuk kongkrit dari KLHK, hingga perkembangan di lapangan, misal, aksi walikota, bisa terlihat.

Menanggapi ini,  Himsar Sirait, Deputi Bidang Penataan Hukum Lingkungan, KLHK, mengatakan, kementerian dari awal ikut mendorong proses hukum dan berkoordinasi dengan kepolisian di sana. Usai kejadian, KLHK turun ke lapangan 27-29 Desember 2014.

“Kita dorong polisi gunakan UU Lingkungan Hidup. Kita dukung penuh, kalau ada yang diperlukan akan bantu.”

Namun, dia mengakui perkembangan di lapangan begitu lambat. Baik mengenai proses hukum maupun reklamasi lubang tambang.  “Reklamasi juga tak alami kemajuan.”

Siti Nurbaya setuju proses hukum harus berjalan. Pemerintah daerah, katanya, sebetulnya ada peringatan-peringatan kepada perusahaan. “Tetapi itu aja gak cukup.”

Untuk itu, KLHK akan mengirim radiogram meminta Walikota Samarinda memperhatikan masalah ini berserta berbagai aspek dengan serius. “Agar mereka tahu, ini masalah serius, harus ditangani. Ini soal pembinaan pusat ke daerah dan daerah ke swasta,” katanya.

Selain bertemu Menteri LHK, orangtua Raihan juga datang ke Kementerian Perempuan dan Anak serta Komnas HAM pada Rabu (25/2/15).

Serahkan petisi

Dalam kesempatan ini, Rahmawati sekaligus menyerahkan petisi tutup lubang tambang batubara Samarinda di Change.org kepada Siti Nurbaya. Dalam waktu belum sebulan, petisi ini hampir ditandatangani 10.000 orang dari berbagai penjuru negeri.

“Respon masyarakat besar sekali,” kata Arief Aziz, dari Change.org. Dia mengatakan, petisi ini menunjukkan masyarakat luas mendukung agar segera ada solusi bagi lubang-lubang tambang yang terbuka. Penandatangan, katanya, bukan hanya orang yang peka lingkungan juga para peduli anak.

Rahmawati menyerahkan petisi kepada Menteri Siti Nurbaya. Foto: Jatam

Rahmawati menyerahkan petisi kepada Menteri Siti Nurbaya. Foto: Jatam

Sumber: Jatam Kaltim

Sumber: Jatam Kaltim

Sumber: Jatam Kaltim

Sumber: Jatam Kaltim


Kala Daerah Abai, Orangtua Korban Tambang Ngadu ke Menteri Lingkungan was first posted on February 25, 2015 at 2:32 pm.

Pelemahan KPK Ancam Penanganan Korupsi Sumber Daya Alam

$
0
0
 Warga dan para aktivis  unjuk rasa menolak kriminalisasi pada pimpinan KPK di Makassar. Kriminalisasi ini khawatir berdampak pada kasus-kasus pengelolaan SDA yang sedang ditangani dan diasistensi KPK di daerah. Foto: Wahyu Chandra

Warga dan para aktivis unjuk rasa menolak kriminalisasi pada pimpinan KPK di Makassar. Kriminalisasi ini khawatir berdampak pada kasus-kasus pengelolaan SDA yang sedang ditangani dan diasistensi KPK di daerah. Foto: Wahyu Chandra

Pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lewat upaya kriminalisasi para pimpinannya dinilai mengancam penanganan kasus-kasus pengelolaan sumber daya alam (SDA). Lembaga anti surah ini sedang serius menyasar kejahatan korupsi SDA, seperti kehutanan, tambang sampai migas.

“Saya melihat indikasi pelemahan KPK ini karena mereka masuk sektor minerba dan perkebunan. Dua sektor ini sangat besar korupsi,” kata Asmar Exwar, Direktur Walhi Sulawesi Selatan,  pada aksi di Polda Sulselbar, Makassar, Selasa, (24/2/15).

Asmar menduga, ada kekuatan bisnis mencoba mempengaruhi kekuasaan demi melemahkan KPK. Potensi korupsi, katanya, dari perizinan sampai pajak.

Dia khawatir penanganan sejumlah kasus SDA yang diproses ataupun diasistensi KPK terganggu, apalagi kriminalisasi juga menyasar 21 penyidik.

Menurut dia, harapan penanganan kasus-kasus korupsi, utama sektor SDA ada di KPK. “Kejaksaan dan kepolisian tidak bisa diharapkan, banyak kasus belum terselesaikan hingga kini. Saya pesimistis, jika korupsi dilimpahkan ke kejaksaan.”

Senada diungkap Ratna dari LBH Makassar. Dia menilai,  kondisi KPK akan berdampak masa depan penyelesaian berbagai kasus SDA.

Ratna berharap,  Prediden segera mengembalikan posisi Abraham Samad, sebagai ketua KPK yang sah dan menghentikan proses hukum.

Aksi masyarakat sipil yang tergabung dalam Masyarakat Anti Korupsi (MARS) Sulsel ini bentuk dukungan kepada Abraham Samad, yang menjalani pemeriksaan di Polda Sulselbar.

Sejumlah NGO dan ormas tergabung antara lain Anti Corruption Committee (ACC), Walhi Sulsel, Solidaritas Perempuan Angingmamiri, AMAN Sulsel, Jurnal Celebes, dan sejumlah NGO dan organisasi mahasiswa di Makassar.

Tak hanya para aktivis, massa Serikat Juru Parkir Makassar, bergabung meramaikan aksi. Ada pula ibu-ibu rumah tangga turun dari angkot demi memeriahkan aksi.

“Kami turut mendukung KPK. Tolong difoto ya,” kata Ririn Lewa, ibu rumah tangga berpose membawa poster.

Pemandangan lain, massa Forum Pembela Islam (FPI) Makassar, antusias mendukung KPK. Mereka menilai,  yang dilakukan Abraham dan pimpinan KPK lain bagian dari jihad.

Aksi ini menyatakan tiga tuntutan, antara lain, pertama,  mendesak Presiden memerintahkan Polri mengeluarkan SP3 kasus Abraham Samad dan Bambang Widjoyanto karena kriminalisasi dan pembunuhan upaya pemberantasan korupsi.

Kedua, mendesak Presiden menghentikan kriminalisasi 21 penyidik KPK, dan memastikan KPK aman dari serangan dan upaya kriminalisasi.

Ketiga, mendesak Plt pimpinan KPK tetap melanjutkan penyelesaian kasus korupsi Budi Gunawan, BLBI, Bank Century dan lain-lain.

Abraham Samad hanya menjalani pemeriksaan sekitar dua jam dan dihentikan karena pertimbangan kesehatan.

“Pak Abraham sedang sakit maag jadi pemeriksaan dihentikan penyidik,” kata Kabid Humas Polda Sulselbar, Endi Sutendi.

Menurut dia, ada 15 pertanyaan penyidik ke Abraham yang dihentikan karena tidak memungkinkan. “Jadwal pemanggilan selanjutnya tergantung penyidik.”

Aksi koruptor

Walhi Nasional juga menyatakan keresahan sama. Bulan lalu, Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Nasional Walhi mengatakan, kriminalisasi kepolisian terhadap KPK sebagai bentuk pelemahan oleh koruptor. Ia juga jadi konsolidasi kepentingan antara koruptor dan korporasi yang diuntungkan dari praktik korup pengelolaan SDA dengan berbagai modus. “Antara lain alih fungsi lahan, pemanfaatan hasil hutan tidak sah dan penghindaran atau manipulasi pajak,” katanya dalam rilis kepada media.

Kehadiran KPK, katanya,  memberikan angin segar perbaikan tata kelola SDA yang selama ini rentan korupsi. KPK memberikan perhatian khusus kasus-kasus korupsi SDA melalui koordinasi dan supervisi minerba di 12 daerah. Lembaga ini menyoroti tumpang tindih  pertambangan di kawasan hutan di berbagai daerah.

KPK merekomendasikan pencabutan izin perusahaan tumpang tindih di kawasan hutan. Upaya KPK ini tak lepas dari peran masyarakat sipil yang melaporkan berbagai kasus. Walhi telah melaporkan 26 perusahaan ke KPK.

Hasil korsup itu, terpantau 4.000 an IUP di 12 provinsi, non clean and clear. KPK merekomendasikan pencabutan IUP tumpang tindih bermasalah. Meskipun baru sebagian kecil ditindaklanjuti pemerintah daerah. Dari pantauan Walhi, masih sebagian kecil IUP dicabut, antara lain Bangka Belitung (8), Sumsel (17), Jambi (184), Sulsel (33), Sultra (184), Sulteng (85), dan Kalimantan Barat (9).

