Quantcast
Channel: Mongabay.co.id
Viewing all 9448 articles
Browse latest View live

Raperda Taman Hutan Raya Poboya Paneki Dianggap Abaikan Kepentingan Masyarakat Vatutela. Benarkah?

$
0
0

Rancangan Peraturan Daerah Pengelolaan Taman Hutan Raya Poboya Paneki dianggap belum mengakomodir kepentingan masyarakat Vatutela yang telah hidup turun-temurun di sana. Foto: Rhett Butler

Rancangan Peraturan Daerah (raperda) tentang pengelolaan Taman Hutan Raya (Tahura) Poboya Paneki yang berada di timur Kota Palu, Sulawesi Tengah, mendapat penolakan dari Koalisi Aksi untuk Masyarakat Tepian Hutan (Katumpua). Koalisi ini menganggap Pemerintah Sulawesi Tengah (Sulteng) dalam hal ini Dinas Kehutanan, tidak terbuka dalam proses penyusunan draft rancangan tersebut.

Ketua Presidium Katumpua, Ona Samanda, mengatakan Dinas Kehutanan tidak menggunakan asas keterbukaan dalam penyusunan raperda itu dengan tidak melibatkan masyarakat Vatutela, Kelurahan Tondo, Kecamatan Mantikulore yang sudah hidup turun temurun dan menetap di kawasan Poboya Paneki.

“Muatan materi raperda ada 9 bab 53 pasal yang sama sekali tidak memuat peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan. Padahal, dalam tahura tersebut ada perkebunan masyarakat yang juga digunakan untuk menggembala ternak. Kami meminta pemerintah untuk sementara menghentikan pembahasan raperda tahura sepanjang hak-hak mayarakat belum diakomodir,” ujar Ona di Palu, baru-baru ini.

Menurut Ona, kecurigaan yang paling mendasar bagi masyarakat Vatutela adalah jika raperda ini disahkan menjadi perda, maka akan ada rencana pembukaan ruas jalan Palu-Parigi yang diperkirakan melintasi kawasan tersebut. Jangan sampai nantinya pemerintah mengklaim bahwa kawasan tersebut merupakan kawasan tahura. Padahal, kedepannya hanya untuk mempermudah akses pembukaan jalan  di wilayah itu.

Azmi Siradjudin dari Yayasan Merah Putih (YMP) yang ikut mendampingi warga Vatutela mengatakan, mestinya dalam raperda tersebut pemerintah mengadopsi menajemen pengelolaan bersama masyarakat di sekitar kawasan.

“Silahkan saja raperda dibahas, namun jangan menafikan masyarakat dan kebun mereka di dalamnya. Bila berkaca pada kasus tambang emas Poboya, pemerintah Kota Palu dan provinsi tidak tegas terhadap aktivitas pertambangan. Padahal, kegiatan itu masuk kawasan tahura.

“Silakan ada peraturan pengelolaan kawasan konservasi atau kawasan lindung, tapi tidak mengabaikan masyarakat yang ada di dalamnya,” tegas Azmi.

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah, Nahardi, mengatakan memang ada kelompok kecil masyarakat Vatutela yang khawatir jika raperda ini disahkan, akan membuat mereka terusir. Menurutnya, pihaknya sudah menjelaskan bahwa raperda ini memungkinkan membuka ruang untuk pembinaan, pemberdayaan, dan perlindungan masyarakat di tahura itu.

Menurut Nahardi, masyarakat tidak perlu khawatir jika raperda ini disahkan menjadi perda, karena justru akan membuat tanaman warga yang ditanam secara tradisonal akan semakin baik. Termasuk, pohon kemiri dan sebagainya asalkan tidak merusak.

“Kita akan membuat perbaikan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar tahura. Yang kami larang itu menebang pohon. Kalau ingin menanam kopi atau kemiri akan kami bantu bila itu memang sumber pencaharian mereka,” jelas Nahardi.

Kepala Seksi Pengelolaan Kawasan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Tahura Poboya Paneki, Nurudin, menjelaskan bahwa dalam pembahasan raperda ini pihaknya menepis tidak melibatkan warga yang tinggal di wilayah tahura.

“Salah, bila dikatakan tidak melibatkan masyarakat. Sebelum sampai ke DPRD, kita sudah melakukan konsultasi publik juga ke biro hukum. Bahkan, saat pembahasan di DPRD, masyarakat juga dilibatkan,” tegas Nurudin.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio


Raperda Taman Hutan Raya Poboya Paneki Dianggap Abaikan Kepentingan Masyarakat Vatutela. Benarkah? was first posted on February 28, 2015 at 1:43 am.

Keterbukaan Informasi Publik Belum Optimal, Sumsel Didorong untuk Lahirkan Perda. Bisakah?

$
0
0

UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik mengamanatkan pentingnya keterbukaan informasi yang transparan dan tidak perlu ada hal yang ditutupi. Foto: Rhett Butler

Pelaksanaan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik di Sumatera Selatan (Sumsel), belum optimal. Banyak pejabat pemerintah tidak mau membuka informasi pulik, terutama terkait dengan tata kelola hutan dan lahan gambut. Guna mendorong ke arah yang lebih baik, Pemerintah Sumatera Selatan dinilai sangat perlu melahirkan peraturan daerah (perda) tentang keterbukaan informasi publik.

“Salah satu agenda ke depan, kita akan mendorong Pemerintah Sumatera Selatan, termasuk pemerintah di kabupaten dan kota, untuk melahirkan peraturan daerah mengenai keterbukaan informasi publik,” kata Syamy Syamsul Huda dari PINUS dalam FGD mengenai informasi pengelolaan hutan dan lahan gambut di Sumatera Selatan (Sumsel) yang digelar Mongabay Indonesia, Kamis (26/02/2015).

Guna memperjuangkan agenda tersebut, kata Huda, sejumlah organisasi non-pemerintah di Sumatera Selatan akan mendorongnya dalam sebuah forum bernama Amunisi (Aliansi Masyarakat untuk Keterbukaan Informasi). “Kita akan menawarkan draft akademis kepada pemerintah dan dewan,” katanya.

Taufik Wijaya, mantan Koordinator Koalisi Kebebasan Informasi Sumatera Selatan (Koa-AIS), menjelaskan tahun 2001 pernah didorong upaya untuk melahirkan perda. “Namun, DPRD Sumsel kala itu belum mau memprosesnya karena UU tentang keterbukaan informasi publik atau dulu disebut kebebasan informasi publik belum dilahirkan. Kini, mungkin janji tersebut dapat dipenuhi, sebab UU-nya sudah ada, bahkan sejak tahun 2008.”

Koa-AIS merupakan koalisi lembaga non-pemerintah di Sumsel, bersama lembaga non-pemerintah lainnya di Indonesia, yang mendorong lahirnya UU kebebasan (keterbukaan) informasi publik di Indonesia.

“Kebebasan informasi publik merupakan ciri negara demokratis. Jika pejabat pemerintah tidak mendukung atau menghalanginya, itu sama saja dengan menolak demokrasi yang berjalan di Indonesia. Saya pikir pemerintah di Sumsel akan mendukung lahirnya perda tersebut,” ujarnya.

Najib Asmani, Staf Khusus Gubernur Sumsel Bidang Lingkungan Hidup menuturkan, sejauh untuk kepentingan bangsa dan negara dan sejalan dengan UU yang ada, pemerintah Sumsel jelas akan mendukung upaya tersebut. “Hanya, dalam menelurkan perda tersebut harus melibatkan banyak pihak, termasuk akademisi dan pakar komunikasi dan informasi, sehingga perda tersebut akan lancar dan benar-benar diterapkan,” ujarnya.

Selain mendorong perda keterbukaan informasi publik, Amunisi juga akan mengkampanyekan kepada masyarakat agar lembaga atau individu yang melakukan uji akses atau meminta informasi publik ke pemerintah untuk diumumkan ke publik. “Tidak kecuali untuk kepentingan penelitian,” kata Syamy.

“Termasuk pula dilakukan KID (Komisi Informasi Daerah) saat mereka mensengketakan sebuah kasus informasi publik. KID wajib meminta lembaga yang bersengketa mempublikasikan hasil dari sengketa tersebut. Jika informasi didapatkan lembaga yang memintanya, lembaga tersebut wajib mempublikasikan ke publik dengan menjelaskan tujuan dari kegunaan data atau informasi tersebut,” katanya.

Jangan mantan birokrat

Agar fungsi KID berjalan dengan optimal, dan menghindari kemungkinan terjadinya “tenggang rasa” sesama birokrat, diharapkan komisioner KID di Sumsel berasal dari aktifis NGO, akademisi, dan para profesional di bidang komunikasi dan informasi.

“Sebaiknya, jangan ada mantan birokrat. Ini upaya menghindari kemungkinan adanya proses tenggang rasa sesama birokrat, juga membangun citra dan kepercayaan publik terhadap KID. Tepatnya, KID berisi orang-orang yang paham dan memiliki track record mengenai perjuangan keterbukaan informasi publik,” kata Ismail dari Wahana Bumi Hijau (WBH).

“SDM yang ideal buat mengurusi KID di Sumsel cukup banyak. Baik dari perguruan tinggi, aktifis NGO maupun para profesional,” ujarnya.

Perkebunan

Agenda lain dari Amunisi adalah fokus pada informasi terkait pengelolaan hutan, lahan, dan  perkebunan. “Sebelum maraknya pertambangan batubara di Sumsel, perkebunan merupakan pengguna utama dari hutan dan lahan yang ada,” kata Syamy.

Anwar Sadat dari Serikat Petani Sriwijaya (SPS) menuturkan berbagai konflik di masyarakat yang terjadi hingga saat ini, lebih banyak terjadi di sektor perkebunan. Menurutnya, sudah saatnya informasi terkait dengan perkebunan, seperti perkebunan sawit, harus dibuka ke publik, sehingga didapatkan fakta dan data sebenarnya. Dengan begitu, kontrol lingkungan dapat dijalankan.

“Jangan sampai seperti data batubara, antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten berbeda. Sehingga, sulit dilakukan kajian atau evaluasi mengenai dampak lingkungannya,” timpal Hadi Jatmiko dari Walhi Sumsel.

Mengenai upaya mendapatkan data dan informasi terkait perkebunan tersebut, Nunik Handayani dari FITRA Sumsel, berharap para kepala daerah benar-benar mendukungnya. “Setidaknya menjadi perhatian. Jika terkesan menutupi dan ternyata ditemukan banyak persoalan, kepala daerah ini akan mendapatkan citra negatif dari masyarakat. Lebih baik terbuka saja,” ujarnya.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio


Keterbukaan Informasi Publik Belum Optimal, Sumsel Didorong untuk Lahirkan Perda. Bisakah? was first posted on February 28, 2015 at 1:52 am.

KKP Agar Terapkan Masa Transisi Pelarangan Pukat Hela Dan Pukat Tarik

$
0
0

Kementerian Perikanan dan Kelautan (KKP) telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.2/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (trawls) dan Pukat Tarik (seine nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

Peraturan Menteri KKP itu merupakan penegasan dari UU No.31/2004 tentang Perikanan Pasal 9 ayat (1) menyebutkan larangan kepemilikan dan penggunaan alat tangkap ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di wilayah Indonesia, termasuk jaring trawl atau pukat harimau, dan/atau kompressor.

Nelayan tradisional Sersang Bedagai mengeluhkan ikan mulai jarang hingga hasil tangkapan minim karena masih beroperasi pukat harimau dan apung. Foto: Ayat S Karokaro

Nelayan tradisional Sersang Bedagai mengeluhkan ikan mulai jarang hingga hasil tangkapan minim karena masih beroperasi pukat harimau dan apung. Foto: Ayat S Karokaro

Terbitnya Peraturan menteri KKP tersebut mendapat tanggapan dan penolakan dari nelayan, karena mempengaruhi hasil tangkapan dan pendapatan mereka.  Ratusan nelayan terlihat melakukan aksi unjuk rasa menolak peraturan tersebut di depan Kantor KKP di Jakarta Pusat, pada Kamis (26/02/2015) kemarin.

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mendukung dikeluarkannya peraturan menteri tersebut, karena menegaskan pentingnya memperhatikan daya dukung dan kelestarian sumber daya perikanan untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia.

Agar peraturan tersebut dapat dijalankan di lapangan dan tidak mendapat penolakan dari nelayan, Kiara dalam siaran persnya merekomendasikan Menteri Kelautan dan Perikanan untuk melakukan untuk melakukan tiga hal, yaitu adanya masa transisi selama 6-9 bulan untuk proses pengalihan alat tangkap.

Masa transisi  ini diberlakukan agar nelayan tidak ditangkap. Hal ini sudah terjadi di Tarakan, sebanyak 9 nelayan ditangkap aparat setempat dikarenakan masih menggunakan trawl. Langkah yang bisa diambil adalah berkoordinasi dengan Satuan Kerja PSDKP (Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan) KKP, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, dan TNI AL.

“Penggunaan alat tangkap merusak trawl berakibat pada hilangnya jiwa nelayan. Selain itu, juga berakibat pada ancaman kriminalisasi pasca dikeluarkannya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015. Dalam situasi inilah, Menteri Kelautan dan Perikanan harus mengambil langkah-langkah progresif tanpa mencederai amanah Undang-Undang Perikanan,” kata Sekretaris Jenderal Kiara, Abdul Halim.

Langkah yang kedua, agar KKP memfasilitasi pengalihan alat tangkap bagi nelayan kecil dengan APBN-P 2015,  berkoordinasi dengan kepala daerah setingkat kota/kabupaten/provinsi untuk menggunakan Dana Alokasi Khusus (DAK) Kelautan dan Perikanan. Pilihan ini dapat dilakukan dengan terlebih dahulu berkoordinasi dengan Presiden cq Menteri Keuangan Republik Indonesia.

Langkah ketiga adalah berkoordinasi dengan perbankan nasional agar menyiapkan skema kredit kelautan dan perikanan yang bisa diakses oleh pelaku perikanan untuk penggantian alat tangkap.

Halim melihat bila KKP melakukan tiga langkah tersebut,  maka kelestarian sumber daya perikanan terjaga dan kesejahteraan nelayan tidak terancam oleh hadirnya Permen pelarangan pukat hela dan pukat tarik.

Kriminalisasi Nelayan

Pusat Data dan Informasi KIARA (Februari 2015) mencatat, sejak 5 tahun terakhir atas kepemilikan/penguasaan/penggunaan alat tangkap merusak trawl diwarnai konflik di level horisontal dan penegakan hukum yang belum transparan.

Ketua Persatuan Nelayan Kecil (PNK) Tarakan, Rustan mengatakan sedikitnya 20 kapal trawl asal Malaysia yang mempekerjakan nelayan Indonesia ditangkap oleh anggota PNK dan aparat penegak hukum pada tahun 2014. “Sayangnya tidak pernah ada laporan akhir atas sanksi yang diberikan,” katanya.

Sedangkan Ketua Umum Federasi Serikat Nelayan Nusantara, Sutrisno mengatakan pasca disahkannya Permen pelarangan pukat hela dan pukat tarik tersebut, pihaknya melakukan sosialisasi kepada seluruh anggota serikat nelayan yang berada di bawah FSNN untuk mengawal upaya penegakan hukumnya.

KKP Tegas Berlakukan Aturan

KKP tetap tegas melarang penggunaan alat penangkapan ikan pukat tarik atau cantrang, terutama untuk kapal diatas 30 GT sesuai Permen No.2/2015. Penggunaan cantrang telah lama menimbulkan kerusakan sehingga berpengaruh pada menurunnya ketersediaan sumber daya ikan”, ungkap Sekretaris Jenderal KKP Sjarief Widjaja pada konferensi pers yang digelar di Jakarta, pada Minggu, (22/02/2015) menanggapi surat permintaan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo agar pemprov diberikan kewenangan pemberian izin alat tangkap nelayan.

