Quantcast
Channel: Mongabay.co.id
Viewing all 9763 articles
Browse latest View live

Jatam Sulteng Laporkan Pemda Donggala ke Ombudsman, Kenapa?

$
0
0

Aliansi Masyarakat Sulawesi Tengah Bersatu (AMSB) berunjuk rasa di kantor Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tengah, beberapa waktu lalu. Tuntutan mereka adalah agar Bupati Donggala segera diperiksa terkait illegal mining. Foto: Syarifah Latowa

Jatam Sulawesi Tengah resmi melaporkan Pemerintah Daerah Donggala kepada Ombudsman, terkait pemberian izin usaha pertambangan (IUP) kepada perusahaan PT. Mulia Alam Perkasa (MAP), Senin (16/03/2015).

Jatam menilai telah terjadi kesalahan, kekeliruan yang bersifat administrasi, serta melawan hukum yang dilakukan pemerintah setempat.

“Kami melaporkan dugaan mal-administrasi yang dilakukan oleh Bupati Donggala, Kasman Lassa, karena menerbitkan IUP PT. MAP, tertanggal 21 Oktober 2014 Nomor 188.45/0665/DESDM/2014 tentang Perubahan atas Keputusan Bupati Donggala Nomor 188.45/0243/DESDM/2010 tentang IUP Operasi Produksi Pertambangan Batuan kepada PT. MAP. Intinya, tentang perubahan waktu izin operasi produksi perusahaan tersebut sampai tanggal 22 April 2015,” kata Muhammad Rifai Hadi, Manager Advokasi dan Penggalangan Jaringan Jatam Sulawesi Tengah (Sulteng) kepada Mongabay.

Rifai mengatakan, jika memperhatikan dengan jelas dasar perubahan SK Bupati Donggala Nomor 188.45/0243/DESDM/2010 adalah Surat Direktur PT. MAP Nomor 43/PH/10/MAP/2014 tertanggal 6 Oktober 2014, perihal permintaan penegasan atau penjelasan masa berlaku IUP.

Pihaknya menilai, SK Bupati Donggala tersebut menyalahi ketentuan perundang-undangan dengan alasan, IUP Eksploitasi yang di keluarkan oleh bupati lama H.N Bidja Nomor: 188.45/0111/DPE/04 adalah dasar pelaksanaan eksploitasi PT. MAP di Desa Batusuya, Kecamatan Sindue, seluas 15 hektar yang dikeluarkan dengan jangka waktu operasi penambangan 10 tahun. Dimulai 15 Januari 2004 sampai 15 Januari 2014. “Sudah jelas batas berakhirnya IUP PT. MAP yaitu 15 Januari 2014.”

Menurut Rifai lagi, keluarnya SK Bupati Donggala Nomor: 188.45/0665/DESDM/2014 tentang Perubahan Keputusan Bupati Donggala Nomor 188.45/0243/DESDM/2010, patut diduga sebagai upaya penghentian proses penyidikan Polda Sulteng atas dugaan tindak pidana illegal mining. Pada proses penyidikan tersebut telah ditetapkan tersangkanya yaitu Direktur PT. MAP dan Kepala Dinas ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) Kabupaten Donggala.

Nasrun, Perwakilan Ombudsman Sulteng yang menerima laporan Jatam, menyatakan segera menindaklanjuti laporan tersebut. Akan tetapi, laporan Jatam tidak akan diproses dalam waktu cepat, karena terlapor yang sama juga sedang diperkarakan di Polda Sulteng.

“Kami terus meminta perkembangannya di Polda. Yang jelas, laporan ini tetap akan kami tindaklanjuti,” ujar Nasrun.

Seperti diberitakan sebelumnya, pada November 2014, Bupati Kabupaten Donggala, Kasman Lassa, diperiksa penyidik Direktorat Kriminal Khusus (Ditkrimsus) di Markas Kepolisian Daerah (Mapolda) kurang lebih tiga jam.

Kasman Lassa dimintai keterangan terkait IUP PT. MAP yang dianggap bermasalah. Menurutnya IUP PT MAP yang ia tandatangani bukanlah IUP perpanjangan, namun IUP perubahan dari IUP yang ditandatangani oleh bupati sebelumnya.

“Ada dua diktum yang berbeda. Diktum pertama dinyatakan berlakunya IUP selama lima tahun dan diktum kedua berlaku sampai dengan tanggal 15 Januari 2014. Tanggal penetapan 22 April 2010. IUP yang ditandatangani bupati lama izinnya hanya 3 tahun 9 bulan, berarti tidak sama dengan yang tertera di diktum satu. Nah, diktum kedua inilah yang diperbaiki bukan diperpanjang,” jelas Kasman Lassa.

Ia mengatakan bahwa untuk memperbaiki diktum kedua itu harus melalui proses yang panjang; ada kajian dan permohonan perusahaan kepada bupati. Atas dasar permohonan itu, kemudian didisposisikan kepada Kepala Dinas Pertambangan ESDM. “Dalam disposisi, saya menyebutkan pelajari maksud isi surat sesuai perundang-undangan.”

Jadi, kata Kasman, berdasarkan surat Direksi PT. MAP tertanggal 6 Oktober 2014 yang ditujukan kepada Pemda Donggala, perusahaan itu memohon kepada bupati sebagai pemegang wewenang dapat memberikan jalan keluar dari persoalan adanya pertentangan norma yang terdapat dalam diktum satu, diktum kedua, dan diktum kesepuluh. Berdasarkan permohonan tersebut, maka lahirlah SK Nomor 88.45/0665/DESDM/2014 tertanggal 21 Oktober 2014 tentang perubahan diktum kedua SK Bupati Nomor 188.45/0243/DESDM/2010 tertanggal 22 April 2010.

“Alasan inilah yang menjadi dasar saya sebagai bupati mengambil tindakan hukum dalam upaya menyelesaikan ketidakpastian masa berlakunya IUP yang dimiliki PT. MAP. Jadi, sekali lagi saya tegaskan, saya tidak memperpanjang IUP PT. MAP, melainkan melakukan perbaikan sekaligus perubahan, dan SK yang baru itu masih satu kesatuan dengan SK lama,” terangnya.

 

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

 


Jatam Sulteng Laporkan Pemda Donggala ke Ombudsman, Kenapa? was first posted on March 17, 2015 at 12:51 am.

Peneliti Temukan Fosil Satwa “Alien” di Bumi

$
0
0
Aegirocassis benmoulae, spesies satwa bawah laut raksasa yang dinamai sesuai dengan penampakannya, dan ilmuwan penemunya.

Aegirocassis benmoulae, spesies satwa bawah laut raksasa yang spesimen fosilnya ditemukan baru-baru ini. Gambar ini merupakan rekonstruksi semasa hidupnya.  Sumber: Yale University

Seperti yang dilaporkan dalam Jurnal Nature edisi 11 Maret 2015, peneliti berhasil menemukan fosil satwa yang baru-baru ini ditemukan di bagian tenggara Maroko. Fosil ini diidentifikasikan sebagai sisa-sisa makhluk laut raksasa yang aneh dengan tubuh yang membentang sekitar tujuh meter, dan dinyatakan sebagai hewan terbesar di bumi di masanya.

Spesies baru ini, ditemukan oleh tim ahli paleontologi dari Universitas Yale. Fosil-fosil yang tersebut diperkirakan berasal dari era 480 juta tahun hingga Era Paleozoikum. Satwa ini lebih mirip alien daripada satwa purba bumi yang selama ini kita kenal. Fosil ini adalah spesies baru anomalocaridid ​​(secara harfiah, “udang aneh”) yang berada di cabang sisi leluhur unik pohon keluarga arthropoda – kelompok hewan dengan spesies hidup yang paling banyak di bumi saat ini, termasuk di dalamnya adalah kepiting, kupu-kupu, kalajengking , dan semut.

Bentuk hewan laut ini memang tidak biasa. Misalnya, kepala panjang dan seolah tertutup helm, tubuh tersegmentasi menjadi beberapa bagian, insang terletak di punggungnya, dan sirip-sirip dengan bentuk yang tidak normal.

Aegirocassis adalah makhluk dengan bentuk yang benar-benar luar biasa,” kata Dr. Derek Briggs, paleontolog dari Yale University dan juga salah satu penulis makalah tentang penemuan ini. “Kami sangat ingin mengetahui lebih lanjut tentang satwa laut ini. Fitur-fitur di tubuhnya belum pernah diamati pada Anomalocaridid cambrian yang lebih tua- bukan hanya satu seperti yang ditemukan para ilmuwan selama ini, tapi dua set fitur-fitur untuk berenang yang mirip sayap di sepanjang tubuhnya. Ini mewakili tahap dalam evolusi satwa-satwa dengan anggota tubuh bercabang dua, karakteristik arthropoda modern, seperti udang.”

 

Foto close up fossil yang ditemukan di gurun Sahara, Maroko. Sumber: Peter

Foto close up fossil yang ditemukan di gurun Sahara, Maroko. Sumber: Peter van Roy

 

“Mengingat ukurannya yang besar dan penampilannya yang sangat asing, saya berasumsi kebanyakan orang mungkin akan ketakutan jika mereka bertemu saat berenang di laut,” kata Dr. Peter van Roy, seorang ahli paleontologi di Universitas Ghent di Belgia dan penulis utama jurnal penemuan ini.

“Namun, berbeda sama sekali dengan hampir semua anomalocaridid lain yang predator aktif, hewan ini adalah hewan yang tenang dan cinta damai.” Satwa ini memakan plankton-plankton dan tidak berburu mangsa, seperti paus, raksasa laut yang hidup di era sekarang.

 

 

 


Peneliti Temukan Fosil Satwa “Alien” di Bumi was first posted on March 17, 2015 at 1:49 am.

Wooww… KKP Telah Tangkap 31 Kapal Penangkap Ikan Ilegal Selama 2015

$
0
0

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serius dalam menangani penangkapan ikan ilegal (ilegal fishing) di perairan Indonesia, terbukti dengan telah menangkap 31 kapal penangkap ikan ilegal selama tahun 2015.

Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP), Asep Burhanudin, dalam siaran pers KKP di Jakarta, pada Senin (16/03/2015) menjelaskan 31 kapal tersebut terdiri dari 16 kapal perikanan asing (KIA) dan 15 (lima belas) kapal perikanan Indonesia (KII).

Penangkapan dua kapal asing penangkap ikan ilegal asal Thailand oleh Kapal Pengawas Hiu Macan Tutul 005 di perairan teritorial Laut Anambas, Kepulauan Riau yang kemudian dibawa ke Satker PSDKP Batam pada 11 Maret 2015. Foto : Ditjen PSDKP KKP

Penangkapan dua kapal asing penangkap ikan ilegal asal Thailand oleh Kapal Pengawas Hiu Macan Tutul 005 di perairan teritorial Laut Anambas, Kepulauan Riau yang kemudian dibawa ke Satker PSDKP Batam pada 11 Maret 2015. Foto : Ditjen PSDKP KKP

Penangkapan kapal ilegal terakhir dilakukan Kapal Pengawas Hiu Macan 001 di perairan teritorial Pulau Serasan, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, pada Sabtu (14/03/2015). Hiu Macan menangkap empat KIA yang juga diduga berasal dari Vietnam, yang menggunakan alat tangkap pair trawl, yaitu kapal dengan nama lambung KG. 90512 TS berbobot sekira 95 gross tonnage/GT dengan 5 orang ABK Vietnam, kapal bernomor KG. 91395 TS  dengan berat 95 GT dan 3 orang ABK Vietnam, yang merupakan kapal pendukung dalam operasi alat tangkap pair trawl.