Namun, Walhi menilai, upaya KPK memberantas korupsi sektor kehutanan cukup efektif. Dampak kejahatan korupsi SDA ini, setidaknya sejak 2010-2013 perkiraan potensi kerugian penerimaan negara mencapai Rp248,693 miliar lebih di Sumsel, Jambi (Rp50,467 miliar), Bangka Belitung (Rp6,596 miliar), atau total Rp305,757 miliar lebih.

“Itu belum termasuk dihitung kerugian masyarakat akibat bencana ekologis dan kehilangan sumber kehidupan akibat praktik pengelolaan SDA sarat korupsi,” ujar dia.

KPK juga membentuk koordinasi supervisi sektor perkebunan sawit. Menurut Abetnego, terobosan KPK sebagai institusi negara ini menjadi ketakutan tersendiri bagi koruptor dan pemodal.

Aksi warga meneriakkan penyelamatan KPK terjadi di berbagai daerah, termasuk di Jakarta. Hampir tiap hari aksi massa memenuhi gedung KPK. Mereka memberikan dukungan kepada KPK . Foto: Sapariah Saturi

Aksi warga meneriakkan penyelamatan KPK terjadi di berbagai daerah, termasuk di Jakarta. Hampir tiap hari aksi massa memenuhi gedung KPK. Mereka memberikan dukungan kepada KPK . Foto: Sapariah Saturi


Pelemahan KPK Ancam Penanganan Korupsi Sumber Daya Alam was first posted on February 25, 2015 at 6:45 pm.

Penambangan Emas Tanpa Izin Terus Berjalan Meski Memakan Korban. Solusinya?

$
0
0
Lokasi PETI di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, pasca-operasi penertiban yang dilakukan oleh Polda Kalbar pada Oktober 2014 hingga Januari 2015. Tidak ada aktivitas yang tampak di hamparan pasir putih tersebut. Tadinya, ribuan pekerja melakukan penambangan yang terkonsentrasi di beberapa titik penggalian. Foto: Aseanty Pahlevi

Lokasi PETI di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, pasca-operasi penertiban yang dilakukan oleh Polda Kalbar pada Oktober 2014 hingga Januari 2015. Tidak ada aktivitas yang tampak di hamparan pasir putih tersebut. Tadinya, ribuan pekerja melakukan penambangan yang terkonsentrasi di beberapa titik penggalian. Foto: Aseanty Pahlevi

Miris! Penambangan emas tanpa izin (PETI) di Kalimantan Barat terus memakan korban. Terakhir, Kamis (19/02/2015), dua bersaudara Yayat (25) dan Wawan (30) yang merupakan penambang emas warga Dusun Liang Sipi, Kecamatan Mandor, Kabupaten Landak, tewas tertimbun.

Sebelumnya, 16 Januari 2015, delapan orang yang merupakan pekerja dan pendulang emas di lokasi penambangan tanpa izin di Kecamatan Menterado, Kabupaten Bengkayang, tewas tertimbun. Bahkan, beberapa bulan lalu, 18 orang tewas di perbatasan Monterado saat tanah yang disemprotkan pipa paralon 12 inchi ke atas, meruntuhkan tanah di sekitar penambangan yang digali. 16 pria dan dua perempuan tertimbun hidup-hidup.

Meski sudah memakan korban, namun kegiatan penambangan emas tanpa izin ini terus berlangsung. Benarkah alasan klise yakni demi perut, yang membuat penambangan tersebut terus berlangsung?

“Ini bukti bahwa penegakan hukum di hilir, tidak akan pernah menjadi solusi. Ini soal perut. Selama masalah perut belum selesai, hal ini akan terus terjadi,” kata Kepala Kepolisian Kalimantan Barat,  Brigadir Jenderal Polisi Arief Sulistyanto, di Pontianak belum lama ini.

Tadinya, Arief sempat sumringah karena jeratan hukum yang diberlakukan kepada cukong, yang tak lain pemilik modal, lebih berat. Tak hanya itu, Arief pun mengenakan undang-undang pencucian uang untuk mengikuti alur uang haram hasil penambangan emas tanpa izin tersebut.

Menurut Arief, Kepolisian Daerah Kalimantan Barat telah mendeteksi 64 lokasi pertambangan emas tanpa izin, yang tersebar di 12 kabupaten dan kota di Kalimantan Barat. Aktivitas paling banyak berada di Kabupaten Bengkayang, Ketapang, Landak, dan Sambas.

 

Penertiban

Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC), Brigade Bekantan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat, juga sudah melakukan penertiban pada penambangan liar di Cagar Alam Mandor, Kabupaten Landak, akhir Januari 2015. Mereka menangkap dan menahan empat tersangka yang diduga melakukan aktivitas PETI dan penebangan kayu ilegal di kawasan konservasi itu.

Kepala BKSDA Kalbar, Sustyo Iriono, (29/01/2015), mengatakan, kegiatan penertiban itu bertujuan untuk memberantas seluruh aktivitas ilegal di kawasan konservasi itu. Awalnya, kata Sulistyo, SPORC memeriksa 12 pelaku penambangan liar. Setelah melakukan pemeriksaan secara intensif, dengan melihat barang bukti dan petunjuk, akhirnya ditetapkan empat tersangka yang saat ini sudah dititipkan di Rumah Tahanan kelas IIA Pontianak.

Para pelaku dijerat dengan undang-undang No 18 Tahun 2013, tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, dengan ancaman hukuman minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun penjara, serta denda minimal Rp1,5 miliar dan maksimal Rp10 Miliar.

Direktur Walhi Kalimantan Barat, Anton P Wijaya, mengatakan, ketika bicara penegakan hukum masalah penambangan liar, pemerintah harusnya memikirkan hak kelola komunitas. “Ada hak masyarakat yang berada di sekitar kawasan tersebut,” kata Anton.

“Intinya, bagaimana penguasaan pertambangan rakyat ini dikelola secara komunal. Bukan oleh satu pemilik modal yang dominan. Sehingga, warga yang berada di sekitar area pertambangan bisa menikmati hasilnya, tanpa harus melakukan perusakan,” kata Anton.

Anton mengatakan, pemerintah telah membuat regulasi yang tidak memberikan keleluasaan pada pertambangan rakyat. “Pengelolaan tambang secara komunal, mungkin bisa menjadi solusi. Karena, kegiatan ini sudah menjadi kultur masyarakat, sejalan dengan sejarah keberadaan pertambangan di Kalimantan Barat,” ujarnya.

 

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

 

 

 


Penambangan Emas Tanpa Izin Terus Berjalan Meski Memakan Korban. Solusinya? was first posted on February 26, 2015 at 12:46 am.

Benarkah “Langit Biru Palembang” yang Terbaik di Indonesia?

$
0
0

Palembang dinobatkan sebagai kota metropolitan dengan kualitas udara terbaik di Indonesia 2014 oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Evaluasi yang dilakukan KLHK tersebut berlangsung sejak Maret – Oktober 2014 yang di saat bersamaan Palembang juga diserang kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan. Foto: Muhammad Ikhsan

Palembang meraih penghargaan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai kota meteropolitan dengan kualitas udara terbaik di Indonesia periode 2014 dengan skor indeks 78,50. Palembang mengalahkan Surabaya, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, dan Medan. Pantaskah Palembang menerimanya?

M Sapri Nungcik, Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Palembang, mengatakan pihaknya merasa bersyukur dengan penghargaan yang diberikan KLHK tersebut.

“Kita bersyukur dengan prestasi yang diraih oleh kota Palembang ini. Alhamdulillah, kualitas udara Palembang terbaik di Indonesia,” ujar Sapri. “Dengan penghargaan ini diharapkan akan terjadi peningkatan penataan lingkungan di Palembang, misalnya penataan sampah, polusi, penghijauan, dan lainnya,” kata Sapri, Rabu (25/02/2015).

Najib Asmani, Staf Ahli Gubernur Sumsel Bidang Lingkungan Hidup, mengatakan terpilihnya Palembang sebagai kota dengan kualitas udara terbaik di Indonesia ini harus dipertahankan bahkan ditingkatkan.

“Jangan dicari-cari sisi negatifnya atau menganggap hal ini tak mungkin. Hal itu kan berdasarkan sejumlah indikator dan penilaian dari tim KLHK. Ya, sah-sah saja. Ke depan, harus dipertahankan bahkan kualitas udara di Palembang kalau bisa lebih baik lagi,” ujar Najib, Rabu (25/02/2015).