Menurut Sjarief, penggunaan cantrang selain merusak sumber daya alam juga berdampak buruk bagi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat nelayan di beberapa daerah. Salah satu daerah yang menggunakan alat tangkap yang masuk dalam kelompok pukat tarik berkapal (boat or vessel seines) ini adalah Jawa Tengah. Maraknya penggunaan cantrang di Kabupaten Rembang, Pati, Batang, dan Kota Tegal telah lama menimbulkan berbagai permasalahan termasuk konflik antar nelayan.

 


KKP Agar Terapkan Masa Transisi Pelarangan Pukat Hela Dan Pukat Tarik was first posted on February 28, 2015 at 2:31 am.

Foto: Inilah Keindahan Bunga Rafflesia yang Sedang Mekar di Alam

$
0
0
(4) Bunga Rafflesia yang baru mekar dengan diameter penuh (Haerudin R. Sadjudin-YABI & TFCA-Sumatra)

Bunga Rafflesia berkelopak lima yang baru mekar dengan diameter penuh  di TN Bukit Barisan Selatan (Haerudin R. Sadjudin-YABI & TFCA-Sumatra)

Kesempatan menyaksikan bunga Rafflesia arnoldii yang mekar sempurna merupakan fenomena langka dan patut untuk didokumentasikan. Apalagi lokasi tumbuhnya bunga ini berada di dalam hutan yang terkadang sulit untuk dijumpai. Jika tidak dalam masa berbunga, Rafflesia arnoldi akan berdiam selama berbulan-bulan dalam tubuh batang inangnya, yaitu sejenis tumbuhan merambat dari genus Tetrastigma.

Bunga yang mekar sempurna hanya bertahan sekitar seminggu, dengan diameternya maksimal dapat mencapai 70-110 cm. Dengan tinggi mencapai 50 cm dan berat hingga 11 kg, bunga ini memiliki lima kelopak berwarna oranye berbintik-bintik. Namun karena tidak memiliki akar, daun dan batang maka tumbuhan ini tidak memiliki kemampuan fotosintesa dan bergantung dalam penyerapan unsur anorganik dan organik kepada inangnya

Di dasar bunga, terdapat piringan berduri yang berisi benangsari atau putik tergantung kepada jenis kelamin bunga. Serangga seperti lalat merupakan agen penyerbuk karena tertarik dari bau busuk yang keluar dari bunga. Meskipun demikian persentase keberhasilan pembuahan sangat kecil karena faktor peluang datangnya serangga penyerbuk yang belum tentu dan tidak menentunya peluang dua bunga beda kelamin tumbuh dalam waktu bersamaan di tempat yang berdekatan.

Haerudin R. Saedjudin alias “mang Eeng”, peneliti biologi senior dan peneliti badak yang sering keluar masuk hutan di Sumatera, menemukan dan mendokumentasikan Rafflesia arnoldii yang sedang mekar di habitat aslinya di TN Bukit Barisan Selatan.

Silakan simak foto-fotonya di bawah ini.  Foto-foto ini dipersembahkan kepada pembaca Mongabay-Indonesia agar semakin mencintai kekayaan alam Indonesia.

 

(15) Bunga Rafflesia yang menunjukan ukuran diameter lingkaran bagian dalamnya (Haerudin R. Sadjudin-YABI & TFCA-Sumatra)

Ukuran diameter lingkaran bagian dalamn bunga Rafflesia. Foto: Haerudin R. Sadjudin/ YABI & TFCA-Sumatra

 

Bagian putik yang punya kelenjar bau untuk menjebak lalat untuk dihisap oleh bunga Rafflesia (Haerudin R. Sadjudin-YABI & TFCA-Sumatra)

Bagian putik bunga Rafflesia yang memiliki kelenjar bau, berfungsi untuk menarik lalat dan serangga dalam proses penyerbukan. Foto: Haerudin R. Sadjudin/ YABI & TFCA-Sumatra.

 

Bunga Rafflesia yang memperlihatkan lorong bagian dalamnya (Haerudin R. Sadjudin-YABI & TFCA-Sumatra)

Foto yang menunjukkan lorong bagian dalam bunga Rafflesia. Foto: Haerudin R. Sadjudin/ YABI & TFCA-Sumatra.

 

Batik Alam Bunga Rafflesia yang memancarkan keindahan (Haerdin R. Sadjudin-YABI & TFCA-Sumatra)

Batik Alam Bunga Rafflesia yang memancarkan keindahan. Foto: Haerudin R. Sadjudin/ YABI & TFCA-Sumatra.

 

Bunga Rafflesia yang menakjubkan dari bagian bawah lipatan bonggolnya (Haerudin R. Sadjudin-YABI & TFCA-Sumatra)

Foto close-up bunga Rafflesia yang menakjubkan dari bagian bawah lipatan bonggolnya. Foto: Haerudin R. Sadjudin/ YABI & TFCA-Sumatra.

 

Bunga Rafflesia yang menakjubkan dari bagian bawah lipatan bonggolnya (Haerudin R. Sadjudin-YABI & TFCA-Sumatra)

Bunga Rafflesia yang menakjubkan dari bagian bawah lipatan bonggolnya. Foto: Haerudin R. Sadjudin/ YABI & TFCA-Sumatra.

 

 


Foto: Inilah Keindahan Bunga Rafflesia yang Sedang Mekar di Alam was first posted on February 28, 2015 at 2:46 am.

Redupnya Pesona Mangrove Tongke-tongke

$
0
0
Tongke-tongke dikenal karena hutan mangrove yang lebat, dulu ditanam warga secara swadaya. Sisa-sisa keindahan kawasan ini masih terlihat meskipun kondisi sudah tidak senyaman dulu lagi. Kepedulian warga mulai berkurang merawat kawasan ini meski potensial sebagai obyek wisata. Foto: Wahyu Chandra

Tongke-tongke dikenal karena hutan mangrove yang lebat, dulu ditanam warga secara swadaya. Sisa-sisa keindahan kawasan ini masih terlihat meskipun kondisi sudah tidak senyaman dulu lagi. Kepedulian warga mulai berkurang merawat kawasan ini meski potensial sebagai obyek wisata. Foto: Wahyu Chandra

Siang itu, Sabtu (20/2/15), cuaca terik, jalanan berdebu. Puluhan pengendara sepeda motor menyusuri pesisir timur Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Mereka ingin mengunjungi kawasan mangrove yang dulu termahsyur di daerah bernama Tongke-tongke. Jalan rusak dan bergelombang. Pengendara harus berhati-hati.

Rombongan itu, mahasiswa sejumlah perguruan tinggi di Sinjai sedang mencari bahan penulisan feature. Ini bagian pelatihan jurnalistik lanjutan oleh Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Politik (STISIP) Muhammadiyah Sinjai kerjasama dengan Mongabay, 19-21 Februari 2015.

Tongke-tongke punya sejarah indah. Para pecinta mangrove menyebut, sebagai surga mangrove di Sulsel. Banyak yang berkunjung dan belajar mangrove di Tongke-tongke masa lalu.

Desa berjarak lima km dari Sinjai ini pernah menjadi tujuan wisata mancanegara karena bentangan hutan mangrove luas dan tertata rapi. Pengelola awal, Tayeb, bahkan pernah mendapatkan penghargaan Kalpataru bidang penyelamatan lingkungan dari Presiden Soeharto pada 1995.

Namun, kondisi desa berpenduduk sekitar 3.650 jiwa terdiri dari lima dusun ini,  kini tidak seindah dulu. Pesona memudar meskipun mangrove terlihat tumbuh dan terjaga baik, setinggi belasan meter.

Hanya tidak senyaman dulu sebagai kawasan wisata. Jembatan-jembatan kecil untuk menikmati kesejukan kawasaan rusak berat, tak bisa dilalui. Sebagian besar papan tercabut. Warga membuat jalan papan, hanya jangkauan terbatas.

Dulu, tersedia perahu kecil bagi pelancong sekadar menyusuri kawasan rindang ini. Kini, hanya perahu nelayan banyak bersandar.

Tiba di lokasi,  tampak beberapa nelayan sibuk mempersiapkan perahu mesin. Mereka akan berangkat ke Selayar ntuk membeli ikan dari nelayan-nelayan di sana. “Sekarang ikan kurang, harus dibeli dari nelayan-nelayan di Selayar,” kata Basir, seorang nelayan.

Kala Basir tak melaut biasa membeli dari nelayan lain. Dia biasa melaut 5-10 hari dan kadang sampai sebulan.

Sejak beberapa tahun terakhir, katanya, perhatian warga melestarikan mangrove di kawasan itu mulai berkurang. “Sekarang lebih banyak melaut. Mangrove juga banyak rusak. Perhatian pemerintah sudah tak ada. Tak ada lagi petugas berjaga.”

Sebagian besar jalur utama menuju lokasi ini sudah rusak parah. Setelah kasus korupsi pembangunan jalanan kayu ini pada  2007 tak ada upaya lagi memperbaiki. Warga takut memperbaiki karena menganggap itu  wewenang pemerintah. Foto: Wahyu Chandra

Sebagian besar jalur utama menuju lokasi ini sudah rusak parah. Setelah kasus korupsi pembangunan jalanan kayu ini pada 2007 tak ada upaya lagi memperbaiki. Warga takut memperbaiki karena menganggap itu wewenang pemerintah. Foto: Wahyu Chandra

Petta Pala, warga yang dulu banyak terlibat program penghijauan kawasan itu, bercerita, ketika Menteri Kelautan Susi Pudjianti,  berkunjung ke tempat itu hanya bisa sampai di pintu masuk.

“Karena jembatan rusak dan goyang-goyang,” kata pria 81 tahun ini, sambil menunjuk pos di pintu masuk.

Petta bercerita, menanam mangrove mulai 1990-an. Dia bersama warga lain memperluas area tanam hingga ratusan hektar. Luas kawasan itu sekitar 786 hektar. “Setiap hari cari bibit lalu ditanam. Itu awalnya swadaya. Kadang juga ada program pemerintah. Kita sama-sama menanam.”

Petta dan warga lain sempat usaha pembibitan mangrove sebagai lahan bisnis. Mereka mengambil bibit-bibit berserakan, dibibitkan lalu dijual.

Dia hanya beberapa tahun karena makin banyak orang ingin terlibat. Dia memilih bekerja sendiri. Petta memiliki lahan pribadi 1,5 hektar di situ, yang terus ditanami mangrove.

Menurut dia, meski tak terawat tetapi warga tetap menjaga mangrove. Ada larangan menebang. “Dilarang menebang kalau dihabiskan. Kalau dipakai sedikit tidak masalah tapi harus ditanam lagi supaya tak kosong. Siapa yang rugi kalau banyak ombak? Masyarakat sendiri. Ini untuk masyarakat.”

Tidak hanya menjaga desa dari terjangan ombak, ekosistem mangrove sebagai sumber penghidupan warga. Mereka budidaya rumput laut. Di sela-sela akar mangrove juga banyak kepiting dan ikan yang bisa dikonsumsi ataupun dijual.

Namun, Petta tak memungkiri ada warga mengambil melebihi kebutuhan hingga menyebabkan kerusakan.“Mungkin ada tebang banyak pohon, tapi tidak ketahuan.”

Jasmadi Akbar, warga setempat juga mahasiswa STISIP Muhammadiyah, mengatakan, konon kata Tongke-tongke berasal dari ‘toke’ sebutan bagi pedagang keturunan Tionghoa.

“Kampung ini terkenal tempat tinggal para toke,  maka orang menyebut kampung toke menjadi Tongke-tongke, meski banyak juga warga Bugis di sini.”

Tongke-tongke, katanya, dikenal luas karena kaya biota laut dan mangrove. Kawasan ini dulu laboratorium alam bagi peneliti.

Daerah ini pernah menjadi sasaran Field Work Program (FWP) kerjasama tim JICA dan Ausaid karena keindahan alam dan biota laut. Biota laut seperti kepiting, benur, nener, udang, biri, tiram. Beragam jenis ikan bisa ditemukan seperti sunu, baronang, bandeng, cakalang, bua-bua, ikan terbang dan teri.

Jasmadi optimistis, pengembangan Tongke-tongke. Dia yakin,  setelah kunjungan Menteri Kelautan berdampak pada perhatian pemerintah menata kembali kawasan itu.

Sisa-sisa keindahan kawasan ini masih terlihat meskipun kondisi sudah tidak senyaman dulu lagi. Kepedulian warga mulai berkurang merawat kawasan ini meski potensial sebagai obyek wisata. Foto: Wahyu Chandra

Sisa-sisa keindahan kawasan ini masih terlihat meskipun kondisi sudah tidak senyaman dulu lagi. Kepedulian warga mulai berkurang merawat kawasan ini meski potensial sebagai obyek wisata. Foto: Wahyu Chandra


Redupnya Pesona Mangrove Tongke-tongke was first posted on February 28, 2015 at 3:22 pm.

Aplonis Metallica, Pernah Dengar Namanya?

$
0
0

Alam Indonesia menyimpan sejuta pesona dan keragaman hayati yang patut dijaga kelestariannya. Foto: Rhett Butler

Namanya memang Aplonis metallica. Asli, tanpa rekayasa. Nama ini telah disandangnya sejak 1824, yang diberikan langsung oleh sang penulis Temminck.

Apa yang membuatnya istimewa? Ya, Aplonis ini menjadi luar biasa karena nama belakangnya metallica, sama persis dengan nama grup musik legendaris asal Amerika Serikat, Metallica.

Metallica merupakan kiblatnya musik metal. Siapa yang tidak kenal lagu hits sekaliber One, Creeping Death, atau The Unforgiven?

Lalu, siapakah Aplonis metallica ini? Apakah ada kaitannya dengan James Hetfield, Lars Ulrich, Kirk Hammett, dan Robert Trujillo yang pernah manggung di Jakarta pada Agustus 2013 lalu itu?

Meski ada kesamaan nama, dapat dipastikan antara Aplonis metallica dan Metallica tidak ada hubungannya sama sekali.

 

Aplonis metallica

Aplonis metallica, memiliki ekor yang runcing dan paruh yang kuat. Foto: Hanom Bashari/Burung Indonesia

 

Aplonis metallica merupakan nama jenis burung yang dalam Bahasa Indonesia kita juluki perling ungu. Ukurannya sekitar 23 – 25 cm atau seukuran burung jalak.

Di Indonesia, burung ini hanya ada di Kepulauan Sula, Maluku, dan Nusa Tenggara. Ciri utamanya adalah ia akan memiliki ekor yang panjang dengan bulu tengah yang runcing. Matanya merah menyala, sementara bulunya berwarna hitam, hijau, dan lembayung ungu yang mengkilap. Sementara, saat remaja, warna bulu bagian bawahnya putih bercoret coklat tua atau hitam. Ekornya runcing.

Habitat utama burung dalam Bahasa Inggris bernama Metallic Starling ini adalah tepi hutan, lahan budidaya, hingga mangrove. Meski begitu, ia dapat ditemukan juga di atas permukaan laut pada ketinggian 300 meter di Seram, atau di kaki perbukitan di ketinggian 250 meter seperti di Halmahera, bahkan hingga 700 meter seperti di Pulau Buru.

Burung yang masuk dalam keluarga Sturnidae ini berpenampilan gagah. Paruhnya kuat, tajam, lurus, dan memiliki tungkai kaki yang panjang. Pakannya berupa buah-buahan dan juga invertebrata. Yang pasti, burung ini suka berceloteh dengan suaranya yang lantang. Bahkan, suka menirukan suara burung lainnya.