Dua kapal lainnya yang ditangkap merupakan kapal utama terdiri yaitu kapal bernomor KG. 94152 TS dengan berat 120  GT dan  29 orang ABK Vietnam, bermuatan sekitar 325 kg, dan kapal bernomor KG. 91751 TS dengan berat 120 GT, 18 orang ABK Vietnam, dan bermuatan sekitar 230 kg.

Empat kapal dan tersangka kemudian dibawah ke Stasiun PSDKP Pontianak, Kalimantan Barat, pada Senin (16/03/201), untuk diproses hukum oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perikanan. Sedangkan terhadap ABK non tersangka akan dilakukan koordinasi dengan Kementerian Luar Negeri dan Direktorat Jenderal Imigrasi untuk proses pemulangan (deportasi) ke negara asal.

Sebelumnya, tiga kapal perikanan asing ilegal juga ditangkap. KP Hiu Macan 005  menangkap satu kapal asing asal Thailand bernama KM Sudita di perairan teritorial Laut Anambas, Kepulauan Riau, pada tanggal 7 Maret 2015, sekitar pukul 17.15 WIB. Kapal berbobot 109 GT dengan ABK 13 orang WNA Thailand membawa ikan sebanyak ± 800 kg ikan campur.

Pada 10 Maret 2015, KP. Hiu Macan Tutul 002 menangkap dua KIA asal Vietnam, di perairan teritorial Laut Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, yaitu KM. SEROJA dengan bobot 110 GT dan ABK 15 orang WNA Vietnam, serta KM. SERASI berbobot 110  GT dengan  ABK 15 orang WNA Vietnam.

Selanjutnya, kapal dan tersangka dikawal menuju ke Satuan Kerja PSDKP Batam, Kepulauan Riau, untuk proses hukum oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perikanan. Sedangkan terhadap ABK non tersangka akan dilakukan koordinasi dengan Kementerian Luar Negeri dan Direktorat Jenderal Imigrasi untuk proses pemulangan (deportasi) ke negara asal.

Semua kapal tersebut diduga melakukan penangkapan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI) tanpa memiliki dokumen perijinan kegiatan penangkapan ikan dan menggunakan alat penangkap ikan terlarang  pair trawl.  ABK kapal bakal dituntut pelanggaran Pasal 92 Jo. Pasal 26 ayat (1), Pasal 93 ayat (1) Jo. Pasal 27 ayat (1), Pasal 98 Jo Pasal 42 ayat (3), Pasal 85 jo Pasal 9 ayat (1) UU No. 45 tahun 2009 Tentang perubahan atas UU RI No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan, dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak Rp20 miliar.

Penangkapan dua kapal asing penangkap ikan ilegal oleh Kapal Pengawas Hiu Macan Tutul 002 di Perairan Teritorial Laut Natuna pada 16 Februari 2015. Foto : Ditjen PSDKP KKP

Penangkapan dua kapal asing penangkap ikan ilegal oleh Kapal Pengawas Hiu Macan Tutul 002 di Perairan Teritorial Laut Natuna pada 16 Februari 2015. Foto : Ditjen PSDKP KKP

Sedangkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan pihaknya tetap konsisten dalam memerangi penangkapan ikan ilegal agar perikanan laut di Indonesia sesuai konsep keberlanjutan.

“Ikan tidak seperti batu bara, merupakan sumber daya yang dapat dipulihkan. Jika Anda mempertahankan stok awal, itu akan bertahan jangka panjang,” kata Susi dalam acara pertemuan bersama pimpinan media di Jakarta pada akhir Minggu kemarin.

 


Wooww… KKP Telah Tangkap 31 Kapal Penangkap Ikan Ilegal Selama 2015 was first posted on March 17, 2015 at 3:19 am.

Hutan Rimbun, Emisi Turun, Ekonomi Tambun, Rakyat Santun: Mampukah Diwujudkan di Sumsel?

$
0
0

Program pencegahan kebakaran hutan dan lahan gambut di Sumatera Selatan terus dijalankan meski BP REDD+ telah bubar. Foto: Rhett Butler

Najib Asmani, Staf Khusus Gubernur Sumatera Selatan Bidang Perubahan Iklim, menyatakan meskipun BP REDD+ sudah dibubarkan, namun model yang telah disusun yakni kemitraan pengelolaan landsekap ekoregion REDD+ di Sumsel tetap dijalankan.

Pengelolaan tersebut bertujuan untuk mewujudkan zero deforestation, zero burning, melestarikan kawasan hutan rawa gambut dan kawasan tanggapan air, serta perlindungan satwa langka melalui kegiatan ‘beyond carbon’ dengan pemberdayaaan masyarakat untuk perintisan pertanian moderen terpadu dan berkelanjutan.

Menurut Najib, visi utama model ekoregion yang dikembangkan ini adalah “Hutan Rimbun, Emisi Turun, Ekonomi Tambun, Rakyat Santun.” Model ini melibatkan Pemerintah Sumatera Selatan (Sumsel), perusahaan di sekitar kawasan hutan, dan masyarakat.

Strateginya, menciptakan sumber penghasilan yang layak bagi masyarakat sekitar kawasan dengan menanamkan kesadaran pentingnya manfaat hutan, air, dan sumber daya alam. Juga, mengajak masyarakat terlibat dalam gerakan pelestarian hutan dan sumber daya alam, serta menciptakan lingkungan usaha yang nyaman dan aman.

“Jangan hanya ingin hutan yang hijau lestari, tetapi rakyat di sekitar kawasan tidak dipedulikan, tak diperhatikan. Kalau masyarakat kelaparan, akhirnya hutan juga terpaksa di rambah. Apa gunanya ekologi yang baik jika perut rakyat kosong. Makan itu ekologi,” ujar Najib kepada Mongabay Indonesia, seusai workshop “Implementasi Kemitraan Pengelolaan Lanskap Ekoregion REDD+ dan Gerakan Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan (Gahkarhutlah)” di Palembang, Kamis (12/03/2015).

Kemitraan pengelolaan landskap ekoregion REDD+ yang telah disusun di Sumsel diharapkan dapat mewujudkan visinya menjadikan hutan rimbun, emisi turun, ekonomi tambun, dan rakyat santun. Foto: Rhett Butler

Lebih jauh, Najib menerangkan model ekoregion REDD+ Sumsel terbagi tiga zona. Pertama, zona hutan rawa gambut atau lahan basah yang banyak terdapat di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Ogan Ilir (OI), Musi Banyuasin (Muba), dan Kabupaten Banyuasin.

Misalnya, kegiatan mengatasi kebakaran hutan dan lahan gambut di OKI yang terus berjalan. Kegiatan tersebut berupa penguatan ekonomi masyarakat seperti pertanian dan perikanan, penanaman pohon nyamplung sebagai sumber energi alternatif, pendidikan kesadaran akan lingkungan melalui seni dan budaya, hingga penguatan masyarakat peduli api. Termasuk pula penguatan infrastruktur dan pencegahan kebakaran hutan dan lahan pada perusahaan yang beraktivitas di lahan gambut. “Program ini berdasarkan usulan masyarakat, hasil kajian, serta hasil studi banding ke wilayah lainnya di luar Sumatera Selatan,” jelasnya.

Kedua, zona hutan dataran tinggi atau daerah tangkapan air yang banyak terdapat di Kabupaten Empat Lawang, Muara Enim, Lahat, dan Kota Pagaralam. Ketiga, zona hutan dataran rendah, yang terdapat di Kabupaten Musi Banyuasin dan Kabupaten Musi Rawas, serta daerah kabupaten baru hasil pemekaran yakni Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara). “Semua program ini terus dilakukan.”

Terhadap gagasan yang disampaikan Najib Asmani, perwakilan Asia Pulp and Paper (APP) Dolly Priatna, mengatakan pihaknya belum yakin dengan situasi saat ini apakah program tersebut bisa diimplementasikan. Karena, pihaknya masih menunggu arahan dari pemerintah.

“Sesuai komitmen yang diluncurkan, kami akan melakukan restorasi yang melibatkan masyarakat agar ada rasa memiliki terhadap program tersebut. Di samping itu, kami akan mencari alternatif lain untuk lebih meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Itu yang akan dikedepankan,” papar Dolly.

Acara yang cukup menarik ini, tidak banyak dihadiri sejumlah pegiat lingkungan hidup di Palembang. Sebagian beralasan karena memiliki agenda lain. Gubernur Alex Noerdin pun berhalangan hadir karena ada kegiatan mendadak di Jakarta. Termasuk Wakil Gubernur Sumsel Ishak Mekki yang absen karena ada urusan berbeda.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

 


Hutan Rimbun, Emisi Turun, Ekonomi Tambun, Rakyat Santun: Mampukah Diwujudkan di Sumsel? was first posted on March 17, 2015 at 3:57 am.

Parah! Oknum Marinir Cukongi Pembalakan Kayu di Taman Nasional Leuser

$
0
0
Kayu damar ini dicuri dari kawasan TNGL. Pemodal ternyata oknum TNI AL. Foto: Ayat S Karokaro

Kayu damar ini dicuri dari kawasan TNGL. Pemodal ternyata oknum TNI AL. Foto: Ayat S Karokaro

Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNG), Minggu malam (15/3/15), mengamankan sekitar empat ton kayu damar kualitas kelas satu di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) di Langkat, berbatasan dengan Aceh. Tak hanya itu, tim penyidik BBTNGL juga menangkap cukong atau pemilik kayu curian, ternyata oknum anggota marinir TNI AL, bernama Hamin(34). Dia bertugas di Batalyon VIII Pangkalan Brandan, Langkat. Penyidik juga mengamankan supir, Wahyudi dan kondektur Mulyono,  yang membawa kayu dari kawasan TNGL.

Andi Basrul, Kepala BBTNGL kepada Mongabay Senin siang (16/3/15), mengatakan, penangkapan ini,  setelah mendapatkan informasi masyarakat, yang melaporkan pencurian kayu damar dari TNGL. Dipimpin Sapto Aji Prabowo, Kepala Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah III Stabat, mereka langsung turun ke lapangan.

Para tersangka ditangkap ketika sedang memuat kayu ke truk. Setelah pemeriksaan, pelaku tidak bisa menunjukkan surat atau izin penebangan atau mengangkut kayu dari kawasan hutan lindung, hingga ditangkap. Dari penyidikan, barang bukti, dicuri dari Blok Hutan Tower, Desa Skoci, Langkat, masuk kawasan TNGL.

Basrul mengatakan, Skoci Langkat, dianggap daerah paling tinggi perambahan mupun penebangan secara liar di TNGL. Kurun dua bulan terakhir, katanya, mereka berhasil mengungkap lima kasus dan menangkap pelaku penebangan kayu TNGL. Termasuk mengamankan sejumlah bukti, berupa kayu olahan menjadi gagang cangkul 1.500 buah,  30 kusen jadi, diolah menjadi pintu dan ada masih gelondongan 12 buah.