Sementara Hadi Jatmiko, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Selatan, mengkritisi prestasi yang diraih Kota Palembang tersebut. Menurutnya, indikator yang dipakai dalam penghargaan ini sangat kurang untuk menyatakan tingkat kualitas udara di sebuah kota.

“Indikatornya sedikit sekali, hanya dari sektor transportasi, emisi kendaraan, serta perda mengenai lingkungan hidup yang dikeluarkan. Kualitas udara tak hanya tergantung jumlah dan umur kendaraan di jalan raya. Kemudian soal perda, bagaimana implementasinya di lapangan. Ini masih jadi pertanyaan,” kata Hadi, Rabu (25/02/2015).

Apalagi saat dilakukan penilaian pada 2014 lalu, Palembang tengah diserang bencana kabut asap. Saat itu, Badan Lingkungan Hidup (BLH) Palembang mengeluarkan pernyataan bahwa kualitas udara di Palembang memburuk sementara Dinas Kesehatan mengimbau masyarakat untuk menggunakan masker untuk mengantisipasi terkena penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).

“Dengan adanya penghargaan ini seolah-olah kualitas udara di Palembang sudah baik. Seakan-akan penghargaan ini hanya untuk menutup-nutupi kejahatan lingkungan yang terjadi di Palembang saat ini, baik yang diakibatkan oleh kebakaran hutan dan lahan atau oleh polusi pabrik-pabrik yang beroperasi di daerah ini,” ujar Hadi.

Hadi mengimbau, Siti Nurbaya Bakar, Menteri LHK, untuk mengevaluasi penghargaan ini, jangan hanya menjadi program kerja yang dimanfaatkan oleh para penjahat lingkungan untuk menutupi dosa-dosanya.

Palembang menyabet predikat sebagai kota metropolitan dengan kualitas udara terbaik di Indonesia karena kota ini telah membuat perda emisi dan kendaraan umumnya telah menggunakan bahan bakar gas. Evaluasi kualitas udara perkotaan (Ekup) yang dilakukan KLHK sendiri dilakukan sepanjang Maret – Oktober 2014 dengan tujuan utama mengetahui sejauh mana kualitas udara di kota-kota Indonesia sekaligus mendorong agar kota-kota tersebut mengelola kualitas udara dengan baik.

 

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

 


Benarkah “Langit Biru Palembang” yang Terbaik di Indonesia? was first posted on February 26, 2015 at 12:57 am.

Inilah Empat Primata Endemik Kepulauan Mentawai. Apa Keunikannya?

$
0
0

Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat merupakan salah satu pulau terindah di Indonesia yang patut dikunjungi. Terdiri dari empat pulau besar yaitu Siberut, Sipora, Pagai Selatan dan Pagai Utara serta terdapat 94 buah pulau kecil, menjadikan Mentawai pulau  yang sangat indah dan menjadi tujuan wisata.

Sebagai pulau terluas diantara tiga pulau lainnya, Pulau Siberut memiliki kekayaan jenis tumbuhan dan satwa endemik, sehingga sering menjadi tempat penelitian. Tercatat ada 846 jenis tumbuhan, dari 390 genus dan 131 suku, meliputi pohon, semak, herba, liana dan epifit. Sebanyak 503 jenis tumbuhan diantaranya dimanfaatkan oleh masyarakat untuk bahan obat tradisional.

Pulau Siberut menjadi kawasan yang fenomenal dan unik karena tingkat endemisitas yang sangat tinggi yaitu 15% flora dan mencapai 65% untuk mamalia. Dari 29 mamalia yang tercatat di Pulau Siberut terdapat 21 spesies endemik. Empat diantaranya jenis primata yang hanya dimiliki oleh Kepulauan Mentawai yaitu bilou atau siamang kerdil (Hylobates klosii), simakobu atau monyet ekor babi (Simias concolor), bokkoi atau beruk mentawai (Macaca pagensis), dan joja atau lutung mentawai (Presbytis potenziani).

Bilou atau siamang kerdil (Hylobates klosii), salah satu primata endemik Kepulauan Mentawai yang terancam punah. Foto: tamannasionalsiberut.org

Bilou atau siamang kerdil (Hylobates klosii), salah satu primata endemik Kepulauan Mentawai yang terancam punah. Foto: tamannasionalsiberut.org

Bilou atau siamang kerdil (Hylobates klosii) merupakan jenis primata yang paling terkenal di Mentawai. Bilou memiliki bulu-bulu yang jarang berwarna hitam gelap dan terdapat selaput antara jari kedua dan ketiga. Primata monogami ini hidup secara berkelompok yang terdiri dari induk jantan dan betina dengan anak-anaknya yang belum dewasa, dengan satu keluarga rata-rata tiga sampai empat individu. Sedangkan jumlah anggota dalam satu kelompok dapat mencapai 11 individu.

Sebagai jenis arboreal tertua yang masih hidup, bilou merupakan jenis primata yang paling banyak menghabiskan waktu di atas pohon yang tinggi (lebih dari 20 meter) dengan pakan yang disukainya adalah Ficus sp, nibung liana dan tangkai. Pekik bilou paling sederhana, lebih panjang dan bervariasi diantara pekikan jenis kera arboreal lainnya.

Siamang kerdil ini jarang turun ke tanah, karena termasuk satwa yang pergerakannya banyak menggunakan lengan-lengan yang panjang untuk berpindah/melompat dari satu pohon ke pohon yang lain sehingga sulit bergerak di permukaan tanah. Karena arboreal, menjadikan bilou jenis primata yang hidupnya paling dipengaruhi oleh kegiatan penebangan hutan.

Primata Arboreal Unik

Sedangkan joja atau lutung mentawai (Presbytis potenziani) mempunyai bentuk yang paling indah diantara primata endemik, dengan punggung hitam berkilat, bagian perut berwarna coklat tua, putih sekitar muka dan leher dan ekor yang panjang dan hitam seperti sutera.

Joja atau lutung mentawai (Presbytis potenziani), satu primata endemik Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Foto: siberutmentawai.blogspot.com

Joja atau lutung mentawai (Presbytis potenziani), satu primata endemik Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Foto: siberutmentawai.blogspot.com

Meskipun termasuk dalam genus tropis Asia yang besar dan menyebar luas, joja memiliki keunikan dalam banyak hal. Betina dewasa dan jantan pasangannya ikut serta dalam pekikan dan peragaan tantangan terhadap kelompok lain, tidak seperti kera arboreal jenis lainnya, karena hanya jantan saja yang melakukan kedua hal tersebut.

Joja biasanya mengeluarkan bunyi sebelum fajar dan dijadikan sebagai tanda teritori kelompoknya sehingga kelompok-kelompok binatang lainnya dapat menghindarkan diri. Primata arboreal sejati ini, hampir sepanjang hidupnya tinggal di pohon dan jarang sekali turun ke tanah. Makanannya terdiri dari setengahnya berupa buah-buahan, 35% daun-daun dan 15% biji-bijian, kacang, bunga dan materi tumbuhan lainnya.

Bekantan Mentawai

Simakobu atau monyet ekor babi (Simias concolor) termasuk kedalam keluarga bekantan. Tetapi simakobu sangat berlainan dari bekantan dan semua bentuk monyet lainnya karena ekornya yang pendek menyerupai ekor babi, badan yang gemuk pendek dan anggota-anggota badan yang sama panjang. Ada dua jenis warna bulu simakobu yaitu kelabu tua dan keemasan.

Simakobu atau monyet ekor babi (Simias concolor), salah satu primata endemik Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Foto : Wikimedia

Simakobu atau monyet ekor babi (Simias concolor), salah satu primata endemik Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Foto : Wikimedia

Primata ini juga arboreal, hidup di atas pohon dan memakan daun-daunan. Simakobu hidup dalam satu kelompok yang terdiri dari 1 betina, 1-5 jantan dewasa dan anak-anak. Jantan dewasa memiliki ukuran yang lebih besar dari betina dewasa dan memiliki gigi taring dua kali lebih panjang dari gigi taring betina dewasa.

Monyet ekor babi sangat mudah diburu. Seekor simakobu seringkali melarikan diri dalam jarak dekat saja dan kemudian duduk bersembunyi dalam kanopi sehingga menjadi sasaran empuk bagi pemburu. Simakobu diburu dua kali lebih banyak dari jenis lainnya. Jika satu kelompok melarikan diri, betinanya akan tertinggal dibelakang sehingga betina jenis Simakobu lebih sering dibunuh dari pada jantannya.