Selain Aplonis metallica, ada juga jenis Aplonis yang tersebar di nusantara yaitu Aplonis minor (perling kecil), Aplonis panayensis (perling kumbang), Aplonis crassa (perling tanimbar), dan Aplonis mysolensis (perling maluku).

Berdasarkan status IUCN (International Union for Conservation of Nature), perling ungu digolongkan dalam status Risiko Rendah (Least Concern/LC) karena persebarannya di alam yang terbilang baik.

Ingat musik, ingat Aplonis metallica juga!

 

Aplonis metallica memiliki mata merah menyala dan bulu yang kengkilap. Foto: Hanom Bashari/Burung Indonesia

Aplonis metallica memiliki mata merah menyala dan bulu yang mengkilap. Foto: Hanom Bashari/Burung Indonesia

 

Aplonis metallica atau dikenal dengan nama perling ungu menyukai buah-buahan dan invertebrata sebagai pakannya. Foto: Hanom Bashari

Aplonis metallica atau dikenal dengan nama perling ungu menyukai buah-buahan dan invertebrata sebagai pakannya. Foto: Hanom Bashari 

 


Aplonis Metallica, Pernah Dengar Namanya? was first posted on March 1, 2015 at 6:39 am.

DPRD Bentuk Pansus Kerusakan Lingkungan Kawasan Danau Toba

$
0
0
Truk sedang mengangkut kayu alam dari areal PT TPL. Foto Made Ali

Truk sedang mengangkut kayu alam dari areal PT TPL. Foto Made Ali

Hasil rapat dengar pendapat, antara anggota DPRD Sumatera Utara, Dinas Kehutanan, Dinas Kelautan dan Perikanan, perusahaan, serta masyarakat adat, mengambil kesimpulan terjadi kerusakan hutan dan lingkungan cukup parah di kawasan Danau Toba. Untuk itu, DPRD Sumut membentuk panitia khusus membahas masalah ini.

Wagirin Arman, anggota DPRD Sumut mengatakan, ekspos Jalin D’Toba, maupun dinas terkait terungkap, kerusakan hutan dan lingkungan di Toba, indikasi dampak aktivitas lima perusahaan. Perusahaan-perusahaan  itu adalah PT Toba Pulp Lestari (TPL), PT Inalum, PT Aqua Farm Nusantara, PT Allegrindo, PT Gorga Duma Sari, dan PT Simalem Resost.

“Jawaban perusahaan normatif, baik TPL, Aqua Farm dan perusahaan lain. Data sangat meragukan, hingga patut pembentukan pansus terkait pengelolaan kawasan Danau Toba, ” katanya.

Pansus ini penting guna mengetahui kerusakan Toba lebih mendalam. “Wisatawan tidak berminat datang ke Danau Toba. Kawasan ini rusak. Dampak sangat besar karena kerusakan lingkungan dan hutan disana.”

Sutrisno Pangaribuan, Komisi A DPRD Sumut, menambahkan, mereka akan audit kelapangan guna mengetahui penyebab kerusakan.  Untuk TPL, dia mendukung audit ulang dan peninjauan izin yang akan diajukan ke pemerintah pusat. Selama investigasi, TPL diminta tak menebang, sampai keputusan final DPRD Sumut.

Debit air Toba , katanya, makin berkurang karena pendangkalan. Di Kabupaten Dairi ada 11 sungai makin mengecil. “Di hulu rusak, hingga hilir tidak maksimal mengakibatkan sedimentasi terganggu menyebabkan banjir.”

Sedang Sarma Hutajulu, juga anggota DPRD Sumut, menyatakan fakta yang disampaikan masyarakat dengan pemerintah sangat berbeda. Pemerintah,  berkutat pada aturan, tetapi malah kerap dilanggar.

Di Toba Samosir, katanya, kualitas udara tercemar pabrik TPL. Di Toba, Aqua Farm membuang pakan ikan, mengakibatkan air tercemar ingga kualitas buruk, bau, dan tidak layak minum. Jauh masa lalu, air Toba bisa diminum.

“Paradigma pemerintah harus diputar. Kok masyarakat yang ditekan supaya menuruti kemauan mereka. Masyarakat gak tau green blue, tetapi yang mereka tahu kualitas air sudah rusak.”  Terutama TPL, katanya, sepanjang belum ada penyelesaian, tidak boleh penebangan dan tidak kriminalisasi masyarakat adat.

AKsi protes warga atas kerusakan kawasan di sekitar Danau Toba. Foto: Ayat S Karokaro

AKsi protes warga atas kerusakan kawasan di sekitar Danau Toba. Foto: Ayat S Karokaro

Protes warga

Akhir Januari lalu, ratusan masyarakat adat Batak di sekitar Danau Toba, turun aksi.

Mereka mendesak,  Presiden Joko Widodo mencabut izin lima perusahaan itu karena dinilai merusak lingkungan. Sambil membawa tampan berisi kemenyan, masyarakat adat ini berjalan kaki dari Lapangan Merdeka Medan menuju DPRD Sumut, Medan.

Sebastian Hutabarat, koordinator aksi, mengatakan kehadiran perusahaan di  kawasan Toba menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat.

Kerusakan Toba, katanya,  terjadi izin kepada setidaknya lima perusahaan itu. Mereka berharap, Jokowi mengambil sikap tegas menyelamatkan kawasan Danau Toba.“Kawasan Toba hancur. Jokowi harus berani mengambil sikap tegas menutup perusahaan-perusahaan yang merusak alam di Tano Batak. Kami menagih janji ketika kampanye akan menyelamatkan lingkungan,” kata Hutabarat.

Dia mengatakan, TPL, berdiri sejak 26 April 1983 di Sosor Ladang, Porsea, Toba Samosir, menyebabkan kawasan hutan hancur. Perusahaan ini membuka pabrik dekat perkampungan padat penduduk. Sejak berdiri hingga kini, perusahaan sebelumnya bernama PT Inti Indorayon ini, berkonflik dengan masyarakat adat. Perusahaan melanggar UU  Lingkungan Hidup. Pabrik memproduksi kertas ini, dianggap tidak sesuai daya dukung lingkungan.

“Kacaunya, meskipun banyak penolakan atas perusahaan ini, namun pemerintah melalui Kementerian Kehutanan, bukan menghentikan, malah hanya revisi konsesi menjadi 188.055 hektar,” katanya.

Menurut dia, hutan terbabat dan rusak, penebangan kayu alam terus terjadi. “Semua disulap menjadi eukaliptus. Terjadi perubahan fungsi hutan, tanaman endemik seperti kemenyan dirusak dan terancam punah. Banjir, longsor, spesies endemik mati.”

Edward Tigor Siahaan, masyarakat adat menambahkan, selain TPL, ada Aqua Farm. Perusahaan lainn, PT Gorga Duma Sari, milik pengusaha lokal yang mendapatkan izin 800 hektar. Hutan Tele ditebang lalu jadi sawit dan hortikultura, persis di Desa Partungkot Naginjang, Samosir. Kementerian Lingkungan Hidup sampai turun menyegel perusahaan ini agar menghentikan operasi. Bahkan, kasus illegal logging perusahaan ini sudah masuk proses hukum.

Tigor mengatakan,  kerusakan Toba juga diduga dampak perusahaan Allegrindo, peternakan babi. Perusahaan terletak di Urung Pane, Kecamatan Purba, Simalungun ini membuang limbah langsung ke Toba, persisi di Desa Salbe, Kecamatan Pardamean. Badan Lingkungan Hidup Sumut, menyatakan Amdal perusahaan tak lengkap.

Terakhir, PT Inalum, pengolahan alumunium.  “Tano Batak terluka. Kawasan Danau Toba tak lagi menjadi berkat bagi masyarakat. Pariwisata terpuruk, karena air tercemar, hutan dan lingkungan rusak. Ini karena perusahaan-perusahaan itu. Pemerintah andil di memberikan izin,” kata Prof. Bungaran Antonius Simanjuntak, Guru Besar Sosiolog-Antropologi Universitas Negeri Medan.

Danau Toba, kini dipenuhi tambak-tambak yang setiap hari pakan yang dilempar ke danau menyumbang sedimentasi. Hari demi hari, pendangkalan dan pencemaran air pun terjadi. Foto: Sapariah Saturi

Kementerian Lingkungan Hidup saat menyegel PT GDS agar berhenti aktivitas sementara. Tampak juga kayu-kayu alam dari Hutan Tele, yang ditebang dan siap angkut. Foto: Wilmar Simandjorang

Aksi warga meminta Presiden Jokowi memberikan perhatian serius pada keselamatan Danau Toba, yang dikepung kerusakan hutan dan lingkungan sekitar. Foto: Ayat S Karokaro

Aksi warga meminta Presiden Jokowi memberikan perhatian serius pada keselamatan Danau Toba, yang dikepung kerusakan hutan dan lingkungan sekitar. Foto: Ayat S Karokaro

 

 


DPRD Bentuk Pansus Kerusakan Lingkungan Kawasan Danau Toba was first posted on March 1, 2015 at 9:45 am.

Asiknya…Nikmati Durian sambil Jaga Hutan

$
0
0
Adi  mengejar dan mendapatkan pertama kali durian jatuh. Foto: Luh De Suriyani

Adi mengejar dan mendapatkan pertama kali durian jatuh. Foto: Luh De Suriyani

Di Bali, durian termasuk buah mahal. Per butir bisa Rp50.000. Namun, ini tak berlaku di hutan Desa Tenganan Pegringsingan di Kabupaten Karangasem. Ratusan pohon durian menjadi hak warga. Mereka menikmati hasil bersama, sambil menjaga hutan.

Pada Februari-Maret adalah musim panen duren (durian). Sejak awal Februari, puluhan warga berbondong masuk hutan desa berjarak sekitar 1,5 jam dari Denpasar ini. Mereka membawa pisau, tali bambu, dan terpal bekas. Berjalan menyusuri jalan setapak, pepohonan lebat sejauh sekitar tiga kilometer dari pusat perkampungan menuju hutan durian.

Tanah basah sisa hujan dan bulir air di dedaunan menambah kesejukan. Para orang tua memilih lokasi strategis menunggu durian runtuh selama beberapa minggu ke depan. Tidak ada lokasi yang benar-benar aman, tiap petak pohon durian. Tinggi menjulang sekitar 20-30 meter hingga buah tak mudah tampak dari bawah.

Orangtua membuat semacam pondokan, atap dari daun kelapa kering lalu ditegakkan dengan empat kayu. Mereka membuat bale darurat untuk rehat dan tidur saat malam. Rompok duren, warga begitu menyebut kebiasaan berkemah di hutan menunggu durian jatuh ini.

Terpal atau spanduk bekas digantungkan di kanan kiri untuk mengurangi terpaan angin dan hujan. Dalam waktu singkat, puluhan rompokan siap huni.

Siang hari usai jam sekolah, tawa dan canda puluhan anak terdengar di tiap sudut hutan duren. Orang tua yang menjaga malam hari sudah pulang untuk masak, bekerja, dan lain-lain. Giliran anak-anak melatih pendengaran mendapat durian. Siapa gesit, dia berhak atas durian-durian itu.

Kris dan Adi, dua siswa SD ini rehat sejenak di rompokan. Di samping ada beberapa pondokan lain. Mereka bisa bercakap sambil berteriak satu sama lain.

Gedubrak. Suara berdebum terdengar sekitar 100 meter dari pondokan kedua anak laki-laki ini. Tanpa komando, keduanya lari menuju suara, diikuti sejumlah teman dari rompokan lain. Adi berteriak senang. Dia berhasil menemukan harta karun itu pertama kali. Tak ada rebutan atau pertengkaran. Mereka terlatih berhati lapang dan saling menghargai.

Anak-anak ini fasih menjelaskan mana pohon yang berbuah banyak dan rasa manis. Mereka tak langsung dididik sejak dini berkawan dengan hutan yang memberi kehidupan.

Tak hanya anak-anak, remaja desa juga terlihat di sejumlah rompokan. Terutama pria. Ada yang sendiri atau bersama saudara.

Gus Arjun, sudah mendapat tiga duren jatuh. “Ini tak dijual,” katanya. “Ngrompok bukan mencari penghasilan dari duren. Hanya hiburan.”  Dia menolak halus ketika saya igin membeli.

Sejak kecil, dia menyukai rompok duren ini. Menikmati hasil hutan bersama. Siapa warga yang mau sabar menunggu dan berlarian mengejar duren, dialah yang mendapat berkah hutan.

Karena itu, hutan Desa Tenganan tak ada model panen duren macam pembudidaya biasa, seperti mengikat batang buah agar tak jatuh.

Jika ini dilakukan, warga bisa mengklaim pohon-pohon duren itu. Prinsip Desa Tenganan Pegringsingan adalah keadilan semua. Model rompok muncul begitu saja tanpa kesepakatan tertulis.

Pondok rompokan, siang hari dijaga anak-anak atau remaja. Orangtua yang menjaga pada malam hari, pulang dulu untuk mengerjakan hal-hal lain. Foto: Luh De Suriyani

Pondok rompokan, siang hari dijaga anak-anak atau remaja. Orangtua yang menjaga pada malam hari, pulang dulu untuk mengerjakan hal-hal lain. Foto: Luh De Suriyani

Tidur bersama beberapa minggu dalam hutan, mengunjungi pepohonan tiap tahun, berkawan dengan burung dan hewan, menjadi model pelestarian tanpa anggaran besar ala pemerintah. Komunitas adat memuliakan.

Beberapa anak lain bukan warga Desa Tenganan juga terlihat ikut atraksi dan keriangan mengejar durian-durian runtuh ini. “Tapi saya tak boleh ikut ambil duren,” ujar Agustina, tersenyum. Keluarganya warga penyakap (pendatang dan buruh kebun, dapat hak tinggal di areal hutan namun tak boleh menikmati hasil).

Agustina tak sedih karena sudah paham dan tradisi turun temurun. Dia suka bermain dalam hutan bersama teman-teman. Kadang menikmati duren bersama jika diberi.

Warga penyakap pernah kena denda desa karena memungut duren. Made Sumardika, ahli potong kayu mengingat masa lalu. Tiap tahun dia selalu akrab dengan rompok duren. Ketika usia 18 tahun, dia memberanikan diri memungut sebuah duren sangat ranum.

Hari itu juga, pengurus desa mengajak ke bale desa. Seseorang melihat dan melaporkan. Pengurus desa, sesuai etika tidak menyebut siapa nama pelapor. Sumardika tak bisa mengelak dan membayar denda berupa lima catu beras atau sekitar 2,5 kg. “Saya tidak marah karena sudah tahu peraturan ini sejak turun temurun. Kami bersyukur diberi tempat tinggal dan bekerja di desa.”

Peneliti Ida Bagus Dharmika, dikutip dari web perpustakaan online Universitas Indonesia mengulas, kuatnya awig-awig Tenganan Pegringsingan tentang pelestarian lingkungan.

Awig-awig adalah bentuk hukum tertulis memuat seperangkat kaedah-kaedah sebagai pedoman bertingkah laku dalam masyarakat dan disertai sanksi-sanksi tegas dan nyata.

Dharmika menulis, para leluhur penduduk desa ini menyusun awig-awig sekitar abad XI, dan dibakukan dalam ‘buku suci’ 58 halaman ditulis dalam bahasa Bali.

Peneliti menyimpulkan awig-awig desa ini mampu mengatur hubungan manusia dan kesinambungan pemanfaatan sumber daya alam. Juga kelestarian kearifan lokal seperti kepercayaan tentang penjaga hutan (Lelipi Selahan Bukit) dan lain-lain.

