Quantcast
Channel: Mongabay.co.id
Viewing all 9435 articles
Browse latest View live

Sudahlah Putusan MA Mandul, Malah Keluar Izin Pabrik Sawit di Register 40

$
0
0
Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sumut, Chandra  Purnama (baju dinas coklat) menyatakan, Kejaksaan akan mengusut kasus ini dan menegaskan  tidak boleh ada aktivitas di Register 40. Foto: Ayat S Karokaro

Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sumut, Chandra Purnama (baju dinas coklat) menyatakan, Kejaksaan akan mengusut kasus ini dan menegaskan tidak boleh ada aktivitas di Register 40. Foto: Ayat S Karokaro

Mengerikan! Itulah kalimat yang keluar dari ratusan mahasiswa tergabung dalam Ikatan Mahasiwa Padang Lawas Utara (Ima-Paluta), kala unjukrasa di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, Kamis (5/3/15). Mereka menolak perusakan hutan Register 40 dan pendirian pabrik sawit oleh PT Torus Ganda (Torganda) dan Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan, milik  Darius Lungguk Sitorus.

Mereka datang menggunakan sepeda motor. Menurut mereka, putusan MA Nomor 2642.K/Pid/2006 tertanggal 12 Februari 2007, memutuskan DL Sitorus terbukti bersalah merambah kawasan hutan Register 40.  Putusan juga memerintahkan JPU Kejati Sumut eksekusi lapangan.

Putusan MA sudah delapan tahun berlalu, tetapi eksekusi lapangan tak juga berjalan. Bahkan, dua perusahaan Sitorus malah mengantongi izin membangun pabrik sawit, di Register 40, Padang Lawas Utara.

“Kejaksaan tidak mentaati putusan MA. Mengerikan lagi, masih di Register 40 malah diberikan izin pendirian pabrik sawit. Ini sangat mengerikan,”  kata Zulfian, Ketua Ima-Paluta.

Dia mengatakan, berdasarkan data, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Padang Lawas Utara, mengeluarkan rekomendasi pendirian pabrik sawit di Register 40, dengan surat Nomor 522/241/HB/2012, tertanggal 25 Juni 2012.

Atas rekomendasi itu, Bupati, mengeluarkan keputusan 503/219.A/K/2012/ tentang izin lokasi pembangunan pabrik sawit PT Torganda Bukit Harapan I. Lalu, mengeluarkan surat kedua soal lokasi pendirian pabrik di Regiter 40.

“Pemberian izin ini mengangkangi putusan MA. Izin itu kepada perusahaan DL Sitorus yang dipidana perambahan hutan Register 40. Mau diapakan negeri ini kawan?”

Para mahasiswa ini, mendesak Kejati Sumut, mengusut tuntas semua pihak terkait di kabupaten itu, yang memberikan izin pendirian pabrik sawit.

Kepada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Padang Lawas Utara, mereka mendesak perlu pemeriksaan mendalam terkait pemberian rekomendasi pabrik sawit. Zulfian menduga, ada indikasi pemberian upeti kala pengeluaran rekomendasi.

Chandra Purnama, Kelapa Seksi Penerangan Hukum Kejati Sumut, menyatakan, akan mempelajari berkas para mahasiswa dan membahas bersama Kajati Sumut serta tim penyidik pidana khusus.

“Kami minta data tambahan agar lebih lengkap. Ini akan bahas di internal kejaksaan. Yang jelas, khusus Register 40 dengan terpidana Sitorus, segera eksekusi lapangan. Tidak boleh ada kegiatan apapun, itu melanggar UU Kehutanan.”


Sudahlah Putusan MA Mandul, Malah Keluar Izin Pabrik Sawit di Register 40 was first posted on March 8, 2015 at 6:54 pm.

Kala Mawar Merah Bawa Pesan dari Perempuan dan Alam

$
0
0
Aksi bagi-bagi mawar merah yang membawa pesan khusus  yang diadakan Walhi dan KPA di Bundaran HI guna memperingati Hari Perempuan Internasional. Foto: Walhi

Aksi bagi-bagi mawar merah yang membawa pesan khusus yang diadakan Walhi dan KPA di Bundaran HI guna memperingati Hari Perempuan Internasional. Foto: Walhi

“Mari selamatkan Ibu Bumi #Demi Rembang #IWD2015. Perempuan butuh pangan, bukan sawit atau batubara #TanahuntukRakyat . Meski dikriminalisasi dan mengalami tindak kekerasan, perempuan tak pernah menyerah demi tanah airnya.  Krisis air membuat beban perempuan semakin berlapis #airuntuksemua. Kami butuh lingkungan hidup yang sehat, bukan paparan racun industri #IWD2015.”

Begitulah pesan tertera pada mawar merah yang dibagikan kepada para perempuan di sekitaran Bundaran Hotel Indonesia Jakarta, saat Car Free Day, Minggu pagi (8/3/15). Ya, di Hari Perempuan Internasional ini, Walhi dan Konsorsium Pembaruan Agraria mengadakan aksi bagi-bagi bunga. Lalu, warga  juga menuliskan harapan-harapan mereka di pohon kehidupan. Tampak warga begitu antusias melihat aksi ini.

Kegiatan ini tambah bermakna kala menampilkan lukisan Andreas Iswinarto, bertema solidaritas bagi ibu-ibu Rembang. Kini, Iswinarto juga pameran online dengan tema serupa di Galeri Lentera Pembebasan.

Di hari ini, Walhi dan KPA menyuarakan, bahwa masih begitu banyak perempuan menderita karena sumber-sumber kehidupan mereka, berupa lahan, sumber daya alam dan lingkungan sehat terampas. Salah satu, ibu-ibu di Rembang, Jawa Tengah, yang mempertahankan kawasan karst agar tak terjarah tambang dan pabrik semen. Hampir 300 hari para ibu protes dengan aksi tenda.

“Negara seakan tak ada, ibu-ibu dihadapkan pada kekuatan besar bernama korporasi yang memiliki sumber daya begitu melimpah, termasuk mendatangkan aparat keamanan menghadapi perjuangan ibu-ibu Rembang,” kata Khalisah Khalid, dari Walhi Nasional dalam pernyataan tertulis bersama KPA.

Rembang, katanya, mewakili bagaimana kekuatan perusahaan dan negara yang lemah. Sisi lain, para perempuan gigih bersama komunitas berjuang mempertahankan tanah air.

Menurut dia, keadaan perempuan kini, tidak bisa lepas dari sistem ekonomi dan politik yang menempatkan kekayaan alam sebagai komoditas dan dijalankan dengan pembangunan berisiko tinggi. Di mana, industri ekstraktif rakus tanah dan air seperti tambang, perkebunan skala besar serta pembangunan infrastruktur besar jadi andalan.

Sistem ekonomi politik yang keliru ini, katanya, tak pernah dikoreksi, hingga berbuah konflik agraria, sampai bencana ekologis. Warga terpaksa menjadi pengungsi, mengalami kekerasan berujung kematian dan kriminalisasi. “Lapis-lapis kekerasan dialami perempuan akibat sistem ekonomi politik berwatak patriaki dan melanggengkan ketidakadilan gender.”

Aksi Walhi dan KPA di Hari Perempuan Internasional mengingatkan kembali masih begitu banyak perampasan sumber kehidupan dan lingkungan sehat perempuan. Foto: Walhi

Aksi Walhi dan KPA di Hari Perempuan Internasional mengingatkan kembali masih begitu banyak perampasan sumber kehidupan dan lingkungan sehat perempuan. Foto: Walhi

Kala sumber kehidupan hilang, perempuan harus beralih mata pencarian, seperti menjadi buruh kebun, tambang yang berisiko tinggi bagi kesehatan mereka. Ada juga memilih menjadi buruh migran di luar negeri tanpa perlindungan negara.

Untuk itu, Walhi dan KPA menyerukan beberapa hal. Pertama, pemerintah merevisi berbagai kebijakan ekonomi politik dan perundang-undangan berwatak patriarki. Yang menempatkan industri ekstraktif seperti pertambangan, perkebunan sawit, hutan tanaman industri (HTI) dan pembangunan infrastruktur skala massif sebagai tulang punggung pertumbuhan ekonomi Indonesia. “Ini berujung pada kemiskinan struktural perempuan.”

Kedua, medesak pemerintah menjalankan reforma agraria sebagai jalan membenahi carut-marut penguasaan dan pengelolaan sumberdaya alam. Lalu, penataan struktur agraria berkeadilan, termasuk memberikan keadilan bagi perempuan, melalui land reform dan penyelesaian konflik lewat Badan Penyelesaian Konflik Agraria.

Ketiga, memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap inisiatif dan peran perempuan beserta komunitas dalam mengelola lingkungan hidup dan sumber-sumber agraria. Keempat, menghentikan berbagai tindak kekerasan dan kriminalisasi perempuan yang memperjuangkan penyelamatan lingkungan hidup dan reforma agraria.

Kelima, mendorong partisipasi politik perempuan guna memperkuat keterlibatan perempuan   sebagai pengambil kebijakan. Juga mengakui dan   memajukan pengetahuan serta pengalaman perempuan dalam mengelola lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan.

“Kami juga menyerukan perluasan dan penguatan solidaritas antara sesama komunitas dan individu-individu. Karena perjuangan keadilan gender dalam perlindungan lingkungan hidup dan pengelolaan sumber-sumber agraria memerlukan dukungan semua elemen.”

 


Kala Mawar Merah Bawa Pesan dari Perempuan dan Alam was first posted on March 8, 2015 at 9:37 pm.

Warga Gugat Bupati Pati Terkait Izin Penambangan Semen. Kenapa?

$
0
0

Ratusan warga dari empat desa yakni Larangan, Mojomulyo, Karangawen dan Tambakrono, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, pada Rabu (04/03/2015) mengantar lima warga dari dua Kecamatan Kayen dan Kecamatan Tambakromo ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang yang menggugat surat keputusan Bupati Pati nomor 660.1/4767 tentang izin lingkungan pembangunan pabrik semen dan penambangan batu gamping dan batu lempung di Kabupaten Pati oleh PT. Sahabat Mulia Saksi (SMS).

Warga membawa spanduk diantaranya bertuliskan “batalkan izin lingkungan PT SMS dan tolak pabrik semen”. Mereka juga membawa hasil pertanian seperti jagung, padi dan singkong, serta melakukan orasi damai dan menggelar teatrikal.

“Aksi ini terpaksa kami lakukan, karena sejak tahun 2010 upaya kami untuk bertemu Bupati Pati dan menyampaikan penolakan pendirian pabrik semen tidak pernah bisa,” kata Gunretno, koordinator aksi tersebut.

Koordinator aksi, Gunretno bersama dengan ratusan Warga Pati yang menggugat Surat Keputusan Bupati Pati yang memberikan izin pertambangan dan pabrik semen di PTUN Semarang. Foto : Tommy Apriando

Koordinator aksi, Gunretno bersama dengan ratusan Warga Pati yang menggugat Surat Keputusan Bupati Pati yang memberikan izin pertambangan dan pabrik semen di PTUN Semarang. Foto : Tommy Apriando

Selama ini warga di Pati Selatan berharap kebijakan yang membawa kebajikan bagi rakyat kawasan Kendeng Utara. Bupati Pati, Haryanto, telah mengeluarkan surat ijin lingkungan pada tanggal 8 Desember 2014 nomor 660.1/4767 tahun 2014, walaupun banyak persoalan di sekitarnya.

“Pemerintah tidak menghitung ribuan warga yang melakukan aksi unjuk rasa pada sidang Amdal tanggal 3 September 2014 di Hotel Pati sebagai suara rakyat Kendeng yang menolak rencana pendirian pabrik semen di wilayahnya,” kata Gunretno.

Selain itu menurutnya, warga yang menggelar aksi bukan asal berteriak, tetapi memiliki dasar kuat bahwa kehidupan normal mereka akan terpengaruh sangat besar dengan keberadaan pabrik semen. Keharmonisan masyarakat rusak karena adanya warga pro dan kontra pembangunan pabrik semen. Keputusan yang dikeluarkan Bupati Pati jelas tidak sejalan dengan pemerintahan Joko widodo dan Jusuf Kalla yang ingin menjadikan pertanian sebagai industri strategis untuk pembangunan Indonesia.

“Ketika Jokowi serang memperkuat pengelolaan pertanian, lahan subur penghasil tanaman pangan di Pati Selatan malah ingin diubah menjadi pabrik semen oleh Bupati Pati,” tambahnya.

Gunretno menjelaskan, perlu diketahui, lahan seluas 180 hektar untuk tapak pabrik adalah lahan produktif milik warga empat desa yaitu Larangan, Mojomulyo, Karangawen dan Tambakromo. Rencana penambangan batu kapur adalah lahan milik Perhutani yang selama ini digarap masyarakat untuk sandaran hidup mereka.

Perubahan Perda Tata Ruang Wilayah yang berakhir pada tahun 2007 oleh Pemkab Peti merupakan preseden buruk, karena wilayah Kecamatan Sukolilo, Kayen dan Tambakromo sebagai kawasan pertanian, diubah menjadi kawasan pertambangan dan industri.

Meski bakal lokasi tambang tidak masuk kawasan bentang alam kars (KBAK) Sukolilo, tetapi wilayah itu memiliki ciri-ciri dan sifat bebatuan penyusun yang sama dengan kawasan yang telah di tetapkan menjadi kawasan karst Sukolilo.

“Perlu dilakukan pengkajian ulang apakah benar calon lokasi batu gamping tersebut tidak merupakan bentang alam karst. Kami JM-PPK (Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng) menolak terbitnya izin lingkungan karena hanya mempertimbangan syarat administrasi tanpa mempertimbangkan kondisi lingkungan dan aspirasi masyarakat,” kata Gunretno.

Zainal Arifin dari LBH Semarang sebagai kuasa hukum Warga Pati, mengajukan gugatan ke PTUN Semarang terhdap Surat Keputusan Bupati Pati yang memberikan izin pertambangan dan pabrik semen. Foto : Tommy Apriando

Zainal Arifin dari LBH Semarang sebagai kuasa hukum Warga Pati, mengajukan gugatan ke PTUN Semarang terhdap Surat Keputusan Bupati Pati yang memberikan izin pertambangan dan pabrik semen. Foto : Tommy Apriando

Sementara itu, Zainal Arifin selaku kuasa hukum warga dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang mengatakan, terkait gugatan warga sudah diterima panitera PTUN Semarang dengan nomor register perkara 015/G/2015/PTUN SMG.

“Perjuangan dan proses gugatan di PTUN masih panjang. Jika berani gugat,  harus siap berjuang dan mengawal proses PTUN sampai selesai,” kata Zainal kepada warga. “Siap!,” jawab warga serentak.

Dalam berkas gugatan, para penggugat mengajukan alasan karena keputusan  Bupati Pati bertentangan dengan Undang-undang No.26/2007 tentang Penataan Ruang, Peraturan Pemerintah No.26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Keputusan Menteri ESDM No. 0398 K/40/MEM/2005 tentang Penetapan Kawasan Karst Sukolilo dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.16/2012 tentang Pedoman Penyusunan Dokumen Lingkungan Hidup dan bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Selain itu, keputusan Bupati Pati terdapat kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan atau pemalsuan data, dokumen dan atau informasi seperti fakta sebaran lokasi gua di lapangan. Berdasarkan penelitian JMPPK bersama Acintyacunyata Speleogical Club (ASC) Yogyakarta ditemukan 30 gua, 110 mata air dan 9 ponor, sementara dalam Amdal perusahaan hanya menyebutkan 10 gua, 29 mata air dan 3 ponor.

Dalam pokok perkara, warga memohon agar majelis hakim mengabulkan gugatan para penggugat, menyatakan batal dan tidak sah surat keputusan Bupati Pati nomor 660.1/4767 tahun 2014, mewajibkan tergugat mencabut surat keputusan Bupati Pati dan menghukum tergugat untuk membayar biaya yang timbul karena perkara ini.

“Dalam penundaan, warga memohon majelis hakim terkait surat keputusan Bupati pati untuk ditangguhkan/ditunda pelaksanaanya sampai adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,” tertulis dalam gugatan.


Warga Gugat Bupati Pati Terkait Izin Penambangan Semen. Kenapa? was first posted on March 9, 2015 at 2:04 am.

Si Burung Cantik yang Terus Diburu…

$
0
0
Kakatua maluku (Cacatua moluccensis), memiliki ciri jambul berwarna oranye di kepala. Foto: Thomas Arndt

Kakatua maluku (Cacatua moluccensis), spesies endemik wilayah Maluku yang semakin langka. Memiliki ciri bulu putih bersemburat merah muda. Foto: Thomas Arndt/ Burung Indonesia

Indonesia memiliki tujuh jenis kakatua yang memiliki karakter serta keunikan tersendiri. Sayangnya, semua jenis tersebut diburu untuk diperdagangkan. Tak terkecuali kakatua maluku.

Kakatua maluku (Cacatua moluccensis) merupakan jenis kakatua berukuran besar, sekitar 46-52 cm. Bulunya didominasi warna putih bersemu merah jambu. Jambulnya berwarna salem (merah kejinggaan), panjang, dan melengkung ke belakang. Sementara bagian bawah sayap dan ekornya jingga kekuningan. Paruhnya berwarna hitam keabu-abuan dan memiliki lingkar mata putih kebiruan.