Beruk Mentawai

Bokkoi atau beruk Mentawai (Macaca pagensis) sangat erat hubungannya dengan beruk yang ada di Sumatera, Kalimantan dan benua Asia Tenggara, tetapi mempunyai warna bulu yang lebih gelap yang kontras sekali dengan bagian pipi yang putih serta pekik yang unik. Beruk ini tidak hanya hidup di pulau besar, tetapi juga hidup di pulau-pulau kecil seperti Pulau Siberut.

Bokkoi atau beruk Mentawai (Macaca pagensis), salah satu primata endemik Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Foto: Wikipedia

Bokkoi atau beruk Mentawai (Macaca pagensis), salah satu primata endemik Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Foto: Wikipedia

Primata ini juga mengeluarkan bunyi sebelum fajar tetapi tidak menunjukkan pekikan teritori. Bokkoi jantan berulangkali mengeluarkan pekikan supaya terus berhubungan dengan anggota kelompoknya yang juga menjawab dengan jerit dan suara-suara yang biasa mereka keluarkan untuk tetap berhubungan satu sama lain dalam hutan lebat.

Dalam satu kelompok Bokkoi terdiri dari 30 individu, umumnya terdiri satu jantan dengan dari 8-10 individu saja. Satu kelompok akan terabgi menjadi beberapa kelompok kecil untuk mencari makanan dan kembali bergabung pada waktu malam hari.

Habitat bokkoi sangat luas, dari daerah mangrove ke hutan primer dipterocarpaceae dan hutan yang ditebang serta ladang pertanian dimana mereka sering menemukan makanan. Karenanya primata ini paling sedikit diselidiki. Dagingnya yang lezat, menjadikan primata ini sering diburu dan dikonsumsi di beberapa daerah.

Populasi Cenderung Menurun

Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat (UMSB), Yumarni,  yang ditemui Selasa (24/02/2015) menyebutkan pihaknya pada Juni 2014 telah melakukan monitoring populasi bilou, simakobu, bokkoi dan joja di enam titik dalam areal Taman Nasional Siberut. Dengan metode sistem jalur (line-transect), monitoring bertujuan mengetahui perubahan komunitas popuasinya. Hasilnya,  keempat primata itu masih dapat ditemukan, khususnya di daerah Bekemen, Matotonan, Kaleak, Sirisura, Sagalubek dan Saibi.

“Sebaiknya harus ada kegiatan penelitian berupa studi populasi mengenai kualitas habitat dan ketersediaan pakan satwa ini di alamnya, agar memudahkan dalam melakukan monitoring terhadap perkembangan populasi primata endemik ini,” katanya.

Yumarni mengatakan populasi primata itu, terutama bilou cenderung menurun, karena ancaman perburuan dari masyarakat setempat untuk kegiatan ritual adat dan prasyarat pengobatan oleh Sikerei (dukun Mentawai). Bokkoi dan simakobu merupakan hewan buruan saat upacara eneget yakni upacara yang menandai seorang anak laki-laki masuk fase dewasa. Biasanya si anak akan dibawa ke dalam hutan dengan membawa  panah serta busur sebagai alat untuk berburu.

Staf Hukum dan Kebijakan dari Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM) Pinda Tangkas Simanjuntak, mengakui adanya perburuan oleh masyarakat tapi hanya dilakukan satu kali dalam setahun yaitu pada saat bulan purnama dan hanya untuk kebutuhan ritual atau upacara adat semata.

Sehingga dia membantah jika kepunahan primata endemik Mentawai itu disebabkan oleh aktifitas perburuan yang dilakukan masyarakat. Populasi primata itu menurun akibat berkurangnya tutupan lahan untuk operasional perusahaan kayu semenjak 1970-an di Kepulauan Mentawai. Primata endemik itu mungkin hidup dan berkembang di areal-areal konsesi perusahaan.

Saat ini mungkin hanya dalam kawasan Taman Nasional Siberut saja populasi primata endemik Kepulauan Mentawai ini bisa bertahan, sebab tutupan hutannya masih terjaga dan pakannya pun tersedia. Pinda pesimis primata ini dapat berkembang baik di luar itu.

BKSDA Sumatera Barat tengah meminta pengembalian primata endemik Kepulauan Mentawai, bilou (Hylobates klosii) yang sempat dipelihara oleh warga Bungus, Kota Padang. Foto: BKSDA

BKSDA Sumatera Barat tengah meminta pengembalian primata endemik Kepulauan Mentawai, bilou (Hylobates klosii) yang sempat dipelihara oleh warga Bungus, Kota Padang. Foto: BKSDA

Kepala Balai Taman Nasional Siberut, Toto Indraswanto kepada Mongabay pada Selasa (24/02/2015) mengatakan meski belum masuk dalam 14 jenis satwa dilindungi yang dalam Rencana Strategis Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) pada tahun 2009-2014, bilou termasuk dalam satwa yang dipantau perkembangannya.

Pada Renstra PHKA tahun 2015-2019 yang meningkatkan 14 jenis menjadi 25 jenis satwa, bilou masuk sebagai satwa dilindungi yang akan dipantau perkembangannya khusus di kepulauan Mentawai. Pelaksanaan Renstra itu yang menargetkan peningkatan 10 persen populasi selama 5 tahun itu akan dievaluasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Sedangkan Biodiversity and Forest Carbon Spesialist Fauna and Flora International (FFI) Joseph Adiguna Hutabarat, mengatakan jumlah populasi bilou bervariasi, tergantung pada metode sampling yang digunakan, areal yang menjadi fokus penelitian dan kondisi pada saat dilakukan penelitian. Dari hasil penelitian populasi bilou yang dilakukan oleh Chivers (1977) mencapai 84.000 ekor, Whitten (1980) mencapai 54,000 ekor, Paciulli (2004) mencapai 3,500 ekor, Whittaker (2005) mencapai 20,000 hingga 24,000 ekor, Quinten et al, (2009) mencapai 9,3 ‐7,6 ekor per kilometer persegi, Bismark (2006) mencapai  8,14 individu per km2, Höing et al. (2013) berkisar antara 28 – 60 ekor.

Bilou yang berstatus terancam punah (endangered) menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN), kecenderungan populasinya menurun. Sedangkan data Global Forest Wacth menunjukkan perubahan tutupan lahan di Kepulauan Mentawai pada 2001 seluas 498,118 hektar, menjadi 486,543 hektar pada 2012, berkurang 1,052 hektar dengan tingkat deforestasi 0,21 persen setiap tahunnya.

Melihat tingkat deforestasi yang kecil dan perburuan adat hanya sekali setahun, Joseph mengatakan populasi bilou turun akibat perdagangan satwa. Oleh karena itu, diharapkan adanya proteksi habitat dan sosialisasi pentingnya konservasi bilou kepada masyarakat. Juga perlu dilakukan penelitian untuk serta mengetahui kondisi populasi, sifat dan perilaku primata endemik tersebut.

 


Inilah Empat Primata Endemik Kepulauan Mentawai. Apa Keunikannya? was first posted on February 26, 2015 at 6:52 am.

Polhut Bongkar Jaringan Pembalakan Liar di Leuser

$
0
0
Seribuan batang cangkul dari kayu meranti yang diduga diambil dari TNGL sudah diamankan Polhut. Foto: Balai Besar TNGL

Seribuan batang cangkul dari kayu meranti yang diduga diambil dari TNGL sudah diamankan Polhut. Foto: Balai Besar TNGL

Polisi Kehutanan (Polhut) Pengelolaan Taman Nasional Wilayah III Stabat, menangkap dua tersangka diduga jaringan illegal logging di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Dua tersangka, berinisial R (54) dan F (32) dari Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

Sapto Aji Prabowo,  Kepala Pengelolaan Taman Nasional Wilayah III-Balai Besar TNGL, mengatakan, kedua tersangka menguasai kayu, tanpa dokumen sah. Penangkapan di Kecamatan Sawit Sebrang, Langkat, pada Jumat (13/2/15).

Dari tangan tersangka, mengamankan barang bukti 1.050 gagang cangkul berbahan meranti batu, diduga dari TNGL. Polhut juga mengamankan, seperti satu Mitsubishi Pick–Up L300 sebagai pengangkut gagang cangkul.