Desa ini memang banyak melaksakan ritual penyeimbang dunia nyata dan maya (sekala niskala). Namun, ada tantangan dari dalam dan luar yang menuntut generasi-generasi penerus meneruskan kearifan lokal ini di masa depan. Rompok duren hanya satu dari sejumlah tradisi sosial maupun kultural Tenganan Pegringsingan.

I Nyoman Sadra, tokoh desa meyakini ritual dan persembahan ini didasari dari filosofi patram (daun), palam (buah), dupam (api), dan tirtam (api). Daun adalah simbol peraturan norma etika yang dipersembahkan dengan ketaatan. “Buah lambang kerja, bunga lambah cinta kasih seperti ekspresi hormat pada pohon besar di Bali diberi kain poleng.” 

Sedang tirtam (air) lambang pembersih, di akhir sembahyang pemimpin upacara memercikkan tiga kali untuk diminum dan pembersihan. Kemudian dupam (api) lambang pencerahan.

 


Asiknya…Nikmati Durian sambil Jaga Hutan was first posted on March 1, 2015 at 8:37 pm.

Ingat! PPID Gerbang Utama Menuju Transparansi Tata Kelola Hutan dan Lahan

$
0
0

Transparansi pengelolaan sumber daya alam di Kalimantan Barat harus dilakukan dengan baik. Sehingga, keterbukaan informasi mengenai tata kelola hutan dan lahan dapat diakses tanpa harus ada yang dirahasiakan. Foto: Rhett Butler

Sejumlah lembaga swadaya masyarakat menilai transparansi pengelolaan sumberdaya alam di Kalimantan Barat masih sebatas mimpi. Jaminan keterbukaan dalam mengakses informasi terkait dokumen tata kelola hutan dan lahan kerapkali tersandung. Kendati, mayoritas daerah sudah menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID).

Hal ini terungkap dari hasil diskusi Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dengan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) pada 27-28 Februari 2015 di Pontianak. “Ada angin segar ketika geburnur, bupati, dan wali kota menunjuk PPID. Ini mengindikasikan bahwa roda pemerintahan sudah mulai berjalan ke arah perbaikan tata kelola hutan dan lahan,” kata Faisal Riza dari Jari Indonesia Borneo Barat, Jumat (27/2/2015).

Namun demikian, Faisal juga mengakui masih ada daerah di Kalimantan Barat (Kalbar) yang belum sama sekali menunjuk PPID hingga saat ini. Alasan paling dominan adalah penunjukan PPID sedang dalam proses administrasi dan kendala penganggaran.

Di Provinsi Kalimantan Barat, ada empat kabupaten yang belum menunjuk PPID. Mereka adalah Kabupaten Sintang, Sanggau, Landak, dan Mempawah. Provinsi Kalimantan Barat, Kota Pontianak, Kota Singkawang, Kabupaten Kubu Raya, Kayong Utara, Ketapang, Sambas, Bengkayang, Sekadau, Melawi, dan Kabupaten Kapuas Hulu sudah menunjuk PPID.

Faisal mengatakan, penunjukan PPID ini hanya sebuah langkah awal keterbukaan. Masih banyak upaya yang musti dilakukan setelah pejabatnya ditunjuk. Di antaranya, PPID mesti membuat kategorisasi informasi yang mereka miliki. Kemudian, membuat mekanisme pelayanan informasi, dan mekanisme penyelesaian sengketa informasi di tingkat internal.

“Sesungguhnya jalan untuk mencapai semangat keterbukaan informasi publik ini masih panjang. Tapi, apapun alasannya, jalan itu harus ditempuh karena dia adalah amanat Undang-Undang No 14 Tahun 2008,” ucap Faisal.

Jari Indonesia Borneo Barat juga sudah mengidentifikasi sejumlah kasus yang berkaitan dengan kurangnya akses informasi bagi masyarakat. Di antaranya, permukiman masyarakat masuk dalam kawasan hutan lindung, lahan masyarakat yang dirampas perusahaan, konflik lahan di tingkat masyarakat, dan berbagai contoh kasus lainnya.

Aktivitas pengerukan sumber daya alam di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Keterbukaan informasi harus dilakukan untuk mengetahui kegiatan pengerukan tersebut. Foto: Sampan Kalimantan

Masyarakat berhak tahu

Dalam diskusi terbatas tersebut, Mongabay Indonesia juga menghadirkan aktor utama sengketa informasi di Kabupaten Ketapang. Dia adalah Syamsul Rusdi dari Lingkaran Advokasi dan Riset (Link-AR) Borneo.

“Uji akses yang kita lakukan di Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Ketapang akan menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak dalam menangani kasus yang berkaitan dengan sengketa informasi di Kalbar. Padahal, saya hanya ingin mengetahui lampiran peta dalam Dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) perusahaan tambang di Ketapang. Kalau hanya dokumennya saja untuk apa kita minta. Kita butuh lampirannya supaya tahu duduk

Namun demikian, kata Syamsul, pihak Distamben Ketapang melalui Putusan Komisi Informasi Pusat (KIP) menyebut lampiran peta dalam dokumen Amdal perusahaan tambang adalah bukan dokumen publik, dan tidak bisa dibuka kepada khalayak ramai. Alasannya, informasi tersebut bisa berpotensi jadi persaingan usaha yang tidak sehat dan melanggar hak atas kekayaan intelektual.

“Saya keberatan dengan Putusan KIP itu dan menggugatnya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Pontianak pada tanggal 4 Juni 2014. Empat bulan kemudian, gugatan saya dikabulkan PTUN setelah lima kali masa persidangan. Namun, pihak Distamben Ketapang keberatan dengan putusan PTUN Pontianak. Dan, mereka kasasi,” urai Syamsul.

Denni Nurdwiansyah dari Perkumpulan Sahabat Masyarakat Pantai (Sampan) Kalimantan mengatakan apa yang dilakukan Syamsul Rusdi hanya satu contoh kasus sengketa informasi di Kalbar. “Saya kira masih banyak sengketa informasi yang belum berjawab hingga kini,” katanya.

Menurut Denni, langkah lanjutan sebuah daerah yang sudah memiliki PPID adalah menyusun standar operasional prosedur (SOP) dan daftar informasi publik (DIP). Artinya, PPID segera menyusun informasi apa yang boleh diakses publik dan mana informasi yang dikecualikan.

“Kalau hanya sebatas menujuk PPID saja, saya kira pejabatnya tidak akan bisa bekerja. Kendala sekarang di Kalbar kan seperti itu. SOP dan DIP tidak ada. Jika sudah demikian, PPID-nya mau kerja apa?” ucap Denni.

Kendaraan berat sedang mengeruk sumber daya alam di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Foto: Sampan Kalimantan

Hal ini diamini Muhammad Lutharif dari Kontak Rakyat Borneo. Menurutnya, tidak ada pilihan lain kecuali menguatkan posisi PPID dan Komisi Informasi Daerah (KID). “PPID penting untuk membuat SOP informasi dan klasifikasi informasi. Mana informasi yang tersedia setiap saat dan mana yang dikecualikan,” ucapnya.

Persoalan lain menurut pria yang akrab disapa Anong ini adalah mekanisme memperoleh informasi yang wajib disosialisasikan. “Mekanisme seperti ini harus diperkuat tidak hanya ditingkatan masyarakat, tapi juga harus menyasar hingga ke badan publik,” ucapnya.

Jalan menuju keterbukaan informasi publik yang masih panjang ini membuat Rheinardho Sinaga dari Perkumpulan Kensurai pun angkat bicara. “Melihat dari alur diskusi kita, saya kira kehadiran PPID di daerah belum menjamin adanya transparansi. Lebih khusus lagi di bidang pengelolaan sumber daya alam,” katanya.

Rheinardo menegaskan bahwa masyarakat berhak tahu jika kampung halaman mereka ternyata sudah dikuasai izin konsesi perusahaan ekstraktif. “Kenapa masyarakat berhak tahu? Tujuannya supaya tidak terjadi konflik sosial di kemudian hari. Obatnya cuma satu. Dokumen Amdal beserta lampirannya harus bisa diakses publik. Kalau tidak, maka kita pasti akan kembali berjalan dalam kegelapan informasi. Konflik membukit, korupsi sumber daya alam meroket,” pungkasnya.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

 


Ingat! PPID Gerbang Utama Menuju Transparansi Tata Kelola Hutan dan Lahan was first posted on March 2, 2015 at 12:38 am.

6 Juta Ton Karbon Terkurangi Dari Strategi Pembangunan Berkelanjutan Di 8 Kabupaten. Dimana Sajakah?

$
0
0

Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen dan 41 persen bila mendapat bantuan dari luar negeri. Sebagai salah satu sektor pengemisi utama, pemerintah berusaha menurunkan emisi dari sektor kehutanan, dengan melakukan tata kelola dan konservasi hutan dan lahan gambut yang mempunyai bernilai tinggi.

Komitmen penurunan emisi tersebut, tidak akan berhasil bila pemerintah daerah tidak ikut berperan aktif dalam pengelolaan wilayah dan hutan mereka.  Untuk itu, delapan wilayah kabupaten di Indonesia dengan dibantu pemerintah Amerika Serikat melalui proyek USAID Indonesia Forestry and Climate Support (IFACS) melakukan review tata ruang wilayah yang lebih baik dengan mengintegrasikan konservasi hutan dan lahan gambut yang mendukung pengelolaan hutan yang berkelanjutan agar tercipta strategi pembangunan yang rendah emisi (low emission development strategies / LEDS).

Kawasan yang masuk usulan Hutan Desa oleh Suku Semende di Kabupaten Muaraenim. Foto: Taufik Wijaya

Kawasan yang masuk usulan Hutan Desa oleh Suku Semende di Kabupaten Muaraenim. Foto: Taufik Wijaya

“IFACS membuat program yang ambisius di daerah kawasan stok karbon dan hutan agar tetap terjaga di Indonesia. Dan kita mulai di pusatnya, yaitu di KLHK. Tentu saja kita berhubungan dengan Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup, dan berhubungan dengan beberapa propinsi,” kata John Hansen, Direktur Kantor Lingkungan Hidup USAID Indonesia, disela-sela acara Lokakarya KLHS-SPRE dan Penyiapan Proyek Karbon Bersama Masyarakat, di Gedung Manggala Wanabakti, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta, pada minggu kemarin.

Delapan kawasan strategis itu berada di tiga pulau besar di Indonesia, dimana masih terdapat hutan primer dan stok karbon yang besar, yaitu di Sumatera, Kalimantan dan Papua.  Di Sumatera dilakukan di Aceh Selatan, Aceh Tenggara. Sedangkan di Kalimantan Barat yaitu di Ketapang, Kayong Utara dan Malawi, serta di Kalimantan Tengah yaitu di Katingan. Sedangkan di Papua yaitu di Sarmi, Mamberamo, Mimika dan Asmat.

Proyek IFACS di 8 daerah tersebut diharapkan dapat menyimpan 6 juta ton ekuivalen karbon melalui perbaikan tata kelola sumber daya alam dan pengelolaan hutan yang berdampak pada pengurangan tingkat deforestasi dan degradasi lingkungan pada kawasan luas sekitar 11 juta hektar.

Dengan sinergi pemerintah daerah, masyarakat lokal dengan proyek IFACS, diharapkan dapat dikelola  dengan baik sekitar 3 juta hektar hutan tropis dan lahan gambut alami, dengan  1,7 juta hektar merupakan habitat utama orangutan.

Selain itu, 12 daerah yang telah memiliki skema rencana tata ruang diharapkan dapat melaksanakan rekomendasi dari Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) . Dan 12.000 pihak penerima manfaat hutan memperoleh keuntungan ekonomi dari kegiatan-kegiatan rendah emisi yang diselenggarakan di dalam wilayah program IFACS.

“Program lima tahun dari IFACS telah memperoleh hasil dan perkembangan yang baik, dan perkembangan yang bisa dilihat adalah sekitar 2000 hektar pada hutan bernilai konservasi tinggi yang sekarang dilindungi dan itu melalui proses perencanaan tata ruang. IFACS membantu dalam proses tersebut, dengan kriteria pembangunan rendah emisi yang diinginkan oleh pemerintah daerah seperti RAN GRK dan RAD GRK, anggaran pembangunan dan proses strategis dengan kerjasama dengan bupati dan masyarakat di daerah itu dengan memperhatikan keuntungan dari konservasi  yang diselaraskan dengan pertumbuhan ekonomi meski dengan melindungi lingkungan,” kata Hansen.

kalteng_0634

Lahan hutan gambut di Kalimantan Tengah. Foto: Rhett Butler, Maret 2013

Penurunan emisi tersebut diperoleh dari delapan proyek karbon dengan skema pembayaran untuk jasa lingkungan (payment for environmental services / PES) seperti skema REDD+, skema mekanisme pembangunan bersih, atau skema perdagangan karbon lainnya.

Proyek karbon tersebut antara lain penguatan konservasi hutan desa di Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, dengan pengendalian kebakaran dan produksi karet di wilayah sekitar 17.432 hektar.  Potensi reduksi gas rumah kaca sebesar 13.303 ton setara karbon selama dua tahun pertama.

Proyek pengelolaan kawasan ekosistem bakau seluas 345.713 hektar sebagai kawasan penangkapan dan penyimpanan karbon di Mimika, Papua dengan potensi reduksi emisi sebesar 227.245 ton setara karbon selama dua tahun pertama.

Ada juga proyek skema ekoturisme dan patroli bersama warga di Karidor Rimba Trumon seluas 2.700 hektar untuk mengurangi deforestasi di Aceh Selatan, dengan potensi reduksi emisi sekitar 5.345 ton setara karbon selama dua tahun pertama.

Juga proyek pengelolaan daerah penyangga Taman Nasional Gunung Palung di Kayong Utara, Kalimantan Barat seluas 12.000 hektar, dengan potensi pengurangan emisi sebesar 25.761 ton setara karbon selama dua tahun pertama.

Meski demikian, ada beberapa hambatan, antara lain kurangnya pemahaman dan keahlian yang diperlukan untuk pengembangan proyek karbon, kurangnya kemauan politik untuk mengembangkan mekanisme yang berkelanjutan, dan kegiatan yang terlalu fokus pada proyek karbon berbasis pasar daripada skema penanggulanan emisi berskala wilayah.

Untuk itu, USAID IFACS dengan mitra lokal melakukan program bantuan teknis untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan bagi pemangku kepentingan setempat untuk mengembangkan proyek karbon di wilayah kerja IFACS. Selain itu didorong pengembangan invoasi proyek karbon pragmatis dan didorong kepemilikan program pengembangan karobn di wilayah setempat.

Menggandeng Perusahaan Swasta

Hambatan lain dari proyek ini adalah nilai tukar karbon dalam pasar karbon sukarela masih dalam posisi nol USD atau nol rupiah. Oleh karena itu, USAID IFACS menggandeng berbagai perusahaan swasta untuk ikut berperan dan berinvestasi dalam proyek karbon.

“Ada momentum global dengan tumbuhnya perdagangan karbon.  Dan mengenai harga karbon nol dolar dalam pasar karbon sukarela, itu benar. Pendapat pribadi saya, ada kekecewaan besar ketika nilai tukar karbon di pasar karbon tidak tumbuh untuk menghasilkan pendanaan bagi program konservasi.  Banyak pegiat konservasi yang kecewa terhadap ini,” kata Hansen. “Banyak perusahaan yang berinvestasi kepada beberapa program yang mempunyai nilai karbon tinggi pada skema pasar karbon sukarela,” lanjutnya.

Dia menjelaskan sudah ada 13 perusahaan swasta, sebagian besar perusahaan konsesi HPH, yang berkomitmen untuk membantu dalam investasi dan pembelian kredit karbon dari proyek tersebut. Meski, perusahaan tersebut belum menyatakan nominal pendanaan dalam perdagangan karbon di proyek tersebut.

Sedangkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyambut baik proyek dari USAID IFACS tersebut.  “Bentuk-bentuk inisiatif yang konstruktif akan menjadi penguatan apabila dihubungkan dengan apa yang harus kita lakukan. Kalau kita kembalikan kepada undang-undangn No.32/2009 yang sebetulnya amanahnya juga untuk mengatasi perubahan iklim, didalamnya ada ketentuan mengenai KLHS. Dan KLHS tidak berdiri sendiri, tentu bicara tentang RPPLH, Amdal, izin lingkungan, tata ruang, dan . macam-macam,” kata Arief Yuwono,  Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim KLHK.

Dia mengatakan penguatan dan pengayaan sektor kehutanan tersebut akan berpengaruh dan berdampak pada kebijakan dan implementasi di lapangan.


6 Juta Ton Karbon Terkurangi Dari Strategi Pembangunan Berkelanjutan Di 8 Kabupaten. Dimana Sajakah? was first posted on March 2, 2015 at 3:42 am.

Laporan Korban Lubang Tambang, Apa Kata Kementerian PPA dan Komnas HAM?

$
0
0
Pasangan suami istri ini, Rahmawati dan Misriansyah bersama anak bungsu mereka kala mendatangi Kementerian LHK, guna melaporkan kasus anak mereka yang tewas di lubang tambang tetapi tak ada tindakan apa-apa dari pemerintah. Foto: Sapariah Saturi

Pasangan suami istri, Rahmawati dan Misriansyah bersama anak bungsu mereka kala mendatangi Kementerian LHK, guna melaporkan kasus anak mereka yang tewas di lubang tambang tetapi tak ada tindakan apa-apa dari pemerintah. Foto: Sapariah Saturi

Pasangan suami istri ini, Rahmawati dan Misriansyah, mendatangi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak serta Komnas HAM di Jakarta, Selasa (24/2/15). Mereka datang bersama koalisi beberapa LSM lingkungan hidup untuk mengadukan lubang tambang batubara Samarinda yang kerab menelan korban jiwa.

Rahmawati dan Misriansyah ini orangtua Muhammad Raihan yang tewas di lubang tambang PT Graha Benua Etam, Desember 2014.

Sebelumnya, mereka ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Merah Johansyah, Dinamisator Jatam Kaltim mengatakan, tanggapan KPPA cukup baik.”Diterima Deputi Perlindungan Anak dan deputi terkait. Salah satu dibahas bagaimana ada penegakan hukum kasus ini agar tidak terulang kembali,” katanya.

Sebenarnya,  KPPA sudah mempunyai kajian mengenai ini hingga lebih mudah mengambil tindakan. “Mereka berjanji berkoordinasi lintas kementerian. KPPA ada satu desk kejahatan anak. Ini bisa masuk ke sana.”

KPPA juga segera merapatkan ini untuk mengambil tindakan cepat dan berkoordinasi dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan KLHK. “Agar penegakan bisa diutamakan.”

Merah mengatakan, anak-anak tewas di lubang bekas batubara tidak bisa dianggap kecelakaan biasa. Jika dibiarkan, mengancam generasi.

Dia mengatakan, dari 52 pertambangan batubara di Samarinda, ada 150 lubang ditinggalkan begitu saja.  Di Kaltim ada 1.488 izin. “Itu belum termasuk yang dikeluarkan pemerintah pusat 33 izin.”

GBE beroperasi seluas 493,7 hektar. Perusahaan ini disebut dalam berbagai pemberitaan terkait berkasus gratifikasi kepada kepala Dinas Pertambangan Samarinda.

“Dari tujuh lubang, baru satu ditutup. Bahkan perusahaan ini sempat cuci tangan dengan mengembalikan IUP. Namun ditolak karena belum menutup lubang,” kata Merah.

Perusahaan ini juga seringkali disebut sebagai perusahaan paling tidak taat dalam evaluasi bulanan tambang yang digelar Pemkot Samarinda tahun 2012-2013. Bahkan BLH Samarinda sempat membekukan izin dua kali. Operasional pernah dihentikan sementara.

“Kami meminta Presiden dan kementerian terkait serius menangani ini. Ini menyangkut keberlangsungan dan keadilan generasi akan datang.”

Dengan datang ke Komnas HAM, dia  berharap ada penegakan hukum dan HAM. Sebab, jelas sudah terjadi pelanggaran HAM oleh pemda. Mereka dinilai membiarkan izin keluar begitu saja dan mengancam keselamatan warga.

“Kami mendesak Komnas HAM investigasi menyeluruh indikasi pelanggaran HAM ini dan memberikan rekomendasi. Meminta pemerintah melakukan tindakan-tindakan agar tidak menyebabkan lingkaran setan yang terus berulang.”

Siti Maimunah dari tim kerja perempuan dan tambang Jatam mengatakan, selama ini pemerintah selalu mengatakan investasi harus meningkat. Saat bersamaan, presiden mengatakan pemerintahan pro rakyat. Terkesan kontradiktif.

“Sejak 2011 sampai 2014 ada sembilan anak meninggal. Itu yang terekam. Bisa jadi lebih dari itu. Ini hanya di Samarinda.”

Korban sembilan anak ini, membuktikan bahwa pemerintahan Jokowi harus memberikan pendekatan berbeda dari sebelumnya. Pembangunan ekonomi berkelanjutan, tak merusak alam dan tak membahayakan warga.

Dia berharap,  Komnas HAM bertemu Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban karena menganggap situasi tidak aman. Rahmawati pernah didatangi polisi yang meminta agar mengurungkan niat datang ke Jakarta. Meskipun tidak ada tindakan ancaman dan intimidasi. “Kami datang ke LPSK. Ini penting agar korban bisa mendapatkan perlindungan.”  Mereka juga mendatangi KPAI keesokan hari.

Perbaiki manajemen investasi

Embu Wulang, aktivis Jatam mengatakan, pemerintah Jokowi rajin ke luar negeri promosi investasi Indonesia. Namun, tidak pernah serius mengurusi syarat-syarat keselamatan warga dan lingkungan dalam konteks investasi.

“Fakta ini menunjukkan pemerintah belum serius memperbaiki manajemen investasi dalam negeri tetapi sibuk promosi. Syarat-syarat keselamatan rakyat tidak diperbaiki,” katanya.

Jika investasi ke Indonesia mengalir begitu banyak tanpa syarat perbaikan, akan berakibat lingkungan hidup makin rusak.”Kami minta Komnas HAM memberikan rekomendasi dalam setiap pengeluaran izin investasi harus menyertakan syarat-syarat keselamatan rakyat dan lingkungan.”

Dalam kasus Kaltim, sebenarnya bisa menjelaskan betapa buruk proses di hulu dan hilir perizinan tambang di Indonesia. Di hulu ada persyaratan reklamasi dan perbaikan lahan pasca tambang tetapi tak jalan.

“Rakyat harus mensubsidi orang kaya. Hampir semua rekening gendut berbasis eksploitasi sumber daya alam. Ini disubsidi dari kerusakan lingkungan yang dirasakan rakyat. Rakyat mengalami kematian anak juga kehilangan kampung.”

Khalisah Khalid dari Walhi Nasional mengatakan, laporan warga ke Jakarta, sebenarnya tak perlu jika pemerintah daerah tanggap. “Seharusnya pemerintah daerah mempunyai tanggung jawab menyelesaikan masalah ini karena pemberi izin.”  Pemerintah daerah seharusnya juga mengawasi perusahaan  dengan ketat.

Komisioner Komnas HAM Sandra Moniaga mengatakan, akan mempelajari kasus ini dan berkoordinasi lintas stakeholder.

“Dari kasus ini, terlihat kasat mata kerusakan lingkungan. Ini dampak pelanggaran hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Itu diakui dalam konstitusi,” katanya.

Dia mengatakan, ada indikasi pelanggaran HAM. Seharusnya,  dalam  pertambangan ada persyaratan lokasi jauh dari pemukiman. “Kemudian hak hidup. Ini hak yang tak bisa dikurangi. Kalau sampai ada sembilan orang meninggal, tapi pemkot dan perusahaan tidak evaluasi dan langkah-langkah mitigasi itu tanda tanya besar. Artinya ada pembiaran. Ada indikasi bahwa pemda menganggap ini suatu kecelakaan biasa.”


Laporan Korban Lubang Tambang, Apa Kata Kementerian PPA dan Komnas HAM? was first posted on March 2, 2015 at 7:12 am.

Horor di Konsesi APP, Petani Tebo Tewas Mengenaskan

$
0
0
Inilah tempat peristirahatan Indra, seorang petani Tebo, Jambi yang tewas diduga dianiaya sekuriti PT WKS, anak perusahaan APP. Foto: Walhi Jambi

Inilah tempat peristirahatan Indra, seorang petani Tebo, Jambi yang tewas diduga dianiaya sekuriti PT WKS, anak perusahaan APP. Foto: Walhi Jambi

Seorang anggota Serikat Petani Tebo (SPT) Jambi, Indra Kailani (23) ditemukan tewas mengenaskan dengan tangan terikat dan badan penuh luka memar setelah 17 jam hilang pada Sabtu (28/2/15). Indra tewas setelah dikeroyok tujuh anggota keamanan PT Wira Karya Sakti, anak usaha Asia Pulp and Paper (APP), Jumat(27/2/15).

Anggota jaringan Walhi Jambi, Nick Karim bercerita, dijemput Indra di Simpang Niam, Kabupaten Tebo sekitar pukul 15.30 pada Jumat (27/2/15). Nick dan Indra berkomunikasi lewat telepon seluler sejak jam 14.00. Nick buru-buru datang dari Muarabulian, Kabupaten Batanghari yang ditempuh selama 1,5 jam.

Mereka berdua hendak mempersiapkan panen padi dan palawija kedua kali di lahan yang diklaim masyarakat. “Tahun lalu, masyarakat memanen tiga ton. Tahun ini mereka menargetkan delapan ton,” kata Rusdiansyah, Manager Regional Walhi Jambi, kepada Mongabay, Senin (2/3/15).

Ketika melintas pos keamanan di Pos Kembar 803 sekitar pukul 16.03, mereka berdua naik sepeda motor jenis GL Pro dihentikan Tim URC. Mereka terlibat adu mulut dan dilarang masuk. Indra langsung dikeroyok tujuh anggota URC. Nick berusaha melerai tetapi diabaikan.

Lalu, Nick ditarik sejumlah orang desa yang menyaksikan pengeroyokan itu. Nick berhasil diselamatkan. “Entah kenapa saya tidak dipukuli. Saya langsung disembunyikan di salah satu rumah warga,” katanya.

Sekitar pukul 16.30, sebanyak 30 warga desa menyusul Indra ke pos kembar tadi. Warga bertemu dengan Zulkifli, salah satu anggota keamanan WKS. Namun warga tidak menemukan Indra.

Dari sore hingga dinihari, kabar korban simpang siur. Sabtu (28/2/15), sekitar pukul  09.00 Rudiansyah menerima telepon dari Akiet, Kepala Keamanan WKS. Akiet mengabarkan, Indra ditemukan sekitar tujuh kilometer dari Distrik VIII dalam keadaan tak bernyawa.

Sekitar pukul 10.00, barulah jenazah ditemukan warga. “Kondisi tubuh korban penuh luka tusukan benda tajam di kepala, pipi kiri, kepala bagian belakang dan leher bagian kanan. Tangan terikat, kaki terikat, Mulut ditutup baju sendiri. Muka dan sekujur badan lebam-lebam,” kata Rudiansyah.

Dari 1.500 hektar lahan sengketa masyarakat Desa Lubuk Madrasah, Kabupaten Tebo, kata Rudiansyah, masyarakat berhasil menduduki 500 hektar. Masyarakat sudah memandatkan kepada Walhi Jambi sejak 2013. Dari total 300 keluarga, 130 keluarga sudah tinggal di lahan ini.

Menurut Rudi, pihaknya dengan WKS diwakili General Manager, Slamet Irianto dan Humas, Taufik sudah bersepakat, perusahaan menghormati dan tidak akan mengganggu aktivitas masyarakat sampai proses negoisasi selesai.

 

Indra semasa hidup. Foto: Walhi Jambi

Indra semasa hidup. Foto: Walhi Jambi

 

Atas peristiwa ini, Walhi Jambi menilai terjadi tindak pidana pengeroyokan, penculikan, dan pembunuhan berencana. Menurut Rudiansyah, dugaan pembunuhan berencana melihat fakta membuang mayat korban dari pos portal 803 adalah rencana yang dipersiapkan dengan baik. “Cara-cara ini sangat biadab dan harus terungkap dan dipertanggungjawabkan secara hukum.”

General Manager, Slamet Irianto menolak berkomentar. “Kita sudah serahkan semua kepada humas,” katanya. Juru bicara WKS, Taufik ketika dihubungi tak mengangkat ponsel.

Greenpeacepun menanggapi. Kepala Kampanye Greenpeace Global  Indonesia, Bustar Maitar mengatakan, kejadian ini begitu serius, hingga proses resolusi konflik harus menjadi prioritas bagi APP, tak hanya terkait kasus ini, juga di seluruh operasi perusahaan. “Sementara ini, Greenpeace akan menarik diri dalam setiap keterlibatan dengan APP dan fokus mendorong penyelesaian isu serius yang muncul dalam kasus ini,” katanya.

Setelah investigasi menyeluruh dan adil, katanya, baik langsung maupun tidak langsung, semua yang terlibat kematian Indra, termasuk anggota-anggota perusahaan sekuriti dan APP, harus bertanggung jawab.

APP, kata Bustar,  harus segera mengambil langkah cepat memastikan peristiwa ini diinvestigasi menyeluruh dan adil, dengan kerjasama penuh tanpa syarat dari perusahaan.  “APP juga harus mengadakan investigasi menyeluruh terhadap prosedur keamanan dan jasa keamanan dari pihak ketiga guna  memastikan peristiwa seperti ini tidak lagi terjadi. Kami berharap perusahaan terbuka dalam mengatasi masalah ini.”

Manajemen APP di Jakarta ketika dikonfirmasi Mongabay, atas insiden petani tewas di WKS ini mengatakan, menerima informasi Indra tewas pada Sabtu (28/2/15). “Sejak itu,  kami bekerja sama sepenuhnya dengan kepolisian dalam proses penyelidikan,” bunyi keterangan tertulis perusahaan yang dikirim lewat surat elektronik.

Perusahaan menyatakan, berbelasungkawa atas kejadian tragis di komunitas Tebo ini. Prioritas utama APP, memberikan dukungan kepada keluarga dan masyarakat dan untuk membantu proses penyelidikan kepolisian.

“Sambil menunggu hasil penyelidikan, APP memberikan instruksi kepada WKS segera mensuspensi semua personil yang kemungkinan diduga terlibat dalam insiden ini. Ini termasuk petugas keamanan, komandan tim keamanan Distrik Delapan dan kepala keamanan di perusahaan kontraktor keamanan PT MCP.”

APP mengecam segala bentuk tindakan kekerasan dan mendukung keputusan Greenpeace agar fokus pada masalah ini. “Kami berkomitmen menempatkan semua sumber daya kami dalam bekerja dengan masyarakat, Greenpeace, Walhi dan polisi untuk menjamin keadilan terlaksanakan.”

 

 

 


Horor di Konsesi APP, Petani Tebo Tewas Mengenaskan was first posted on March 3, 2015 at 12:18 am.

Cegah Alih Fungsi Lahan Pangan di Sumatera Selatan Tidak Cukup dengan Perda

$
0
0

Lahan produksi pangan harus dilindungi, jangan sampai beralih fungsi menjadi perkebunan terlebih tambang. Foto: Rhett Butler

Jaminan ketersediaan pangan merupakan persoalan serius bagi kelangsungan hidup masyarakat Indonesia. Tidak stabilnya harga jual, mahal dan langkanya pupuk bersubsidi, hingga cuaca tak menentu merupakan persoalan yang dihadapi petani pangan. Akibatnya, mereka mulai meninggalkan sawah maupun ladang dan mulai melirik produk perkebunan.