“Modus mereka supaya gak ketahuan dengan mengolah kayu di kawasan hutan. Tetapi penyidik tetap jeli. Kita sebenarnya mau bertindak tegas, tetapi nanti dipelintir masalah HAM.”

Meskipun begitu, para perambah seakan tidak peduli sikap tegas mereka. “Contoh sekarang ini. Oknum marinir TNI AL jajaran Kodam I/BB yang memodali, yang bekerja para perambah, mereka melawan.”

Setidaknya, kata Basrul, ada tiga oknum TNI berhasil ditangkap karena pemilik kayu ilegal, dan backing perusahaan kayu. “Semua sudah diamankan dan diserahkan ke Denpom jajaran Kodam I/BB.”

Hamin, ketika diwawancarai Mongabay membantah jika empat ton kayu itu miliknya. Dia mengatakan, kayu diambil dari perambah bernama Wak Zaimin hanya menggunakan truk miliknya.

Menurut dia, baru sekali membawa kayu olahan dari TNGL. Kayu itu, katanya, akan  dibawa ke daerah Diski, Kabupaten Langkat, untuk diolah di Panglong buat pintu dan lain-lain.

Jika lolos, empat ton kayu damar yang dirambah dari TNGL ini bisa laku Rp40 juta. Foto: Ayat S Karokaro

Jika lolos, empat ton kayu damar yang dirambah dari TNGL ini bisa laku Rp40 juta. Foto: Ayat S Karokaro


Parah! Oknum Marinir Cukongi Pembalakan Kayu di Taman Nasional Leuser was first posted on March 17, 2015 at 9:51 pm.

Solusi KNTI untuk KKP dalam Penyelesaian Polemik Cantrang

$
0
0

Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menyayangkan lambannya pemerintah mengambil tindakan antisipatif penyelesaian polemik penggunaan alat tangkap cantrang hingga menyebabkan meluasnya aksi massa dan lumpuhnya jalur Pantura Jawa beberapa waktu lalu. KNTI menyerukan kepada semua pihak untuk menahan diri, sembari mengawal proses transisi berjalan optimal.

Kepala Bidang Penggalangan Partisipasi Publik KNTI, Misbahul Munir mengatakan, sejak awal KNTI mendukung efektivitas pelarangan penggunaan alat tangkap merusak di seluruh perairan Indonesia. Maka, harus dilakukan dengan cara benar dan terukur.

Sejumlah dokumen menunjukkan upaya peralihan penggunaan cantrang sudah dilakukan sejak 2005. Namun sejak saat itu pula pemerintah dan pemerintah daerah tidak mengawal proses peralihannya. Indikasinya temuan KNTI yakni pemerintah justru dengan sadar mencatat hasil tangkapan ikan dari kapal-kapal cantrang sebagai bagian dari prestasi peningkatan produksi ikan nasional, penggunaan cantrang sebanyak 3.209 unit di 2004 meningkat 5.100 unit di 2007 dan sekarang diperkirakan lebih dari 10 ribu unit dari Jawa Tengah.

 

Kapal nelayan baru pulau melaut di Belawan. Kerusakan habitat menyebabkan hasil tangkap berkurang. Ribuan nelayan terpuruk. Foto: Ayat S Karokaro

Kapal nelayan baru pulau melaut di Belawan. Kerusakan habitat menyebabkan hasil tangkap berkurang. Ribuan nelayan terpuruk. Foto: Ayat S Karokaro

 

“Tindakan pemerintah membiarkan polemik cantrang pada lebih dari sebulan terakhir, tidak dapat dibenarkan,” kata Munir, kepada Mongabay pada Senin, (16/03/2015).

Ia menambahkan, sedikitnya 100 ribu jiwa terkena dampak langsung dan lebih 500 ribu jiwa lainnya terkena dampak tidak langsung akibat terhentinya aktivitas Anak buah kapal (ABK) kapal penangkap iakn. Pemenuhan hak-hak dasar warga yang dilindungi oleh konstitusi nyaris terabaikan.

Belajar dari masa lalu, dan guna  memastikan efektivitas pengelolaan perikanan, KNTI meminta pemerintah pusat untuk mengawal secara penuh masa transisi, dengan langkah-langkah berupa bersama pemerintah daerah, perguruan tinggi, organisasi nelayan, serta tokoh-tokoh masyarakat untuk melakukan simulasi dan pemantauan lapangan guna mengetahui operasionalisasi cantrang dari berbagai ukuran. Proses tranparan ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan terkait status merusak atau tidaknya alat tangkap cantrang, lalu semua pihak diharapkan dapat menerima hasilnya.

“Mensosialisasikan dan menyelenggarakan pelatihan penggunaan alat tangkap ramah lingkungan,” tambah Munir.

Selain itu, perlu menyiapkan skema pembiayaan untuk membantu peralihan ke alat tangkap ramah lingkungan melalui organisasi nelayan atau kelembagaan koperasi nelayan, menyelesaikan tuntas pengukuran ulang gross akte kapal ikan dan memfasilitasi proses penerbitan ijin baru, bekerjasama dengan organisasi nelayan dan institusi penegak hukum untuk menyiapkan skema pengawasan terpadu dan berbasis masyarakat.

Pemda juga perlu menyiapkan instrumen perlindungan pekerja di atas kapal ikan (ABK), termasuk memastikan adanya standar upah minimum bagi ABK Kapal Perikanan yang menjadi amanat dari UU Bagi Hasil Perikanan dan UU Ketenagakerjaan. KNTI mengusulkan kepada KKP untuk mengintegrasikan perjanjian kerja antara pemilik kapal dengan ABK masuk sebagai syarat perizinan (SIUP/SIPI/SIKPI) dapat terbit.

“Selama proses transisi, bersama pemerintah daerah menyiapkan skema perlindungan sosial terhadap para ABK dan keluarganya yang berpotensi terdampak,” kata Munir.

Selain itu menurut Munir, perlu memastikan perlindungan wilayah tangkap bagi nelayan tradisional dari konflik alat tangkap melalui pengakuan atas wilayah pengelolaan nelayan tradisional dalam rencana onasi di setiap provinsi dan kabupaten/kota pesisir.

Dala masa transisi, perlu dipastikan agar semua pihak dapat menahan diri, serta aktif mencegah konflik dan terjadi kriminalisasi dan di masa transisi KKP dan pemdan bersama-sama mempersiapkan mekanisme rehabilitasi dari ketergantungan alat tangkap yang merusak menjadi menjadi alat tangkap yang ramah lingkungan

“KNTI percaya bila langkah solutif itu dilakukan maka cita-cita mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia mulai diletakan pada dasar yang benar. Sebaliknya, bila persoalan cantrang ini terus berlanjut tanpa solusi yang tepat maka poros maritim kembali hanya menjadi jargon politik yang melenceng dari spirit keadilan sosial dan kebaharian bagi seluruh nelayan Indonesia,” tutup Munir.

 

Strategi Pembangunan Perikanan Berkelanjutan oleh KKP

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tengah menyusun arah kebijakan dan sasaran Rencana Strategi (Renstra) untuk lima tahun kedepan. Hal ini sebagai tindak lanjut dari Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015 – 2019.

Pembangunan kelautan dan perikanan lima tahun kedepan diarahkan untuk memenuhi tiga pilar yang saling terintegrasi, yakni kedaulatan (sovereignty), keberlanjutan (sustainability), dan kemakmuran (prosperity), kata Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti usai membuka kegiatan Konsultasi Publik Rancangan Renstra KKP dengan Stakeholder di Jakarta, Rabu, 11 Maret 2015, seperti dikutip dari rilis yang diterima Mongabay, Jumat 13 Maret 2015.

Menurut Susi, tiga pilar dalam visi KKP yakni ‘Terwujudnya Pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan secara Berdaulat, Mandiri dan Berkelanjutan untuk Kemakmuran Rakyat’. Selanjutnya, arah kebijakan dan program pembangunan kelautan dan perikanan akan menjabarkan tiga pilar tersebut ke dalam sasaran strategis dan program-program KKP.

“Rancangan Renstra akan ditetapkan menjadi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan paling lambat setelah diterbitkannya peraturan tentang RPJMN 2015-2019,” kata Susi Pudjiastuti.

Ia menambahkan, rancangan strategi pembangunan kelautan dan perikanan disusun dengan mempertimbangkan banyak hal termasuk melalui konsultasi publik untuk menggali masukan. Penyusunan rencana strategis melalui konsultasi publik ini melibatkan berbagai stakeholder, antara lain akademisi, asosiasi dan perbankan, Kementerian/Lembaga dan Pemda, serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan media.

“Kami mengharapkan dapat dilaksanakan diskusi yang produktif untuk memberikan bahan masukan terhadap rencana pembangunan kelautan dan perikanan lima tahun mendatang, mendukung terwujudnya Indonesia sebagai poros maritim dunia,” jelas Susi.

Dalam kerangka mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia, KKP telah menetapkan beberapa strategi kebijakan. Salah satunya dengan meningkatkan kemandirian dalam mengelola sumber daya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan. Strategi yang dilaksanakan mencakup pemberantasan Illegal Unreported and Unregulated (IUU) Fishing, meningkatkan kepatuhan (compliance) pelaku usaha kelautan dan perikanan, penataan perizinan usaha perikanan, penerapan manajemen kuota penangkapan, perlindungan dan penangkapan spesies tertentu.

Selanjutnya, larangan terhadap ekspor benih ikan tertentu (sidat dan lobster), perlindungan spawning ground, rehabilitasi ekosistem pesisir dan pengelolaan kawasan konservasi perairan, pengaturan alat tangkap ramah lingkungan serta strategi lainnya.

Selain pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan tersebut, KKP telah juga menetapkan strategi kebijakan lainnya, yakni meningkatkan daya saing dan keberlanjutan usaha kelautan dan perikanan bagi kemakmuran masyarakat.

“Mengembangkan kompetensi sumber daya manusia dan ilmu pengetahuan dan teknologi inovatif yang berkepribadian, serta membangun kemandirian pemerintah guna mewujudkan pranata, nilai-nilai dan jati diri kelembagaan yang bersih, efektif, transparan dan akuntabel,” tutup Susi.


Solusi KNTI untuk KKP dalam Penyelesaian Polemik Cantrang was first posted on March 18, 2015 at 12:00 am.

Ingin Penelitian Rawa? Datang saja ke Museum Rawa Indonesia

$
0
0
Museum Rawa Indonesia didirikan untuk menjawab minimnya pengetahuan soal rawa di Sumatera Selatan dan Indonesia. Foto: Muhammad Ikhsan

Museum Rawa Indonesia didirikan untuk menjawab minimnya pengetahuan soal rawa di Sumatera Selatan dan Indonesia. Foto: Muhammad Ikhsan

Tahun 1993, Rubiyanto H Susanto, saat kali pertama melakukan penelitian mengenai rawa di Sumatera Selatan, mengalami kesulitan mendapatkan data. Pengalaman tersebut lantas mendorong guru besar dari Universitas Sriwijaya ini mendirikan museum mengenai rawa. Dia berharap masyarakat yang tertarik mengenal dan mempelajari rawa tidak lagi kesulitan mendapatkan data, seperti yang pernah dialaminya.