“Kita juga mengamankan satu lembar foto copy tanda nomor kendaraan bermotor, buku uji kenderaan Nomor: C 345309. Satu lembar surat keterangan ketua koperasi Indonesia Produksi Pipa Makmur dan delapan buah jerigen,” katanya Jumat (20/2/15).

Penangkapan ini saat operasi rutin. Dari keterangan, tersangka telah dilakukan mengirimkan sekitar 10 kali dengan jumlah beragam, ada sampai 2.000 gagang cangkul.

Menurut Sapto, dari barang bukti 1.050 gagang cangkul yang diamankan ini, diperkirakan dari dua pohon besar meranti batu. Artinya, jika pengiriman 10 kali dengan 1.000 gagang, tidak kurang 20 pohon. “Kami masih mengembangkan guna membongkar pelaku lain yang belum tertangkap.”

Andi Basrul, Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser, ketika dikonfirmasi menyatakan penangkapan 1.050 gagang cangkul ini merupakan penangkapan keempat dalam kurun waktu satu bulan terakhir.

sSbelumnya,  Polhut sudah pernah mengamankan satu truk bermuatan kayu, beserta tiga pelaku di Dusun Pantai Buaya, Desa Bukit Mas, Kecamatan Besitang, Stabat, Langkat, akhir bulan lalu. Kala itu,  disita satu minibus 48 batang kayu meranti dan damar, beserta pelaku mantan TNI. Penangkapan di Sawit Seberang, Langkat, akhir Januari.

Dari pengembangan kasus ini, Penyidik PNS Balai TNGL, dibantu Petugas POM, Subdenpom Binjai, juga menggeledah kilang kayu milik anggota TNI Koramil 04 Medan. Dari lokasi, menyita barang bukti kayu diduga dari TNGL.

“Kasus ini dilimpahkan kepada Subdenpom Binjai, karena diduga penadah anggota TNI Kodam I/BB. Ada beberapa lagi masih pengembangan. Semua kita sikat.”

Polhut juga mengamankan satu truk bermuatan kayu olahan, berupa kusen dan daun pintu, beserta dua pelaku 10 Februari. “Selain anggota TNI yang ditangani Subdenpom Binjai , semua kasus ditangani Balai TNGL.”

Noviar Andayani, Country Director Wildlife Conservation Society (WCS) Program Indonesia, mengatakan,  penangkapan ini upaya strategis menyelamatkan ekosistem Leuser.  “Taman Nasional bekerja sama dan membentuk unit-unit patroli bertugas mengawasi kawasan oleh WCS dan TNGL.”

Munawar Kholis, Manager Program WCS-Indonesia Program lansekap Sumut, menyatakan, hasil patroli bersama TNGL sejak 2011, tim mengidentifikasi lokasi-lokasi rentan perburuan dan pembukaan hutan. “Ini makin tinggi bahkan terus terjadi.”

Polhut Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah III  Stabat mengamankan kayu olahan jenis meranti batu berasal dari  kawasan TNGL. Foto: Balai Besar TNGL

Polhut Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah III Stabat mengamankan kayu olahan jenis meranti batu berasal dari kawasan TNGL. Foto: Balai Besar TNGL

 


Polhut Bongkar Jaringan Pembalakan Liar di Leuser was first posted on February 26, 2015 at 8:38 am.

Tiga Bulan Pasca Blusukan Jokowi ke Tohor, Bagaimana Hasilnya?

$
0
0
Abdul Manan, memperbaiki sekat kanal, kala Presiden Joko Widodo, datang ke Desa Sungai Tohor, Riau, akhir November 2014. Warga berupaya menahan air agar tak lepas dengan membuat sekat-sekat di kanal.  Foto: Indra Nugraha

Abdul Manan, memperbaiki sekat kanal, kala Presiden Joko Widodo, datang ke Desa Sungai Tohor, Riau, akhir November 2014. Warga berupaya menahan air agar tak lepas dengan membuat sekat-sekat di kanal. Foto: Indra Nugraha

Oktober 2014, Abdul Manan, warga Desa Sungai Tohor, Meranti, Riau, membuat petisi di Change.org. Petisi berisi ajakan kepada Presiden Joko Widodo blusukan ke sana. Pada 27 November 2014, Jokowipun blusukan ke Tohor.

Tiga bulan setelah kunjungan presiden, banyak perubahan di sana. Sekat kanal bersama warga membuat gambut basah. Hingga kini, wilayah itu terbebas dari kebakaran. Tak ada asap mengganggu aktivitas warga.

“Sekat kanal kita sekarang sudah siap. Gambut kami sekarang basah. Sagu sudah menghijau dan banyak manfaat bagi masyarakat,” kata Manan, saat teleconference pada diskusi media bersama Greenpeace dan Yayasan Perspektif Baru di Jakarta, Selasa (24/2/15).

Saat kemarau, katanya, air di kanal bisa untuk minum dan mandi. “Juga banyak ikan hidup. Masyarakat bisa menangkap. Wilayah kita tak kebakaran lagi.”

Namun Manan mempunyai harapan lain. Dia bersama warga Tohor lain ingin presiden dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan segera mencabut izin konsesi  PT Lestari Unggul Makmur. Perusahaan HTI akasia ini mengklaim banyak perkebunan sagu masyarakat.

“Akasia tidak cocok disandingkan sagu. Sagu kami bisa rusak karena hama akasia. Berharap izin LUM dicabut dan diserahkan kepada masyarakat untuk hutan desa agar bisa memperluas kebun sagu kami.”

Saat kunjungan ke Tohor, Menteri LHK Siti Nurbaya mengatakan akan mencabut izin LUM dan lahan jadi hutan desa. Namun, hingga kini belum ada kejelasan.

Perluas sekat

Sekat kanal warga Tohor menggunakan bahan lokal seperti kulit sagu ada 13. Sekat permanen baru satu. Penyekatan ini, katanya, akan diperluas ke empat desa lain di sekitar Tohor.

“Meski kemarau dua bulan terakhir, tidak ditemukan titik api di Tohor. Ini implementasi komitmen pembangunan sekat kanal,” kata juru kampanye politik hutan Greenpeace Indonesia, Teguh Surya.

Padahal,  katanya, sepanjang kuartal pertama tahun lalu wilayah itu kebakaran hebat karena lahan gambut kering.”Sekat kanal yang dibangun atas dukungan presiden terbukti ampuh membuat gambut basah hingga sulit terbakar. Ini tak hanya berhasil mengatasi persoalan kebakaran hutan, juga membantu pasokan air bersih warga saat kemarau,” katanya.

Teguh mengatakan, situasi alami ekosistem gambut Tohor mendukung keberlanjutan kebun sagu milik masyarakat. Kalau gambut rusak, produktivitas sagu menurun. Di Tohor,  ada12 kilang pengelolaan sagu masyarakat.

“Dibandingkan perusahaan di desa itu sama-sama menanam sagu tetapi pengelolaan berbeda. NSP land clearing. Hutan dihabisi semua, lalu tanam sagu. Produktivitas lebih rendah dibanding kebun sagu masyarakat.”

Saat Presiden Jokowi blusukan ke Tohor, mengatakan kebakaran hutan selama ini praktik pembiaran.”Ada pengakuan Jokowi sebagai presiden. Ini langkah awal menguji apakah presiden dan jajaran mau mengatasi masalah atau tidak? Kalau mau, sudah sampai mana? Kalah tidak, kenapa?”

Menurut dia, komitmen Jokowi saat blusukan asap sebenarnya cukup kuat dan jelas. “Kita tinggal melihat sejauh mana komitmen itu dilaksanakan? Dia sangat paham persoalan ini. Apalagi Plt Gubernur Riau, bupati dan lain-lain ikut serta blusukan itu.”

Selain itu, Jokowi janji perpanjangan moratorium izin hutan dan lahan. Saatnya, kata Teguh,  Jokowi bersama kementerian membuka ruang publik dan menjelaskan tahapan-tahapan menuju perpanjangan dan penguatan moratorium. “Hingga publik bisa terlibat aktif memberikan masukan.”

Kanal-kanal ini menyodet gambut. Airpun keluar dan lepas hingga mendorong gambut kering dan memicu kebakaran. Foto: presentasiAzwar M’aas

Yuyun Indradi, juru kampanye politik dan hutan Greenpeace Asia Tenggara mengatakan, kunjungan Jokowi ke Riau menunjukkan kebakaran hutan dan lahan gambut menjadi agenda prioritas.

“Kini kebakaran hutan Riau terjadi lagi. Memang belum banyak titik api. Cenderung turun, jika dibandingkan tahun lalu,” katanya.