Seperti namanya, kakatua maluku endemis Pulau Seram, Ambon, Saparua dan Haruku di Maluku. Namun, sebagian besar populasinya kini hanya tersisa di Seram. Di Ambon kakatua ini hanya tersisa di satu lokasi, sementara di Saparua dan Haruku tidak ditemukan lagi. Taman Nasional Manusela di Seram menjadi salah tempat hidup spesies kakatua ini.

“Sayangnya, kakatua maluku masih menjadi sasaran perburuan dan perdagangan,” ujar Jihad, Bird Conservation Officer Burung Indonesia. Padahal, jenis ini termasuk jenis burung yang dilindungi undang-undang berdasarkan Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1999.

 

Kakatua maluku_Thomas Arndt_2

Kakatua maluku. Foto: Thomas Arndt/ Burung Indonesia

 

Akibatnya, populasi Salmon-crested Cockatoo ini telah mengalami penurunan pesat sejak 1990-an. Penelitian yang dilakukan Margaret Kinnaird pada 1998 menunjukkan bahwa populasi kakatua maluku ketika itu sekitar tujuh ekor/km2. Sementara pada survei yang dilakukan Yan Persulessy pada 2006-2007 memperkirakan kepadatan populasinya hanya tersisa kurang dari satu ekor/km2 dengan luas habitat tersisa sekitar 11.500 km2. Karena itu, badan konservasi dunia IUCN menempatkan jenis ini dalam status Rentan (vulnerable).

Burung pemakan buah-buahan kecil, kacang-kacangan, biji-bijian maupun serangga dan larvanya ini menghuni hutan hujan dataran rendah hingga ketinggian 1.000 meter. Sebagian besar memilih hutan primer dan sekunder di bawah 180 meter, meski sebagian kecil juga ditemukan di daerah bekas tebangan hutan.

“Hal ini menggambarkan pentingnya penyelamatan hutan dataran rendah di daerah sebarannya,” tutur Jihad.

Dalam artikel kerjasama antara Mongabay-Indonesia dan Burung Indonesia bulan Maret 2015 ini, Anda bisa mengunduh kalender digital untuk gadget atau komputer anda. Silakan klik tautan ini dan simpan dalam perangkat anda.

 

 

 


Si Burung Cantik yang Terus Diburu… was first posted on March 9, 2015 at 3:52 am.

Alat Ini Mampu Hasilkan Listrik Ramah Lingkungan Untuk Gedung Tinggi. Seperti Apakah?

$
0
0

 Indonesia masih bergantung dengan bahan bakar minyak (BBM) dalam memenuhi kebutuhan energi, termasuk kebutuhan listrik sehari-hari. Penggunaan BBM untuk memproduksi listrik, membuat subsidi BBM dan pencemaran lingkungan menjadi tinggi.

Hal tersebut memprihatinkan tersebut, menginspirasi William Alex Ginardy Lie, mahasiswa tingkat akhir Jurusan Teknik Mesin Universitas Kristen Petra Surabaya, Jawa Timur untuk membuat alat yang ramah lingkungan untuk pembangkit listrik.

 

Beberapa gedung bertingkat di Surabaya yang dapat  memanfaatkan energi angin dan mikrohidro untuk sumber energi listrik  terbarukan. Foto : Petrus Riski

Beberapa gedung bertingkat di Surabaya yang dapat memanfaatkan energi angin dan mikrohidro untuk sumber energi listrik terbarukan. Foto : Petrus Riski

Melihat kebutuhan listrik yang besar dari bangunan tinggi di Surabaya termasuk gedung bertingkat di kampusnya, William memanfaatkan potensi angin yang cukup kuat diantara bangunan tinggi untuk menjadi energi penggerak air yang dapat menghasilkan energi listrik.

Aplikasi Pembangkit Listrik Mikrohidro pada gedung bertingkat karya William, memanfaatkan potensi energi angin yang sangat besar untuk memompa air dari bawah ke atas gedung. Air yang tersimpan di bagian atas gedung akan dialirkan dan menggerakkan baling-baling yang terhubung dengan dinamo, dan pada akhirnya dikonversikan menjadi energi listrik oleh sistem mikrohidro.

“Inspirasinya adalah, saya melihat kebutuhan listrik di gedung bertingkat itu sangat tinggi, dan juga di gedung UK Petra sendiri itu memiliki potensi energi angin yang besar,” katanya.

William menegaskan bahwa kebutuhan energi listrik yang cukup besar pada gedung bertingkat, akan dapat dipenuhi hanya dengan memanfaatkan energi angin yang ada di sekitar gedung.

“Sistem pembangkitan mikrohidro ini sangat menjanjikan. Jadi saya mengkombinasikan antara sistem pembangkitan listrik mikrohidro yang menggunakan air, dengan sistem pembangkitan listrik dari angin,” imbuhnya.

Dari prototipe mikrohidro miliknya, mampu menghasilkan 5 kilowatt listrik untuk 8 jam, atau mampu menyalakan lampu pada satu lantai gedung termasuk alat pendingin udara.

Kemampuan mikrohidro itu bisa ditingkatkan dengan meningkatkan pula kapasitas tempat penampungan air, serta dinamo atau turbin penggerak penghasil listrik. Energi yang dihasilkan dari aplikasi rancangannya ini menurut William murni dari alam, sehingga tidak membutuhkan biaya tinggi untuk membangkitkan mesin penghasil listrik untuk menaikkan air ke atas gedung.

“Sistem ini murni untuk penggunaan energi dari alam, jadi semua energi yang digunakan di sistem ini adalah berasal dari alam, yakni energi angin. Energi angin yang diubah menjadi energi air untuk menghasilkan listrik,” ujar mahasiswa asal Tarakan, Kalimantan Utara.

William menunjukkan prototipe pembangkit listrik  mikrohidro pada gedung bertingkat rancangannya. Foto : Petrus Riski

William menunjukkan prototipe pembangkit listrik mikrohidro pada gedung bertingkat rancangannya. Foto : Petrus Riski

William juga berharap bahwa konsep pemanfaatan energi angin dan mikrohidro pada gedung bertingkat, dapat menjadi jawaban akan kebutuhan listrik masyarakat khususnya pada gedung bertingkat.

“Saya harap alat ini dapat digunakan untuk mengurangi kebutuhan listrik di perkotaan khususnya di gedung tinggi, dan saya harap juga konsep yang saya buat ini dapat menjadi bahan penelitian lanjutan untuk aplikasi penghematan listrik pada masa depan,” tegasnya.

Pemanfaatan energi terbarukan melalui inovasi anak bangsa, katanya, harus mulai diterapkan dalam kehidupan masyarakat maupun instansi pemerintahan, sehingga ketergantungan akan bahan bakar minyak yang semakin mahal dan jumlahnya menipis dapat mulai ditinggalkan.

“Jadi saya harap gedung-gedung dapat menggunakan energi terbarukan secara lebih baik, sehingga dapat mengurangi emisi penggunaan listrik dari pembakaran energi fosil,” pungkasnya.

Kepala Hubungan Masyarakat, Universitas Kristen Petra, Jandik Luik mengatakan, temuan dan inovasi mahasiswa berkaitan dengan energi ramah lingkungan ini dipastikan akan menjadi daya dukung positif bagi kampus, yang telah mencanangkan diri memiliki visi lingkungan.

“Saya pikir ini salah satu terobosan atau inovasi yang baik dari mahasiswa, mengingat salah satu gedung baru yang sedang kami bangun itu memakai konsep penghematan energi, sehingga saya pikir apa pun inovasi dari civitas akademika yang berpotensi mendukung visi green building atau hemat energi, pasti akan kita tampung dan akan kita seleksi sesuai dengan keandalan dari karya tersebut, artinya ini membuka peluang untuk diterapkan,” tandas Jandik.


Alat Ini Mampu Hasilkan Listrik Ramah Lingkungan Untuk Gedung Tinggi. Seperti Apakah? was first posted on March 9, 2015 at 4:34 am.

Ratusan Izin Tambang di Maluku Utara Libas Wilayah Adat, Kok Bisa?

$
0
0

Muka lubang tambang dengan kedalaman 500 meter di Gunung Dunga. Lahan adat menjadi wilayah pertambangan. Foto: AMAN Maluku Utara

Izin pertambangan menjamur di berbagai daerah, tak ketinggalan di Maluku Utara. Parahnya, izin-izin ini tak mengindahkan keberadaan masyarakat adat. Tak pelak, setengah luas daratan provinsi yang menjadi pertambangan ini sebagian di wilayah masyarakat adat.

Kehidupan merekapun makin tergusur. Dari daratan, luas Malut 3.327.800 hektar (33.278 km2). Catatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Malut, lebih 2 juta hektar menjadi pertambangan dengan 335 izin. Dari situ, ada tiga perusahaan tambang memegang kontrak karya. Yakni, PT Aneka Tambang (Antam), PT Weda Bay dan PT Nusa Halmahera Mineral (NHM). Sisanya, izin usaha pertambangan oleh daerah.

Lewat izin-izin inilah, kekayaan alam seperti emas, nikel, pasir besi, dan batubara tereksploitasi. Munadi Kilkoda, Ketua BPH AMAN Malut, Kamis (5/3/15) memperkirakan, luas daratan Malut belum menjadi pertambangan tersisa 700.000 hektar. “Itupun belum dihitung izin sawit dan perluasan infrastruktur,” katanya di Ternate.

Fenomena ini, katanya, berdampak pada 54 wilayah adat menjadi pertambangan. Izin tambang tumpang tindih menjadikan masyarakat adat korban pembangunan. Dari peta partisipatif AMAN terlihat wilayah-wilayah adat di kawasan tambang. Akibatnya, masyarakat adat harus menjalani hidup tekan dan intimidasi.

Dia menilai,  pemerintah, sama sekali tidak pernah melihat masyarakat adat. “Mereka (pemerintah) tidak mau tahu dengan masyarakat adat. Masyarakat adat nanti urusan dengan CSR.  Saat ini, hampir tidak ada ruang adat tersisa, nyaris semua dikuasai pertambagan dan sawit,” katanya.

Munadi mengatakan, masyarakat adat dirayu agar menjual tanah lewat berbagai cara. Keadaan ini, sampai suatu titik menyadarkan, tidak ada lagi lahan buat mereka. Masyarakat adat, baru merasakan dampak ketika perusahaan tambang beroperasi sekian lama.

 

Limbah NHM yang mengalir ke Sungai Kobok. Sejak kehadiran tambang, hidup warga susah, tak hanya lahan jadi ‘milik’ perusahaan, lingkunganpun rusak. Foto: AMAN Malut

 

Sisi lain, upaya-upaya perlawanan mempertahankan tanah adat seringkali disikapi pemerintah daerah dengan cara-cara represif. Dia mencontohkan, 2011,  ada masyarakat adat ditangkap karena mempertahankan tanah. Tahun 2012, tujuh orang bertahan tidak mau melepas tanah jadi tersangka. Aman Malut mencatat, 2014 konflik perampasan wilayah adat 30 kasus, 24 di pertambangan. Angka ini meningkat dari 2013 dan diperkirakan terus naik tahun-tahun selanjutnya.

“Sayangnya, ketika masyarakat adat berupaya mempertahankan ruang-ruang adat, pemerintah malah mengkriminalisasi mereka. Masyarakat dituduh provokator atau menghambat pembangunan.”

Padahal, dalam proses mengeluarkan izin, pemerintah daerah tidak pernah konsultasi publik. “Tiba-tiba masyarakat adat tahu wilayah jadi tambang, setelah itu diundang menghadiri sosialisasi Amdal, dijanjikan CSR, dapat tenaga kerja. Masyarakat selalu diiming-imingi hal-hal baik.”

Proses penerbitan izin, katanya,  nampak tidak mempertimbangkan daya dukung lingkungan. “Laju kerusakan lingkungan mengakibatkan banyak hal. Misal, di Pulau Ge, Halmahera Timur, dibabat habis Antam, sekarang pulau itu botak dan berdampak pada ikan teri berkurang. Jadi, nelayan ikan teri banyak parkir.”

Di Pulau Gebe, tambang sejak 1980. Dulu, mereka mendapat fasilitas lampu gratis, air gratis, kulkas dan televisi. Pemberian fasilitas itu diduga membuat masyarakat tidak berpikir jadi nelayan atau petani. Mereka mau jadi pekerja tambang.

“Sekarang Antam keluar, masyarakat bingung mau diapakan barang-barang ini. Cari uang susah. Penduduk makin sedikit. Masyarakat kehilangan banyak hal, mulai pengetahuan lokal, kemandirian, hingga masa depan.”

 

Sumber: AMAN Malut

Klik pada gambar untuk memperbesar. Sumber: AMAN Malut

 

Izin tambang massif di Malut, katanya, karena pemahaman berpikir elit politik salah kaprah. Izin pertambangan menjadi bisnis kekuasaan. Kala melihat, dari sekian banyak izin keluar setelah pilkada. Ada semacam kompetisi. “Daerah dinilai tidak maju kalau tidak ada pertambangan.”

Sejumlah izin dan pertambangan berada di pulau-pulau kecil mulai Sula, Obi, Bacan, Gebe, Morotai. Tambang seakan menjadi unggulan pembangunan di Malut. Namun, peningkatan pendapatan daerah dari pertambangan sekaligus menempatkan pemerintah daerah sebagai sosok yang melegalkan pertambangan di pulau-pulau kecil.

“UU Pesisir dan Pulau-pulau kecil tidak berlaku, justru UU Kehutanan, UU Minerba. Pokoknya,  kalau ada izin masuk di pulau-pulau kecil, status kawasan hutan dari hutan lindung menjadi hutan produksi, terus dikasih izin tambang,” kata Munadi.

Hasil pemetaan AMAN Malut, yang nyaris jadi area pertambangan adalah Kepulauan Sula. Luas hanya 479.666,93 hektar, namun tambang 351.730,98 hektar. Kepulauan Sula punya 97 izin tambang, disusul Halmahera Tengah (66), Halmahera Selatan (57).  Sisanya,  di Halmahera Timur, Halmahera Utara, Halmahera Barat, Morotai dan Tidore. “Nyaris di seluruh kabupaten di Malut tidak lepas ekspansi pertambangan.”

 

 

 


Ratusan Izin Tambang di Maluku Utara Libas Wilayah Adat, Kok Bisa? was first posted on March 9, 2015 at 3:52 pm.

Ketika Dayak Punan Siapkan “Senjata” Melawan Penghancuran Hutan Adat

$
0
0
Pepohonan begitu padat di hutan adat Dayak Punan Adiu. Foto: Christopel Paino

Pepohonan begitu padat di hutan adat Dayak Punan Adiu. Foto: Christopel Paino

Malam itu, 15 Juni 2013. Bunyi mesin mobil memecah kesunyian Desa Punan Adiu, Kecamatan Malinau Selatan Hilir, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara. Markus Ilun segera keluar rumah. Sorot lampu mobil membuat silau mata. Empat orang turun dari mobil.

Markus, sang ketua adat, mencari tahu siapa mereka. Piang Irang, Kepala Desa Punan Adiu mendekati Markus. Mereka memperhatikan tamu-tamu itu. Salah seorang tamu mereka kenal. Dia adalah Perminas, Camat Malinau Selatan Hilir.

“Silakan masuk, Pak Camat,” kata Markus.

“Saya datang ke sini membawa tamu dari perusahaan sawit,” jawab Perminas.

Markus dan Piang saling bertatap. Keduanya bisa menduga maksud kedatangan camat dan tiga orang perusahaan sawit itu. Markus dan Piang mengajak warga sama-sama bertemu dan mendengarkan penjelasan orang-orang ini.

Sekitar 20-an warga datang. Mereka berkumpul di rumah Markus. Duduk membentuk lingkaran. Markus Ilun dan Piang Irang menjadi juru bicara.

Dari pertemuan itu, terungkap, tiga orang itu membawa bendera perusahaan sawit PT. Putra Bangun Bersama, PT. Dulong Agro Plantation, dan PT. Borneo Dulong Agro Lestari. Mereka mengincar hutan adat Dayak Punan Adiu.

“Kalau menanam sawit, masyarakat akan sejahtera,” kata salah satu dari mereka.

Perminas selaku wakil pemerintah menjelaskan, hanya mengantarkan orang-orang itu ke Kampung Dayak Punan. Dia telah mendapat izin bupati.

“Mohon maaf, bapak-bapak. Saya tidak bisa terima perusahaan sawit masuk di hutan kami,” kata Markus.

Perusahaan terus membujuk. Mereka mengiming-imingi kehidupan nyaman dan sejahtera. Perusahaan merinci, tahun pertama, target menanam sawit di hutan Dayak Punan seluas 40 hektar. Berikutnya 2015,  target mereka 100 hektar, 2017 sebanyak 150 hektar, dan 2020 seluas 200 hektar.

“Biarpun masyarakat sejahtera, kayu di hutan kami habis dibabat,” kata Markus.

Markus tak goyah. Dia bersama warga menolak tawaran orang-orang perusahaan itu. Pertemuan berlangsung dari pukul 20.00 hingga 23.00 itu tak menghasilkan apa-apa. Rombongan pulang dengan tangan hampa. Malam itu, menjadi saksi penolakan warga Dayak Punan “mengusir” investasi sawit yang siap menghancurkan hutan adat mereka.