“Waktu itu saya kesulitan, sama sekali tak ada data yang bisa digunakan. Kemudian pada perkembangannya, penelitian-penelitian yang telah dilakukan didokumentasikan hingga berdiri Pusat Data-Informasi Rawa dan Pesisir atau Pusdatarawa. Alhamdulillah, hari ini dengan dukungan berbagai pihak, Museum Rawa Indonesia (MRI) bisa soft launching,” ujar Rubiyanto kepada Mongabay Indonesia, usai peresmian MRI dan Taman Baca MRI di Desa Banyu Urip, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, Sabtu (14/03/2015).

Di MRI, kata Rubiyanto, siapa pun dapat mempelajari rawa. Baik karakternya, kondisi masa lalu, saat ini, masa mendatang, hingga pemanfaatannya.

Bentuk MRI lebih menyerupai museum terbuka yang menyajikan flora dan fauna apa saja yang ada di lahan rawa, teknologi pertanian, hingga budaya masyarakat lokal yang membuka lahan pertanian di rawa. Selain itu, di kawasan museum juga terdapat berbagai fasilitas pendukung, antara lain aula serba guna, taman baca, serta kebun koleksi.

Amiruddin Inoed, mantan Bupati Banyuasin, yang hadir di acara tersebut, mengatakan senang dengan berdirinya MRI dan Taman Baca MRI. Menurutnya, tempat ini wajib dikunjungi mahasiswa atau peneliti yang membutuhkan referensi mengenai keadaan rawa di Sumsel.

“Di sini sangat menarik, siapa pun yang ingin tahu mengenai rawa atau ingin melakukan penelitian yang berkaitan dengan hal tersebut perlu datang ke MRI.”

Inoed juga berpendapat MRI menjadi salah satu destinasi agrowisata yang menarik bagi masyarakat yang ingin berwisata menikmati suasana pedesaan dan serta menambah wawasan dan ilmu pengetahuan mengenai alam.

“Ada museum, taman baca, sawah, kolam, buah-buahan lokal, macam-macam. Saya pikir, bagus juga kalau ada homestay untuk tamu yang ingin menginap. Pelibatan masyarakat perlu juga dilakukan untuk meningkatkan wawasan dan perekonomian mereka,” ujar Inoed.

Museum Rawa Indonesia yang berada di Desa Banyu Urip, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, terbuka bagi semua kalangan yang ingin mempelajari seluk-beluk rawa. Foto: Muhammad Ikhsan

Museum Rawa Indonesia yang berada di Desa Banyu Urip, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, terbuka bagi semua kalangan yang ingin mempelajari seluk-beluk rawa. Foto: Muhammad Ikhsan

Sementara, Erlita, perwakilan manajemen sebuah perusahan hutan tanaman industri (HTI), menyatakan pengelolaan rawa sebagai areal pertanian seperti yang ada di Desa Banyu Urip memerlukan penanganan khusus. “Jika tak disikapi dengan bijak, rawa apalagi gambut dapat menjadi bencana. Kita semua tahu bagaimana dampak bencana asap akibat kebakaran di lahan gambut.”

Erlita mengatakan perusahaannya berkomitmen untuk mendukung pengembangan MRI dan Taman Baca MRI. Bahkan, Erlita menjanjikan program pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat sekitar yang mengantungkan hidupnya dari lahan rawa. “Kita siap bekerja sama dengan MRI untuk membantu peningkatan perekonomian masyarakat Desa Banyu Urip.”

Miskat, salah satu petani asal Desa Banyu Urip menceritakan dulunya areal persawahan di daerah ini merupakan rawa gambut dan kawasan hutan. Miskat yang datang ke Sumsel tahun 1980 merupakan transmigran dari Jawa Timur.

“Sebetulnya kami ditipu perusahaan yang menangangi masyarakat transmigrasi. Waktu di Jawa katanya, di Sumatera semuanya sudah siap, kami tinggal menanam saja. Nyatanya, masih rawa dan hutan belantara. Kami baru bisa bertanam tahun 1983. Sekarang tak terbayang lahan pertanian di Banyu Urip seperti sekarang ini.”

Menurut Miskat, masing-masing kepala keluarga mendapat lahan seluas dua hektar. Mereka bercocok tanam di rawa pasang surut dengan pola tanam dalam satu tahunnya, padi-jagung-jagung. Dari hasil produksi pertanian ini, masyarakat Banyu Urip dapat menyekolahkan anak-anaknya hingga ke jenjang perguruan tinggi.

“Ini juga berkat bimbingan dari penyuluh dan peneliti pertanian yang sering membantu petani di Banyu Urip. Kami senang kalau ada yang berkunjung ke desa kami. Semoga keberadaan MRI dan Taman Baca MRI ini menimbulkan dampak positif bagi Banyu Urip,” jelasnya.

Petani padi di Desa Banyu Urip berharap, hadirnya Museum Rawa Indonesia dapat meningkatkan pengetahuan mereka untuk meningkatkan kualitas pertanian. Foto: Rhett Butler

 

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

 


Ingin Penelitian Rawa? Datang saja ke Museum Rawa Indonesia was first posted on March 18, 2015 at 12:50 am.

Manfaat Ikan Gabus, Sumber Protein Tinggi Penyembuh Penyakit

$
0
0
6) Ikan Gabus (Channa striata Bloch, 1793) di tepian Muara Sungai Way Kanan TNWK, Lampung

Ikan Gabus, ikan asli Indonesia yang tinggi kandungan proteinnya. Foto: Haerudin R. Sadjudin

 

Di wilayah yang memiliki perairan, seperti sungai, rawa, parit dan danau, masih banyak ikan yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein. Salah satunya ikan gabus (Channa striata) yang sudah banyak dikenal oleh masyarakat Indonesia. Ikan ini mudah hidup di perairan yang belum tercemar oleh pestisida. Di alam ikan gabus adalah ikan predator, pemangsa ikan kecil, serangga, anak katak (berudu), keong, cacing dan jenis hewan air lainnya.

Ikan ini menyebar luas dari Asia Selatan, Tiongkok bagian selatan hingga wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia sebelah barat. Di Indonesia, banyak nama lokal untuk ikan ini seperti bocek (Riau), aruan, haruan (Melayu), kocolan (Betawi), bogo (Sunda), bayong, bogo, licingan (Banyumas), kutuk (Jawa), kabos (Minahasa). Dalam bahasa Inggris dikenal dengan nama seperti common snakehead, snakehead murrel, chevron snakehead, striped snakehead dan juga aruan.

Ikan gabus dewasa dapat berkembang hingga mencapai panjang satu meter. Berkepala besar agak gepeng mirip kepala ular (sehingga dinamai snakehead), dengan sisik-sisik besar di atas kepala. Tubuh bulat memanjang dengan sirip membulat di ujungnya. Sisi atas tubuh dari kepala hingga ke ekor berwarna gelap, hitam kecoklatan atau kehijauan, dengan sisi bawah tubuh putih. Sisi samping bercoret tebal menyerupai lingkungan sekitar. Mulut besar dengan gigi besar dan tajam.

Ikan gabus memiliki semacam organ labirin (seperti pada lele atau betok), namun lebih primitif yang menyerupai sistem pernafasan amfibia. Kemampuan ini menyebabkan ikan gabus memiliki kemampuan adaptif terhadap lingkungan yaitu berpindah atau mengubur diri dalam lumpur saat perairan mengering. Acapkali dijumpai ikan gabus ‘berjalan’ di daratan, khususnya pada malam hari saat musim kemarau, mencari tempat lain yang masih berair.

Ikan gabus dan kerabatnya termasuk hewan Dunia Lama, yakni dari Asia (genus Channa) dan Afrika (genus Parachanna). Di Indonesia terdapat beberapa spesies Channa. Salah satu kerabat dekat gabus adalah ikan toman (Channa micropeltes), yang panjang tubuhnya dapat melebihi satu meter dan beratnya lebih dari 5 kg.

 

Ikan Gabus dan Manfaat Kesehatan

Meski ikan lain juga dikenal sebagai sumber protein yang baik untuk tubuh, namun ikan gabus dikenal memiliki jenis kandungan gizi yang lebih tinggi. Kandungan protein ikan gabus sebesar 25,5%, lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar protein dari ikan bandeng (20,0%), ikan mas (16,0%), ikan kakap (20,0%), maupun ikan sarden (21,1%).

Hebatnya, ikan gabus ini sangat kaya akan albumin, salah satu jenis protein penting bagi tubuh manusia. Albumin diperlukan tubuh manusia, terutama dalam proses penyembuhan luka-luka. Pemberian daging ikan gabus atau ekstrak proteinnya telah dicoba untuk meningkatkan kadar albumin dalam darah dan membantu penyembuhan beberapa penyakit seperti kanker, stroke, gagal ginjal, diabetes mellitus hingga pengobatan pasca operasi.

Kekurangan albumin dalam tubuh manusia (hypoalbumin) menyebabkan nutrisi tidak bisa diedarkan dengan baik ke seluruh tubuh. Bagi anak, kekurangan albumin  akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan, perkembangan otak yang tidak maksimal, penurunan kekebalan tubuh hingga menyebabkan anak mudah sakit.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Prof. Nurpudji dari Universitas Hasanuddin, Makassar, pemberian 2 kg ikan gabus masak setiap hari kepada pasien pasca operasi akan meningkatkan albumin mereka menjadi normal. Pemberian ekstrak ikan gabus selama 10-14 hari menunjukkan peningkatan albumin hingga 0,6 hingga 0,8 g/dl. Kandungan albumin plus mineral zinc (Zn) dalam tubuh ikan gabus yang sebesar 1,7412 mg/100 g daging inilah yang membantu proses penyembuhan luka lebih cepat.

 

Kandungan Ikan Gabus

Diasinkan untuk Nilai Ekonomi

Sebetulnya ikan gabus memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Ikan gabus liar yang ditangkap dari sungai, danau dan rawa-rawa di Sumatera dan Kalimantan kerap kali diasinkan sebelum diperdagangkan antar pulau. Gabus asin merupakan salah satu ikan kering yang cukup mahal harganya. Selain itu ikan gabus segar, kebanyakan dijual dalam keadaan hidup, merupakan sumber protein yang cukup penting bagi masyarakat desa, khususnya yang berdekatan dengan wilayah berawa atau sungai.

Ikan gabus juga merupakan ikan pancingan yang menyenangkan. Dengan umpan hidup berupa serangga atau anak kodok, gabus relatif mudah dipancing. Namun giginya yang tajam dan sambaran serta tarikannya yang kuat, dapat dengan mudah memutuskan tali pancing. Untuk masyarakat desa yang khususnya petani, ikan gabus sangat membantu memusnahkan hama, misalnya: sawah yang banyak di huni oleh hama keong, sering kali berujung dengan gagal panen, akibat dari ulah keong yang sering memakan padi, terutama di usia muda.

Namun, ikan ini juga dapat sangat merugikan, yakni apabila masuk ke kolam-kolam pemeliharaan ikan. Gabus sangat rakus memangsa ikan kecil-kecil, sehingga bisa menghabiskan ikan-ikan yang dipelihara di kolam, utamanya bila ikan peliharaan itu masih berukuran kecil. Dilaporkan, ikan gabus yang diintroduksikan telah berkembang menjadi spesies penganggu di Sulawesi dan Papua karena memusnahkan spesies ikan asli.