Titik api turun

Catatan Greenpeace, 2010 titik api Riau mencapai 4.152 titik, 2011 (6.642), 2012 (8.114), 2013 (15.107) dan 2014 (21.571).

Jika dibandingkan tahun lalu di pada bulan sama, ada penurunan titik api. Tahun 2014, sepanjang Januari-Februari di Riau tercatat 4.980 titik api. Tahun ini,  sepanjang bulan sama 540 titik api.

“Kunjungan itu berdampak. Pembakar lahan gambut lebih berhati-hati. Karena presiden serius menangani dan menjadi prioritas,” katanya.

Pola kebakaran hutan dan lahan gambut selama 10 tahun terakhir, biasan titik api merangkak naik pada Maret sampai Mei dan puncak September-Oktober.

“Sejauh ini cukup efektif. Tinggal ditindaklanjuti. Tunggu dan amati apakah tren titik api naik atau turun. Realisasikan komitmen perpanjangan moratorium dan perlindungan lahan gambut. Serta review perizinan di lahan gambut.”

Haris Gunawan, Direktur Pusat Studi Bencana Universitas Riau mengatakan,  komitmen Jokowi sudah cukup. Tinggal merealisasikan saja.”Satu pengaruh harus kita akui, sejak kunjungan presiden, pemerintah Riau mulai dari gubernur sampai RT ada monitoring sistem yang tiap hari bisa update.”

Saat ini,  ada pergeseran titik api signifikan jika dibandingkan tahun lalu. “Dulu tinggi,  sekarang rendah.”

Kehadiran Jokowi, katanya,  memberikan motivasi dan kepercayaan kepada pemerintah daerah untuk menangani kebakaran hutan dan lahan gambut.

Pemerintah pusat, baru-baru ini memberikan siaga darurat kabut asap di Riau. “Ini tidak terjadi tahun lalu. Ini perlu diapresiasi. Kita punya tantangan Juni-Juli. Oke, Februari mau lewat, daerah bisa bekerja. Bagaimana Juli-Agustus, puncak musim kemarau?”

Menurut dia,  kalau situasi dan manajemen penanganan sama dengan bulan ini, 2015 bisa sukses untuk memulai mengatakan Indonesia bebas asap.

Haris mengatakan, pembuatan sekat kanal harus menjadi konsensus nasional. Sekat kanal itu juga bisa membantu mengurangi intrusi air laut ke darat. Hal ini bisa dilihat dari beberapa vegetasi tanaman penyuka air asin kini mati sejak ada sekat kanal.

“Intrusi air laut ke darat perlu dicegah. Kalau air asin masuk, bisa mematikan sagu masyarakat. Sekarang, air asin tersendat karena sekat kanal.”

Dampak lain,  ikan mulai ada di sekitar sekat kanal. “Ini tinggal sentuhan budidaya untuk meningkatkan perekonomian warga,” katanya.

Wimar Witoelar dari YPB mengatakan, kedatangan Jokowi ke Tohor bukan hanya memberikan hasil nyata bagi masyarakat juga proses mengawali perbaikan masalah kebakaran hutan di daerah lain seluruh Indonesia.

Menteri LHK Siti Nurbaya mendorong warga membangun sekat kanal. Saat ini, katanya, pembangunan sekat dibantu BNPB. “Mudah-mudahan ini bisa diterapkan di wilayah lain. Kita rapihin. Kita lagi kumpulin data.”

 


Tiga Bulan Pasca Blusukan Jokowi ke Tohor, Bagaimana Hasilnya? was first posted on February 26, 2015 at 6:12 pm.

Pemerintahan di Sumatera Selatan Masih Tertutup dengan Informasi Pengelolaan Kehutanan. Adakah yang Dirahasiakan?

$
0
0

UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik mengamanatkan pentingnya keterbukaan informasi sehingga tidak ada lagi hal yang ditutup-tutupi. Foto: Rhett Butler

Sejumlah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam di kabupaten dan kota di Sumatera Selatan, sangat tertutup dengan semua informasi publik. Misalnya Dinas Pertambangan, Dinas Perkebunan, dan Dinas Kehutanan. Ada apa?

“Ini berdasarkan pengalaman FITRA Sumatera Selatan (Sumsel), melalui uji akses informasi. SKPD atau dinas yang sangat tertutup memberikan informasi sampai saat ini, terkait kasus di Kabupaten Musi Banyuasin dan di Pemerintah Provinsi Sumsel, yakni Dinas Pertambangan, Dinas Kehutanan, Dinas Perkebunan, Dinas Pertanian, Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah, dan Badan Lingkungan Hidup (BLH), “ kata Nunik Handayani, dari FITRA Sumsel, dalam FGD mengenai informasi pengelolaan hutan dan lahan gambut di Sumsel yang digelar Mongabay Indonesia, Kamis (26/02/2015).

“Hanya Bappeda yang terbuka,” jelas Nunik.

Sementara, pengalaman PINUS yang melakukan uji akses informasi publik pada 14 SKPD di Kabupaten Muara Enim, hanya empat SKPD yang memberikan data dan informasi yang dibutuhkan. Yakni, Bappeda, Dinas Pertambangan, Dinas PU Cipta Marga dan Dinas Kehutanan.

“Lainnya sampai saat ini belum memberikan informasi yang diminta,” kata Syamy Syamsul Huda dari PINUS.

Hadi Jatmiko dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel mengatakan masih ada pejabat pemerintah di Sumsel yang menyatakan informasi terkait pengelolaan kehutanan dan sumber daya alam merupakan data rahasia negara. “Ini kan aneh. Jelas sekali pejabat ini melawan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik,” kata Hadi.

Minta ke perusahaan

Meskipun sudah dijelaskan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, namun hampir semua pejabat di Dinas Pertambangan, Kehutanan atau Perkebunan yang dimintakan informasinya – dalam hal ini FITRA, PINUS, Walhi Sumsel dan WBH – selain tidak mau mengeluarkan data, juga menyarankan meminta langsung kepada pihak perusahaan.

“Ini kan aneh, data yang seharusnya menjadi hak publik dikatakan rahasia negara, sementara pihak yang tidak dapat diakses datanya oleh publik, justru disarankan diminta datanya,” kata Ismail dari Wahana Bumi Hijau (WBH).

“Jelas saja kami tidak menjalankan apa yang disarankan pejabat pemerintah tersebut,” katanya.

Saat ini, semua informasi dan data yang belum diberikan SKPD di kabupaten, kota serta provinsi tengah disengketakan di KID (Komisi Informasi Daerah). “Hasilnya masih menunggu,” kata Ismail.

Kenapa tertutup?

Organisasi non-pemerintah yang melakukan uji akses informasi publik di Sumatera Selatan menilai macetnya informasi publik di Sumatera Selatan, bukan karena para pejabat tidak paham dengan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Namun, seperti hanya sekadar dibentuk saja.

“Sebab, hampir semua kabupaten dan kota di Sumsel sudah membentuk PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi). Namun, lembaga ini semacam kamuflase saja. Mereka hanya ingin menunjukkan peduli dengan informasi publik, tapi praktiknya tidak,” kata Hadi.

Hadi pun menjelaskan jika informasi terkait dengan pengelolaan kehutanan dan sumber daya alam tersebut memang sengaja ditutupi, “Dugaan kami banyak aset dikuasai perusahaan milik pejabat pemerintah atau politisi. Jika hal ini dibuka, jelas akan menimbulkan kekhawatiran mereka,” kata Hadi.

Cara ini, kata Hadi, justru menimbulkan banyak kecurigaan dari masyarakat dan penegak hukum. “Seharusnya dibuka saja. Jika apa yang dilakukan itu benar secara hukum, buat apa takut dibukakan kepada publik. Apalagi itu hak publik yang diperintahkan UU,” ujarnya.

Pernyataan Hadi dibenarkan oleh Anwar Sadat dari Serikat Petani Sriwijaya (SPS). “Banyak informasi yang ditutupi, yang pada akhirnya menimbulkan konflik lahan antara masyarakat dengan pemerintah maupun perusahaan. Jika informasi itu terbuka mungkin konflik dapat dihindari atau dapat terselesaikan,” katanya.

Sadat mencontohkan kasus di Desa Sodong, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). “Ada informasi hasil keputusan tim penanganan konflik perkebunan sawit tersebut, yakni mengembalikan lahan sengketa seluas 400-an hektar kepada masyarakat. Tapi, informasi ini tidak sampai ke masyarakat, sehingga masyarakat melakukan perlawanan karena tidak mengetahui informasi ini,” ujarnya.