 

Perkampungan desa Punan Adiu. Lokasinya di hutan Kalimantan Utara, Kabupaten Malinau Selatan Hilir. Perusahaan kerap datang dan membujuk warga agar mereka boleh masuk ke hutan adat. Namun, warga desa ini sepakat mempertahankan sumber-sumber kehidupan mereka. Foto: Christopel Paino

Perkampungan desa Punan Adiu. Lokasinya di hutan Kalimantan Utara, Kabupaten Malinau Selatan Hilir. Perusahaan kerap datang dan membujuk warga agar mereka boleh masuk ke hutan adat. Namun, warga desa ini sepakat mempertahankan sumber-sumber kehidupan mereka. Foto: Christopel Paino

 

***

Truk berukuran besar memuat batubara, lalu-lalang memecah kesunyian hutan. Jalan tak mulus. Penuh batu dan berlubang. Debu beterbangan menutupi pepohonan. Bak awan, debu ini menghalangi pemandangan saya.

Tak jauh dari jalan itu, dua perusahaan batubara beroperasi, PT Kayan Prima Utama Coal dan PT Bara Dinamika Muda Sukses.

Jalan ini menuju Desa Punan Adiu. Dari ibukota kabupaten menuju Punan Adiu ditempuh sekitar satu setengah jam. Sebelum pemekaran, daerah ini masuk Kalimantan Timur.

Punan adalah salah satu sub suku Dayak di Kalimantan. Diaspora etnis ini hingga ke negeri seberang di Serawak, Malaysia. Ia menyebar hingga di belahan Kalimantan.

Di Punan Adiu, mereka ada 27 keluarga dengan 121 jiwa. Luas pemukiman berkisar empat hektar dengan hutan adat seluas 17.400 hektar.

“Hutan ini tempat lahir kami,” kata Markus, pada medio Februari 2015.

Untuk bertahan dari godaan perusahaan, masyarakat Dayak Punan punya senjata. Senjata itu bukanlah bedil berisikan peluru tajam tetapi selembar peta. Peta yang menegaskan pengakuan tanah adat mereka di Adiu.

Peta itu dibuat partisipatif difasilitasi Lembaga Pemerhati Pendayagunaan Punan di Malinau (LP3M), dan Simpul Layanan Pemetaan Pertisipatif Kalimantan Timur (SLPP). Mereka bekerja sama dengan Jaringan Kerja Pemetaan Pertisipatif (JKPP), dan Perkumpulan Padi Indonesia.

“Ketika Pak Camat dan tiga orang perusahaan itu datang, kami sedang proses pembuatan peta partisipatif,” kata Piang.

Piang Irang rajin mencatat. Ketika ada pertemuan dengan siapa saja, dia menjadi notulen. Detail-detail peristiwa dicatat. Dalam catatan Piang, di desa mereka seringkali datang orang survei batubara. Juga perusahaan hutan tanaman industri yang merayu warga menanam akasia. Perusahaan mengincar kayu log hutan adat.

“Sekarang dengan peta, masyarakat bisa menentukan sikap. Kami bisa menolak perusahaan-perusahaan yang ingin masuk ke hutan adat.”

Peta partisipatif masyarakat Punan Adiu baru selesai Januari 2015. Proses pembuatan memerlukan waktu panjang. Beberapa kali survei lapangan, dari Juni 2012 hingga 2014.

“Dalam peta ini tidak hanya bicara tata batas, juga tata ruang. Seperti di mana hutan adat, kebun, atau tempat warga berburu,” kata Ahmad Suudi Jawahir Asyami, Direktur Perkumpulan Padi Indonesia.

Bagi Among, panggilan akrab pria ini, peta adalah alat dan pengakuan diri masyarakat. Untuk pemerintah, katanya, sangat berguna karena dengan peta partisipatif akan tahu daerah itu ada masyarakat bermukim. Among berharap, peta itu bisa masuk rencana tata ruang wilayah.

 

Hutan adat Dayak Punan Adiu, banyak diincar pemodal. Warga dirayu agar dapat mengubah menjadi sawit, HTi atau yang lain. Komunitas adat ini bertahan. Mereka bahkan komunitas adat kala pertama menyelesaikan peta wilayah di Malinau. Foto: Christopel Paino

Hutan adat Dayak Punan Adiu, banyak diincar pemodal. Warga dirayu agar dapat mengubah  hutan ini menjadi sawit, HTi atau yang lain. Komunitas adat ini bertahan. Mereka bahkan komunitas adat kala pertama menyelesaikan peta wilayah di Malinau. Foto: Christopel Paino

 

Boro Suban Nicolaus, Direktur LP3M mengatakan, di Kabupaten Malinau, pemetaan partisipatif sudah mulai lama, diawali pelatihan pada 28 Februari 2012. Langkah maju juga tampak dengan ada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 10 tahun 2012 tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat Kabupaten Malinau.

“Pertama kali, peta partisipatif di Malinau yang jadi baru di Punan Adiu. Nanti peta milik ini akan menjadi model bagi kampung-kampung lain di Malinau,” kata Nico.

Menurut dia, proses awal pembuatan peta ini mengundang semua kampung-kampung tetangga, berjumlah enam desa. Mereka akan bertukar pendapat mengenai sejarah kampung, dan bersepakat tentang tata batas. Tujuannya, meminimalisir konflik, baik dengan perusahaan maupun sesama masyarakat.

Proses pembuatan peta ini, katanya, bukan tanpa kendala. Pernah dalam pembahasan peta terjadi selisih paham antara masyarakat Setarap dengan Punan Adiu dan Merap Gong Solok. Persoalannya Danau Sigong Kelapa. Luas 12 hektar. Orang Setarap ingin danau itu masuk wilayah mereka, tetapi berdasarkan sejarah itu wilayah adat Punan Adiu.

“Ketua adat dari Punan Adiu bilang, ‘tidak mungkin ikan danau dicat dan dibagi dua biar ketahuan punya masing-masing’. Lama berdebat, akhirnya mereka bersepakat danau itu masuk wilayah adat Punan Adiu dan menjadi titik temu tiga masyarakat adat. Tata batas berdasarkan sejarah nenek moyang mereka.”

“Orang-orang Dayak punya kesantunan adat yang luar biasa,” kata Nico.

Rahmat Sulaiman, Kepala Divisi Organisasi JKPP berharap, peta ini segera ditindaklanjuti ke level berikutnya, yaitu didaftarkan ke Badan Registrasi Wilayah Adat. Di kabupaten, katanya, aturan daerah itu harus ada turunan, yaitu peraturan bupati berisi pembentukan Badan Pelaksana Urusan Masyarakat Adat.

 

Markus Ilun memperlihatkan pohon Gaharu di hutan adat.Foto: Christopel Paino

Markus Ilun memperlihatkan pohon Gaharu di hutan adat.Foto: Christopel Paino

 

***

Perahu ketinting melaju kencang melawan arus Sungai Malinau. Piang Irang memegang kemudi. Dia harus waspada. Kalau lengah, perahu bisa menghantam batu atau batang pohon besar di sungai. Kadang dia, memperlambat laju perahu. Sesekali mesin mati. Piang sigap turun dan mendorong perahu.

“Hutan adat orang Punan Adiu jauh dari sini. Kurang lebih setengah jam naik perahu,” katanya.

Pada 25 Februari 2015, saya dan beberapa wartawan bersama Piang Irang dan Markus Ilun dan warga lain ke hutan adat. Kami melewati beberapa anak sungai. Pohon-pohon rapat. Hutan lebat.

Markus turun pertama. Mengenakan kaos oblong lengan panjang bergaris merah hitam dan bercelana pendek.

“Ini pohon gaharu yang kami tanam.”

Markus memperlihatkan gaharu banyak tumbuh di sana. Sejak 2006, warga wajib menanam pohon dengan nama latin Aquilaria malaccensis ini di hutan mereka. Selain memiliki nilai tinggi, pohon ini menjadi tanda batas dengan wilayah hutan komunitas lain.

“Cara mengusir perusahaan juga dengan menanam gaharu. Perusahaan tidak bisa asal serobot karena tanda wilayah kami adalah pohon ini. Ini sudah ada di peta adat Dayak Punan Adiu,” kata Markus.

Gaharu juga memiliki hubungan erat dengan orang-orang Dayak Punan. Pohon ini memiliki nilai spiritual dan jadi ramuan obat-obatan. Dahulu, kata Markus, gaharu sebagai alat barter.

Di hutan ini juga diatur wilayah terlarang, tidak sembarang orang bisa masuk. Mereka juga membuat pos untuk mencegah orang mengambil kayu di hutan Punan Adiu.

“Kami sedang menggodok peraturan desa mengenai wilayah-wilayah adat yang dilarang maupun yang boleh beserta sanksi,” kata Piang.

Masyarakat Dayak di Punan Adiu memiliki kearifan lokal tinggi dalam menjaga wilayah adat. Namun, ancaman bisa datang kapan saja, terutama dari perusahaan.

“Kami tidak ingin menyerahkan hutan kami kepada perusahaan. Karena hutan ini tempat lahir kami.”

 

Peta partisipatif yang telah rampung dibuat oleh masyarakat adat Dayak Punan Adiu. Mereka berharap, peta ini jadi 'senjata' mereka buat melindungi wilayah  dan hutan adat. Foto: Christopel Paino

Peta partisipatif yang telah rampung dibuat oleh masyarakat adat Dayak Punan Adiu. Mereka berharap, peta ini jadi ‘senjata’ mereka buat melindungi wilayah dan hutan adat. Foto: Christopel Paino

 

 

 


Ketika Dayak Punan Siapkan “Senjata” Melawan Penghancuran Hutan Adat was first posted on March 9, 2015 at 11:44 pm.

Pengembangan Wisata di Kepulauan Derawan, Akankah Mengancam Konservasi Penyu?

$
0
0
Tukik yang siap dilepasliarkan, yang berasal dari telur-telur yang dipindahkan petugas BKSDA, agar tidak dicuri atau dimakan hewan di Pulau Sangalaki, Kalimantan Timur. Foto: Aseanty Pahlevi

Tukik yang siap dilepasliarkan, berasal dari telur-telur yang dipindahkan petugas BKSDA Seksi Berau, agar tidak dicuri atau dimakan hewan di Pulau Sangalaki, Kalimantan Timur. Foto: Aseanty Pahlevi

Pulau Derawan. Di pulau ini, sebagian keindahan pantai Indonesia tergambarkan. Eksotisme matahari dipadu dengan birunya air laut, serta pasir yang putih di bibir pantainya. Airnya yang bening, menampakkan warna-warni biota laut di dalamnya. Di pulau ini juga terdapat penyu sisik dan penyu hijau.

Guna menikmati keindahan pantai Pulau Derawan, dibutuhkan waktu sekitar 2,5 jam perjalanan dari Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, menggunakan speedboat.

Sebenarnya, kawasan tersebut dinamakan Kepulauan Derawan. Pasalnya, tak hanya Pulau Derawan yang terdapat di hamparan laut Kalimantan Timur tersebut. Terdapat 31 pulau di sana, yang masing-masing pulau memiliki karakteristik sendiri. Selain Derawan, pulau lain yang terkenal di antaranya Kakaban, Sangalaki, Meratus, Panjang, dan Semama.

Selain keindahan pantainya, pesona pulau yang masuk wilayah Kabupaten Berau ini, makin lengkap dengan keberadaan penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan penyu hijau (Chelonia mydas). Mereka hidup di wilayah konservasi yang luasnya mencapai 285,266 hektar. Konservasi penyu sisik dan hijau ini berdasarkan SK Bupati Berau No 516 tahun 2013.

Di kawasan ini pula, pengunjung dapat melihat 460 jenis terumbu karang beraneka warna. Jumlah terumbu karang di Pulau Derawan terbanyak kedua di Indonesia, setelah Raja Ampat di Papua Barat. Di Derawan juga, ditemukan lebih dari 870 jenis ikan.

Bahkan, tak jauh dari Pulau Derawan, tepatnya di Pulau Kakaban, terdapat danau yang berisi ribuan ubur-ubur tanpa sengat. Selain di Kakaban, ubur-ubur tanpa sengat hanya bisa dijumpai di Pulau Palau, bagian Kepulauan Mikronesia, yang terhampar di Samudra Pasifik.

Salah seorang wisatawan yang melihat penyu selesai bertelur di Pulau Derawan. Foto: Aseanty Pahlevi

Seorang wisatawan yang melihat penyu selesai bertelur di Pulau Derawan. Foto: Aseanty Pahlevi

Souvenir sisik penyu

Memasuki Pulau Derawan, pengunjung akan langsung melihat gerbang bertuliskan ucapan selamat datang. Sebelum gerbang ini, terdapat jejeran kios yang menjajakan souvenir khas Pulau Derawan.

Salah satu souvenir yang ditawarkan adalah cincin dan gelang yang terbuat dari sisik penyu. Aksesoris ini harganya beragam, dari Rp5 ribu hingga Rp25 ribu. “Ini dari sisik penyu apa? Penyu kan dilindungi, Bu,” tukas Andrie Perdana Putra (27), seorang pengunjung. “Ini diambil dari penyu yang tidak dilindungi. Kalau penyunya mati, sisiknya diambil,” jelas ibu penjual aksesoris tersebut datar.

Karena ragu, Andrie urung membeli aksesoris tersebut. “Kalau saya beli, dan ternyata ini penyu dilindungi, di Bandara saya bisa kena masalah,” ujarnya. Gelang dan cincin tersebut digrafir nama Pulau Derawan. Ibu penjual cinderamata tersebut meyakinkan, aksesoris tersebut hanya terdapat di Pulau Derawan, dan dia menjamin tidak dijual di tempat lain. Selain itu, mereka juga menjual tirai, tempat tisu, asbak dan aksesoris dari kerang.

Sebelumnya, Dwi Suprapti, Koordinator Konservasi Spesies Laut WWF Indonesia Program Kalimantan Barat, mengatakan upaya penghentian eksploitasi telur penyu di Kabupaten Berau membutuhkan waktu yang cukup lama, “Yakni pada tahun 1998 –2005. Namun demikian, jerih payah tersebut tampaknya memberikan hasil yang cukup signifikan bagi pemulihan populasi di wilayah ini,” katanya.

Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk membebaskan Berau dari eksploitasi telur penyu merefleksikan kompleksitas masalah pemanfaatan telur penyu laut di wilayah ini. Salah satunya adalah, ketergantungan pemerintah daerah setempat akan pendapatan asli daerah (PAD) dari pelelangan telur penyu.

Pulau Derawam yang tidak hanya indah tetapi juga kaya akan biota laut. Sumber: Wikipedia.org

Konservasi

Dalam konteks populasi penyu, Dwi mengatakan, hasil pemantauan selama 12 tahun di Pulau Sangalaki menunjukkan bahwa populasi penyu di wilayah ini masih mengalami penurunan meski relatif rendah. Fenomena ini agak mengejutkan mengingat eksploitasi masif telur penyu sebelum periode 2002.

“Bisa dipastikan, pemenang lelang saat itu “tak mampu” mengambil seluruh telur penyu. Sehingga, masih terjadi penetasan telur penyu yang selanjutnya berkembang menjadi penyu-penyu dewasa,” ujar Dwi.

Kegiatan konservasi Program Kelautan WWF Indonesia di Kabupaten Berau menunjukkan, di Pulau Derawan sejak Juni 2003 hingga Mei 2014, berhasil dilakukan penyelamatan 2.141 sarang telur penyu dari ancaman perburuan dan menetaskan tukik sejumlah 138.549 ekor. Di Pulau Sangalaki sejak 2002 hingga 2014 juga telah menyelamatkan 40.407 sarang telur dan menghasilkan tukik sejumlah 1.665.024 ekor.

Sedangkan di Pulau Mataha dan Bilang-bilangan sejak 2011 hingga Mei 2014 berhasil menyelamatkan 8.327 dan 19.692 sarang telur dengan jumlah tukik yang menetas sejumlah 416.258 dan 1.109.144 ekor.

Dengan demikian, upaya konservasi yang dilakukan sejak periode 2002 hingga 2014 di Berau berhasil memproduksi tukik sejumlah 3.328.925 ekor. Rekapitulasi pemantauan ini, dituangkan dalam laporan “Status populasi penyu dan upaya konservasinya di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, yang disusun oleh Dwi Suprapti, Windia Adnyana dan Rusli Andar (2014).

Terkait masalah perburuan di Kepulauan Derawan, Lipo, Petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Seksi Berau, Provinsi Kalimantan Timur yang bertugas di Pulau Sangalaki, mengakui hal tersebut. Menurutnya, Pulau Sangalaki dihuni penyu hijau, sisik, dan belimbing. “Selain telur, karapasnya diambil untuk cinderamata,” katanya.

Intensitas kedatangan penyu untuk bertelur di pantai Sangalaki saat ini, menurut Lipo, jauh menurun dibandingkan sepuluh tahun silam. “Sebelumnya, bisa 30 hingga 60 ekor yang naik ke pantai untuk bertelur,” ujarnya.

Lipo menyatakan, nelayan asing juga kerap melakukan perburuan terhadap penyu-penyu yang terancam punah tersebut. Tahun lalu, petugas bahkan sempat menemukan puluhan ekor penyu mati terjaring di jala nelayan yang dicurigai nelayan asing.

 


Pengembangan Wisata di Kepulauan Derawan, Akankah Mengancam Konservasi Penyu? was first posted on March 10, 2015 at 12:42 am.

Turunkan Emisi Karbon, 20 Komunitas Pakai Standar Plan Vivo. Efektifkah?

$
0
0

Tak kurang dari 20 komunitas yang tergabung dalam The Indonesia Community Payment for Environment Service (PES) Consortium atau Konsorsium Pengelola Jasa Lingkungan Indonesia, telah difasilitai untuk mengikuti program penurunan emisi karbon berbasis masyarakat. Dalam proses penurunan emisi karbon ini, mereka menggunakan standar Plan Vivo untuk memudahkan pengukurannya.