 

*) Haerudin R. Sadjudin,  penulis adalah Program Manajer Konsorsium Yayasan Badak Indonesia (YABI, WCS-IP & YAPEKA) Siklus III TFCA-Sumatra. Saat ini sedang melakukan studi pengembangan ekonomi masyarakat sekitar kawasan perairan air tawar TN Way Kambas berbasis sumberdaya lokal.

 

 

 


Manfaat Ikan Gabus, Sumber Protein Tinggi Penyembuh Penyakit was first posted on March 18, 2015 at 8:13 am.

Kelompok Ini Sulap Lahan Tidur jadi Sawah Organik, Caranya?

$
0
0
Siti Rahmah,  Ketua kelompok Pita Aksi aktif mengajak warga bertani organik. Atas usaha ini dia mendapatkan penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara pada 2014 dan berkesempatan bertemu dengan Presiden Jokowi. Foto: Wahyu Chandra

Siti Rahmah, Ketua kelompok Pita Aksi aktif mengajak warga bertani organik. Atas usaha ini dia mendapatkan penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara pada 2014 dan berkesempatan bertemu dengan Presiden Jokowi. Foto: Wahyu Chandra

Siti Rahmah tak mampu menyembunyikan kegugupan. Wajah perempuan 49 tahun ini memerah. Sang suami, Arief Sore, tersenyum.

“Tak usah tegang bu. Santai saja melihat ke kamera. Bicara tenang,” kata Fatmasari Hutagalung, Program Offcer Restoring Coastal Livelihood (RCL) Oxfam, coba menenangkan. Namun Siti tak bisa santai.

Selasa (3/3/15), Siti memang menjadi bintang. Sejumlah media nasional berkunjung ke rumahnya, sekaligus sekretariat kelompok, Pita Aksi. Mereka dinilai sukses mengembangkan pertanian organik memanfaatkan sisa pekarangan rumah dan lahan tidur di kampung Desa Pitusunggu, Kecamatan  Ma’rang, Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan.

Atas usaha ini sang ketua terpilih sebagai satu dari tujuh perempuan pejuang pangan “Female Food Heroes Indonesia 2013”, bertepatan Hari Perempuan Internasional, 8 Maret 2013. Pada Desember 2014, dia menerima penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara dari pemerintah. Lalu, berkesempatan bertemu Presiden Joko Widodo bersama 88 penerima penghargaan lain, 16 Januari 2015.

Di sekeliling rumah Siti dipenuhi berbagai jenis sayuran. Namun, karena musim hujan sayuran yang bisa ditanam terbatas.

“Sekarang sedikit sayuran karena hujan. Kalau kemarau justru bagus. Kita bisa menentukan berapa banyak air bisa diberikan. Kalau hujan susah. Cabai kami tanam banyak busuk,” katanya.

Seluruh tanaman, katanya, murni organik, tanpa bahan kimiawi. “Awal kita pakai kompos, pupuk cair untuk penyemprotan. Mencegah hama gunakan pestisida nabati, yaitu menanam berbagai jenis tanaman tak disukai hama di sela-sela tumbuhan inti.”

Siti juga mengajak mengunjungi sawah organik di belakang rumahnya. Dia menunjukkan mesin pencacah tanaman milik kelompok biasa untuk pembuatan pupuk kompos.

Luas hamparan sawah menghijau itu sekitar delapan hektar. Hujan rintik membuat kami harus melepas sepatu dan menggulung celana. Pelan-pelan menyusuri pematang sawah berlumpur.

“Ini dulu lahan tidur. Hampir 20 tahun hanya padang ilalang tak terurus. Kalau dijual harga murah sekali.” Beberapa petani terlihat sibuk membersihkan gulma di sela-sela tanaman. “Gulma itu biasa ditenggelamkan, bagus untuk tanah. Bisa dicacah bahan campur kompos.”

Dia menceritakan, dulu lahan itu pembibitan padi, ketika usaha komoditas ini masih unggulan. Kala booming udang awal 1980-an, lahan itu tak lagi berfungsi.

Sawah-sawah banyak menjadi tambak udang hingga sedikit sawah tersisa.”Tak ada sawah, maka pembibitan,” ujar dia.

Lahan delapan hektar dulu tidur, menjadi sawah organik dengan hasil sekitar 5-6 ton per hektar. Foto: Wahyu Chandra

Lahan delapan hektar dulu tidur, menjadi sawah organik dengan hasil sekitar 5-6 ton per hektar. Foto: Wahyu Chandra

Bertahun-tahun tak ada warga memanfaatkan lahan itu. Ketika RCL Oxfam masuk menawarkan metode bertani organik memanfaatkan lahan terbatas, termasuk pekarangan rumah dan lahan tidur. Tak banyak warga yakin. “Banyak bilang mustahil menanam padi di situ. Kami lanjut hingga ada hasil.”

Pesimisme warga beralasan, karena daerah pesisir dianggap susah tumbuh padi dengan baik. Usaha tambak dinilai lebih prospektif.

Ini juga diakui Soni Kusnito, fasilitator RCL yang mendampingi warga. Program ini awalnya sulit diterima karena tak ada hasil langsung. Sedang mereka  harus menghidupi keluarga.

Kondisi berubah setelah hasil terlihat. Kesuksesan Siti dan Pita Aksi bertani organik membuka mata petani lain. Tak cukup setahun, pekarangan rumah merekapun menghijau ditumbuhi beragam sayuran, seperti kangkung, sawi, cabai, kacang, dan tanaman lain. Sawah organik, belakangan menunjukkan hasil melebihi harapan.

Sayuran mereka, pada awal untuk konsumsi sendiri perlahan diperjualbelikan. ”Pembeli bukan hanya tetangga juga datang dari desa lain. Mereka mulai tahu kalau ada sayuran organik di sini.”

Pasar sayuran organik Pita Aksi bahkan sempat diperjualbelikan ke swalayan di Makassar, meski berhenti karena berbagai sebab. ”Mereka hanya bisa beli skala kecil. Kita ada biaya pengemasan dan pengantaran. Rugi jika beli sedikit.”

Faktor lain, belum ada label sertifikasi organik, padahal sejumlah swalayan mempersyaratkan.

Untuk mendapatkan sertifikasi organik sendiri proses tak mudah dan memerlukan biaya mahal.

“Saya dengar minimal Rp30 juta, kami tak punya biaya, kecuali jika pemerintah atau Oxfam membantu,” kata Siti.

Padahal jika dipasarkan di swalayan harga sayuran bisa lebih mahal, misal, dua ikat sawi bisa Rp7.000, sedang pasar tradisional Rp1.000.

Untuk padi dengan lahan anggota delapan hektar ini bisa menghasilkan sampai 40 ton lebih atau 5-6 ton per hektar. Bahkan ada kecenderungan meningkat pada panen terakhir. Hasil ini lebih tinggi dari panen sawah non organik. Dari pendapatanpun bisa meningkat karena harga padi organik bisa Rp15.000–Rp25.000 per kg, padi biasa Rp10.000 per kg.

 Kelompok Pita Aksi kini beranggotakan 30 petani sukses mengembangkan pertanian organik di pekarangan dan pemanfaatan lahan tidur. Beragam macam sayuran di tanam di lahan warga yang menjadi anggota kelompok. Hasilnya pun sudah bisa dijual. Foto: Wahyu Chandra


Kelompok Pita Aksi kini beranggotakan 30 petani sukses mengembangkan pertanian organik di pekarangan dan pemanfaatan lahan tidur. Beragam macam sayuran di tanam di lahan warga yang menjadi anggota kelompok. Hasilnya pun sudah bisa dijual. Foto: Wahyu Chandra

Pengelolaan sawah organik tidak lagi menggunakan urea dan pestisida. Mereka pakai kompos dan penyemprotan pupuk cair microrganisme local. Seluruh pupuk dibuat petani menggunakan limbah ternak, tanaman dan buah-buah busuk.

Untuk satu hektar sawah perlu dua ton kompos Rp2 juta. Sedang pupuk cair MOL 50 liter Rp500.000.

“Kalau mau dihitung-hitung tak ada biaya keluar membuat bahan pupuk itu. Semua bahan ada, tak usah membeli.”

Kesuksesan sawah organik kelompok Pita Aksi ternyata membawa pangaruh besar bagi warga Pitusunggu. Lahan-lahan tidur mulai dilirik.

“Ada bahkan secara paksa menuntut kembali kepemilikan lahan yang dulu diserahkan ke saudara. Kini mereka ambil karena dianggap menghasilkan. Jadi ada rebutan lahan,” kata Arief.

Hamlani, warga Desa Pitusunggu mengaku termotivasi dengan capaian Pita Aksi dan kiprah Siti yang kini banyak diundang berbicara di berbagai forum.

Sekolah lapang

Sebenarnya bagaimana Siti dan anggota Pita Aksi memperoleh pengetahuan bertani organik? Kelompok ini berdiri 2009 sebagai kelompok perempuan tani. Bertani organik belum menjadi prioritas. Pemahaman organik belum ada.

Ketika program RCL masuk menawarkan dukungan pelatihan melalui sekolah lapang, mereka pun menerima dengan senang hati. Jika awal ada 15 orang dan semua perempuan. Kini, menjadi 30 orang sebagian laki-laki.

Menurut Fatmasari, awal RCL di Pitusunggu ditawarkan sejumah program kepada warga. Salah satu membentuk sekolah lapang organik.

SL Organik selama tiga bulan, pertemuan sekali seminggu. Para peserta, warga yang berminat dan sebagian besar perempuan. Melalui SL mereka belajar tata cara bertanam organik, pembuatan kompos dan pupuk MOL.

“Sekolahnya ya di pekarangan rumah masing-masing. Belajar sedikit teori dan langsung praktik.”

Harun Bambang, Kepala Dinas Ketahanan Pangan Pangkep, mengatakan, pertanian organik akan menjadi kebutuhan mendasar masa datang. Hal terpenting, mencoba mengubah perilaku petani dari ketergantungan bahan kimiawi ke organik.

Kelompok Pita Aksi membuat pupuk kompos sendiri digunakan bersama anggota. Satu hektar sawah memerlukan dua ton kompos. Kini tak ada lagi penggunaan pupuk dan pestisida kimia. Foto: Wahyu Chandra

Kelompok Pita Aksi membuat pupuk kompos sendiri digunakan bersama anggota. Satu hektar sawah memerlukan dua ton kompos. Kini tak ada lagi penggunaan pupuk dan pestisida kimia. Foto: Wahyu Chandra


Kelompok Ini Sulap Lahan Tidur jadi Sawah Organik, Caranya? was first posted on March 18, 2015 at 4:16 pm.

Energi Terbarukan Dibahas Pada Pertemuan Mahasiswa ASEAN di Mojokerto

$
0
0

Pesatnya pertumbuhan industri di suatu negara khususnya di kawasan Asia Tenggara, menjadikan konsumsi energi juga menjadi semakin besar. Data dari International Energy Agency (IEA) tahun 2014 menyebutkan, terjadi peningkatan permintaan energi hingga 80 persen di kawasan Asia Tenggara hingga tahun 2035. Secara umum pemenuhan kebutuhan energi hingga kini masih disediakan dari bahan bakar fosil yang tidak dapat diperbarui, yang dapat menimbulkan kekhawatiran polusi hingga perubahan iklim global.