Najib Asmani, Staf Ahli Gubernur Sumsel Bidang Lingkungan Hidup, mengatakan Gubernur Sumsel Alex Noerdin sangat mendukung kebebasan mendapatkan informasi publik. Sebab, hal ini sesuai dengan semangat demokrasi dan UU yang ada. “Jika ada hambatan informasi seperti itu, sebaiknya disampaikan kepada Pak Alex, lengkap dengan datanya, sehingga semuanya menjadi jelas. Hal ini untuk menghindari berbagai dugaan negatif terhadap pemerintahan di Sumsel. Gubernur Sumsel sangat berkomitmen memperbaiki tata pengelolaan kehutanan dan lahan gambut,” katanya.

 

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio


Pemerintahan di Sumatera Selatan Masih Tertutup dengan Informasi Pengelolaan Kehutanan. Adakah yang Dirahasiakan? was first posted on February 27, 2015 at 12:42 am.

Mendandani Pantai Utara dengan Mangrove Agar Bibir Kalimantan Barat Kembali Berseri

$
0
0
Anggota Siswa Pecinta Alam (Sispala) CAMAR SMA Negeri 1 Singkawang, sedang menanam mangrove di Kelurahan Setapuk Besar. Foto: Dok. WWF-Indonesia

Anggota Siswa Pecinta Alam (Sispala) CAMAR SMA Negeri 1 Singkawang, sedang menanam mangrove di Kelurahan Setapuk Besar. Foto: Dok. WWF-Indonesia

Sejumlah elemen masyarakat di pantai utara Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar) berupaya merestorasi kawasan kritis melalui penanaman mangrove. Abrasi yang terjadi saban tahun telah mengancam kawasan permukiman, perkebunan warga, dan infrastruktur jalan.

Di Kelurahan Setapuk Besar, Kecamatan Singkawang Utara, Kota Singkawang, abrasi pantai mengancam perkebunan kelapa milik warga setempat. “Paling terancam adalah perkebunan kelapa. Dan itu berdampak pada kondisi ekonomi warga,” kata Jumadi, Ketua Kelompok Peduli Mangrove Surya Perdana Mandiri saat dikonfirmasi dari Pontianak, Kamis (26/2/2015).

Menurutnya, mayoritas anggota kelompok yang didirikan sejak empat tahun lalu ini bermata pencarian sebagai nelayan. Mereka bertekad merestorasi kembali hutan bakau yang kondisinya kian memprihatinkan. Selain mengancam perkebunan kelapa milik warga, abrasi juga mengancam stok ikan dan kepiting di wilayah tangkap tersebut.

Di Kelurahan Setapuk Besar, kata Jumadi, penanaman tahap pertama sudah mencapai 3.000 bibit. Penanaman bakau jenis Rhizophora ini ternyata mengundang minat nelayan setempat untuk ikut bergabung. Selanjutnya, penanaman tahap kedua sebanyak 4.000 bibit. Warga juga berupaya menyulam kembali tanaman yang tidak berhasil tumbuh.

Penanaman yang diikuti perwakilan Kelompok Peduli Mangrove Surya Perdana Mandiri, Sispala CAMAR SMAN 1 Singkawang, dan WWF-Indonesia Program Kalbar ini mengundang perhatian pemerintah setempat. “Bakau yang ditanam ini diharapkan dapat tumbuh dengan baik sehingga laju abrasi dapat berkurang serta berguna sebagai tempat berkembang biak ikan dan kepiting,” kata Adi Haryadi, Lurah Setapuk Besar.

Menghijaukan Pesisir Utara

Selain di Setapuk Besar, tiga wilayah lainnya di pantai utara Kalbar yang terdampak abrasi adalah Desa Sungai Mas dan Penjajap di Kecamatan Pemangkat Kabupaten Sambas, Desa Sungai Duri Kecamatan Sungai Raya Kepulauan Kabupaten Bengkayang, dan Desa Sungai Duri 1 Kecamatan Sungai Kunyit, Kabupaten Mempawah.

Hingga saat ini, total penanaman di empat lokasi seluas lima hektar itu sudah mencapai 36 ribu batang dari total 40 ribu bibit bakau yang akan ditanam. Sebagai cadangan, dipersiapkan 10 ribu benih (buah) atau 25 persen dari total restorasi yang akan ditanam sebagai tanaman penyulam. Langkah ini sekaligus menjadi bahan uji coba penanaman pada lokasi kritis tanpa bakau di sekitarnya.

Penanaman yang dimulai sejak 14 Februari ini akan berakhir pada 28 Februari 2015 dengan masa tanam disesuaikan dengan kondisi geografis. Jika cuaca buruk atau ombak besar, penanaman tidak dapat dilakukan hingga cuaca teduh.

Bekantan terlihat asik bermain di hutan mangrove Desa Tasik Malaya, Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Foto: Bruno Oktavian/Panda Click WWF-Indonesia Program Kalbar

Di Desa Penjajap dan Sungai Mas Kecamatan Pemangkat, Kabupaten Sambas, penanaman mangrove sudah mencapai 13 ribu bibit. Desa berpenduduk 12.149 jiwa dengan luas wilayah 450 hektar ini merupakan kawasan kritis abrasi. Luas kawasannya terus berkurang akibat terkikis air laut dan mengancam permukiman penduduk.

Ketua Yayasan Pusat Mangrove, Yeni, mengatakan saat ini tercatat empat rumah di area Menara II yang posisinya telah berada di atas air. “Beberapa rumah warga sudah menjadi korban abrasi,” ungkapnya.

Manajer Program Kalbar WWF-Indonesia, Albertus Tjiu mengatakan, pihaknya telah bekerja sama dengan lima kelompok masyarakat peduli mangrove di pesisir utara Kalbar. “Ini upaya bersama untuk menumbuhkan kesadaran warga akan pentingnya mangrove bagi kehidupan,” katanya di Pontianak, Kamis (26/2/2015).

Menurutnya, penanaman kali ini mendapat sokongan dari karang taruna, pemerintah desa, kecamatan, dan pemerintah kota/kabupaten. Parapihak mencoba merestorasi mangrove di atas lahan seluas lima hektar, dan melibatkan masyarakat, pemerintah, siswa, dan mahasiswa dari Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura.

Sementara Coordinator Marine Species Conservation WWF-Indonesia, Dwi Suprapti menambahkan, restorasi mangrove ini bertitik tolak dari sejumlah persoalan yang dihadapi warga pesisir. “Hasil survei di Setapuk Besar menunjukkan bahwa abrasi mencapai 10 meter per tahun. Indikatornya, laut menggerus daratan hingga dua baris pohon kelapa yang ditanam warga. Jarak antara satu kelapa dengan kelapa lainnya mencapai lima meter,” katanya.

Persoalan berbeda terjadi di wilayah Sungai Duri, Kabupaten Bengkayang. Di sana, terdapat lebih dari 20 rumah berada tepat di atas air laut dan sekitar dua kilometer infrastrukur jalan yang terancam abrasi. Bahkan, jarak antara jalan raya dengan air laut hanya 0 – 100 meter.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

 


Mendandani Pantai Utara dengan Mangrove Agar Bibir Kalimantan Barat Kembali Berseri was first posted on February 27, 2015 at 1:06 am.

Menyelamatkan Lingkungan, Berawal dari Revolusi Mental

$
0
0
 *Agus Supangat, Mantan Koordinator Divisi Peningkatan Kapasitas, Penelitian dan Pengembangan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI). Tulisan ini merupakan opini penulis.

Dalam hidupnya, manusia akan selalu berhadapan dengan tantangan dan perubahan. Yang sering terjadi, sebagian besar bukanlah kesulitan itu sendiri, namun reaksi pikiran kita. Bayangkan jika Anda adalah seseorang yang tidak bisa berenang. Suatu hari, tiba-tiba ada rekan mengajak Anda menyelam di kawasan Raja Ampat, Papua Barat yang keindahan bawah lautnya sudah sangat terkenal di dunia.

Jika menyukai tantangan, anda akan berkata, “Oke. Beri saya waktu belajar berenang dan menyelam. Saya pasti bisa, tapi tolong beri waktu.” Kemungkinan kedua, nyali Anda langsung ciut karena sudah berpikir macam-macam: berenang saja tidak bisa, apalagi menyelam. Bisa mati tenggelam aku! Jadi Anda akan menjawab, “Kamu gila ya ngajak saya nyelam? Berenang saja nggak bisa!”