Hal ini dikemukakan oleh Arif Aliadi, Ketua konsorsium ini pada saat workshop dan konferensi pers di Jakarta, pada Kamis (05/03/2015), yang dihadiri oleh Yetti Rusli Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bidang Lingkungan dan Perubahan Iklim, Chris Stephenson Direktur Plan Vivo, dan Victoria Gutierrez Direktur We Forest.

Hutan Santong dengan latar belakang air terjun Tiu Teja di Lombok Utara, NTB. Foto : Jay Fajar

Hutan Santong dengan latar belakang air terjun Tiu Teja di Lombok Utara, NTB. Foto : Jay Fajar

Arif mengatakan program ini diharapkan dapat berkontribusi dalam implementasi Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK).  Selain itu, program ini juga diharapkan dapat memberi manfaat berupa nilai tambah yang berasal dari besaran emisi karbon yang berhasil diturunkan oleh komunitas. “Agar dapat diapresiasi, maka besaran emisi karbon akan diukur dengan menggunakan standard Plan Vivo,” kata Arif.

Program ini memfasilitasi masyarakat pengelola hutan untuk mengintegrasikan rencana pengelolaan hutan yang mereka buat termasuk rencana melindungi hutan dengan strategi penurunan emisi. Program ini juga membantu mereka untuk menghitung besaran emisi yang bisa diturunkan.

Plan Vivo dipilih untuk menghitung besaran emisi karena sudah diterapkan di berbagai negara seperti di Amerika Latin, Afrika dan Asia.  Plan Vivo adalah kerangka kerja untuk mendukung masyarakat dalam mengelola sumber daya alam mereka yang lebih berkelanjutan, dengan tujuan untuk menghasilkan manfaat iklim, mata pencaharian, dan ekosistem

Standar ini di buat oleh organisasi non-profit yang berbasis di Edinburgh, Skotlandia, yang mengembangkan standar yang  ramah terhadap masyarakat dan sistem sertifikasi untuk proyek-proyek lingkungan. Plan Vivo telah disertifikasi lebih dari 10.000 petani hutan, 270 kelompok masyarakat yang mengelola lebih dari 60.000 hektar hutan, dan bersertifikat 1,8 juta ton CO2 offset.

Chris Stephenson menjelaskan capaian target dari penggunakan standart Plan Vivo di berbagai negara tersebut. “Pada 2014, standard Plan Vivo telah digunakan di 29 negara.  Diperkirakan ada USD 8 juta nilai manfaat yang dinikmati oleh 10.000 komunitas pengelola hutan,” ujarnya.

Arif juga menjelaskan fokus dari program ini adalah komunitas pengelola Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Rakyat, dan Hutan Adat. Sebanyak 20 komunitas tersebut tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Barat.  Luas lahan hutan yang masuk dalam program penurunan emisi gas rumah kaca berbasis masyarakat mencapai sekitar 69.300,12 ha, yang melibatkan 17.002 Kepala Keluarga.

Sedangkan Yetti Rusli menjelaskan program penurunan emisi berbasis masyarakat sejalan dengan RAN GRK di sektor kehutanan, khususnya kehutanan masyarakat. Dalam hal ini pemerintah telah menentukan target volume emisi gas karbondioksida (CO2) yang harus diturunkan.

“HKm diharapkan dapat berkontribusi untuk menurunkan emisi sebesar 91,75 juta ton CO2 dari areal seluas 2,5 juta ha. Sedangkan Hutan Desa diharapkan dapat berkontribusi mengurangi emisi sebesar 9,18 juta ton CO2 dari areal seluas 250 ribu ha.”

Hamparan sawah masyarakat yang berdampingan dengan kawasan hutan di Nagari Kajai, Kabupaten Pasaman Barat, Sumbar. Foto : Riko Coubut

Hamparan sawah masyarakat yang berdampingan dengan kawasan hutan di Nagari Kajai, Kabupaten Pasaman Barat, Sumbar. Foto : Riko Coubut

Beberapa waktu lalu, Kepala Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, San Afri Awan juga menegaskan dukungan pemerintah untuk memberikan akses pemanfaatan hutan untuk masyarakat. Dia mengatakan pemerintah akan memberikan prioritas pemanfaatan pengelola Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Rakyat, dan Hutan Adat.

“Selama ini rakyat baru menikmati 0,8 persen atau sekitar 1,3 juta hektar hutan, sedangkan untuk perusahaan sudah menikmati hingga 35 juta hektar. Kita stop dulu untuk perusahaan,” ujarnya dalam Diskusi Pengelolaan Sumber Daya Alam untuk Kedaulatan Pangan. Untuk prosesnya akan dilakukan sesederhana mungkin dengan pendampingan dari lembaga swadaya dan diusahakan dari usulan daerah.

Program penurunan emisi berbasis masyarakat juga didukung oleh We Forest. Lembaga ini akan berkontribusi dalam membangun hutan melalui program rehabilitasi hutan.  Pada 2015 We Forest akan mendukung program rehabilitasi hutan dengan jumlah total bibit 500 ribu bibit.  Pada tahap pertama ini, dukungan akan diawali di empat lokasi. “Harapannya  dukungan dapat dilanjutkan untuk tahun-tahun selanjutnya dengan jumlah yang lebih banyak lagi, “ ujar  Victoria.

Dia juga mengatakan program rehabilitasi hutan sangat penting karena semakin rusak hutan berarti semakin tinggi emisi yang dihasilkan. Hal ini akan menyebabkan ketidakseimbangan komposisi gas rumah kaca di atmosfer dan berakibat pada  pemanasan global dan perubahan iklim.  Sebaliknya, semakin luas hutan yang dijaga dari kerusakan maka semakin rendah emisi yang dihasilkan, dan pemanasan global dapat dicegah.

Gas karbondioksida adalah salah satu gas rumah kaca yang dapat diserap oleh hutan sehingga gas tsb. tidak terlepas (emisi) ke atmosfir.  Peran hutan untuk mencegah terjadinya emisi adalah salah satu bentuk dari jasa lingkungan.


Turunkan Emisi Karbon, 20 Komunitas Pakai Standar Plan Vivo. Efektifkah? was first posted on March 10, 2015 at 2:36 am.

Jokowi Meninjau Sistem Pertanian Terpadu di Areal Hutan. Seperti Apa?

$
0
0

Presiden Joko Widodo melakukan kunjungan dan meninjau lahan pertanian terpadu (integrated farming) yang dikelola antara Perhutani dan Universitas Gadjah Mada (UGM) di lokasi petak 18 Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Randublatung, Desa Semanggi, Jepon, Blora, Jawa Tengah, pada Sabtu (07/03/2015).

Presiden juga berkesempatan memanen jagung bimo super yang ditanam di sela-sela tanaman hutan Jati. Dia mengapresiasi model sistem pertanian terpadu yang ditanam di lahan hutan milik Perhutani. Menurutnya konsep ini bisa diterapkan di perusahaan perkebunan nasional lainnya di seluruh Indonesia.

”Kita punya hutan jati, lahan perkebunan kelapa sawit, bisa dikombinasi dengan tanaman pertanian seperti yang ada disini, jati dengan jagung,” kata Jokowi, seperti dikutip dari rilis UGM, yang diterima Mongabay, pada Minggu, (08/03/2015).

Presiden Jokowi tinjau sistem pertanian-terpadu di areal hutan Perhutani, Blora, Jateng. Foto : Dok Humas UGM

Presiden Jokowi tinjau sistem pertanian-terpadu di areal hutan Perhutani, Blora, Jateng. Foto : Dok Humas UGM

Presiden datang didampingi Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Rektor UGM Dwikorita Karnawati, Menteri Pertanian Amran Sulaiman, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, dan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo.

Jokowi menuturkan, ia  sudah meninjau lahan hutan jati di Ponorogo dengan konsep yang sama dimana di sela-sela tanaman kayu putih ditanami jagung. ”Saya kira nanti kebun sawit juga bisa ditanam dengan jagung,” terangnya.

Rata-rata produksi jagung per satu hektar di KPH Randublatung mencapai 7,6 ton per ha. Hasil panen jagung itu apabila dijual dengan harga per kilo Rp 2.800, ujarnya, petani bisa dapat puluhan juta rupiah setiap kali panen. Namun di Perhutani, setiap hektar digarap 3-4 petani, setelah dibagi rata, per kepala keluarga mendapatkan penghasilan sekitar Rp1,3 juta per bulan. “’Pendapatan segitu didapat dari petani yang tinggal di sekitar sekitar hutan lho,” imbuhnya.

Presiden menegaskan dirinya sudah meminta Menhut dan Mentan agar konsep pertanian terpadu dipertahankan dan dilanjutkan dengan perluasan lahan ditambah. “Diberikan benih gratis, (lahan) diperluas. Supaya ada peningkatan (produksi),” paparnya.

Soal minimnya lahan pertanian yang digarap petani, Jokowi mengatakan ia akan segera merealisaisikan pembagian lahan satu juta hektar untuk pertanian dan perkebunan. “Bisa di lahan hutan,” katanya.

Sehubungan persoalan harga jagung dan harga komoditas produk pertanian lain yang sering merugikan petani di saat musim panen tiba, Jokowi mengatakan perlu dilakukan penataan siklus panen antar daerah agar tidak serentak.

“Siklus panen diatur antar pulau dan provinsi, jangan sampai saat panen bareng harga jatuh, begitu tidak panen, harga naik. Manajemen perlu diatur,” kata Jokowi.

Peneliti Kehutanan UGM Prof. Dr. Ir. Moh Naiem mengatakan konsep sistem pertanian terpadu yang dikembangkan kluster Agro UGM di lahan hutan milik Perhutani ini yakni klon jati unggul ditanam dengan masa panen 20 tahun. Saat panen, setiap pohonnya bisa menghasilkan satu kubik kayu. Namun sambil menunggu panen, pada tahun ke-3 disela jati ditanam padi dan jagung.

Sistem pertanian-terpadu di areal hutan Perhutani, Blora, Jateng berupa jati dan jagung. Foto : Dok Humas UGM

Sistem pertanian-terpadu di areal hutan Perhutani, Blora, Jateng berupa jati dan jagung. Foto : Dok Humas UGM

Selanjutnya tahun ke 4 hingga 6 ditanam jahe dan garut. Kemudian di tahun ke 7 hingga 10 ditanam garut, diselingi porang dan gembili. Sedangkan pada tahun ke 15 sampai tahun ke 20 ditanam kapulaga.

Menurut Naiem, jenis tanaman yang berbeda ditaman selama 20 tahun ini dilakukan untuk menurunkan tingkat erosi. “Sekaligus meningkatkan penghasilan petani dan kesehatan hutan,” kata Naiem.

Panen Bersama di Lahan Hutan Desa, Banyumas

Sebelumnya pada Kamis (05/03/2015), UGM, Pemprov Jateng dan Perum Perhutani melakukan panen padi bersama di lahan hutan Desa Pakuncen, Banyumas Jateng,  Secara simboli, panen bersama dilakukan Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo dan Dirut Perum Perhutani, Mustoha Iskandar.

“Dengan lahan tadah hujan begini saja, luar biasa hasilnya. Karena padi Inpago 5 adalah varietas tahan wereng, maka hasilnya bisa mencapai 5 – 6 ton per hektar. Padahal sebelumnya paling hanya 3 ton,” kata Ganjar Pranowo.

Menurut Ganjar, bila semua bisa diintegrasikan maka banyak lahan bisa fungsikan. Pemprov mensosialisasikan, perguruan tinggi siap mendampingi dengan ilmu pengetahuan dan Perhutani siap dengan lahannya.“Maka tinggal, siapa yang akan mengerjakan. Jika simbiosa mutualis seperti ini berjalan, maka semua lahan milik Perhutani bisa dimanfaatkan,” katanya.

“Tapi kayu-kayu yang ditanam Perhutani jangan dicuri. Inilah manfaat yang bisa diberikan pada masyarakat dengan cara-cara seperti ini. Dengan demikian target untuk peningkatan produksi, bisa kita dorong dengan intesifkan lahan-lahan yang dimiliki oleh Perhutani. Soal masyarakat ingin mengembangkan ditempatnya tinggal dibantu saja,” imbuhnya.

Wawan Triwibowo, Administratur/KKPH Banyumas Timur menyatakan luas lahan yang bisa dimanfaatkan masyarakat untuk bertani di Pakuncen sebanyak 44 hektar. Jenis padi yang ditanam adalah Inpago 5 dan Situbagendit.

“Ini merupakan program integrated farming system yang diinisiasi UGM, Pemprov Jateng dan Perum Perhutani dalam mendukung ketahanan pangan dan mewujudkan kedaulatan pangan di Provinsi Jawa Tengah,” kata Wawan.

Wawan mengungkapkan, petani hutan selama ini adalah masyarakat yang terpinggirkan. Dengan memperoleh perhatian, lahan dan juga benih serta pupuk, mereka bisa menghasilkan padi gogo yang luar biasa.

Produktivitas Inpago 5 bisa mencapai 5,4 ton per hektar, sementara untuk situbagendit bisa 5,6 ton per hektar,” katanya.

Bagi Wawan, panen padi gogo kali ini sebuah capaian yang luar biasa. Sebab di tahun sebelumnya gagal total, karena terserang hama wereng.

“Melalui pendampingan semua hama sudah tidak ada. Selain itu masyarakat pun kini melakukan upaya-upaya pemanfaatan di bawah tanaman tegakan, seperti menanam jahe seluas 5 hektar bantuan dari Dinas Kehutanan Provinsi, termasuk juga penanaman HMP (Hijauan Makanan Ternak) yaitu dengan menanam rumput gajah,” tambah Wawan.

Sedangkan Jamhari, Dekan Fakultas Pertanian UGM menyatakan peran nyata UGM adalah dalam pendampingan petani. Sebab dari sisi anggaran sudah dilakukan Pemerintah Provinsi Jateng dan lahan dari Perum Perhutani. “Jadi kegiatan ini diawali oleh MoU antara Perhutani dengan UGM dan Pemprov Jawa Tengah. Secara nyata, kita hanya memilihkan saja benih yang cocok. Varietas-varietas yang di keluarkan pemerintah sudah banyak, kita cuma memilihkan saja yang cocok, nah yang cocok untuk lahan kering ini, ya padi gogo,” katanya.

Pendampingan dimulai dengan menyiapkan benih dan secara rutin dua kali sebulan turun ke lapangan. UGM dalam hal ini menerjunkan tim tim teknis, yang merupakan kombinasi fakultas agro komplek, yaitu Kehutanan, Pertanian, Teknologi Pertanian, Peternakan, dan Kedokteran Hewan.

“Saat ada hama, ada ahli hama yang datang kesini. Tapi terus terang yang memicu adalah adanya MoU itu. Jadi ketika ekstensifikasi, perluasan lahan sawah tidak mungkin, maka kita memanfaatkan lahan dibawah tegakan hutan, dan potensinya luar biasa,” kata Dekan Faperta UGM.

Sementara Dekan Fakultas Kehutanan UGM, Dr. Satyawan Pudyatmoko mengatakan dengan program integrated farming sistem, komunitas hutan masih bisa memanfaatkan kayu-kayunya dan lingkungan terjaga.

Sedangkan dari sisi pengelolaan hutan secara umum, Perum Perhutani yang menguasai hutan-hutan di Jawa kurang lebih 2 juta hektar diharapkan memperluaskan akses lahan ke masyarakat. Karena itu dengan payung hukum yang jelas dan integrated farming sistem (IFS), petani di Perum Pehutani diharapkan tidak hanya menggarap lahan hanya selama  satu atau dua tahun, namun kontinyu.

“Dengan IFS dan payung hukum yang jelas, kita semua berharap petani bisa mendapatkan lahan secara semi permanen. Artinya dia mendapatkan penghasilan yang relatif kontinyu, tidak hanya setahun lantas berhenti,” tutup Satyawan.

 


Jokowi Meninjau Sistem Pertanian Terpadu di Areal Hutan. Seperti Apa? was first posted on March 10, 2015 at 5:43 am.

Sebelas Orang Rimba Jambi Meninggal Dunia. Ada Apakah?

$
0
0

Dalam kurun waktu dua bulan terakhir ini, kematian beruntun menimpa Orang Rimba. Sudah 11 jiwa Orang Rimba di bagian timur Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) Jambi meninggal dunia. Kesebelas Orang Rimba ini terdapat di tiga kelompok Orang Rimba yang berjumlah 150 orang, yaitu Kelompok Terap yang dipimpin Tumenggung Marituha, Tumenggung Ngamal  dan Kelompok Serenggam yang di pimpin Tumenggung  Nyenong, Kematian beruntun paling banyak terjadi pada Januari dan Februari dengan enam kasus kematian yaitu empat  anak-anak dan dua orang dewasa.

Baru saja digegerkan dengan berita kematian tersebut, Sabtu (7/3) kembali tiga anak rimba dari Kelompok Terap di rawat di rumah sakit HAMBA Muara Bulian Kabupaten Batanghari Jambi. Ketiga anak yang merupakan kakak beradik yaitu Merute (laki-laki 12 tahun), Nipah Bungo (perempuan 2,5 tahun) dan Cipak (perempuan 1 tahun), sudah dua minggu belakangan menderita demam dan batuk rejan. Ketiga anak rimba ini, merupakan anak-anak dari mendiang Mimpin, Orang Rimba Kelompok Terap yang meninggal pertama kali dari 11 kematian beruntun  anggota kelompok ini beberapa bulan lalu.