Kondisi seperti ini menjadi tantangan sekaligus peluang untuk memunculkan energi alternatif yang terbarukan, untuk mengatasi persoalan ancaman kelangkaan energi. Persoalan energi terbarukan inilah yang menjadi pokok bahasan 27 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Asia Tenggara (ASEAN), pada Project Camp bidang energi ASEAN Youth Energy Institute 2015, 13-17 Maret 2015, di Universitas Surabaya Training Center, Trawas, Mojokerto, Jawa Timur.

 

Solar Panel di Ubaya Training Center, Trawas, Mojokerto,  Jawa Timur, sebagai salah satu contoh pemanfaatan energi terbarukan untuk  listrik penerangan. Foto : Petrus Riski

Solar Panel di Ubaya Training Center, Trawas, Mojokerto, Jawa Timur, sebagai salah satu contoh pemanfaatan energi terbarukan untuk listrik penerangan. Foto : Petrus Riski

Kegiatan yang didanai oleh Young South East Asian Leaders Initiative (YSEALI) Seeds for the Future dari Amerika Serikat, ingin mengajak dan membangkitkan kesadaran generasi muda akan krisis energi serta kebutuhan energi terbarukan yang merupakan alternatif energi pada masa depan.

Project Manager ASEAN Youth Energy Institute 2015, William Alex Ginardy Lie mengatakan dikumpulkannya mahasiswa dari berbagai negara di ASEAN dengan keahlian di bidang energi, bertujuan membangun kesadaran masyarakat melalui generasi muda agar mulai beralih menggunakan energi terbarukan.

“Pemuda sebagai agen perubahan memiliki peran yang sangat penting dalam mewujudkan kemandirian energi bagi suatu bangsa, terutama di wilayah Asia Tenggara. Maka kami berinisiatif untuk mengumpulkan mahasiswa-mahasiswa ASEAN yang berpotensi dibidang energi, terutama energi terbarukan, untuk dapat belajar bersama dan membagi ilmu mereka dalam suatu forum,” terang William.

Perkembangan industri serta perekonomian suatu negara yang begitu pesat menurut William, menjadi sebuah ironi karena masih banyaknya daerah-daerah terpencil di Asia Tenggara yang masih belum teraliri energi listrik.

“Kami melihat energi terbarukan belum banyak berkembang karena keterbatasan informasi, sehingga dibutuhkan informasi yang lebih baik dan penyuluhan ke masyarakat yang lebih baik,” kata William, mahasiswa yang baru lulus dari Universitas Kristen Petra Surabaya.

Persoalan energi masih tergantung pada bahan bakar fosil, dimana cadangan minyak bumi global bakal habis kurang dari 20 tahun. Sedangkan untuk gas alam diperkirakan akan habis sekitar 30 tahun, serta batu bara akan habis sekitar 70 hingga 80 tahun kedepan. Selain mudah habis, energi fosil juga memiliki dampak paling buruk bagi lingkungan.

Diungkapkan oleh Elieser Tarigan, Dosen sekaligus peneliti dari Pusat Penelitian Energi Terbarukan, Universitas Surabaya (Ubaya), semua kekurangan bahan bakar fosil itu harus menjadi landasan kuat dimulainya pemanfaatan energi terbarukan secara serius. Hingga saat ini hampir semua negara masih bergantung pada energi fosil, yaitu batubara, gas alam, dan minyak bumi, yang ikut mempengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia secara ekonomi dan sosial politik.

“Mau tidak mau kita harus mengantisipasi bagaimana kedepannya, karena ini berkaitan dengan global warming yang menimbulkan perubahan iklim. Cara mengatasinya ada 2 yang sekaligus dapat berjalan bersama, yaitu konservasi dengan hemat energi, serta mencari sumber energi baru yang bersih dan selalu tersedia tanpa harus merusak lingkungan,” ujar Elieser.

Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara, bahkan di dunia, yang memiliki potensi energi terbarukan yang tidak terbatas, yang belum digunakan maksimal dan optimal.

Energi terbarukan ini sangat tergantung pada karakteristik suatu daerah, sehingga efektivitasnya harus memperhatikan kondisi dan potensi daerah itu. Di Indonesia sedikitnya ada 7 potensi energi terbarukan, antara lain geothermal atau panas bumi, energi surya atau matahari, biomassa, air, angin, hy\idrogen, serta blue energi atau oceanic energi.

Gunung Penanggungan, Jawa Timur, menyimpan potensi energi  terbarukan dari geothermal yang belum tergarap. Foto : Petrus Riski
Gunung Penanggungan, Jawa Timur, menyimpan potensi energi terbarukan dari geothermal yang belum tergarap. Foto : Petrus Riski

“Untuk Indonesia yang paling potensi adalah geothermal. Kita sering langka listrik padahal di pegunungan-pegunungan yang kita miliki ini sangat besar potensi geothermal di dalamnya, dan itu belum dieksploitasi, tidak sampai 15 persen yang dieksploitasi,” tutur Elieser yang menyebut potensi energi geothermal di Indonesia terbesar di dunia.

Penerapan energi terbarukan kata masih terkendala kebiasaan serta pemahaman masyarakat yang masih sudah sangat tergantung dengan energi fosil. Kampanye penyadaran untuk membuka pemahaman masyarakat sangat diperlukan, agar generasi kini dan yang akan datang dapat lebih terbuka dan memahami pentingnya energi terbarukan.

“Masyarakat kita mungkin tidak terbiasa dan tidak tahu, sehingga generasi muda harus dilibatkan untuk menimbulkan awareness bahwa energi yang kita pakai saat ini harus dicari solusi penggantinya,” imbuhnya.

Selain energi geothermal, Indonesia juga sangat kaya dengan energi matahari atau tenaga surya, karena letak Indonesia di garis khatulistiwa yang memungkinkan sinar matahari selalu terpancar sepanjang tahun. Selain itu energi angin dan tenaga arus laut juga sangat potensial, mengingat wilayah Indonesia yang kebanyakan terdiri dari kepulauan dan lautan.

Persoalan energi di Indonesia juga berkaitan dengan masih rendahnya tingkat elektrifikasi, yaitu 20-25 persen atau sekitar 48 juta dari sekitar 240 juta penduduk di Indonesia yang belum menikmati manfaat energi listrik, yang tersebar di berbagai pulau dan desa-desa terpencil.

“Kalau dibangun jaringan listrik oleh PLN mereka tidak akan mampu, salah satu solusinya ya energi matahari karena tersebar sepanjang hari dan sepanjang tahun. Dari penelitian saya, energi matahari per Kwh bisa Rp2500-2700, sementara PLN menjual energi listrik ke masyarakat Rp1500. Kenapa mampu, karena PLN disubsidi,” jabarnya.

Selain sosialisasi dan pemahaman kepada masyarakat, langkah alih energi dari fosil ke terbarukan juga memerlukan niat baik dan kebijakan pemerintah. Ia mengatakan bahwa sejauh ini pemerintah telah memberikan dukungan pengembangan energi terbarukan, meski belum mencapai pada tataran regulasi kebijakan.

“Secara omongan iya, tapi implementasi masih jauh. Mereka sudah mempunyai program, sudah ada peraturan-peraturan menteri dan sebagainya, tapi pada kenyataan kadang ada beberapa pihak yang menyalahgunakan dengan bermain proyek, sehingga masyarakat menjadi apatis,” ucap Elieser,

Sementara itu Konsul Jenderal Amerika Serikat di Surabaya, Joaquin F. Monserrate usai membuka Camping Project bidang energi, Sabtu (140/3/2015) mengatakan, program pertemuan mahasiswa Asia Tenggara di  bidang energi ini diharapkan dapat menjadi jembatan, khususnya untuk saling menciptakan peluang kerjasama dibidang energi terbarukan.

“Harapannya adalah bahwa pemuda ini yang semuanya mahasiswa, tidak hanya bisa menjadi tokoh di masa depan, tapi juga bisa kerjasama dengan negara lain di Asia Tenggara di bidang energi terbarukan. Hari ini ada perwakilan dari Filipina, Vietnam, dan negara ASEAN lainnya, kami senang sekali karena bisa menciptakan kesempatan-kesempatan seperti ini,” tandas Joaquin.

Mahasiswa dari Mindanau University of Science and Technology, Filipina, Merogim Pairat Mugot mengatakan, pertemuan antar mahasiswa ASEAN yang membahas persoalan energi terbarukan, merupakan forum yang sangat bermanfaat bagi pengembangan energi terbarukan di setiap negara. Potensi energi terbarukan di negaranya lanjut Merogim, diharapkan dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk kepentingan masyarakat.

“Saya akan menginformasikan kepada masyarakat di tempat tinggal saya mengenai pemanfaatan energi alternatif secara maksimal, bahwa selain sumber tenaga air juga banyak sumber energi terbarukan lainnya yang dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk kepentingan masyarakat, seperti panel tenaga matahari, dan banyak energi lainnya yang ada di sekitar,” pungkas Merogim.

 


Energi Terbarukan Dibahas Pada Pertemuan Mahasiswa ASEAN di Mojokerto was first posted on March 19, 2015 at 2:33 am.

Banjir Genangan Pasang Surut Mengancam Ketahanan Pangan Nasional. Kok Bisa?

$
0
0

Lahan sawah sebagai penghasil padi bernilai strategis menunjang ketahanan pangan nasional, karena beras masih menjadi bahan makanan pokok.  Akan tetapi, terdapat lahan sawah berada pada wilayah rawan banjir, seperti di lahan-lahan sawah pesisir utara Jawa Tengah.

Sri Hartini dari Badan Informasi Geospasial mengatakan banjir genangan karena pasang air laut merupakan ancaman yang lebih dominan terhadap keberlangsungan lahan sawah dibandingkan banjir genangan karena hujan lebat. Banjir genangan yang disebabkan oleh pasut telah mengakibatkan lahan sawah tergenang secara periodik.

“Sawah yang tergenang secara pasut secara permanen tidak dapat digunakan untuk bercocok tanam lagi, sehingga luas lahan sawah menjadi berkurang,” katanya di Auditorium Merapi, Fakultas Geografi UGM, pada Sabtu, (14/03/2015).

Sri Hartini menyatakan hal itu saat ujian terbuka Program Doktor Ilmu Geografi dengan mempertahankan disertasi “Pemodelan Risiko Banjir Genangan pada Lahan Sawah di Sebagian Wilayah Pesisir Utara Jawa Tengah”.

Persawahan di daerah Pantura yang hijau dan subur terus terancam genangan air Pasut termasuk banjir rob, jadi ancaman ketahanan pangan. Foto : Tommy Apriando

Persawahan di daerah Pantura yang hijau dan subur terus terancam genangan air Pasut termasuk banjir rob, jadi ancaman ketahanan pangan. Foto : Tommy Apriando

Dikatakannya selama kurun waktu sekitar 15 tahun (1994-2009), lahan sawah pada wilayah genangan pasut mencapai seluas 31. 267,54 hektar. Perubahan lahan sawah menjadi tambak dan lahan terbangun masing-masing mencapai 2. 254,71 hektar (7%) dan 1. 610,49 hektar (5%).