Kondisi ini terungkap dalam talkshow bertema ‘Inisiatif Daerah untuk Melindungi Lahan dan Produk Pangan Lokal’, yang digelar Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Selatan di Palembang, Minggu (1/3/2015). Hadir sebagai pembicara Muhammad Rifai (Wakil Bupati Ogan Komering Ilir), Beni Hernedi (Wakil Bupati Musi Banyuasin), Abetnego Tarigan (Direktur Eksekutif Walhi Nasional, dan Giri Ramandha (Ketua DPRD Sumsel).

Muhammad Rifai menyatakan bahwa daerahnya telah memiliki peraturan daerah (perda) mengenai alih fungsi lahan yang telah disahkan 2012 lalu. Menurutnya, perda tersebut telah berjalan walaupun masih ada saja masyarakat yang mengalihfungsikan lahan pangannya.

Rifai menjelaskan, berdasarkan analisa pertanian, menanam padi sebenarnya lebih menguntungkan daripada karet. Namun, lanjut Rifai, uang penghasilan dari karet atau sawit lebih cepat diterima petani ketimbang dari sawah yang dalam setahunnya hanya satu atau dua kali. “Ini masalah yang masih dicarikan solusi,” ujarnya.

Beni Hernedi menuturkan Pemerintah Musi Banyuasin telah mendorong peningkatan produksi pertanian dengan membenahi jaringan tata irigasi mikro dan memoderenisasi peralatan pertanian. Serta, mengawasi lahan-lahan pangan agar tak beralih fungsi.

Menurut Beni, pihaknya telah membatasi dan tidak lagi memberi ijin perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI) di daerah produksi pangan. “Saat ini, tengah disiapkan perda yang mengatur larangan alih fungsi lahan pertanian.”

Perlu insentif dan konsistensi

Menurut Abetnego Tarigan, saat ini di Indonesia pengembangan kawasan industri, permukiman, perkebunan, dan pertambangan yang berada di sekitar kawasan pertanian telah banyak menggusur kawasan produksi pangan.

“Di seluruh Indonesia, sekitar 500 ribu sampai satu juta hektar telah terjadi alih fungsi lahan produksi pangan. Di Pulau Jawa, alasan utamanya adalah untuk pengembangan kawasan industri dan perumahan. Sementara di luar Jawa, tujuannya untuk perkebunan dan pertambangan,” ujar Abet.

Oleh karenanya, menurut Abet, pemerintah harus memikirkan bagaimana melindungi lahan pertanian. Tak hanya mengeluarkan peraturan daerah yang melarang petani merubah fungsi sawahnya, melainkan juga memberikan insentif kepada petani. “Misalnya, pemilik lahan pertanian dikenakan pajak yang jauh lebih murah daripada lahan yang telah dialihfungsikan. Perlindungan ini sangat penting.”

Sementara Giri Ramandha mengatakan konsistensi dalam penegakan peraturan harus dilakukan. Menurutnya, kalaupun payung hukum alih fungsi lahan sudah ada, terkadang kendala dalam penegakan peraturannya yang belum konsisten.

Misal, suatu daerah yang dalam rencana tata ruang wilayahnya telah menetapkan 100 ribu hektar sebagai lahan produksi pangan, tiba-tiba di tahun berikutnya muncul peraturan lain yang bertentangan. Sehingga, lahan produksi terus berkurang.

Kelompok Tani Bunga Rampai asal Desa Lubuk Sakti, Ogan Ilir, begitu antusias menampilkan hasil olahan pangan lokal yang berasal dari kebun mereka sendiri. Foto: Muhammad Ikhsan

Kelompok Tani Bunga Rampai asal Desa Lubuk Sakti, Ogan Ilir, begitu antusias menampilkan hasil olahan pangan lokal yang berasal dari kebun mereka sendiri. Foto: Muhammad Ikhsan

Parade pangan lokal

Selain talkshow, pada acara tersebut digelar juga parade olahan pangan lokal yang terbuat dari  singkong, ketan, jagung, pisang, hingga kacang-kacangan. “Kita ingin mengingatkan publik pentingnya pangan lokal. Kita juga ingin mengingatkan pemerintah dan masyarakat luas agar alih fungsi lahan pangan menjadi lahan pertambangan, perkebunan, dan industri tidak perlu terjadi lagi,” ujar Hadi Jatmiko, Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Selatan (Sumsel).

Iyus, ibu rumah tangga warga Bukit Kecil Palembang, yang turut berpartisipasi mengatakan banyak sumber pangan lokal yang dapat diolah menjadi kuliner sehat bergizi. “Harus dipromosikan, sehingga pangan lokal semakin berkembang. Jika diolah dengan kreatif, tampilan pangan lokal dapat menarik dan tak kalah dengan kuliner luar.”

Sementara Angraini, petani perempuan asal Desa Lubuk Sakti, Kabupaten Ogan Ilir, mengatakan kelompok taninya yang tergabung dalam Tani Bunga Rampai senang mendapatkan kesempatan ini. “Kami membawa keripik pisang, dodol ketan rasa durian, kue semprong dari beras, dan lain-lain. Semua bahannya dari kebun sendiri,” ujarnya.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio


Cegah Alih Fungsi Lahan Pangan di Sumatera Selatan Tidak Cukup dengan Perda was first posted on March 3, 2015 at 2:49 am.

Sidang Gugatan Warga Rembang, Inilah Keterangan Saksi Tergugat

$
0
0

Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang kembali menggelar sidang gugatan warga Rembang terhadap Gubernur Jawa Tengah (tergugat) dan PT Semen Indonesia (tergugat intervensi) pada Kamis (26/02/2015), dengan agenda mendengarkan keterangan para pihak, yakni saksi dari pihak tergugat.

Kuasa hukum dari Gubernur Jawa Tengah menghadirkan Teguh Dwi Paryono sebagai Kepada Dinas Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Tengah, Otniel Paulus Sulaiman Moeda selaku Ketua Tim Teknis Komisi Penilai Amdal, Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Jawa Tengah dan Teguh Gunawarman selaku Kepala Camat Gunem.

Keterangan dari Otniel Paulus dari BLH Provinsi Jawa Tengah. Foto :Tommy Apriando

Keterangan dari Otniel Paulus dari BLH Provinsi Jawa Tengah. Foto :Tommy Apriando

Sebelum mendengarkan kesaksian dari para pihak tergugat, penggugat mengajukan dua bukti tambahan yakni surat dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terkait dengan permohonan berkesaksian dalam gugatan tersebut.

Dalam kesaksiannya, Teguh Dwi Paryono mengatakan  selaku kepada Dinas ESDM, ia memiliki tupoksi salah satunya adalah pengelolaan ESDM Jateng di bidang mineral (tambang) dan energi. Ia juga bertugas memastikan apakah kawasan yang diajukan PT. Semen Indonesia (PT.SI) masuk ke dalam kawasan tambang atau tidak. “Menurut Perda 6 tahun 2010 tentang RTRW Jawa Tengah, lokasi untuk rencana produksi PT.SI masuk ke dalam kawasan untuk tambang,”kata Teguh.

Setiap rencana penambangan, wajib disebutkan kedalaman penggalian, ada tidaknya penggunaan bahan peledak, dan rencana reklamasi. Ia merekomendasikan agar PT.SI tidak menambang lebih dari kedalaman 100 meter.

PT.SI tidak menggunakan air tanah namun akan menggunakan air permukaan dengan membuat embung (waduk). Teguh menjelaskan meski masuk dalam cekungan air tanah (CAT) Watu Putih, tapi tidak ada larangan menambang di kawasan itu. Penambangan tidak akan mempengaruhi posisi keberadaan akuifer tersebut karena penambangan pada zona kering dan tidak sampai pada zona dimana akuifer tersebut berada.

Dinas ESDM Jateng pada 1998, pernah meneliti kawasan Gunung Watu Putih dan telah ada penambangan disitu.  Pihaknya juga belum pernah merekomendasika kepada pemerintah daerah dan pusat untuk menetapkan kawasan karst Watu Putih untuk ditetapkan sebagai kawasan lindung.

Sedangkan Otniel Paulus Sulaiman Moeda dalam kesaksiannya menjelaskan Amdal PT SI sudah layak.  Menurutnya, dalam amdal, proses yang paling rumit adalah aspek sosial oleh karena itu komisi selalu mewajibkan untuk membuat kajian studi persepsi sosial masyarakat. Masyarakat bisa menyampaikan saran, masukan, kritikan tentang Amdal. Masyarakat bisa mengajukan keberatan melalui PTUN bila izin Amdal telah keluar.

Sementara, Teguh Gunawarman selaku Camat Gunem dalam kesaksiannya mengatakan tidak ada kepala desa di wilayahnya yang menolak pertambangan PT SI di Rembang. Dia juga  tidak pernah tahu dan tidak pernah melihat izin lingkungan PT.SI.

Pada 2013, ia pernah didatangai warga, diantaranya Sumarno yang memperlihatkan Amdal PT SI, kesalahan dalam Amdal tersebut, sehingga mereka memprotes pendirian pabrik.

“Pabrik semen akan merusak lahan pertanian, sumber air, menghasilkan debu dan warga mengatakan tanpa semen warga masih bisa makan,” kata Teguh menirukan pernyataan Sumarno dan rekan.

Kuasa hukum penggugat, Muhnur Satyahaprabu mengatakan, dari keterangan Teguh Dwi Paryono, pada intinya dia mengetahui bahwa Dinas ESDM Jateng pernah melakukan studi penelitian di Gunung Watu Putih yang secara geografis berada diatas Cekungan Air Tanah (CAT) Watu Putih. Penelitian menyebutkan Gunung Watu Putih adalah kawasan karst, artinya CAT Watu Putih adalah cekungan air tanah yang bercirikan kawasan karst. Dan masuk dalam kawasan geologi yang dilindungi.

“Teguh juga mengamini bahwa penambangan akan mengubah keadaan geomorfologi artinya pasti ada dampak lingkuungan yang penting akibat pertambangan,” kata Muhnur.

Muhnur menambahkan terkait rencana reklamasi pasca tambang, ia mengatakan tidak ada jaminan PT.SI akan mentaati apa yang ada dalam dokumen AMDAL dan tidak ada jaminan pemerintah akan menegakan undang-undang terhadap pelanggaran lingkungan yang dilakukan korporasi besar.

Dalam dokumen Amdal mencamtumkan di lokasi tambang ada sumber mata air. Jika radius 200 meter seperti rekomendasi Badan Geologi Kementerian ESDM artinya, kawasan air adalah kawasan lindung setempat sesuai undang-undang. Jika rekomendasi harus lebih dari 200 meter, namun jika ada sumber air dalam IUP penambangan harusnya penambangan batal.

“Ia mengamini bahwa sampai saat ini tidak pernah melakukan audit lingkungan ia lakukan sebagai kapasitas dia, walaupun  isntitusinya harus bekerja sama dengan BLH, namun ia tidak pernah ada itikat baik itu,” kata Muhnur.

CAT Watu Putih adalah kawasan karst namun pemerintah daerah tidak pernah berupaya untuk melindungi kawasan karst di Gunung Watu Putih. Apa buktinya? karena sejak tahun 1998 ditemukan karst, namun sampai 2015 tidak ada upaya pemerintah daerah untuk mengusulkan itu harus  dilindungi. Muhnur menambahkan, semua yang masuk sebagai karakteristik karst harus dan wajib dilindungi. Di dalam kawasan karst terdapat banyak keunikan alam, stalagtit, stalagmit, flora dan fauna. Tidak memandang karst 1,2 dan 3. Itu kemajuan pengelolan karst.

“Kepala ESDM mengkerdilkan upaya pemerintah untuk melindungi karst dengan menyebut karst yang dlindungi hanya yang kawasan karst 1,” tambah Muhnur.

Sedangkan terkait keterangan Oenil, Muhnur mengatakan pendapat dia fair. Namun perlu diketahui bahwa Amdal sifatnya prosfektik. Otniel kurang hati-hati sebagai ketua tim teknis penilai amdal. Kenapa? Karena soal dampak yakni dampak fakta maka pengalaman masyarakat harus yang pertama dan dampak  scientifik atau prosfektik  kedua dalam pertimbangan.

“Artinya jika masyarakat menuntut pekerjaan di Amdal hanya sebagai kecil bicara tentang pekerjaan namun secara umum bicara tentang dampak lingkungan berkelanjutan,” kata Muhnur.

Ia menambahkan, di dokumen amdal disebut sebagai akademik efidenma yakni amdal berfungsi sebagai induk dari izin-izin yang dikeluarkan. Karena penting maka harus dibuat secara rigit dan hati-hati. Dalam konteks ini saya  meragukan berkapasitas saksi menilai amdal tersebut dan saksi tidak paham unsur kehati-hatian.

Terkait keterangan Teguh Purnawarman selaku Camat Gunem, Muhnur mengatakan dari kesaksian saksi yang mengatakan pemerintah harus netral, itu bohong. Ini terlihat karena kegiatan sosialisasi banyak difasilitasi pemerintah daerah, camat dan desa.

“Artinya pemerintah banyak menjadi pelaku perusakan lingkungan dengan cara nelayani dan meemfasiltasi perusahaan tambang,” kata Muhnur.

Ia mengatakan, dalam hal partisipasi masyarakat yang dilakukan pemerintah itu adalah sosialiasi, karena kebijakan sudah ada lalu disosilalisasi, kalau konsultasi publik maka kebijakan sudah ada, namun masyakarat menentukan setuju atau tidak terhadap pembangunan pabrik.

Majelis hakim kemudian memutuskan sidang dilanjutkan pada Kamis (05/03/2015) dengan agenda lanjutan keterangan para saksi yakni adalah dua orang saksi warga (PT.SI), satu orang penyusun desain (terkait tambang PT.SI) dan satu dari pihak tergugat.


Sidang Gugatan Warga Rembang, Inilah Keterangan Saksi Tergugat was first posted on March 3, 2015 at 4:13 am.

Komnas HAM Didesak Bentuk Tim Investigasi Kematian Petani Tebo Jambi

$
0
0

Seorang anggota Serikat Petani Tebo (SPT) Jambi, Indra Kailani (23) ditemukan tewas mengenaskan dengan tangan terikat dan badan penuh luka memar setelah 17 jam hilang pada Sabtu (28/2/15). Indra tewas setelah dikeroyok tujuh anggota keamanan PT Wira Karya Sakti, anak usaha Asia Pulp and Paper (APP), Jumat(27/2/15).

Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Abetnego Tarigan mengatakan pihaknya telah melakukan berbagai langkah untuk menanggapi kasus tersebut, antara lain telah mendampingi keluarga korban untuk melaporkan kejadian tersebut kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

“Karena kasus ini tindak pidana, kita juga mendesak kepada Polri untuk mengungkap kasus ini. Kami juga telah mengirimkan surat kepada Komnas HAM untuk membentuk tim investigasi. Karena kasus ini tidak bisa dilihat sebagai kasus kriminal murni,” kata Abetnego yang dihubungi Mongabay pada Selasa (03/03/2015).

Dengan dibentuknya tim investigasi oleh Komnas HAM, lanjutnya, dapat memberikan rasa nyaman bagi keluarga korban dan masayrakat umum karena menandakan kasus tersebut mendapat perhatian dari lembaga nasional.