 

Salah satu fasilitator Kesehatan KKI Warsi melakukan kunjungan rutin bulanan di salah satu kelompok Orang Rimba, Jambi. Foto : KKI Warsi

Salah satu fasilitator Kesehatan KKI Warsi melakukan kunjungan rutin bulanan di salah satu kelompok Orang Rimba, Jambi. Foto : KKI Warsi

 

Kecemasan tampak dari raut muka indok (ibu) Merute, namun ia enggan untuk menceritakan kesedihan yang dialaminya lebih lanjut karena adat dan budaya Orang Rimba tidak memperkenankan untuk berbicara dengan orang luar. Namun perempuan berusia sekitar 24 tahun ini terus berupaya untuk menyusui Cipak yang terus menangis dan batuk, sambil di pasangi infus.

Selain itu, ada dua anak rimba yaitu Sebilau  (perempuan 2 tahun) dan Beskap (perempuan 4 tahun) yang dirawat jalan, meski tetap berada di rumah sakit yang sama dengan Cipak.

Menurut Mangku Balas, salah satu Tengganai Orang Rimba Kelompok Terap yang membawa anggota rombongannya ke rumah sakit, masih banyak anak-anak lain yang sebenarnya juga sakit yang kini tengah tengah belangun di sekitar Sungai Kemang Kecamatan Bathin XIV Batanghari Jambi. “Masih ada 15 anak lagi yang sakit di lokasi Melengun, tetapi kami tidak bisa membawa semuanya berobat ke rumah sakit,” sebut Mangku.

Kristiawan, Koordinator Kajian Unit Suku-Suku Kelompok Konservasi Indonesia (KKI) WARSI mengatakan banyaknya anak rimba yang dirawat ini dikarenakan multi faktor, kekurangan pangan, krisis air bersih, ketidakadaan kekebalan tubuh karena memang belum pernah diimunisasi serta juga disebabkan pola hidup.

“Berdasarkan keterangan orang tuanya, tiga anak rimba ini sudah sakit sejak satu minggu yang lalu dan didagnosa bronkopneumonia. Ada puluhan Orang rimba lagi yang juga mengalami demam dan batuk. Tapi belum dievakuasi ,”sebutnya.

Kendala lokasi yang cukup jauh dengan medan yang berat juga menghalangi proses pemindahan Orang Rimba ini ke rumah sakit. Selain itu, Kris mengatakan ketidakadaan bahan pangan untuk keluarga yang akan menunggu penderita di rumah sakit juga membuat mereka enggan merujuk penderita.

“Jika tidak adanya bahan makanan buat si penunggu, mereka tidak mau membawa anggota keluarganya ke rumah sakit. Untuk mengatasi ini KKI WARSI menggandeng Pemkab Batanghari, Polda dan Korem akan datang memberikan bantuan pangan dan pengobatan kepada empat kelompok Temenggung Marituha, Nyenong, Ngawal dan Ngirang ,” tambahnya.

 

Sempitnya Wilayah Kelola, Kacaukan Tradisi Melangun

Dalam adat dan budaya Orang Rimba setiap kematian yang menimpa anggota kelompoknya mengharuskan mereka untuk berpindah tempat hidup, biasanya mereka akan mengambil jalan melingkar untuk suatu saat nanti mereka bisa kembali ke tempat semula mereka tinggal yaitu di Sungai Terap bagian timur Taman Nasional Bukit Dua Belas, tepatnya di sekitar PT EMAL perkebunan kelapa sawit dan HTI Wana Perintis.

Ketika terjadi kematian mereka melakukan belangun, ritual adat yang dijalankan untuk mengekspresikan kesedihan, membuang sial ketika ada kematian dengan pergi jauh meninggalkan tempat tinggalnya untuk jangka waktu yang cukup lama.

Terdapat tujuh lokasi yang sudah mereka singgahi untuk belangun, yaitu  Desa Olak Besar Kecamatan Bathin XIV Batanghari, kemudian Desa Baru, Desa Jernih, Sungai Selentik dan sungai  Telentam keduanya di desa Lubuk Jering (Ketiga desa ini berada di Kecamatan Air Hitam Kabupaten Sarolangun), Simpang Picco (Kecamatan Pauh Sarolangun dan kini di Sungai Kemang desa Olak Besar (Kecamatan Bathin XIV).

Di setiap lokasi belangun mereka pindah ke tempat baru. Namun kini dengan semakin sering belangun, praktis tidak ada kegiatan untuk mendapatkan makanan. Kondisi ini disebut sebagai masa remayau (masa paceklik alias krisis pangan).  Pada masa ini obat-obatan alam yang biasa di gunakan Orang Rimba untuk berobat juga tidak tersedia.

“Kalau untuk domom (deman), perut kembung, sakit kepala, kami menggunakan obat empedu tanah dan rumput bemampu, tapi di tempat belangun susah mencarinya,” sebut Mangku. Di lokasi mereka melangun saat ini merupakan perkebunan sawit, dimana sudah bisa dipastikan tanaman obat yang biasa di gunakan Orang Rimba sangat sulit ditemukan.

 

Satu kelompok Orang Rimba, Jambi. Mereka perlu mendapatkan perhatian dari semua pihak,terutama dari pemerintah. Foto : KKI Warsi

Satu kelompok Orang Rimba, Jambi. Mereka perlu mendapatkan perhatian dari semua pihak,terutama dari pemerintah. Foto : KKI Warsi

 

Saat ini merupakan masa sulit bagi Orang Rimba untuk bertahan, angka kesakitan dan kematian melonjak drastis. “Dibutuhkan peran serta semua pihak untuk membantu Orang Rimba keluar dari masalah ini, untuk tahap ini yang dibutuhkan bantuan langsung berupa beras dan sembako dan juga dibutuhkan adanya posko kesehatan yang dekat dengan lokasi mereka melangun,”sebut Kristiawan di Rumah Sakit HAMBA Muara Bulian ketika mendampingi Orang Rimba yang tengah di rawat kemarin.

Pengobatan di rumah sakit menurut Mangku cukup membantu mengatasi masalah kesehatan Orang Rimba untuk saat ini. Namun anak-anak lain yang di dalam (di lokasi melangun) yang masih membutuhkan bantuan kesehatan sulit untuk di bawa semua ke rumah sakit. Selain masalah biaya, keterbatasan akses yaitu menempuh jarak sekitar 3 jam ke rumah sakit dengan melewati sejumlah jalan tanah di dalam perusahaan untuk menuju ke rumah sakit yang berada di Kota Muara Bulian.

Meski pengobatan di tanggung oleh rumah sakit, namun ketika membawa anggota keluarganya berobat, orang tua dan sejumlah tetua akan mendampingi dan ini membutuhkan biaya makan dan transportasi yang lumayan besar untuk ukuran Orang Rimba.

Kurangnya perhatian pemerintah terhadap Orang Rimba khususnya dalam bidang kesehatannya ini diakui Kaswendi, Kepala Bidang Bina Pengendalian Penyakit dan Pengelolaan Lingkungan Dinas Kesehatan Provinsi Jambi, disebabkan  ”Dinas Kesehatan sebagai pelayanan tidak memeiliki kewenangan lebih untuk mengeluarkan kebijakan, khususnya kemudahan khusus bagi Orang Rimba.”

“Masing-masing kabupaten dan kota di Jambi memiliki kebijakan masing-masing. Kami sebagai sektor pelayanan tidak bisa mendorong kebijakan, khususnya kemudahan bagi Orang Rimba. Yang kami tahu jika ada BPJS, Jamkesmas atau Jamkesda akan kami layani,” tegasnya.

Kematian 11 Orang Rimba ini dikatakan Robert Aritonang Manager Program Pemberdayaan Masyarakat KKI WARSI adalah bentuk kelalaian semua pihak yang tidak melihat Orang Rimba sebagai pihak yang mengambil bagian dari cepatnya pembangunan yang terjadi.

“Kita menggugah semua pihak untuk ambil bagian dalam memperhatikan nasib Orang Rimba ini. Jangan sampai Orang Rimba menjadi korban dari pembangunan. Dan saat ini KKI WARSI sudah mulai mengembangkan pembangunan terpadu untuk beberapa kelompok Orang Rimba yang akan mencoba melibatkan Orang Rimba dalam pembangunan tanpa menghilangkan jati diri mereka,” pungkasnya.

 


Sebelas Orang Rimba Jambi Meninggal Dunia. Ada Apakah? was first posted on March 10, 2015 at 8:34 am.

Buku: Cerita Warga dari Pesisir Sulawesi Selatan

$
0
0
Warga di lima desa sekitar Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar berhasil mendorong lahirnya kawasan konservasi mangrove Bangko Tapampang seluas 51,5 hektar. Foto: Wahyu Chandra

Warga di lima desa sekitar Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar berhasil mendorong lahirnya kawasan konservasi mangrove Bangko Tapampang seluas 51,5 hektar. Foto: Wahyu Chandra

Dulu, Rusman tak peduli dengan kegiatan istrinya di Kelompok Ujung  Parappa. Ia kelompok ekonomi masyarakat Desa Ampekale, Kecamatan Bontoa, Maros, Sulawesi Selatan.

Setelah melihat antusiasme anggota–sebagian besar ibu rumah tangga–begitu besar, Rusman tertarik. Mereka yang buta aksara mulai diajar membaca, menulis dan menghitung selama enam bulan.

Kelompok ini perlahan menyentuh sektor produksi. Diawali membuat makanan ringan ‘Kacang Sembunyi’. Juga kerupuk kepiting, berbasis potensi lokal desa.

Bersama istrinya, Habsiah dan warga lain,  Rusman membangun kelompok ini. Kerupuk kepiting sempat jatuh bangun bahkan menurun tajam. Semangat anggota kelompok sempat melemah. Lalu, muncul gagasan usaha pengupasan kepiting.

Tak disangka, usaha ini berkembang pesat di luar dugaan. Pasar terbuka lebar langsung ke nelayan, memutus rantai distribusi. Dulu, lewat pengumpul (ponggawa), ke distributor kecil, distributor besar sebelum ke eksportir.

Cerita Rusman ini satu dari 10 kisah inspirasi yang ditulis dalam buku berjudul “Sipadeccengi: Saling Membangun, Saling memperbaiki”, diterbitkan Oxfam melalui program Restoring Coastal Livelihood (RCL) di Sulsel.

Pada launching dan diskusi buku ini di Makassar, akhir Februari, Rusman bercerita bagaimana program RCL memberi perubahan besar bagi masyarakat di desa, yang bangkit secara ekonomi. Kini, mereka bisa langsung menjual produk ke eksportir.

“Harga jual ke ponggawa berkisar Rp18.000-Rp22.000 perkg, menjual langsung ke eksportir di Surabaya harga Rp24.000-Rp38.000 perkg,” katanya.

Selama ini, RCL mendorong negosiasi terbuka dan memperkuat posisi tawar kelompok. Perusahaan mitra didorong memberikan dukungan berupa alat tangkap dan pembangunan tempat produksi.

Cerita lain datang dari Kabupaten Pangkajene, Kepulauan (Pangkep), yaitu Kelompok Talaswati dan Pita Aksi yang sukses mengembangkan pertanian organik.

Kelompok Talaswati memanfaatkan lahan kosong bersama untuk menanam kangkung organik. Kelompok Pita Aksi mengembangkan pertanian organik di pekarangan rumah untuk sayuran seperti kangkung, sawi, bayam dan tomat.

Siti Rahma dari Kelompok Pita Aksi mengatakan, ada tambahan penghasilan dari pertanian organik di pekarangan rumah, tidak sekadar konsumsi sendiri. Dia aktif membagi pengetahuan dan pengalaman bertani organik ke warga desa lain.

Kelompok Ujung Parappa mengembangkan usaha berbasis potensi lokal yaitu kepiting. Kepiting dibuat kerupuk.  Ada juga pengupasan kulit kepiting yang hasil  kini  dibeli langsung oleh eksportir dengan harga  jauh lebih tinggi. Foto: Wahyu Chandra

Kelompok Ujung Parappa mengembangkan usaha berbasis potensi lokal yaitu kepiting. Kepiting dibuat kerupuk. Ada juga pengupasan kulit kepiting yang hasil kini dibeli langsung oleh eksportir dengan harga jauh lebih tinggi. Foto: Wahyu Chandra

Siti Rahmah terpilih sebagai satu dari tujuh perempuan pejuang pangan “Female Food Heroes Indonesia 2013”, bertepatan Hari Perempuan Internasional, 8 Maret 2013.

Siti juga mendapat penghargaan kategori Pelaku Pembangunan Ketahanan Pangan 2014. Pada 16 Januari 2015, mewakili Pita Aksi, Siti mendapatkan Adhikarya Pangan Nusantara dari Presiden.

Ada juga cerita dari Tanakeke Kabupaten Takalar. Warga berhasil mendorong kawasan konservasi mangrove ‘Bangko Tapampang’ 51,5 hektar, lahir.

Irham dari Yayasan Konservasi Laut (YKL) sebagai mitra Oxfam bercerita bagaimana kelahiran kawasan konservasi ini melalui pemberdayaan panjang masyarakat lima desa di Kepulauan Tanakeke.

“Melalui program RCL terfasilitasi beberapa pertemuan antar lima desa di Tanakeke yang membentuk Forum Pemerintahan Desa Tanakeke. Forum inilah yang mendorong kawasan konservasi Bangko Tapamopang.”

Menurut Irham, perjuangan warga tidaklah sia-sia. Terbukti kawasan Bangko Tapampang masuk mangrove yang dilindungi perda rencana tata ruang wilayah.

Buku ini juga memuat cerita lain seperti sekolah lapang RCL mendukung pemanfaatan potensi desa, penguatan ekonomi keluarga melalui usaha rumput laut, dan lain-lain.

Menurut Area Program Manager Oxfam Eastern Indonesia, Erwin Simangunsong, ada dua hal ingin dicapai melalui buku ini. Pertama, menyebarluaskan capaian RCL melalui program pemberdayaan pesisir di empat kabupaten di Sulsel, yaitu Maros, Takalar, Pangkep dan Barru.

“Kita berharap lebih diketahui publik, tidak hanya pemerintah daerah, juga masyarakat dan lembaga-lembaga lain.”

Kedua, harapan agar capaian tak sekadar diketahui juga tereplikasi di tempat-tempat lain.

RCL akan selesai Agustus 2015. Dari restorasi mangrove, katanya, capaian 100% target, sedangkan soal kualitas hidup masyarakat, meski belum 100% namun terlihat sebagian besar mengalami peningkatan pendapatan.“Sekitar 40-60% lah.”

“Kita berharap perkembangan ini bisa dilihat sekaligus menjadi media pembelajaran.”

Direktur Eksekutif Yayasan Bakti, Caroline Tupamahu mengapresiasi buku ini. Selama ini, jarang program melahirkan buku sebagai keluaran. Dia berharap, lebih banyak buku-buku lain lahir hingga jadi sumber inspirasi.

 

 


Buku: Cerita Warga dari Pesisir Sulawesi Selatan was first posted on March 10, 2015 at 8:17 pm.

Sampah Plastik dan Jaring, Ancaman Serius Kehidupan Pesut di Kalimantan

$
0
0

Pesut atau lumba-lumba air payau (Orcaella brevirostris) di perairan Kubu Raya dan Kayong Utara, Kalimantan Barat. Foto: WWF

Sampah plastik merupakan ancaman utama kehidupan mamalia air terutama pesut, yang dapat menyebabkan kematian di Kalimantan. Diperkirakan, 60 hingga 80 persen sampah tersebut berasal dari daratan.

Danielle Kreb, dari Yayasan Konservasi Rare Aquatic Species of Indonesia (RASI) mengatakan, sampah plastik merupakan persoalan yang mengganggu. “Plastik ini lama terurai dan kerap dianggap makanan oleh mamalia air. Tidak hanya itu, sampah plastik juga dapat menjadi racun,” jelasnya.

Berdasarkan pengalaman Danielle menangani pesut mahakam yang mati, setelah diotopsi, ternyata di lambung satwa dilindungi itu berisi pempers bayi. “Butiran jelinya yang memenuhi lambung, membuat pesut tersebut tidak bisa makan apapun sehingga mati,” ujarnya pada kegiatan Bimbingan Teknis Penanganan Mamalia Laut Terdampar, di Kubu Raya, Kalimantan Barat, Rabu (4/3/2015). Bahkan, menurutnya, beberapa mamalia air termasuk pesut, menganggap sampah plastik itu ubur-ubur sehingga disantap.

Danielle melanjutkan, di kasus lain, ditemukan juga gumpalan jaring nelayan di lambung pesut yang mati terdampar. Kematian ini semakin melengkapi ancaman kehidupan pesut dari perburuan dan alih fungsi hutan atau rawa yang mengakibatkan sedimentasi atau endapan di dasar sungai. “Kadang, pesut ditangkap dan dibunuh khusus untuk dijadikan umpan hiu.”

Pesut di Kalimantan Barat

Pesut juga ditemukan di Kalimantan Barat. Habitat mamalia dilindungi ini terdata di perairan Kubu Raya. Dwi Suprapti, Koordinator Konservasi Spesies Laut WWF Indonesia Program Kalbar mengatakan, keberadaan pesut di Kabupaten Kubu Raya sering dijumpai oleh nelayan.