“Genangan rob pada lahan sawah sejauh ini belum mendapat perhatian, seperti halnya genangan rob di wilayah permukiman ataupun industri,” katanya.

Meski pendataan potensi desa (Podes) sudah memasukan rob sebagai salah satu jenis bencana alam, namun UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana belum memasukannya.

“Meski ancaman itu sudah sangat nyata terhadap pengurangan produksi pertanian terutama beras. Oleh karena itu, genangan rob perlu dimasukkan sebagai bagian dari jenis bencana dalam peraturan perundangan terkait kebencanaan,” kata Sri.

Meski tidak meningkatkan ketahanan lahan sawah dari banjir genangan, masyarakat perlu melakukan adaptasi pengaturan pola tanam. Selain itu, perlu adaptasi untuk pengaturan waktu tanam dan pemilihan komoditas agar dapat meningkatkan ketahanan masyarakat dalam menghadapi resiko banjir genangan.

Banjir Rob di Semarang

Dari penelitian Emi Suryanti dari Pusat Studi Bencana Alam (PSBA) UGM melakukan penelitian terkait banjir rob di Semarang pada 2008, menyebutkan banjir rob menimbulkan pengaruh yang besar terhadap masyarakat Semarang, terutama yang bertempat tinggal di kawan pesisir. Bahkan banjir rob di kawasan pesisir akan semakin parah dengan adanya genangan air hujan atau banjir kiriman, dan banjir lokal akibat saluran drainase yang kurang terawat.

“Pada kondisi ini masyarakat tetap melakukan adaptasi untuk bertahan dalam lingkungan yang ada, tidak heran masyarakat pesisir utara kota Semarang tetap memilih tinggal di daerah tersebut meski daerahnya tidak nyaman untuk hunian,” kata Emi.

Berbagai hal yang memotivasi masyarakat tetap tinggal di daerah tersebut, disebabkan sebagian besar masyarakat bermatapencaharian sebagai buruh industri dan nelayan, sehingga enggan untuk berpindah karena merasa aksesnya lebih dekat dan mudah jika tinggal di daerah tersebut.

Masyarakat pesisir di daerah Semarang ini dinilai Emi juga telah melakukan beberapa adaptasi terhadap bankjir rob dengan membuat talud dan tanggul permanen, menambah ketinggian jalan seputar rumah dan beberapa warga telah berinisiatif membuat rumah panggung.

“Untuk mengurangi dampak dari banjir rob, komunitas kawasan pesisir perlu dilakukan program penanggulangan secara komprehensif yang melibatkan pemerintah dan masyarakat,” kata Emi.

Sementara itu Dosen Geografi UGM, Aris Marfai, mengatakan fenomena banjir rob di kawasan pesisir semarang merupakan akibat dari berbagai proses perubahan penggunaan lahan di wilayah pantai dengan dibangunnya lahan tambak, rawa dan sawah yang dulu secara alami dapat menampung pasang air laut dan kini telah berubah menjadi lahan pemukiman, kawasan industri dan pemanfaatan lainnya.

“Perubahan penggunanan lahan ini dilakukan dengan cara menimbun dan meninggikan daerah tambak, rawa dan sawah untuk berbagai penggunaan lain, sehingga ketika air pasang laut tidak tertampung lagi dan kemudian menggenangi kawasan yang lebih rendah,” kata Aris.

Ditambahkan Aris, dari sekitar 790,5 lahan di Kecamatan Semarang Utara tidak ada lahan tambak lagi, dan dari sekitar 585 hektar total lahan di Kecamatan Semarang Barat hanya terdapat sekitar 126,5 hektar lahan tambak.

Sedangkan proses terjadinya penurunana muka tanah di kawasan pantai, menurut Aris, sangat bervariasi berkisar antara 2 hingga 25 cm per tahun. Bahkan di wilayah Kelurahan Bandarharjo, Tanjung Mas dan sebagian kelurahan Terboyo Kulon mencapai 20 cm per tahun.

Adapun kenaikan muka air laut sebagai efek pemanasan global, antara tahun 1990 hingga tahun 2010 diprediksi Aris akan terjadi kenaikan suhu rerata permukaan bumi sebesar 5,8 derajat celcius. “Pemanasan global ini akan menyebabkan perubahan iklim bumi, dan kenaikan muka air laut mencapai satu meter,” kata Aris.

 


Banjir Genangan Pasang Surut Mengancam Ketahanan Pangan Nasional. Kok Bisa? was first posted on March 19, 2015 at 2:56 am.

Dimana Ikan Terkecil di Dunia? Ternyata Ada di Indonesia!

$
0
0
Penampakan Paedocypris progenetica, ikan air tawar terkecil di dunia. Gambar ini lebih besar dari penampakan aslinya. Foto: © H.A Tan

Penampakan Paedocypris progenetica, ikan air tawar terkecil di dunia. Gambar ini lebih besar dari penampakan aslinya. Foto: © H.A Tan

Ternyata masih banyak kekayaan hayati Indonesia yang terus ditemukan oleh para peneliti. Rawa gambut di Sumatera yang saat ini terus mendapat ancaman konversi, pembukaan lahan untuk perkebunan, pertanian dan permukiman masih menyisakan keunikan satwa.

Tidak banyak yang tahu, bahwa sejak tahun 2005 ikan air tawar terkecil di dunia, Paedocypris progenetica ditemukan di rawa gambut Sumatera. Ikan ini hanya memiliki panjang 7,9 milimeter untuk betinanya dan rata-rata 9,8 milimeter untuk jantannya. Secara sekilas, karena ukuran mungil tubuhnya, ikan ini dapat tersamar seperti larva hewan air.

Ikan ini memiliki tubuh memanjang yang tembus pandang (transparan). Kepala dan otak Paedocypris progenetica tidak terlindung oleh tengkorak kepala, dan betinanya hanya mampu menghasilkan beberapa indung telur. Paedocypris progenetica sendiri adalah ikan asli dan endemik rawa gambut Sumatera.

Ikan ini pertama kali diteliti oleh peneliti Swiss, Maurice Kottelat bersama koleganya Tan Heok Hui dari Raffles Museum of Biodiversity Research, Singapura. Kedua peneliti ini telah meneliti Paedocypris progenetica sejak tahun 1996.

Tidak saja karena bentuk tubuhnya yang mungil, Paedocypris progenetica memiliki keunikan yaitu mampu bertahan hidup ketika musim kering dengan cara berlindung di genangan air dangkal di rawa-rawa. Ikan ini hidup dengan mengkonsumsi plankton di dasar rawa berair gelap kecoklatan, tempat mereka hidup.

Daya tahan ikan ini juga tergolong hebat, karena bisa hidup di daerah rawa yang tingkat keasamannya tinggi yaitu mencapai pH 3, atau 100 kali lebih asam daripada air hujan. Dari penemuan ini, para ilmuwan menyimpulkan bahwa rawa gambut adalah ekosistem yang menjadi rumah bagi banyak satwa yang tidak ditemukan di ekosistem lain.

“Ini adalah ikan yang paling aneh yang pernah saya lihat sepanjang karir keilmuan saya,” demikian komentar Ralf Britz, zoologist yang bekerja di Natural History Museum“Ikan ini kecil, hidup dalam air asam dan memiliki bentuk sirip yang menggenggam aneh. Saya harap kita memiliki waktu untuk mencari tahu lebih banyak tentang mereka sebelum habitat mereka menghilang sepenuhnya. ”

Ikan yang masuk dalam genus Paedocypris adalah bagian dari keluarga famili Cyprinidae. Selain Paedocypris progenetica, sepupu ikan ini yaitu P. micromegethes ditemukan di Sarawak (Borneo Malaysia). Ukuran dari P. micromegethes betina terkecil adalah 11,6 milimeter.

 

Paedocypris-progenetica dibandingkan dengan ukuran jari. Foto: © H.A Tan

Paedocypris progenetica dibandingkan dengan ukuran jari. Foto: © H.A Tan

 

Selain Paedocypris progenetica maka terdapat pula ikan-ikan mungil lainnya. Seperti dilaporkan oleh Ted Pietsch dari Universitas Washington, yang menyatakan bahwa Photocorynus spiniceps yang hidup di kedalaman laut adalah ikan laut terkecil dengan panjang ukuran tubuh sepanjang 6,2 milimeter.

Sedangkan para peneliti dari Scripps Institution of Oceanography and the Southwest Fisheries Science Center, Australia mengklaim bahwa ikan Schindleria brevipinguis yang ditemukan di Great Barrier Reef adalah ikan terkecil di laut dengan panjang ukuran tubuh dewasa antara 6,5 – 7 milimeter.

Luar biasa bukan kekayaan alam kita.

 

 

 


Dimana Ikan Terkecil di Dunia? Ternyata Ada di Indonesia! was first posted on March 19, 2015 at 3:40 am.

Lagi, 52 IUP Bermasalah di Aceh akan Dicabut

$
0
0

Setelah mencabut 22 IUP bermasalah, Pemerintah Aceh kembali akan mencabut 52 IUP bermasalah lainnya yang telah kadaluarsa dan tidak memberikan kontribusi pada daerah. Foto: Rhett Butler

Instruksi Gubernur Aceh Nomor 11/INSTR/2014 mengenai Moratorium Izin Usaha Pertambangan (IUP) Mineral Logam dan Batubara yang dikeluarkan Oktober 2014, mulai menampakkan geliatnya. Sejumlah IUP tidak aktif dan tidak memberikan kontribusi kepada daerah mulai dicabut izinnya.

Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Aceh Said Ikhsan menyatakan, saat ini ada 52 IUP bermasalah di Aceh yang kembali akan dicabut izinnya. ”Pencabutan ini merupakan bentuk keseriusan Pemerintah Aceh dalam menjalankan moratorium yang berlangsung hingga Oktober 2016,” jelasnya dalam perbincangan sore Jalan Setapak, program radio hasil kerja sama Green Radio, KBR, dan Mongabay, Selasa (17/3/2015).

Menurut Ikhsan, 52 IUP yang akan dicabut itu merupakan IUP yang berdasarkan evaluasi tidak memberikan kontribusi. “Sesuai instruksi gubernur, seluruh perizinan tambang harus dievaluasi dan tidak ada izin baru selama moratorium. Tentu saja, upaya ini kelanjutan dari pencabutan 22 IUP bermasalah sebelumnya yang telah dilakukan melalui koordinasi dengan bupati atau walikota tempat izin itu berada,” jelasnya.

Komitmen ini dilakukan karena Pemerintah Aceh melihat pentingnya perlindungan kawasan hutan yang merupakan aset penting yang harus dijaga kelestariannya. “Aceh juga daerah yang berada dibawah pengawasan Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Bidang Mineral dan Batubara Komisi Pemberantasan Korupsi. Selain itu, penataan tambang harus dilakukan kembali agar tidak merusak lingkungan Aceh,” ujarnya.