“(Dengan dibentuknya tim investigasi) juga untuk memperhatikan praktek pengamanan yang dilakukan oleh perusahaan. Karena kami telah lama menduga bahwa perusahaan memiliki pengamanan yang cukup masif, atau bahkan menggunakan pasukan keamanan reguler seperti polisi dan tentara. Ini memastikan agar situasi tidak kembali terjadi,” katanya.

Inilah tempat peristirahatan Indra, seorang petani Tebo, Jambi yang tewas diduga dianiaya sekuriti PT WKS, anak perusahaan APP. Foto: Walhi Jambi

Inilah tempat peristirahatan Indra, seorang petani Tebo, Jambi yang tewas diduga dianiaya sekuriti PT WKS, anak perusahaan APP. Foto: Walhi Jambi

Kasus kematian petani tersebut, lanjutnya, ada keterkaitan dengan peristiwa lainnya yang lebih luas, karena petani yang menjadi korban tersebut sedang bermasalah dengan PT WKS.  “Sejarah perusahaan ini,  di kawasan konsesi ini pernah ada yang meninggal tahun 2010 oleh aparat Brimob.  Sekarang oleh URC PT WKS, anak perusahaan APP,” lanjut Abetnego.

Oleh karena itu, aparat penegak hukum harus melihat bagaimana perusahaan tersebut menangani konflik, dan kenapa perusahaan harus membentuk unit reaksi cepat. “Biasanya kan emergency response untuk kebakaran. Kalau ada URC, berarti daerah  itu ada masalah,” katanya.

Pihak Kepolisian juga tidak hanya menyelidiki dan menangkap pelaku pembunuhan, tetapi juga harus melihat bagaiman rantai komando dalam penanganan konflik di perusahaan tersebut.

“Kita berharap ada evaluasi mendalam dari pemerintah terkait dengan konflik yang ada. Perlu penanganan secara komprehensif konflik yang berkaitan dengan tenurial karena efek samping banyak sekali. Ini bisa menjadi lingkaran setan, ketika masyarakat melakukan aksi balas dendam,” katanya.

Greenpeace Menarik Diri

Menanggapi kasus kematian petani tersebut, Greenpeace sangat terpukul dengan berita kematian brutal ini, dan mengutuk  tindakan kekerasan, serta turut bersama solidaritas masyarakat dan keluarga Indra di masa sulit ini.

“Mengingat betapa seriusnya kejadian ini, proses resolusi konflik harus diutamakan, tak hanya terkait kasus tersebut, tetapi juga di seluruh operasi APP guna memperoleh keadilan. Untuk sementara waktu, Greenpeace akan menarik diri dalam setiap keterlibatan dengan APP dan fokus untuk mendorong penyelesaian isu serius yang muncul dalam kasus ini,” kata Kepala Kampanye Greenpeace Global  Indonesia, Bustar Maitar.

“Setelah investigasi menyeluruh dan adil, baik langsung maupun tidak langsung, semua yang bertanggung jawab atas kematian Indra, termasuk anggota-anggota perusahaan sekuriti dan APP, harus bertanggung jawab dalam hukum apabila ditemukan terkait dengan kematian tragis ini,” lanjutnya.

Bustar  megnatakan APP harus segera mengambil langkah cepat untuk memastikan bahwa peristiwa tersebut diinvestigasi secara menyeluruh dan adil oleh pihak berwenang, dengan kerjasama penuh tanpa syarat dari perusahaan. APP juga harus mengadakan sebuah investigasi menyeluruh terhadap prosedur keamanan dan jasa keamanan dari pihak ketiga guna  memastikan peristiwa seperti ini tidak lagi terjadi. “Kami berharap perusahaan terbuka dalam mengatasi masalah ini,” tambahnya.


Komnas HAM Didesak Bentuk Tim Investigasi Kematian Petani Tebo Jambi was first posted on March 3, 2015 at 4:44 am.

Kenapa Komisi Pengawas Reklamasi dan Pasca-tambang Daerah Kalimantan Timur Tak Kunjung Terbentuk?

$
0
0

Kondisi hutan di Kalimantan Timur yang gundul akibat tambang batubara. Foto: Hendar

Tahun 2013, Pemerintah Kalimantan Timur telah mengeluarkan Peraturan Daerah (perda) Nomor 8 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Pasca-tambang Daerah. Dalam perda itu, Komisi Pengawas Reklamasi dan Pasca-tambang harus terbentuk minimal enam bulan setelah perda disahkan. Namun, hingga kini, peraturan gubernur yang ditunggu sebagai acuan pembentukan komisi tersebut belum lahir juga.

Seperti yang telah diberitakan Mongabay sebelumnya, rancangan peraturan gubernur (ranpergub) tentang Komisi Pengawas Reklamasi dan Pasca-tambang Daerah telah diserahkan oleh tim penyusun kepada gubernur. Muhammad Nasir, anggota tim penyusun dari LSM Prakarsa Borneo, pada November 2014, menyatakan bahwa peraturan gubernur akan dikeluarkan paling lambat awal 2015.

Namun, Najidah, akademisi dari Universitas Mulawarman yang merupakan anggota tim penyusun tersebut menyatakan bahwa saat ini ranpergub masih berada di Dinas Pertambangan dan Energi Kalimantan Timur. Keterlambatan ini dikarenakan adanya perdebatan sengit terkait isi dan komposisi komisioner.

“Karena disebut komisi maka seharusnya independen. Namun, pemerintah provinsi menginginkan sebagian anggota komisi ditunjuk dari instansi pemerintah,” ujar Najidah pada acara Focus Group Discussion yang diselenggarakan Mongabay di Samarinda, Kamis (26/2/2015).

Haris Retno, yang juga akademisi dari Universitas Mulawarman, memiliki pandangan berbeda terkait keterlambatan peraturan gubernur itu. Menurutnya, penerbitan perda mengenai Penyelenggaraan Reklamasi dan Pasca-tambang Daerah merupakan bentuk kompromi tarik ulur berbagai kepentingan. “Makanya, setelah disahkan sepi-sepi saja,” kata Retno.

Fatur Iqin, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Timur (Kaltim), mengungkapkan hal senada. Iqin menyatakan pernah mengikuti pembahasan Perda Nomor 8 Tahun 2013 yang kemudian terputus. Sebagaimana yang dikatakan Haris Retno, Iqin menyebutkan bahwa lahirnya perda ini hanya untuk menyenangkan pihak tertentu. “Seolah ada desakan kuat dari masyarakat sipil mengenai reklamasi dan pasca-tambang, lalu pemerintah merespon. Namun, setelah itu tidak ada gaungnya lagi,” ujar Iqin.

Partisipasi organisasi masyarakat sipil yang selama ini peduli pada permasalahan lingkungan hidup juga terlihat rendah. Hal ini diakui Kahar Al Bahri, mantan Dinamisator Jatam Kaltim. Menurutnya, tidak ada upaya maksimal pemerintah provinsi menyatukan persepsi antara organisasi masyarakat sipil perihal ranpergub. “Saya mengikuti beberapa pertemuan mengenai ranpergub ini, tapi setelah itu tak ada kabar lagi,” ujar laki-laki yang kerap dipanggil Ocha.

Sorotan juga disampaikan Ade Fadli, Yayasan Bumi, dengan membuat perbandingan ranpergub moratorium yang draftnya lebih mudah diakses dan diberi masukan. Menurut Ade, yang lebih penting adalah pertanyaan seberapa penting perda dan komisi ini dimata kelompok masyarakat sipil. “Jangan-jangan tidak dianggap penting sehingga tidak ada gerakan dari masyarakat sipil untuk memberi tekanan pembentukan Komisi Pengawas Reklamasi dan Pasca-tambang Daerah,” ujar Ade.

Sementara Agus, dari WWF Kaltim, menyatakan lambatnya tindak lanjut perda tersebut menguntungkan pengusaha tambang yang nakal. Menurutnya, sejak awal para pengusaha keberatan dengan lahirnya perda ini. “Kita perlu strategi atau skenario lain untuk mendesak lahirnya komisi ini.”

Sampai saat ini, sejauh mana perkembangan ranpergub yang berada di Distamben belum ada kejelasan. Najidah pun, sebagai anggota tim perumus tidak bisa memberikan informasi. Menurutnya, advokasi untuk mendorong penandatanganan ranpergub oleh Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak tidak bisa dilakukan oleh satu organisasi saja. “Kita tidak bisa menyerahkan hanya kepada LSM Prakarsa Borneo. DPRD Provinsi Kaltim yang mengesahkan perda ini bisa juga harus mempertanyakan tindak lanjutnya kepada eksekutif yang berkewajiban membuatnya dalam aturan-aturan teknis,” pungkas Najidah.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio


Kenapa Komisi Pengawas Reklamasi dan Pasca-tambang Daerah Kalimantan Timur Tak Kunjung Terbentuk? was first posted on March 3, 2015 at 5:14 am.

Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Barat Kecam Pembunuhan Anggota Serikat Petani Tebo Jambi

$
0
0

Inilah tempat peristirahatan terakhir Indra, seorang petani Tebo, Jambi yang tewas diduga dianiaya petugas keamanan PT. WKS, anak perusahaan APP. Foto: Walhi Jambi

Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Barat yang terdiri dari Walhi Kalbar dan Pontianak Institute mengecam keras aksi penculikan dan pembunuhan terhadap Indra Kailani, anggota Serikat Petani Tebo (SPT) Provinsi Jambi. Indra tewas setelah dikeroyok tujuh anggota keamanan PT Wira Karya Sakti (WKS), anak usaha Asia Pulp and Paper (APP), Jumat (27/2/15).

Ian M. Hilman dari Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Barat (Kalbar) menilai tindakan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi itu bukan hanya menyayat hati, tetapi juga mengoyak harkat dan martabat rakyat khususnya kaum tani selaku penopang kedaulatan pangan Indonesia. “Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Barat dengan tegas mengecam tindakan tersebut dan dengan tegas meminta kepolisian mengusut tuntas kasus ini” jelas Ian di Pontianak, Selasa (3/3/2015).

Menurut Ian, tindakan tersebut tidak dapat ditolerir. “Koalisi Masyarakat Sipil Kalbar meminta institusi penegak hukum serta lembaga penegak hak asasi manusia untuk segera mengungkap dan melakukan pengusutan secara mendalam kasus ini.”

Anton P. Widjaya, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Barat, menambahkan, inisiatif perbaikan tata kelola usaha melalui berbagai komitmen yang akhir-akhir ini dilakukan APP hanya untuk kepentingan pasar dan orientasi ekonomi semata. “Peristiwa pembunuhan Indra menjelaskan tidak ada keseriusan APP dalam menjalankan seluruh komitmen perbaikannya di lapangan. Ini memperkuat dugaan kita bahwa komitmen tersebut hanya menjadi concern elit perusahaan dalam menjaga kepentingan pasar dan keberlanjutan produksi saja,” katanya.

Anton melanjutkan, Koalisi Masyarakat Sipil Kalbar juga mengingatkan komponen masyarakat yang selama ini mendukung seluruh komitmen perbaikan APP untuk menghentikan dukungan tersebut. Menurut Anton, harus ada sikap lebih kritis dan objektif dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat dan kelestarian lingkungan hidup. “Tindakan brutal yang dilakukan aparat keamanan PT. WKS terhadap kaum tani di Jambi, bukan tidak mungkin terjadi juga di berbagai wilayah Indonesia melalui sejumlah anak perusahaan APP lainnya. Termasuk, di Kalimantan Barat.”

Martin Gilang, Direktur Pontianak Institute, mengingatkan Pemerintah Daerah Kalimantan Barat untuk mencegah potensi dan kejadian seperti ini terjadi di Kalimantan Barat. “Pemerintah daerah dan Kepolisian Daerah Kalimantan Barat harus berada di depan dalam mencegah konflik dan penegakkan hukum terhadap praktik perusahaan yang melanggar hukum dan semena-mena di lapangan,” ujarnya.

Pemerintah Kalimantan Barat, kata Martin, harus menjunjung tinggi penghormatan atas hak-hak hidup masyarakat di sekitar area investasi. Sehingga, potensi dan kejadian seperti ini tidak terulang lagi. “Kejadian buruk ini harus menjadi catatan bagi pemerintahan Jokowi dan Gubernur Cornelis, dalam memperbaiki carut marut pengelolaan sumber daya alam, khususnya di Kalimantan Barat,” tegas Martin.


Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Barat Kecam Pembunuhan Anggota Serikat Petani Tebo Jambi was first posted on March 4, 2015 at 2:39 am.

Tiyaitiki, Kearifan Lokal Masyarakat Teluk Tanah Merah Jayapura Lestarikan Sumberdaya Laut

$
0
0

Masyarakat pesisir, khususnya nelayan biasanya menggunakan pengetahuan tradisional sebagai panduan dalam kegiatan mereka di laut. Dari pengalaman turun temurun mereka telah dapat mempertimbangkan keadaan iklim, arus, migrasi burung-burung untuk menentukan tempat-tempat penangkapan ikan dan biota laut lainnya. Salah satu contoh pranata sosial dilakukan oleh masyarakat Teluk Tanah Merah, Depapre, Jayapura, Papua adalah tiyaitiki.

Tiyaitiki adalah pengetahuan mengatur, mengelola, memanfaatkan dan melestarikan sumber daya laut dan pesisir dalam konteks lokal. Hal tersebut diungkapkan Puguh Sujarta dalam disertasinya berjudul “Sistem Konservasi Titaitiki Dengan Pendekatan Biologi di Perairan Teluk Tanah Merah, Depapre, Jayapura”.

Nelayan di Desa Les, kini tak lagi menggunakan peledak. Foto: Wisuda

Nelayan di Desa Les, kini tak lagi menggunakan peledak. Foto: Wisuda

”Penelitian ini mengkaji tentang pengetahuan tiyaitiki sebagai kearifan lokal dan kaidah sistem konservasi pada umumnya serta mengkaji peran serta masyarakat sekitar perairan Teluk Tanah Merah Depapre Jayapura dalam penerapan sistem konservasi tiyaitiki,” kata Puguh dalam ujian terbuka desertasi untuk meraih gelar doktornya di Fakultas Biologi Universitas Gajah Mada Yogyakarta pada Sabtu (28/02/ 2015) di UGM, Yogyakarta.

Puguh mengatakan peran serta masyarakat di sekitar teluk cukup besar dalam pelaksanakan sistem konservasi tiyaitiki berdasarkan persepsi masyarakat terhadap konsep alam. Pertama, didasarkan atas konsep dasar mengenai pandangan masyarakat tentang alam yang disimbolkan sebagai seorang ibu, sumberdaya sebagai air susu ibu atau diibaratkan sebagai mama atau perempuan. Kedua, adanya praktek hak ulayat laut yang dilakukan oleh masyarakat tersebut memiliki fungsi sosial berkaitan dengan aspek solidaritas sosial antarwarga.

”Hasil survei terhadap distribusi ekosistem terumbu karang di kawasan perairan Teluk Tanah Merah Depapre menunjukkan merata sepanjang pesisir pantai dalam kondisi masih baik maupun yang rusak,” kata Puguh yang juga dosen Jurusan Biologi FMIPA Universitas Cenderawasih, Papua.

Dalam penelitian Puguh dipaparkan, tiyaitiki adalah suatu pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat adat sebagai suatu sistem konservasi yang berbasis kearifan lokal. Hal ini dapat diartikan bahwa tiyaitiki adalah suatu pengetahuan, namun secara tidak sadar yang dilakukan oleh Masyarakat Adat Suku Tepra.

Tiyaitiki merupakan suatu ilmu karena kearifan lokal ini sesuai peraturan perundang-undangan dan sesuai hasil kajian pendekatan biologi yang dikatakan bahwa kualitas perairan masih baik. Kedua alasan tersebut dapat dikatakan bahwa tiyaitiki sebagai ilmu pengetahuan. Selain hal itu, dalam pelaksanaan tiyaitiki juga menggunakan teknologi dalam pengelolaan sumberdaya alam. Salah satu contoh penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan.