Para nelayan sering menemukan mamalia ini di sekitar perairan bakau Padang Tikar, Teluk Nuri, kanal-kanal bakau Selat Sih, pesisir pantai hingga perairan payau, hutan bakau dan nipah di perairan Batu Ampar. “Spesies ini sering datang ke untuk bermain, beristirahat, atau mencari makan,” jelas Dwi.

Pesut diotopsi untuk dicari penyebab kematiannya. Foto: Hendar

Tahun 2011, Tim Survei WWF Indonesia bekerja sama dengan Badan Pengembangan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Pontianak berhasil mempelajari dan mendokumentasikan keberadaan lumba-lumba air payau (Orcaella brevirostris) ini di perairan Kubu Raya, Kalimantan Barat.

Hasilnya, dengan jarak survei sekitar 248 km dan 26 jam pengamatan selama 5 hari, beberapa pesut berhasil dideteksi di perairan payau hutan bakau dan nipah serta di Batu Ampar.

“Keberadaan pesut, sering dijadikan indikator oleh nelayan untuk mencari ikan. Dimana ada pesut, biasanya ada ikan, udang-udangan, dan cumi. Walau tidak diburu, tetapi pesut dan nelayan sama-sama berburu ikan, udang, dan cumi. Sehingga, penangkapan ikan yang tidak lestari akan menyebabkan pesut kehilangan sumber makanan.

Dwi mengatakan, saat ini ancaman terhadap kondisi ekosistem perairan cukup tinggi. Limbah pestisida perkebunan sawit, sampah, sedimentasi sungai akibat kegiatan pertambangan, dan pembangunan menjadi ancaman tersendiri bagi pesut di Kubu Raya. Selain itu, perairan di Kubu Raya juga berfungsi sebagai jalur transportasi sungai yang menghubungkan pemukiman, seperti dari Pontianak ke Sukadana dan Ketapang dan sebaliknya. “Kapal-kapal pengangkut kayu serta bauksit yang mempunyai tonase besar menjadi salah satu ancaman bagi habitat pesut.”

Menurut Dwi, berdasarkan hasil penelitian WWF-Indonesia Program Kalbar 2012-2013, sedikitnya sekitar 10 pesut terjaring dalam kurun waktu tersebut, selain empat individu dugong.

 

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio


Sampah Plastik dan Jaring, Ancaman Serius Kehidupan Pesut di Kalimantan was first posted on March 11, 2015 at 3:27 am.

Peringati Hari Jadi TN Gunung Leuser, Masyarakat Dihimbau Laporkan Perdagangan Satwa Ilegal

$
0
0

Harimau Sumatera, salah satu satwa langka yang hidup di Leuser. TNGL adalah tempat tinggal penting bagi kelestarian harimau sumatera di alam . Foto: Sapariah Saturi

Di seluruh dunia, tidak ada lagi dalam sebuah bentang wilayah dimana sejumlah satwa kunci seperti harimau, gajah, badak dan orangutan hidup bersama kecuali di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Namun, keberadaan satwa kunci di ini terus menerus berkurang dengan meningkatnya deforestasi, perburuan dan perdagangan secara signifikan.

Taman Nasional Gunung Leuser yang memiliki luas 1.095.592 hektar, terletak di antara provinsi Sumatera Utara dan Aceh mulai resmi ditunjuk sebagai kawasan taman nasional sejak 6 Maret 1980.

Menurut catatan Wildlife Conservation Society (WCS) saat ini sekitar 100 harimau sumatra hidup di dalam TNGL. Bila TNGL dilihat sebagai kesatuan habitat antara Ekosistem Leuser dan Ulu Masen, maka jumlah harimau bisa mencapai 100-150. Di seluruh Sumatera, keberadaan ini merupakan proporsi penting dari sekitar 400-600 harimau Sumatra yang masih tersisa di alam, dan terus berkurang.

Kerusakan hutan, perburuan, dan perdagangan harimau yang marak, dipercaya bertanggungjawab menurunkan jumlah harimau. Konflik harimau terjadi di banyak tempat, WCS mencatat terdapat 172 konflik dalam kurun waktu 2007 – 2014. 28 ekor harimau hilang dari dalam kawasan akibat konflik dengan ternak maupun dengan masyarakat.

Demikian pula dengan gajah sumatra yang baru-baru ini mengakibatkan kematian warga di Aceh Tenggara. Hasil kajian lapangan menunjukkan bahwa korban jiwa ini membuka kebun di dalam kawasan Taman Nasional dan diinjak oleh gajah di dalam kawasan itu juga.

Andi Basrul, Kepala TNGL menyebutkan bahwa keberadaan ekosistem Leuser yang berada di provinsi Sumatera Utara dan Aceh memiliki peran penting dalam keberlangsungan dan keseimbangan ekosistem, termasuk dengan keberadaan berbagai jenis satwa di dalamnya.

“Kawasan ini kami jaga bukan untuk kami sendiri, tapi untuk kesejahteraan masyarakat,” jelasnya. Dia menyangkan pihak-pihak yang memandang bahwa mempertahankan keberadaan hutan adalah hal yang menghalangi pembangunan.

Basrul menambahkan bahwa jasa lingkungan karena adanya kawasan hutan telah menyokong kehidupan sehingga para pihak harus terus memperkuat kesadaran dan pengamanan kawasan ini. Kawasan TNGL sendiri secara terus-menerus memberikan manfaat “jasa lingkungan” sebagai penyimpan cadangan air, pengendali iklim mikro hingga penyerap karbon kepada masyarakat yang berada di sekitar TNGL bahkan hingga ke kota Medan.

 

Tulang belulang gajah ditemukan bersama jerat kabel di sekitar hutan Soraya-Bengkung Kota Subulussalam (2014), dekat Taman Nasional Gunung Leuser. Gajah ini dibunuh dan diambil gadingnya. Foto: Forum Konservasi Leuser

 

Masyarakat Dihimbau untuk Laporkan Kasus Perdagangan Ilegal dan Satwa

Dalam delapan tahun terakhir, Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BBKSDA) Sumatera Utara, SPORC Brigade Macan Tutul dan Jajaran Polda aceh dan Polda Sumatera Selatan, telah menangani 11 kasus perdagangan satwa dilindungi yang diikuti dengan tindak proses hukum terhadap pelaku. Dari kasus tersebut, 11 orang pelaku telah dijatuhi hukuman penjara dan denda, 1 orang pelaku masih dalam proses persidangan dan 1 orang pelaku masih dalam proses penyidikan oleh petugas.

Selain itu, dalam dua bulan terakhir Balai Besar TNGL sedang menangani empat kasus terkait peredaran kayu yang berasal dari kawasan TNGL. Para pelaku saat ini sudah ditahan dan masih dalam proses penyidikan oleh PPNS.

Balai KSDA Sumatera Utara dan Aceh maupun Taman Nasional Gunung Leuser pun menghimbau agar masyarakat tidak segan untuk melaporkan jika menemukan kasus perdagangan satwa dan ilegal lainnya untuk dapat ditindaklanjuti oleh para penegak hukum.

Noviar Andayani, Country Director WCSIP menyambut baik hal ini. Menurutnya, dengan membeli dan memanfaatkan obyek hasil perburuan ilegal, pembalakan dan perambahan berarti ikut serta mempercepat kerusakan alam sekitar.

“Kami ingin mengajak masyarakat untuk berpartisipasi melestarikan hutan dan sumberdaya alam kita. Caranya mudah, dengan tidak menyimpan, membeli dan memperdagangkan satwa yang dilindungi ataupun hasil hutan seperti kayu, rotan yang bersumber dari dalam kawasan konservasi yang tidak diambil secara sah.”

Untuk memperingati hari jadi TNGL pada tanggal 8 Maret 2015, bertempat di Lapangan Merdeka Medan, pihak TNGL, WCS Indonesia Program, Biopalas (Biologi Pecinta Alam dan Studi Lingkungan Hidup) Universitas Sumatra Utara, Forum Harimau Kita serta relawan dari Tigerheart menggelar kampanye bertajuk “Love Our Nature for Better Future” yang bertujuan untuk mengajak masyarakat untuk mencintai lingkungan, terutama pada kelestarian hutan dan satwa liar.

 

 

 


Peringati Hari Jadi TN Gunung Leuser, Masyarakat Dihimbau Laporkan Perdagangan Satwa Ilegal was first posted on March 11, 2015 at 4:02 am.

Tiga Beruang Ditangkap Di Riau, Satu Mati Ditombak

$
0
0

Seekor beruang (Helarctos malayanus) mati setelah ditombak warga Dusun Huta Baru, Desa Menaming, Kabupaten Rokan Hulu, Riau, pada Senin (09/03/2015). Di hari yang sama di Kabupaten Pelalawan, dua ekor beruang lainnya berhasil ditangkap hidup oleh petugas Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Riau di sebuah konsesi kelapa sawit di Kabupaten Pelalawan.

Pada pertengahan Februari lalu, seekor beruang madu juga merangsek ke pemukiman warga di Kota Pekanbaru. Setelah dilakukan pembiusan akhirnya sang beruang dapat ditangkap.

Beruang madu di KWPLH 23 Balikpapan. Foto: Hendar

Beruang madu di KWPLH 23 Balikpapan. Foto: Hendar

Kepala Balai BKSDA Riau, Kemal Amas mengatakan, beruang betina dewasa di Rokan Hulu yang tewas ditombak tersebut sudah beberapa hari berkeliaran di sekitar pemukiman warga sehingga dianggap mengancam. Kemudian warga mengepung dengan bersenjatakan tombak dan senjata tajam.

“Karena dianggap mengancam dan membahayakan orang, makanya beruang itu dibunuh,” ujar Kemal yang dihubungi Mongabay pada Selasa (10/3/2015) kemarin.

Meski telah mati, BKSDA tidak berencana mengevakuasi bangkainya. Namun saat ini institusinya sudah mengirim petugas ke lapangan untuk penyelidikan dan membuat berita acara. Penyelidikan yang mungkin akan dilakukan adalah untuk mengetahui sebab-sebab kematian beruang tersebut apakah memang mati dibunuh dengan motif darurat atau keselamatan atau motif lainnya seperti ekonomi.

Sementara itu di hari yang sama, di Desa Kemang Kecamatan Pangkalan Kuras Kabupaten Pelalawan, Riau, dua ekor beruang api berhasil ditangkap hidup. Satwa ini kemudian dijebak ke dalam kandang buatan yang telah disiapkan petugas BKSDA di lahan konsesi kebun sawit PT Langgam Inti Hibrindo.

Sebelumnya Balai BKSDA telah menerima laporan dari perusahaan sawit tersebut yang menyatakan bahwa sejak akhir Februari lalu sejumlah pekerja pemanen dikejar-kejar beruang. Setelah menerima laporan tersebut, Balai BKSDA kemudian menyiapkan perangkap besi berukuran 2×3 meter dan tinggi 1,5 meter, yang berhasil menjebak dua beruang  jantan dan betina itu pada pada Senin kemarin.

Proses pemindahan beruang madu ke Kalaweit di Sumatra Barat. Foto: COP

Proses pemindahan beruang madu ke Kalaweit di Sumatra Barat. Foto: COP

“Benar sudah ditangkap. Sekarang mau dilepasliarkan. Hari ini sudah jalan (ke Rimbang Baling). Kenapa di Rimbang Baling, habitatnya SM (swaka margasatwa) untuk konservasi satwa dan kondisinya memungkinkan untuk berkembang biak di situ,” ujar Kemal.

Perambahan

Menurut Kemal maraknya konflik beruang dengan manusia dipicu oleh meningkatnya perambahan hutan atau penebangan liar di kantung-kantung habitat beruang.

“Saat ini habitat beruang semakin kritis. Habitatnya dirusak dan juga ada kebakaran hutan. Mungkini itu yang menyebabkan beruang ini keluar dari habitatnya. Biasanya beruang akan lebih agresif jika tidak di habitat aslinya,” katanya.

Kemal menghimbau jika ada satwa liar seperti beruang masuk ke pemukiman, maka warga bisa menghalaunya kembali ke hutan atau melaporkan kejadiannya kepada BKSDA atau aparat pemerintah lainnya.

Senada dengan Kemal, WWF Riau mengatakan aktivitas manusia yang telah masuk hingga ke kawasan berhutan mempersempit habitat satwa liar. Namun berbeda dengan populasi harimau  dan gajah sumatra yang terancam punah, beruang masih berstatus konservasi rentan dalam daftar merah yang dibuat lembaga pemeringkat konservasi internasional IUCN. Saat ini populasi beruang masih cukup banyak di sejumlah kawasan hutan di Riau. Sejauh ini WWF hanya melakukan riset terhadap harimau dan gajah. Namun riset itu juga menemukan beberapa kawasan itu terdapat keberadaan beruang.

“Perlindungan satwa itu harus menyeluruh. Alih fungsi kawasan hutan terjadi karena penerbitan izin perkebunan, perambahan dan ini trennya dalam jumlah besar. Hal ini mendorong kerusakan habitat, okupasi wilayah menjadi perkebunan makanya mereka keluar. Pemerintah perlu fokus menangani ini agar benar-benar terjaga dan terlindungi,” ujar Humas WWF Riau Syamsidar.

 


Tiga Beruang Ditangkap Di Riau, Satu Mati Ditombak was first posted on March 11, 2015 at 5:14 am.

Masyarakat Adat Menagih Janji Jokowi, Apakah Itu?

$
0
0

Warga Desa Pumlanga dan Dusun Walaino, salah satu masyarakat adat di Tobelo Dalam, Halmahera Timur yang terhimpit tambang dan taman nasional. Foto: AMAN Maluku Utara.

Presiden Joko Widodo berkomitmen akan menghadirkan negara di tengah-tengah masyarakat adat, dari pengakuan hak sampai merivisi beragam aturan yang menyulitkan. Namun, hingga kini tampaknya baru sebatas janji, karena belum ada implementasi di lapangan. Hak masyarakat adat belum diakui, kriminalisasi masih terjadi di mana-mana.

“Enam komitmen presiden masuk prolegnas tetapi gagal diperjuangkan masuk prioritas 2015,” kata Abdon Nababan, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) kala temu media “Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara dan Peluncuran Roadshow Film Siapa Lagi Kalau Bukan Kita” di Jakarta, Selasa (10/3/15).

Tak pelak, hingga kini, pengakuan hak-hak masyarakat adat masih angan. Hak-hak warga, kata Abdon, terabaikan, terdiskriminasi, kriminalisasi dan tanpa pelayanan.  “Wilayah adat serba tak pasti. Mereka juga anut agama leluhur, mereka tak dapat KTP. Padahal, mereka itu bangunan dasar negara ini. Mereka tak bisa dapat KTP, tak dapat surat nikah, lalu anak tak dapat akte kelahiran, dampak tak bisa sekolah. Masyarakat adat seperti ini banyak.”

Selama ini, katanya, administrasi pertanahan wilayah adat hanya lewat individu. Padahal, dalam UU Pokok Agraria ada aturan soal tanah ulayat (adat). “Tapi adminstrasi untuk wilayah-wilayah adat tak ada.”

Bukan itu saja. Masyarakat adat, katanya, tak ada dalam peta nasional hingga tak heran kala pemerintah memberikan izin-izin memunculkan konflik. “Eksistensi masyarakat adat tak ada. Jadi, masyarakat adat belum sepenuhnya jadi warga  negara dan bangsa Indonesia.”

Abdon mengatakan, komitmen pemerintah Jokowi ingin menghandirkan negara untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat adat. “AMAN bilang, kalau mau hadirkan negara, hadirkan dulu masyarakat adat di dalam negara. Peta-peta wilayah adat masuk dulu ke peta nasional. Komunitas ini terdaftar dulu. UU segera bereskan, selesaikan konflik-konflik agraria.  Jangan sampai negara mau hadir nanti malah hadir di antara para bandit yang mengatasnamakan masyarakat adat.”

AMAN juga mengusulkan selain Satgas Masyarakat Adat juga ada satgas yang mengurusi sengketa atau konflik agraria.

Selain itu, katanya, Jokowi, juga berkomitmen meninjau ulang aturan-aturan yang menyulitkan masyarakat adat.  Sebab, selama ini, pemerintah lewat kementerian sibuk berbicara masyarakat adat tetapi hanya buat dapat alokasi anggaran. “Dana besar tapi proyek. Mereka berebut proyek. Misal, pemukiman, pembinaan masyarakat adat. Di pariwisata ada,  wisata desa adat. Ketika ada masalah dan kriminaliasi semua lepas tangan. Kementerian itu hanya urusi urusan proyek masyarakat adat.”

Untuk itu, presiden berjanji membuat komisi independen agar ada yang benar-benar mengurus masyarakat adat, bukan hanya urusan proyek. “Komitmen-komitmen inilah yang ingin dikawal AMAN,” ucap Abdon.

Rakernas AMAN

Sejalan dengan itu, pada 15-19 Maret 2015, AMAN akan melaksanakan rapat kerja nasional (rakernas) di Sorong, Papua. Pada puncak acara, 17 Maret, rencana dihadiri Presiden Jokowi.

Menurut Abdon, Rakernas ini penting untuk memastikan posisi masyarakat adat menjadi warga negara sepenuhnya. “Jadi bagian warga Indonesia dan bangun dengan warga Indonesia yang lain. Itu yang akan kami bicarakan di rakernas.”

Aksi masyarakat Pandumaan-Sipituhuta dan AMAN di depan Kemenhut, Selasa(5/3/13) Mereka meminta pengembalian tanah adat dan hutan kemenyan yang sudah menjadi tempat tinggal dan hutan mereka turun menurun. Hingga kini, belum ada kejelasan mengenai hutan adat mereka. Foto: Sapariah Saturi

AMAN khusus meminta kepada presiden, kata Abdon, agar menghentikan kriminalisasi, seperti dialami Boku dan Nuhum di Maluku Utara, baru-baru ini.