Bukankah ini yang sering kita alami dalam mengarungi tantangan yang datang dalam kehidupan?

Penanaman pohon di sekolah oleh para guru dan siswa, usai Tropical Society menyampaikan materi tentang perubahan iklim. Foto: Tropical Society

Penanaman pohon di sekolah oleh para guru dan siswa, usai Tropical Society menyampaikan materi tentang perubahan iklim. Foto: Tropical Society

Hal yang sama berlaku saat Anda disodori tawaran meminimalisasi pemanasan global. “Kita perlu beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim. Cuaca dan iklim makin tak tentu. Lakukan sesuatu untuk menguranginya. Yuk, naik angkutan umum, hemat energi, jaga hutan, atau apapun…” Bagaimana reaksi Anda jika ada tawaran semacam ini? Tidak peduli atau malah tertawa terbahak-bahak?

Mungkin Anda berpikir bahwa ide mengurangi dampak perubahan iklim adalah ide filosofis yang tak terjangkau. Mungkin pula Anda berpikir tidak mungkin karena dampak perubahan iklim sudah tak dapat dicegah. Kemacetan saja sudah mengesalkan karena pekerjaan terganggu, apalagi harus memikirkan cara mencegah perubahan iklim. Lagipula, belum tentu banjir disebabkan perubahan iklim. Bisa saja karena tingginya curah hujan yang berlangsung berhari-hari tanpa henti.

Manusia memang memiliki pilihan bebas. Yang perlu dicatat, kita tidak perlu berpikir muluk untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Semua dapat dilakukan sesuai dengan bidang Anda masing-masing.

Jika Anda adalah musisi, buatlah musik-musik yang menginspirasi orang lain untuk peduli pada isu perubahan iklim. Jika Anda adalah pengusaha, jadilah pengusaha yang bertanggung jawab terhadap lingkungan. Jika Anda adalah arsitek, rancanglah desain bangunan yang ramah lingkungan. Jika Anda adalah chef, buatlah masakan sehat yang tidak merusak lingkungan. Jika Anda adalah orang tua, berikan contoh yang baik pada anak-anak bagaimana caranya merawat dan menjaga lingkungan

Percayalah bahwa jika masing-masing pihak menjalankan tugas masing-masing sesuai fungsinya, “harmoni” akan tercipta. Sebuah blender atau juicer dapat menghasilkan jus yang nikmat jika listrik menyala dan setiap fungsi mesin berjalan sempurna. Salah satunya rusak akan menghambat yang lain. Demikian pula dengan perubahan iklim.

Jika hanya ilmuwan atau seniman yang bergerak tanpa dukungan pemerintah, penanganan dampak melambat. Tantangan baru dapat teratasi jika seluruh pihak yang terlibat mau bergerak bersama. Sebelum kerjasama terjadi, perlu keinginan bersama meski bukan merupakan hal mudah.

Berita baiknya, tantangan membuat karakter kita makin teruji.

Anak-anak sedang belajar mengidentifikasi daun di Sekolah Alam  Bentangor Pampang Environmental Education Center milik Yayasan Palung yang terletak di Desa Pampang Harapan, Kecamatan Sukadana, Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat. Foto : Petrus Kanisius

Anak-anak sedang belajar mengidentifikasi daun di Sekolah Alam Bentangor Pampang Environmental Education Center milik Yayasan Palung yang terletak di Desa Pampang Harapan, Kecamatan Sukadana, Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat. Foto : Petrus Kanisius

Jika Jepang tak sering dilanda gempa, kecil kemungkinan daya inovasi mereka dalam merancang struktur bangunan yang kokoh teruji. Kecil kemungkinan mereka menjadi bangsa yang tahan banting. Tsunami hebat yang kerap menerjang Jepang justru melahirkan daya cipta yang hebat. Keamanan nuklir mereka makin teruji. Ego tereduksi, kedisiplinan dan kerja keras pun makin terasah.

Dampak perubahan iklim yang sedang terjadi di negara kita mungkin tak seheboh tsunami Jepang. Para ilmuwan telah sepakat bahwa penyebab perubahan iklim adalah manusia itu sendiri. Artinya, potensi bencana dapat kita minimalisir meski terkadang tak dapat kita hindari.

Barang bukti begitu nyata seperti fenomena cuaca ekstrim yang telah kita alami. Bagi Anda yang tinggal di ibukota, cuaca awal tahun 2015 mungkin menjadi momok mengerikan. Banjir dan kemacetan parah tak terhindarkan bahkan istana presiden ikut terendam air.

Saat bersamaan, banjir juga juga melanda seantero tanah air hingga menyebabkan tanah longsor yang merobohkan sejumlah rumah dan menewaskan warga. Para turis yang sekadar ingin berlibur pun terpaksa harus gigit jari.

Pertanyaannya, apakah aneka tantangan ini menjadikan kita sebagai bangsa dan individu yang makin tangguh seperti Jepang atau malah menciptakan pesimisme? Apakah tantangan merupakan kesempatan untuk meningkatkan kapasitas atau justru membuat nyali ciut dan kemudian menyerah begitu saja sebelum bertanding?

Selama ego belum disingkirkan jauh-jauh, seruan untuk sesegera mungkin mengatasi perubahan iklim hanya menjadi angin lalu.

Itu sebabnya upaya dunia menyatukan suara dalam mengurangi dampak perubahan iklim seringkali menemui jalan buntu, terutama pada level pemerintah. Kepentingan “nasional” masih menjadi alasan utama meski tak ada yang menampik bahwa mencegah dampak buruk perubahan iklim sesungguhnya menjadi kepentingan negara manapun. Bagaimanapun, kita hidup dalam satu bola dunia yang sama.

Lakukanlah apa yang dapat Anda lakukan.

Tulisan dengan contoh kasus perubahan iklim ini tak bertujuan melemparkan kritik pedas dan tajam pada siapapun namun untuk menggerakan kesadaran setiap pembaca: kita semua. Kita tidak dapat memaksa orang lain melakukan apa yang kita ingin mereka lakukan, namun kita dapat memaksa diri melakukan apa yang seharusnya kita lakukan.

Jika tidak ingin melihat Indonesia terpuruk, jelas bahwa akar pertama yang perlu kita benahi adalah pola pikir seluruh lapisan masyarakat yang kuncinya datang melalui pendidikan dibarengi teladan para pimpinan, pendidik, politikus, anggota dewan perwakilan rakyat, dan seluruh elit yang duduk sebagai pemimpin bangsa ini. Tanpa disertai teladan, apa yang diajarkan hanya menjadi pepesan kosong. Ia tak lebih dari retorika atau perkataan motivasi yang belum tentu berkuasa mengubah keadaan.

Bayangkan jika saat ini pemerintah menggalakkan aktivitas pelestarian lingkungan hidup tapi pada saat bersamaan memberikan ijin bagi pengusaha untuk membuka lahan-lahan baru secara tidak bertanggung jawab. Bayangkan pula jika kita mengaku sebagai aktivis lingkungan hidup yang aktif membuat kegiatan dimana-mana, namun dalam keseharian masih membuang sampah sembarangan tanpa merasa bersalah.

Para pendidik perlu memberi teladan untuk melahirkan generasi muda yang cinta lingkungan. Para pengusaha perlu memberi teladan dengan tidak mengeksploitasi lingkungan demi profit semata. Para aparatur negara perlu memberi teladan sebagai pelayan masyarakat. Para anggota Dewan Perwakilan Rakyat perlu memberi teladan nyata lewat tindakan dan keseharian.

Inilah hakikat ‘Etika Lingkungan‘ dalam spektrum bernegara: sederhana tapi butuh perjuangan kuat dan komitmen terus menerus buat mewujudkannya.

Etika Lingkungan artinya revolusi mental yang datang dari mentalitas diri kita. Artinya, seharusnya datang dari diri sendiri, bukan karena program pemerintah semata. Jika mental kita sudah terevolusi, tugas selanjutnya adalah menjadi inspirasi bagi orang lain agar mereka pun mengalami revolusi serupa. Menginspirasi artinya memberi contoh melalui perbuatan, bukan perkataan semata.

Pilihan untuk mewujudkan Etika Lingkungan kini ada di tangan Anda.

 


Menyelamatkan Lingkungan, Berawal dari Revolusi Mental was first posted on February 27, 2015 at 3:19 am.
Viewing all 9485 articles
Browse latest View live