“Tiyaitiki selain sebagai ilmu pengetahuan juga mencirikan suatu teknologi sehingga kearifan lokal tiyaitiki dapat dikatakan sebagai Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (iptek),” kata Puguh.

Di akhir paparan dia berharap sebagai sebuah iptek, kearifan lokal tiyaitiki perlu dikembangkan dan dilestarikan untuk menjadi sebuah aturan tertulis dalam pengelolaan sumberdaya alam. Dalam hal ini upaya penguatan tiyaitiki mempunyai aturan tertulis menjadi sebuah prosedur operasional standar.

“Dengan adanya prosedur operasional standar kearifan lokal tiyaitiki dapat dipertahankan keberadaannya dan diterapkan di wilayah perairan yang lain,” jelas Puguh.


Tiyaitiki, Kearifan Lokal Masyarakat Teluk Tanah Merah Jayapura Lestarikan Sumberdaya Laut was first posted on March 4, 2015 at 3:03 am.

Moratorium Izin Tambang di Kalimantan Timur akan Ditegaskan Melalui Peraturan Gubernur

$
0
0

Kawasan hutan di Kalimantan Timur yang tergerus tambang batubara. Foto: Hendar

Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak pada 25 Januari 2013 telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 180/1375-HK/2013 yang ditujukan kepada bupati dan walikota se-Kalimantan Timur untuk melakukan moratorium izin pertambangan, perkebunan, dan kehutanan.

Melalui surat tersebut, Awang, meminta bupati dan walikota untuk tidak mengeluarkan izin baru, melakukan evaluasi perizinan, dan memberikan laporan yang jarak waktunya tidak lama. Menurut Awang, luas wilayah yang dialokasikan untuk pertambangan, perkebunan dan industri kehutanan di Kalimantan Timur sudah sangat luas dan menimbulkan dampak buruk yang menganggu keseimbangan lingkungan dan kenyamanan warga.

“Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur berinisiatif meningkatkan surat edaran tersebut menjadi peraturan gubernur,” ujar Awang di Samarinda, Senin (16/2/2015).

Menurutnya, keseluruhan lahan yang dipakai oleh berbagai perizinan mencapai 13 juta hektar lebih. Sementara, dari luasan izin usaha pertambangan (IUP) batubara dan Perjanjian Kontrak Penambangan Batubara (PKP2B) di Kalimantan Timur sekitar 50 persen atau 1,9 juta hektar berada di kawasan hutan.

“Saya tahu ada bupati yang tidak suka dengan surat edaran yang saya keluarkan. Saya juga tidak ragu soal peningkatan status surat tersebut menjadi peraturan gubernur. Kebijakan ini merupakan langkah nyata Kalimantan Timur dalam program nasional pengurangan emisi gas karbon hingga 26 persen,” tuturnya.

Tanggapan

Haris Retno, akademisi dari Universitas Mulawarman memberikan sejumlah catatan terhadap peraturan gubernur yang sudah ada draf rancangannya itu. Menurutnya, dibanding dengan surat edaran, draf rancangan tersebut terlihat mengalami kemunduran. Terutama, dengan tidak dicantumkannya evaluasi atas izin yang telah diberikan. Peraturan ini apabila disahkan menjadi tidak kuat karena berisi banyak pengecualian.

“Evaluasi, review atau audit atas izin-izin, penting untuk dilakukan karena banyak yang tidak beres. Aspek masyarakat juga harus diakomodir dalam draf rancangan peraturan gubernur ini,” ujar Retno di Samarinda, Minggu (1/3/2015).

Margaretha Seting dari Aman Kaltim, menyatakan pengecualian bisa dilakukan untuk ruang kelola rakyat. Izin tetap bisa diberikan terhadap hutan rakyat, hutan kemasyarakatan, hutan adat, hutan desa, dan hutan tanaman rakyat. “Hak-hak masyarakat untuk turut mengelola sumber daya alam selama ini belum diberikan,” ujar Margaretha.

Pernyataan ini didukung oleh Mukti Ali dari Kawal Borneo Community Foundation (KBCF) yang menyebutkan bahwa industri kehutanan sudah banyak mencaplok ruang kelola masyarakat dan banyak menimbulkan konflik. “Istilah rehabilitasi diganti dengan restorasi agar sesuai dengan nomenklatur di kehutanan yaitu restorasi ekosistem,” usul Mukti.

Menurut Mukti, sejumlah masukan kritis ini nantinya akan disusun dalam sebuah dokumen yang akan diserahkan ke Biro Ekonomi Provinsi Kalimantan Timur yang bertanggung jawab atas penyusunan peraturan gubernur tentang moratorium pertambangan, perkebunan dan, kehutanan tersebut.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio


Moratorium Izin Tambang di Kalimantan Timur akan Ditegaskan Melalui Peraturan Gubernur was first posted on March 4, 2015 at 5:33 am.

Inilah Restorasi Jitu Ekosistem Pesisir Utara Jawa. Seperti Apakah?

$
0
0

Dewasa ini, pesisir utara Jawa mengalami penurunan tanah dan erosi yang sangat parah, bahkan mencapai mencapai 3km dari bibir pantai. Hal itu menyebabkan bencana sering mengintai warga pesisir utara Jawa, seperti banjir rob kala air laut pasang.  Akibatnya, lebih dari 30 juta orang di 3.000 desa beresiko kehilangan tempat tinggal dan lahan penghidupan.

Beberapa penyebabnya seperti hilangnya sabuk hijau mangrove, pembangunan infrastruktur yang tak memperhatikan aspek lingkungan, pengambilan air tanah dan budidaya perikanan yang tidak berkelanjutan.

Dampak banjir rob di Desa-Timbul-Seloko, Demak, Jateng karena kerusakan pesisir pantai utara Jawa. Foto : Een Irawan/Rekam Nusantara

Dampak banjir rob di Desa Timbul Seloko, Demak, Jateng karena kerusakan pesisir pantai utara Jawa. Foto : Een Irawan/Rekam Nusantara

Oleh karena itu Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bekerja sama dengan Konsorsium Echosape, Deltares, Imares, Wetlands International, WUR, Witteveen Boss, Kementerian PU dan Perumahan Rakyat, UNDIP dan UNESCO-IHE meluncurkan program “Membangun Bersama Alam”.

Femke Tonneijck, Manajer Program Pesisir Wetlands International di Kantor KKP, Jakarta, pada Selasa (03/03/2015) mengatakan melalui program tersebut masyarakat diperkenalkan solusi baru untuk menjadi pendekatan dalam kegiatan restorasi ekosistem mangrove dan pesisir utara Jawa.

“Kami mengkombinasikan solusi hijau berbasis alam seperti restorasi mangrove dengan teknik rekayasa keras seperti bendungan dan dinding laut. Dengan cara itu, kami lebih memanfaatkan kekuatan jasa alam daripada melawannya” ujarnya.

Dengan cara itu, kekuatan alam dimanfaatkan untuk membangun garis pantai bakau stabil, sehingga mengurangi risiko banjir, erosi dan intrusi air asin serta dapat beradaptasi dengan kenaikan permukaan air laut. Berbeda dengan pembangunan bendungan dan dinding laut berbiaya mahal, yang justru memperparah erosi dan tidak mampu beradaptasi dengan perubahan iklim.

Konstruksi bendungan permeable untuk restorasi pesisir pantai utara Jawas di Desa Timbul Sloko, Demak, Jateng. Foto : Een Irawan/Rekam Nusantara

Konstruksi bendungan permeable untuk restorasi pesisir pantai utara Jawas di Desa Timbul Sloko, Demak, Jateng. Foto : Een Irawan/Rekam Nusantara

Program dengan bantuan dana 5 juta euro berbentuk skema public private partnership dari pemerintah Belanda, akan dijalankan selama lima tahun ke depan,  dan dimulai dari Kabupaten Demak, Jawa tengah. Demak dipilih karena intrusi 6 km air laut menyebabkan banjir rob yang menenggelamkan 14.700 hektare lahan dan 6 ribu hektare kolam budidaya perikanan juga terendam dan berdampak bagi 70 ribu orang.

Program “Membangun Bersama Alam” yang merupakan program kelanjutan Wetland International itu, telah dipromosikan  dalam konferensi ke-3 PBB tentang pengurangan resiko bencana di Sendai Jepang pada Maret2014.

“Dulu nama programnya Mangrove Capital. Di program tersebut ada beberapa komponen terdiri dari sisi kebijakan, riset dan fisik. Intinya kita ingin mempromosikan bahwa mangrove itu bisa menjadi pelindung pantai,” kata Apri Susanto, Technical Officer Coastal Safety Wetland Indonesia.

Program ini merupakan implementasi hasil riset Wetland Indonesia tentang nilai penting mangrove terhadap biologi dan ekonomi, serta kajian kebijakan lokal dan nasional terkait mangrove.  ”Kita lihat apa yang sudah pada tempatnya dan yang belum kita coba kasih masukan,” katanya.

Program diawali pada akhir 2013, dengan proyek percontohan membangun bendungan permeable yaitu membangun konstruksi untuk meredam gelombang ombak, dengan tujuan menampung sedimen pada daerah yang sudah terkena erosi.  Dia mengatakan pembangunan bendungan percontohan itu dilakukan KKP berkoordinasi dengan pemda dan masyarakat, dengan fasilitasi dan desain dari Wetland.

Di lokasi proyek percontohan di Desa Timbul Sloko, Demak, dibangun dua bendungan, dengan hasil tumpukan sedimen bertambah 40 cm sampai akhir 2014.  Sehingga butuh 3 tahun untuk mencapai ketinggian sedimen ideal yaitu satu meter. Proses ini lebih cepat dua tahun dibandingkan di Belanda, karena kondisi perairan di utara Jawa lebih dinamis.

“Kita pasang kayu dua baris di tengahnya diisi serasah. Harapannya sedimen dibawa oleh pasang surut. Pada saat air kembali, sedimen terperangkap. Sedimen akan dibiarkan mengendap selama satu sampai tiga tahun hingga mangrove tumbuh secara alami,” kata Apri.

Wetland tidak menganjurkan penanaman bibit mangrove, dan membiarkan proses terjadi alami dari bibit yang terdampar. “Saat ini mangrove yang tumbuh ketinggiannya  baru mencapai sekitar 15 cm,” katanya.

Apri mengatakan jika mangrove sudah tumbuh secara alami, otomatis mangrove itu yang akan memberikan fungsi perlindungan kepada pantai. Pada akhirnya struktur bendungan permeable sudah tidak diperlukan dan tergantikan oleh mangrove.

Meski berhasil, kekuatan struktur bendungan permeable berkurang karena beberapa hal seperti faktor alam, gangguan organisme atau biota laut. “Hingga saat musim ombak besar, bendungan rusak. Kami sedang mencari solusi untuk mencoba mengganti struktur materialnya. Kalau dari segi tujuan memperangkap sedimen sudah tampak berhasil,” paparnya.

Perempuan di Desa Timbul Seloko, Demak, Jateng membantu proyek bendungan permeable Foto : Een Irawan/Rekam Nusantara

Perempuan di Desa Timbul Seloko, Demak, Jateng membantu proyek bendungan permeable Foto : Een Irawan/Rekam Nusantara

Melihat keberhasilan proyek percontohan itu, Wetland Indonesia mengajukan proposal program “Membangun Bersama Alam” dengan skala yang diperluas menjadi satu kabupaten Demak kepada pemerintah Belanda melalui kementerian dalam negeri.

Selain menyiapkan restorasi ekosistem mangrove, Wetland Indonesia juga membantu revitalisasi tambak milik masyarakat yang terlantar, dengan memperkenalkan pertanian lestari dan mendukung diversifikasi mata pencaharian warga. Ini akan mengawali transisi dari model konservasi mangrove menuju model ekonomi berbasis mangrove.

“Kita ada kombinasi. Fisik bendungan permeable untuk perlindungan pantai dan restorasi mangrove. Kita juga kembangkan dengan peningkatan kapasitas masyarakat di budiaya tambaknya. Permodalan, perbaikan tambak masih kita formulasikan,” ujarnya.

Sejauh ini, respon masyarakat jika dilihat dari program sebelumnya cukup positif. Mereka terlibat aktif menjaga dan memelihara bendungan. “Di desa Timbul Sloko ada peraturan desa untuk pengelolaan desa secara berkelanjutan. Ada larangan menebang mangrove, menangkap ikan dengan alat yang tidak ramah lingkungan juga memproteksi wilayah pilot project,” katanya.

Ia berharap, metode restorasi ekosistem mangrove  tersebut bisa menjadi opsi baru untuk para pemangku kebijakan di wilayah pesisir. Terutama dalam kasus penanganan wilayah yang terdampak erosi. “Kami juga berharap direplikasi di daerah lain,”pungkasnya.

Gerakan Cinta Laut

KKP menyambut baik program tersebut dan berharap diapat dilakukan di pesisir pantai di seluruh Indonesia. “Presiden sudah menegaskan bahwa laut adalah masa depan kita. Satu kalimat pendek tapi sangat dalam maknanya. Laut harus dijaga untuk generasi ke depannya,” kata Sekjen KKP, Sjarief Widjaja.

Ia menekankan perlunya membangun gerakan bersama untuk turut mencintai laut,  menjaga pesisir pantai yang sehat, baik untuk  hidup. Sehingga benih ikan, kepiting, lobster dan lainnya bisa hidup dengan sehat dan menjamin kehidupan di masa yang akan datang.

“Kita menyadari sebagian laut kita sudah terdegradasi,” ujarnya.Pesisir pantai utara pulau jawa terdiri dari lima provinsi dan 33 kabupaten kota dengan panjang 1.016.687 km. 50 persen lebih pesisir utara Jawa sudah mengalami degradasi sehingga tidak mampu menopang untuk generasi mendatang.

KKP tidak bisa sendiri dalam merestorasi ekosistem mangrove di pesisir utara Jawa, sehingga program bersama itu bisa menjadi model pembangunan pesisir di masa yang akan datang.

“Ini bukan hanya persoalan satu bangsa tapi persoalan dunia. Sehingga tentu saja Belanda dan Indonesia punya kesamaan. Punya pantai dan laut. Mereka juga punya pengalaman yang luar biasa dalam merehabilitasi kawasan pesisirnya,” paparnya.

Sedangkan Bupati Demak Moh. Dachirin Said mengapresiasi kerjasama dan sangat bersyukur serta berterimakasih atas inisiatif untuk merestorasi ekosistem mangrove di pesisir pantai Demak.

“Memang di Demak ini kita punya pantai yang terkena abrasi. Kita sangat mendorong upaya dari KPP dan pemerintah Belanda ini. Karena kita untuk melakukan upaya perbaikan sendiri juga terkendala keterbatasan APBD. Bantuan  ini sangat membantu,” katanya.

Ia mengatakan, tingkat kerusakan pesisir pantai Demak karena abrasi  sangat parah. Sehingga perlu ada perhatian yang lebih. “Kegiatan ada seperti pembuatan bendungan membuat masyatakat tergugah untuk menanam mangrove.  Saya berharap ini segera digulirkan, saya akan mewajibkan kepada masyarakat untuk menerima program ini. Kemudian juga masyarakat harus melestarikan dan merawat sehingga ada match. Akan bisa menumbuhkan kesadaran masyarakat.Harus kita tuntaskan. Jangan sampai terputus,” tandasnya.

 


Inilah Restorasi Jitu Ekosistem Pesisir Utara Jawa. Seperti Apakah? was first posted on March 4, 2015 at 5:55 am.
Viewing all 9448 articles
Browse latest View live