AMAN juga mengajak presiden memulai proses rekonsiliasi nasional. “Kalau tak mulai, maka umur Indonesia tak akan panjang. Mengapa? Karena persoalan pengabaian hak-hak masyarakat adat ini jadi amunisi gerakan separatis di berbagai daerah.” Sebab, hak-hak dasar dasar soal tanah, KTP tak bisa dipenuhi negara. “Kalu gitu ngapain jadi RI kalau tak diakui penuh oleh negara.”

Untuk itu, kata Abdon, harus ada pemulihan agar masyarakat adat menjadi bagian warga negara setelah 70 tahun diabaikan.

Apa indikator-indikator pemulihan itu? Menurut Abdon, masyarakat adat bisa hidup aman di wilayah sendiri dan memiliki kejelasan status serta bisa membangun.

Jaleswari Pramodhawardhani, Staf Khusus Sekretaris Kabinet mengatakan, betapa kompleks dan rumit masalah masyarakat adat ini. Dia sepakat satgas masyarakat adat dan penyelesaian konflik segera terbentuk sejalan dengan keinginan presiden. Sayangnya, sebagai perwakilan pemerintah, Jaleswari belum  bisa memberikan jawaban pas kapan satgas itu bisa terbentuk. Meskipun dia menyadari, program-program prioritas pembangunan infrastruktur yang dicanangkan pemerintah berpotensi menjadi masalah besar dan konflik baru jika status masyarakat adat belum jelas.

“Kalau tak jadi fokus presiden dan kementerian akan jadi konflik besar. Dengan begitu, satgas khusus seperti yang diusulkan ini tak terelakkan, harus dibuat,” kata Jaleswari.  

Film dan pameran foto

Dalam rangkaian Hari Kebangkitan Masyarakat Adat ini, AMAN dan INFIS juga meluncurkan roadshow “Siapa Lagi Kalau Bukan Kita.” Ia berupa pamerah foto dan film pendek tentang masyarakat adat di Indonesia dan beberapa negara lain dalam melindungi hutan mereka.

Dari Indonesia, film dan foto antara lain, mengisahkan perjuangan dan kehidupan masyarakat adat Tobelo Dalam di Maluku Utara juga masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta di Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Dalam film itu tergambarkan, bagaimana masyarakat adat hidup bergantung dari hutan, tetapi izin-izin pemerintah dan kehadiran investor, mengancam hutan adat mereka.

Roadshow film ini mulai 10–29 Maret 2015, dimulai di Jakarta, Sorong, Toraja, dan ditutup di Bogor, Jawa Barat.  Rangkaian acara ini juga ada Bagian diskusi, dan pameran foto.

Film dan foto yang dibuat ini akan menjadi kampanye masyarakat adat menuju Call Of Parties (COP) ke-21 di Paris.

Paul Redman, Direktur Handcrafted Films mengatakan, film dan foto ini hasil kerja keras tim selama lebih dua tahun. Mulai dari Indonesia hingga Peru, program ini melibatkan partner lokal.

Enam prioritas utama perlindungan dan pemajuan hak masyarakat adat dalam Nawa Cita:

1. Meninjau ulang dan menyesuaikan seluruh peraturan perundang-undangan terkait dengan pengakuan, penghormatan, perlindungan dan pemajuan hak-hak masyarakat adat. Khusus, berkaitan hak-hak atas sumber-sumber agraria, sebagaimana telah diamanatkan oleh TAP MPR RI No. IX/ MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam sesuai dengan norma-norma hukum
sebagaimana yang telah ditetapkan MK 35/2012.

2. Melanjutkan proses legislasi RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat yang kini sudah berada pada pembahasan tahap-tahap akhir berlanjut hingga ditetapkan sebagai Undang-undang, dengan memasukkan perubahan-perubahan isi
sebagaimana yang diusulkan oleh DPR, AMAN, dan berbagai komponen masyarakat sipil lain.

3. Memastikan proses-proses legislasi terkait pengelolaan tanah dan sumber daya alam pada umumnya, seperti RUU Pertanahan, dan lain-lain, berjalan sesuai norma-norma pengakuan hak-hak masyarakat adat sebagaimana yang diamanatkan dalam MK 35/2012.

4. Mendorong suatu inisiatif berupa penyusunan (rancangan) Undang-undang terkait dengan penyelesaian konflik-konflik agraria yang muncul sebagai akibat dari pengingkaran berbagai peraturan perundang-undangan sektoral atas hak-hak masyarakat adat selama ini.

5. Membentuk Komisi Independen yang diberi mandat khusus Presiden untuk bekerja secara intens untuk mempersiapkan berbagai kebijakan dan kelembagaan
yang akan mengurus hal-hal yang berkaitan dengan urusan pengakuan, penghormatan, perlindungan, dan pemajuan hak-hak masyarakat adat ke depan.

6. Memastikan penerapan UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa berjalan, khususnya dalam hal mempersiapkan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/ kota dalam mengoperasionalisasi pengakuan hak-hak masyarakat adat untuk dapat ditetapkan menjadi desa.

Sumber: Dokumen Nawa Cita Jokowi


Masyarakat Adat Menagih Janji Jokowi, Apakah Itu? was first posted on March 11, 2015 at 11:39 pm.

100 Hari Jokowi–JK: Pakar Pertanian Ragukan Nawa Cita Tercapai, Jika Syarat-Syarat Ini Tidak Terpenuhi

$
0
0

Petani membajak sawah secara konvensional. Agenda Nawacita mengagendakan pembangunan pertanian dari pinggiran. Foto: Aji Wihardandi

Seperti yang tertuang dalam agenda kerja Pemerintahan Joko Widodo–Jusuf Kalla (Jokowi-JK) dalam Nawa Cita, maka membangun Indonesia dari pinggiran menjadi salah satu target agenda prioritas yang akan dilaksanakan. Meskipun demikian, hal ini tidak akan dapat dan mudah dilaksanakan, karena adanya restriksi berbagai pihak yang selama ini diuntungkan dan faktor-faktor prasyarat yang belum dilakukan pemerintah.

Menurut Ketua Lingkar Kajian Ekonomi Nusantara (LKEN) dan pakar ekonomi perdesaan, Didin S. Damanhuri, dalam seminar “Evaluasi 100 Hari Pemerintahan Jokowi–JK: Membangun dari Pinggiran, Mengapa Pembangunan Perdesaan Macet?” di Jakarta (9/3/2015) pembangunan dari pinggiran (daerah dan perdesaan) adalah suatu paradigma menentang arus atau against of stream terhadap paradigma pertumbuhan ekonomi (growth oriented).

Menurut Didin, semua program tersebut akan terhalang oleh pendekatan growth oriented yang telah diterapkan pemerintahan sebelumnya. Kondisi ini, ironisnya bertolak belakang dengan pernyataan Jokowi sendiri dalam APEC dan ASEAN Summit yang menyatakan Indonesia akan aktif dalam global supply chain.  Target ini tentunya berseberangan dengan target pembangunan kedaulatan pangan dan kemandirian ekonomi, karena produktivitas dan daya saing kita yang rendah. Akibatnya, ketimpangan sosial ekonomi perdesaan yang terjadi selama ini akan semakin jauh.

Di sisi lain, Didin menjelaskan bahwa selama ini pelaksanaan pembangunan ekonomi pertanian diserahkan kepada mekanisme pasar, yang berbasis korporasi besar dan asing dengan konsep food estate dan horticulture estate.

“Kondisi ini yang terjadi masa orde baru. Keberhasilan negara maupun pasar dengan pertumbuhan tujuh persen pertahun harus ditebus dengan kesenjangan sosial ekonomi. Lagi-lagi pedesaan dan pertanian tertinggal jauh dari perkotaan dan industri (urban and industrial bias development). Padahal, sektor pertanian dan wilayah pedesaan yang pertumbuhannya rendah justru menyerap tenaga kerja yang jauh lebih besar.”

Meski ada kucuran dana APBN ke setiap desa dengan kisaran 1,2 miliar, pembangunan infrastruktur pertanian seperti bendungan dan irigasi, hingga program swasembada pangan, semuanya akan sulit untuk mencapai pertumbuhan pada kisaran tujuh persen untuk saat ini.

Menurut Didin, hal penting yang harus dilakukan pemerintahan Jokowi saat ini adalah membuat grand design pembangunan berlandaskan UUD 1945 yang bertujuan untuk kemakmuran rakyat Indonesia, termasuk masyarakat desa.

“Di sinilah peran negara yang bersih, efisien, dan efektif guna mendampingi peran swasta, BUMN, dan koperasi. Jadi, tidak dilepas begitu saja. Dengan begitu, kemandirian ekonomi dan kedaulatan pangan dapat ditargetkan. Kita harus mencontoh negara yang telah berhasil seperti Jepang, Korea Selatan, Malaysia, juga Thailand.”

Menurutnya, peningkatan kapasitas petani, nelayan, dan masyarakat perdesaan harus dilakukan untuk memanfaatkan infrastruktur yang dibangun serta akses terhadap pasar guna pencapaian pertumbuhan ekonomi.

Di sisi lain, pakar pertanian HS Dillon menyatakan belum adanya komitmen membangun dari daerah pinggiran menyebabkan pembangunan di perdesaan jadi macet. Menurutnya, hal ini akan membuat tujuan swasembada pangan menjadi sulit untuk dipenuhi.

Bila berkaca pada data impor komoditi pangan Indonesia dari ASEAN dan dunia selama rentang waktu 2003 – 2013, maka swasembada pangan kita akan sulit dilakukan. Tahun 2003, misalnya, Indonesia mengimpor bahan pangan sekitar US$ 3.028 juta dan tahun 2013 sukses bertambah menjadi US$ 12.967 juta.

Fakta lainnya adalah pertanian belum memberikan keuntungan terlebih kesejahteraan pada petani. “Bagaimana kita mewujudkan kedaulatan pangan, lha investasi kelapa sawit masih mendominasi,” ujarnya.

 

Petani di Mbai, Flores mengusahakan pertanian di lahan kering. Foto: Anton Muhajir

 

Inovasi Pertanian dan Reforma Agraria

Menurut Dillon, perlu inovasi kebijakan yang cerdas untuk mengatasi permasalahan ini. Memang, saat ini Pemerintahan Jokowi giat membangun waduk dan menggerakkan petani. Namun, ini bukan disebut inovasi karena bukan hal yang baru. Harusnya, dipelajari dulu kenapa selama ini waduk tidak terurus dan berapa banyak kebutuhan masyarakat. Bila persoalan ini beres, barulah dibangun waduk baru yang jelas kebutuhannya.

“Infrastruktur yang harus dibangun adalah infrastruktur untuk kebutuhan akan datang. Bukan yang sudah-sudah. Ini baru inovasi pertanian.”

Menurutnya, sistem informasi pertanian harus diintegrasikan dengan pemanfaatan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi seperti penggunaan ponsel. Dengan teknologi ini, petani dapat belajar sekaligus menyerap informasi mulai dari kondisi cuaca, kebutuhan alat pertanian, hingga harga komoditas yang dapat dijual melalui online. Terobosan ini harus dilakukan pemerintah sekarang agar semua program dapat dijalankan.

Peneliti dari Sajogyo Institute, Gunawan Wiradi, menuturkan bahwa membangun dari pinggiran yang saat ini dilakukan barulah metafora. Kemacetan pembangunan ini dikarenakan, ibarat pembangunan jalan, maka bukan jalan utama yang diperbaiki melainkan trotoarnya yang diperindah.

“Ini jargon kampanye politik praktis. Untuk itu, evaluasi target pembangunan harus dilakukan sesuai UUD 1945” ujarnya. Menurutnya, pemerintah harus memenuhi berbagai prasyarat reforma agraria demi perbaikan tata kelola pertanian yang baik.

Misalnya, pengertian reforma agraria ‘bagi-bagi’ 9 juta hektar tanah merupakan pengertian yang salah. Datanya harus lengkap dan akurat, baru bisa dilakukan, termasuk prasyarat untuk memiliki organisasi tani yang kuat. Berdasarkan pengalaman, bila rezim pemerintahan berganti, permasalahan agraria akan muncul kembali. Demikian pula, elit penguasa harus terpisah dari elit bisnis. Saat ini para penguasa adalah pelaku bisnis.

“Jika sejumlah prasayarat ini belum terpenuhi, bagaimana reforma agraria akan dapat dilakukan?”

Selanjutnya HS Dillon menambahkan seharusnya reforma agraria menjadi tonggak pembangunan di tingkat desa. Reforma agraria harus memberikan akses petani miskin pada tanah pertanian. Reforma agraria harus mempertahankan aset pertanian dan sumber daya alam untuk kepentingan masyarakat lokal.

“Nawa Cita harus ditinjau kembali, apakah sudah bergerak ke arah yang tepat atau belum. Urut-urutan pekerjaan yang dilakukan harus ada dan jelas beserta tolok ukurnya. Karena, pembangunan perdesaan harus senafas dengan pertanian. Dan yang terpenting, melalui reforma agraria hak-hak masyarakat lokal dan adat yang terampas terhadap sumber daya alam dapat dikembalikan,” jelasnya mengakhiri pernyataan.


100 Hari Jokowi–JK: Pakar Pertanian Ragukan Nawa Cita Tercapai, Jika Syarat-Syarat Ini Tidak Terpenuhi was first posted on March 12, 2015 at 1:32 am.

Bila Mamalia Laut Terdampar, Apa yang Harus Dilakukan?

$
0
0

Paus bungkuk di Alaska. Foto: Rhett A. Butler

Perairan Indonesia merupakan salah satu habitat sekaligus sebagai jalur migrasinya mamalia laut. Fenomena terdamparnya mamalia laut yang terkadang berujung pada kematian harus disikapi serius. Mengingat, dari 90 jenis mamalia laut yang ada di dunia, 33 jenisnya ada di Indonesia.

Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan Agus Darmawan, mengatakan, bimbingan teknis penanganan mamalia laut terdampar, yang dilanjutkan dengan pembentukan jejaring tugas penanganan mamalia laut terdampar penting dilakukan. Terlebih, kondisi perairan Indonesia yang kian padat, ditambah dengan bertaburnya sampah, dan perburuan menyebabkan kehidupan mamalia laut terancam.

“Harus ada gugus terdepan di lokasi mamalia laut kerap terdampar. Jejaring ini yang bergerak melakukan penanganan awal. Sehingga, mamalia bisa diselamatkan dan dirilis kembali ke habitatnya,” ujar Agus, saat membuka Bimbingan Teknis Mamalia Laut Terdampar, di Pontianak, Rabu (4/3/2015).

Agus mengatakan, mamalia laut dari kelompok paus, lumba-lumba, dan dugong, saat ini berstatus terancam punah menurut kategori IUCN Redlist. Paus dan lumba-lumba merupakan kelompok akuatik yang sering terdampar di pantai-pantai Indonesia.

Tindakan

Koordinator Spesies Laut WWF Indonesia, Dwi Suprapti, mengatakan jika menemukan mamalia laut yang terdampar maka hal pertama yang harus dilakukan adalah mendekati mamalia tersebut secara hati-hati. “Hindari daerah mulut dan ekor. Lindungi lubang nafas dan matanya dari pasir atau benda-benda asing lainnya, termasuk air. Jika mamalia tersebut berada di air, bopong dan berikan sokongan agar terapung,” kata Dwi.

Berikutnya, lindungi sirip agar tidak patah. “Sirip terdiri dari tulang rawan, sehingga rentan patah. Jika patah mamalia tersebut tidak bisa berenang,” tambahnya.

Jika terdamparnya di pasir, gali lah pasir di bagian bawah sirip dada dan badan. Lalu, isi lubang tersebut dengan air. Hal ini untuk mengurangi tekanan gravitasi, karena tulang dada mamalia juga rentan. Gunakan matras sebagai alas.

Untuk menghindari stres, hindari banyak orang di sekeliling mamalia terdampar itu. Stres bisa menyebabkan kematian pada mamalia. Jika terkena terik matahari, mamalia yang terdampar harus dilindungi. Selanjutnya, saat mengangkat ke tandu, sirip harus ditekus sejajar tubuh, tetapi jangan dipaksa. “Saat pelepasan, kepalanya harus mengarah ke laut. Jika menggunakan kapal sisi kain tandu yang dibuka di bagian yang jauh dari kapal. Sehingga, saat berenang mamalia ini tidak menabrak kapal,” tambahnya.

Dwi menambahkan, ada beberapa kode yang dapat diberikan pada mamalia laut yang terdampar ini. Kode 1, artinya hewan masih hidup (alive). Kode 2, hewan baru saja mati dan belum ada pembangkakan (fresh dead). Kode 3, bangkai mulai membangkak (moderate decomposition), Kode 4, bangkai sudah membusuk (advance decomposition). Kode 5, bangkai sudah menjadi kerangka (severe decomposition). “Kode ini untuk memudahkan pelaporan, dalam bentuk SMS, MMS atau aplikasi komunikasi lainnya,” tukas Dwi.

Dalam bimbingan teknis tersebut, dibentuk pula jejaring tugas penyelamatan mamalia laut terdampar regional Kalimantan dengan Balai Pengelola Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Pontianak selaku koordinator kegiatan.

“Kecepatan dan ketepatan penanganan berkontribusi besar terhadap keselamatan mamalia laut yang terdampar. Setiap komponen, bertugas untuk mempercepat penanganan dan penyelamatan mamalia laut yang terdampar,” terang  Iwan Taruna Alkadrie, Kepala Seksi BPSPL Pontianak.

Lumba-lumba yang tertangkap bycatch, merupakan ancaman tersendiri bagi kelestarian satwa laut ini. Foto: WWF_Indonesia


Bila Mamalia Laut Terdampar, Apa yang Harus Dilakukan? was first posted on March 12, 2015 at 2:09 am.

PLTA Singkarak Diaudit Lingkungan. Bagaimana Hasilnya?

$
0
0

Keberadaan PLTA Singkarak di Nagari Guguk Malalo menyisakan berbagai masalah bagi masyarakat Nagari Guguk Malalo, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Walau sudah sering digelar pertemuan duduk bersama guna menyelesaikan masalah itu, tapi tetap saja belum membuahkan hasil. Terakhir masyarakat menuntut untuk dilakukannya audit lingkungan terhadap operasional PLTA Singkarak.

Audit lingkungan itu dilaksanakan oleh Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) Universitas Andalas, Padang didampingi oleh kedua belah pihak. Kegiatan tersebut berlangsung selama delapan bulan dan berakhir pada bulan Juli 2013.  Bagaimanakah hasilnya?

Keberadaan PLTA Singkarak diyakini masyarakat menyebabkan penurunan ketersediaan air di Nagari Malalo. Foto: Riko Coubut

Keberadaan PLTA Singkarak diyakini masyarakat menyebabkan penurunan ketersediaan air di Nagari Malalo. Foto: Riko Coubut

Konflik itu berawal pada 1992, ketika dibangun terowongan intake air PLTA Singkarak dengan kedalaman 5 – 800 meter yang menyisakan masalah seperti hilangnya 8 sumber mata air masyarakat, dan mengakibatkan irigasi banyak pesawahan kering, sehingga 106 hektar sawah tidak bisa diolah lagi. Sumber air diduga hilang karena adanya retakan tanah akibat pembangunan terowongan yang menggunakan bahanp peledak.

Pada 1993 ditemukan retakan tanah sepanjang kurang lebih 250 meter di Jorong Duo Koto, penurunan sedimen tanahnya mengakibatkan putusnya aliran irigasi (tali banda). Pada 1998 terjadi keretakan tanah di Bukit Cati sepanjang 200 meter dan menyebabkan putusnya aliran irigasi Banda Talao. Pada 2000 sedimen tanah amblas dan jatuh ke aliran sungai Batang Malalo dan mengakibatkan terjadinya galodo (tanah longsor) yang menelan 11 korban jiwa dan kerugian harta benda.

Pada 2004 terjadi keretakan tanah di Pabirahan sepanjang 30 meter dan pada 2005 terjadi retakan tanah di lokasi Tuanku Limopuluah sepanjang 80 meter. Retakan-retakan tanah itu terus terjadi, setidaknya hingga tahun 2010, berdasarkan tinjauan yang dilakukan masyarakat dibeberapa tempat di Nagari Guguk Malalo.

Audit lingkungan PLTA Singkarak dilakukan setelah ada Nota Kesepahaman antara masyarakat dengan PT. PLN (Persero) Sektor Bukittinggi pada 12 Februari 2013 di Padang Panjang. Dimana ruang lingkup audit tersebut meliputi 1) Kondisi hidrogeologi sekitar PLTA Singkarak yang mencakup pola aliran air dan kondisi air tanah serta air permukaan, 2) Kualitas air danau Singkarak sekitar Nagari Guguk Malalo terutama untuk pendugaan sedimentasi.

Termasuk 3) Kondisi perikanan Danau Singkarak sekitar Nagari Guguk Malalo, 4) Dampak pelaksanaan RKL/RPL PLTA Singkarak dan pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR) PLTA Singkarak di Nagari Guguk Malalo, 5) Kondisi dan persepsi masyarakat tentang keberadaan PLTA Singkarak serta upaya peningkatan kerjasama saling menguntungkan antara masyarakat dan PLTA Singkarak, 6) Kondisi sosial ekonomi masyarakat terkini dan sejarah perubahannya.

Tim audit lingkungan PLTA Singkarak, Sumatera Barat melakukan pengeboran tanah dibeberapa titik guna mendapatkan data kondisi hidrogeologi di sekitar Nagari Guguk Malalo. Foto: Riko Coubut

Tim audit lingkungan PLTA Singkarak, Sumatera Barat melakukan pengeboran tanah dibeberapa titik guna mendapatkan data kondisi hidrogeologi di sekitar Nagari Guguk Malalo. Foto: Riko Coubut

Kegiatan audit lingkungan ini dilakukan akan menjadi dasar pemberian rekomendasi pemerintah terhadap operasional dan pemeliharaan kualitas lingkungan disekitar PLTA Singkarak. Kemudian hasil yang ditemukan akan menjadi landasan perbaikan kinerja pengelolaan lingkungan PLTA Singkarak.

Nagari Guguk Malalo merupakan salah satu nagari yang berada di Kecamatan Batipuh Selatan, Tanah Datar, Sumbar, terbentang dari timur ke barat dan terletak di bagian barat Danau Singkarak, dengan tekstur tanah berbukit-bukit dengan kemiringan rata-rata 20 sampai 60 derajat dan sangat sedikit yang datar ataupun landai.

Nagari Guguk Malalo terdiri atas 3 jorong yaitu Jorong Duo Koto, Jorong Guguk dan Jorong Baing dengan luas wilayah 16.110 hektar dan berada pada ketinggian antara 360 – 1.300 mdpl. Sebagian besar masyarakat Nagari Guguk Malalo berprofesi sebagai petani dan nelayan, sisanya berprofesi sebagai pedagang, pegawai negeri sipil dan buruh.

Penyampaian Hasil Audit Lingkungan

PSLH Universitas Andalas telah mempublikasi hasil temuan Audit Lingkungan PLTA Singkarak kepada masyarakat dan PT. PLN (Persero) Sektor Bukittinggi yang difasilitasi oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedalda) Sumatera Barat beberapa waktu yang lalu.

Dalam pertemuan tersebut, PSLH Universitas Andalas memaparkan bahwa geomorfologi Malalo terdiri dari satuan alluvial, satuan dataran perbukitan struktural dan satuan perbukitan struktural. Satuan geomorfologi ini merupakan dasar penentuan batas-batas hidrogeologi (water devide) daerah Malalo yang bersifat batas tanpa aliran eksternal. Dari hasil pemetaan struktur geologi, teridentifikasi beberapa sesar seperti sesar Malalo, sesar Duo Koto, sesar Gulang-Gulang, sesar Uway, sesar Bukit Cati, sesar Kanang, sesar Lambiu, sesar Piliang, sesar Rawa Cino dan sesar Baing.

Masyarakat Nagari Guguk Malalo turut serta membantu dalam pengambilan sampling kondisi hidrogeologi untuk audit lingkungan PLTA Singkarak. Foto: Riko Coubut

Masyarakat Nagari Guguk Malalo turut serta membantu dalam pengambilan sampling kondisi hidrogeologi untuk audit lingkungan PLTA Singkarak. Foto: Riko Coubutgu

Dr. Ardinis Arbain, salah seorang tim Audit, saat ditemui Mongabay, pada Rabu, (03/03/2015) mengatakan kehilangan debit aliran air pada beberapa sungai di Malalo, salah satu penyebabnya adalah karena adanya sesar yang memotong beberapa aliran sungai yang menyebabkan sebagian atau seuruh aliran air masuk kedalam zona sesar yang melewatinya.

Untuk mengetahui keberadaan muka air tanah, telah dilakukan penelitian dengan cara melakukan pemboran sebanyak 25 titik. Hanya 12 titik yang ditemukan muka air tanah sedangkan untuk 13 titik lainnya tidak ditemukan muka air tanah. Muka air ditemukan dikedalaman 24 sampai 245 centimeter dari muka tanah, artinya muka air tanah di daerah terowongan jauh dibawah muka tanah.

Hasil pengamatan lapangan yang dilakukan terhadap komponen biologi terlihat adanya kecenderungan berkurangnya sedikit populasi tumbuhan air yang didapatkan pada bagian daerah pantai/pinggir danau yang landai, namun tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap keberadaan populasi ikan bilih, tambahnya.

Sementara itu masyarakat meyakini bahwa penurunan ketersediaan air di Nagari Malalo berhubungan dengan keberadaan PLTA Singkarak, sehingga masyarakat beranggapan bahwa penurunan kualitas air Danau Singkarak telah terjadi sebagai akibat operasional PLTA Singkarak. Penurunan pendapatan masyarakat yang signifikan terhadap kegiatan perikanan danau serta pendapatan dari hasil pertanian dan perkebunan saat ini berkaitan erat dengan keberadaan PLTA Singkarak, sehingga persepsi masyarakat cenderung negatif.

Audit lingkungan merupakan salah satu instrumen yang akan dijadikan bahan bagi masyarakat maupun pihak PLTA Singkarak dalam menentukan kesepakatan dalam penyelesaian konflik yang terjadi, namun hingga saat ini masyarakat belum mendapatkan dokumen lengkap hasil penelitian tersebut.

Wakil Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) Nagari Guguk Malalo, Syafrizal Dt. Rangkayo Basa, kepada Mongabay meminta agar PLTA Singkarak segera melakukan komunikasi bersama masyarakat untuk menindaklanjuti hasil audit lingkungan tersebut. Hasil rekomendasi dari pelaksanaan audit tersebut dapat menjadi bahan musyawarah dalam menyelesaikan masalah yang disengketakan. Pada prinsipnya masyarakat mendukung keberadaan PLTA Singkarak di Nagari Malalo, dan keberadaannya mesti memberikan kontribusi kepada kemajuan nagari.

Sebelumnya pihak PT. PLN (Persero) Sektor Bukittinggi selaku pengelola PLTA Singkarak berencana akan melakukan perbaikan saringan intake yang berada di Nagari Guguk Malalo. Untuk itu pihaknya telah melakukan komunikasi dengan pemerintahan Nagari mengenai hal tersebut. PLN juga berencana akan membangun embung dibeberapa tempat agar sawah-sawah masyarakat dapat dialiri termasuk akan membangun pengelolaan air minum dan mandi yang akan dialiri ke rumah-rumah masyarakat, ucap Mulyadi selaku Walinagari Guguk Malalo.

Pihak PT. PLN (Persero) Sektor Bukittinggi telah tiga kali melakukan koordinasi kepadanya mengenai keinginan perusahaan untuk membangun embung dan sumber air minum masyarakat di Guguk Malalo. Guna merespon itu, pihak nagari telah memfasilitasi pertemuan antara masyarakat dengan pihak PLN guna membicarakan hal tersebut. Namun belum ada keputusan terkait dengan rencana pembangunan embung dan sumber air minum masyarakat yang akan dibangun. Akan tetapi dalam pertemuan itu masyarakat menuntut agar pihak PLTA Singkarak terlebih dahulu menanggapi hasil audit yang sudah dilakukan, tambahnya.

Saat konfirmasi mengenai permasalahan tindak lanjut hasil audit itu kepada pihak perusahaan PT. PLN Sektor Bukittinggi pada Senin (04/02/2015), pihaknya mengaku telah memberitahukan hasil audit tersebut kepada pimpinan PT. PLN (persero) Sumbagsel dan pihaknya hingga kini, masih menunggu keputusan mengenai tindaklanjutnya.

 


PLTA Singkarak Diaudit Lingkungan. Bagaimana Hasilnya? was first posted on March 12, 2015 at 6:02 am.

Duh! Hiu Paus Seberat Dua Ton Mati Terperangkap Jaring Nelayan di Perairan Kalbar

$
0
0

Seekor hiu paus yang diselamatkan dari jaring di perairan Raja Ampat Papua beberapa waktu lalu. Spesies ini dilindungi melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2013. Foto: CI/Mark Edmann

Seekor hiu paus terperangkap dan mati dalam jaring nelayan di Desa Sungai Nyirih, Kecamatan Selakau, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat (Kalbar). Warga memerkirakan, berat badan satwa dengan nama Latin Rhincodon typus ini mencapai dua ton.

Peristiwa tersebut mulai tersiar di jejaring sosial Facebook pada Minggu (8/3/2015) pukul 21.05 WIB. Kala itu, pemilik akun Pri Haryo mengunggah sebuah foto sekumpulan orang sedang membelah ikan raksasa dengan corak kulit berbintik. “Hiu terperangkap di jaring nelayan Kurang lebih 2 ton bertempat di selakau (kampung somel),” tulis Pri Haryo.

Tak banyak yang merespon postingan foto di jejaring sosial itu. Bahkan, hingga Kamis (12/5/2015) pukul 11.37 WIB, tercatat hanya 33 netizen yang menyukai, dan 20 komentar yang berasal dari lima netizen.

Mongabay Indonesia di Pontianak mencoba menelusuri kebenaran foto yang diunggah pemilik akun tersebut. “Benar Pak, hiu itu terperangkap di jaring nelayan di kampung saya. Tapi saya tidak tahu siapa nama nelayannya,” kata Pri Haryo melalui selularnya, Rabu (11/5/2015).

Dia memerkirakan, nelayan mengalami kesulitan untuk melepas ikan berukuran besar itu dari jaringnya. Oleh karenanya, tidak ada pilihan lain kecuali menarik ikan dalam jaring tersebut hingga ke bantaran sungai di perkampungan. Sesampai di darat, ternyata hiu paus tersebut sudah lemas dan mati.

“Saya hanya mendengar kalau dagingnya mau dijual ke pasar untuk mengganti biaya kerusakan jaring nelayan, tapi tak laku. Makanya, dagingnya dibagi-bagikan ke warga sekitar. Itu pun banyak yang menolak. Warga di sini rata-rata tak mau makan ikan hiu. Akhirnya, ikan itu membusuk dan dibuang kembai ke sungai,” urai Pri Haryo.

Dia menjelaskan, mayoritas warga di desanya bermata pencarian sebagai nelayan dengan alat tangkap jaring tarik (pukat). Biasanya, warga mulai melaut pada pagi hari dan pulang sore. Mereka mencari ikan di kedalaman laut empat sampai enam meter. “Entahlah bagaimana ceritanya sampai hiu itu terperangkap jaring. Apakah nyasar atau gimana saya pun tak tahu,” ucapnya.

Pri Haryo memastikan bahwa kejadian seperti ini baru kali pertama di kampungnya. “Saya pun kaget, karena lokasi ikan ini ditambat di tepi sungai tak jauh dari rumah. Saya lihat ada belasan orang yang coba membalikkan badan ikan ini supaya naik ke darat. Tapi tak bisa. Akhirnya dibelah di tepi sungai,” ucapnya.

Perairan laut Kalbar memang merupakan salah satu jalur migrasi hiu paus. Hal ini pernah disampaikan oleh Dwi Suprapti, Koordinator Spesies Laut WWF Program Kalbar, saat hiu paus terkena jaring nelayan di perairan laut sekitar Sungai Pinyuh, Kabupaten Pontianak, Kalbar, medio Mei 2013 lalu. “Monitoring  dan penelitian hiu paus di Indonesia, sudah dilakukan WWF bersama parapihak sejak 2010,” jelasnya.

Inilah penampakan hiu paus (Rhincodon typus) di Desa Sungai Nyirih, Kecamatan Selakau, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Foto: Dok. Pri Haryo

Beginilah nasib hiu paus (Rhincodon typus) di Desa Sungai Nyirih, Kecamatan Selakau, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Foto: Dok. Pri Haryo

Hiu paus dilindungi

Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia telah menetapkan hiu paus sebagai jenis ikan yang dilindungi secara penuh melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2013. Keputusan ini dikeluarkan ketika Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) selaku pemegang otoritas keilmuan memberikan rekomendasi perlindungan penuh hiu paus pada 2012.

KKP juga melansir bahwa penelitian jenis hiu ini masih minim lantaran sulitnya mempelajari siklus hidupnya yang cenderung migrator dan soliter. Namun diperkirakan jumlahnya makin berkurang dikarenakan ikan ini mudah tertangkap secara tidak sengaja (bycatch) oleh nelayan karena ukurannya yang besar dan gerakannya yang lambat. Saat ini hiu paus masuk dalam Appendiks II CITES dan juga termasuk dalam daftar merah IUCN dengan kategori Rentan (Vulnerable).

Hiu paus memiliki karakter yang spesifik seperti berumur panjang, fekunditas rendah, jumlah anakan sedikit, lambat dalam mencapai matang kelamin, dan pertumbuhannya lambat, sehingga sekali terjadi over eksploitasi, sangat sulit bagi populasinya untuk kembali pulih.

Hiu paus adalah predator tingkat trofik tinggi dalam ekosistem pesisir dan lautan terbuka. Manfaat dari penetapan status perlindungan penuh ikan ini adalah untuk menjaga keseimbangan ekosistem (rantai makanan) perairan laut, menjaga kelestarian biota laut langka (eksotik), menjaga nilai dan keanekaragaman sumberdaya ikan dan lingkungan secara berkelanjutan, serta memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat melalui pengembangan pariwisata bahari berbasis hiu paus.

Sebaran hiu paus du dunia saat ini. Sumber: Jurnal Global Change Biology 2013

 


Duh! Hiu Paus Seberat Dua Ton Mati Terperangkap Jaring Nelayan di Perairan Kalbar was first posted on March 12, 2015 at 7:08 am.
Viewing all 9435 articles
Browse latest View live