Ikhsan juga tidak menampik adanya 77 perusahaan yang berdasarkan data Dinas Pertambangan dan Energi Aceh berada di kawasan konservasi dan hutan lindung. Menurutnya, secara bertahap akan dilakukan evaluasi. “Ini memang tidak mudah, karena perusahaan tersebut merupakan perusahaan besar dan kuat secara finansial. Harus ada upaya maksimal dan koordinasi semua pihak. Yang pasti, keseriusan pemerintah Aceh terhadap lingkungan dan menjaga hutan tidak perlu diragukan.”

Askhalani, Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, menganggap bahwa upaya pencabutan IUP tersebut merupakan langkah awal. Karena, bila dilihat dari 22 IUP yang dicabut itu, merupakan IUP yang memang kadaluarsa dan ditengarai tidak memiliki wilayah izin usaha pertambangan. “Jadi, memang izinnya yang tidak diperpanjang.”

Terkait akan ada pencabutan 52 IUP lagi, Ashkhalani menilai, jika yang dicabut itu masih perusahaan yang memang izinnya habis, tentunya belum menyentuh permasalahan. “Karena, seharusnya, 77 perusahaan yang berada di kawasan konservasi itulah yang harus dievaluasi. Meski begitu, kita harus memberikan apresiasi terhadap keseriusan Pemerintah Aceh guna memperbaiki kebijakan pertambangan yang keliru,” ujarnya.

Kedepan, Pemerintah Aceh harus lebih selektif dalam pemberian izin. Hasil investigasi GeRAK di Aceh Selatan terkait perizinan tahun 2007, dalam satu harinya ada tiga izin yang dikeluarkan. Bisa jadi, ini sarat akan kepentingan. “Untuk itu, Pemerintah Aceh harus mengoreksi ulang seluruh IUP, yang saat ini masih menyisakan 116 perizinan.”

Direktur Walhi Aceh, M. Nur, menjelaskan bahwa penataan IUP memang sepatutnya dilakukan. Berdasarkan data yang dimiliki Walhi, perusahaan tambang yang masuk kawasan lindung dan konservasi di Aceh sebagian besar tidak memiliki izin pinjam pakai kawasan dari Kementerian Kehutanan saat itu.

Menurut M. Nur, hal yang harus diperhatikan di masa moratorium ini adalah tinjau kembali seluruh dokumen analisisi mengenai dampak lingkungan (Amdal) perusahaan, apakah sudah benar atau belum. Berikutnya, cabut IUP bermasalah, yang bukan hanya karena izinnya tidak diperpanjang, tetapi juga yang berada di kawasan konservasi dan hutan lindung sebagaimana Surat Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan Nomor S.702/VII-PKH/2014 tertanggal 10 Juli 2014 yang jumlahnya mencapai 69 perusahaan.

Sebagaimana yang diberitakan Mongabay sebelumnya, Pemerintah Aceh telah mencabut 22 IUP bermasalah. Perusahaan tersebut berada di Kabupaten Nagan Raya (9), Aceh Jaya (7), Aceh Barat (4), Pidie (1), dan Kota Subussalam (1). Pemerintah Aceh juga membentuk tim khusus dalam memantau pertambangan yang terdiri dari unsur pemerintah, pemerhati lingkungan, dan lembaga swadaya masyarakat.

 

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio


Lagi, 52 IUP Bermasalah di Aceh akan Dicabut was first posted on March 19, 2015 at 3:41 am.

Merekam Perjuangan Para Perempuan Rembang dalam Menjaga Bumi

$
0
0
Ibu-ibu Rembang yang hadir ke pembukaan Pameran Perempuan Rembang dalam Sketsa di Jakarta. Foto: Indra Nugraha

Ibu-ibu Rembang yang hadir ke pembukaan Pameran Perempuan Rembang dalam Sketsa di Jakarta. Foto: Indra Nugraha

Ibu-ibu Rembang yang berjuang menjaga lingkungan mereka dari ancaman kerusakan kembali datang ke Jakarta. Mereka melaporkan hakim PTUN yang dinilai bersikap tak netral ke Komisi Yudisial. Para ibu-ibu ini juga sekaligus menyaksikan pembukaan pameran sketsa “Perempuan petani Rembang” di Galeri Walhi Jalan Tegal Parang, Jakarta Selatan. Pameran karya Andreas Iswinarto ini menampilkan 26 sketsa berlangsung 17 Maret-19 April 2015.

“Ke-16 sketsa Rembang dan 10 lain terkait hal itu meski tidak spesifik. Soal perjuangan perempuan dan lain-lain. Saya menargetkan membuat 200 sketsa. Tak hanya soal Rembang, tapi wilayah lain yang terancam pembangunan pabrik semen,” kata Andreas di Jakarta, Selasa (17/3/15).

Sketsa-sketsa karya Andreas ini memotret perjuangan perempuan Rembang dalam mempertahankan bumi pertiwinya. Beberapa frame sketsa bercerita mengenai kekerasan dialami perempuan, aksi memembang sekaligus menabuh alu dan lesung. Juga caping-caping petani yang melindungi Gunung Kendeng. Ada juga sketsa bercerita tentang  aksi sembahyang di jalan  pabrik semen, kekerasan polisi,  blokade tentara dan lain-lain.

Andreas merupakan pendiri Lentera Pembebasan. Ia pernah aktif di Walhi. Karya-karya seni yang dibuat banyak memuat unsur kritik sosial dan lingkungan dan kemanusiaan. Dia mengatakan, proses pembuatan sketsa cukup singkat. Sejak 10 Februari dan selesai tiga minggu kemudian.

“Sebelum Rembang, saya membantu kawan-kawan melalui media gambar untuk kampanye isu tewas sembilan anak di Samarinda karena masuk lubang tambang,” katanya.

Sejak setahun lalu, dia berkampanye peduli Rembang melalui media gambar, namun tidak khusus pameran. Inspirasi saat memutar film dokumenter dan menganalisis isu ini melalui pemberitaan di media massa.

“Saya sangat tergugah dan banyak belajar. Ibu-ibu 273 hari di tenda, perjuangan itu luar biasa. Selain berharap perjuangan ibu-ibu ini berhasil, kita juga harus menarik pelajaran dari keteguhan mereka.”

Dia menganalogikan perjuangan petani perempuan Rembang seperti Kamisan sudah 387 kali. Dia melihat keteguhan sama pada ibu di Rembang.

“Sangat berat bagi mereka meninggalkan anak-anak. Di satu sisi, mereka harus tetap bertahan. Belakangan ini dibagi harus ke Jakarta, PTUN, tenda dan memanen.”

Analisis intensif dilakukan buat menemukan hal-hal spesifik bagi karya sketsa, seperti kendi, alu dan lesung, caping sebagai simbol melawan pabrik semen. Cerita-cerita dalam foto di media massa juga dituangkan dalam bentuk sketsa.

“Nilai tambah sketsa ini sengaja dipilih warna hitam dan putih. Ini wujud ketegaran dan perjuangan. Hitam melawan putih. Simbol batu karang luka. Para ibu dan bumi dilukai tapi mereka tetap teguh. Harapannya bisa memberikan nilai lebih dari foto.”

Menurut dia, perempuan Rembang  tidak hanya membela hak-hak mereka juga hak generasi mendatang. Begitu banyak warga di Gunung Kendeng mungkin belum peduli. Padahal mereka terancam.

Selain 26 sketsa, ada juga 40 sketsa dijual. Pengunjung bisa membeli sketsa dengan harga mulai Rp200.000-Rp700.000. Sebanyak 40% hasil penjualan sketsa akan didonasikan kepada perempuan Rembang yang bertahan di tenda perjuangan, 10% buat Walhi.”Pameran ini juga diselenggarakan di Semarang. Saat mendekati putusan PTUN.”

Khalisah Khalid dari Walhi Nasional mengatakan pameran sketsa ini bentuk solidaritas kepada perjuangan para perempuan Rembang. “Ini pesan solidaritas mendukung perjuangan ibu-ibu dan petani di Rembang yang mempertahankan tanah dan air.”

Nur Hidayati,  Kepala Advokasi Walhi Nasional mengatakan, Walhi sejak lama prihatin terhadap kejadian bencana ekologis. Meski beberapa kali mendesak pada pemerintah untuk  mengubah paradigma pembangunan, namun tidak digubris.

“Masyarakat Rembang sangat tergantung gunung. Mereka terancam karena pembangunan pabrik semen. Mereka bukan hanya berjuang untuk hak atas tanah, juga hak hidup,” katanya.

Ancaman pembangunan pabrik semen tidak  hanya di Rembang, juga di daerah lain seperti Pati, Sulawesi Selatan, sepanjang Bukit Barisan Sumatera dan lain-lain.”Sebenarnya  pemerintah sudah temukan proses Amdal buruk. Namun masyarakat  yang berjuang lestarikan alam dan ekosistem justru menderita kekerasan aparat.”

Masyarakat sudah beberapa kali menuntut hak. Kunjungan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Komnas HAM dan instansi lain. Gugatan pengadilan juga ditempuh. Namun, hingga kini belum ada titik terang bagi penyelamatan pegunungan Kendeng di Rembang.

“Kami berharap pesan solidaritas ini bisa disampaikan ke khalayak.  Kita tidak bisa berharap pemerintah. Harus ajak masyarakat luas.”

Para perempuan pejuang Rembang, yang hadir semua mengapresiasi pameran sketsa ini.  Sukinah warga Rembang mengatakan, sudah 273 hari para perempuan bertahan di tenda dan akan terus dilakukan hingga pembangunan pabrik semen batal.

Gunung Kendeng, katanya, surga petani. Ia lahan bertani dan sumber air. Mereka bertekad  mempertahankan gunung agar tetap hijau dan lestari.

“Ibu pertiwi adalah perempuan yang sangat peduli sama anak. Ditanam apa saja jadi subur. Jadi kami harus pertahankan gunung dan lingkungan. Meski kami diintimidasi TNI dan polisi,” katanya.

Saat ini, pembangunan pabrik semen baru tahap konstruksi tetapi sudah mengganggu. ”Konflik dengan masyarakat terjadi. Dulu kami rukun. Truk lalu lalang juga mengganggu karena debu.”

Andreas Iswinarto, pelukis sketsa (berbaju hitam) bersama para ibu-ibu Rembang. Foto: Indra Nugraha

Andreas Iswinarto, pelukis sketsa (berbaju hitam) bersama para ibu-ibu Rembang. Foto: Indra Nugraha

Tiem, warga Desa Larangan, Pati,  juga berkomentar. Saat ini Pati sudah keluar izin bupati untuk pendirian pabrik semen. Warga juga menolak keras.

“Warga menggugat supaya izin dicabut. Selama kita aksi di kabupaten,  bupati tak berani temui warga. Ajudan atau sekretaris juga tak berani.”  Di Pati, pembangunan pabrik semen masih rencana. Namun warga tak mau lengah dan kejadian seperti Rembang.

Senada dengan Ngatemi, pejuang perempuan Rembang. Dia mengatakan, meski pemerintah belum menghiraukan tuntutan warga, mereka akan terus berjuang.”Kami minta dukungan. Minta pertolongan semua pihak agar mengerti posisi kami sebagai rakyat kecil sebagai petani. Jawa Tengah lumbung padi. Kenapa harus ada pertambangan di pegunungan kendeng?”

Laporkan hakim ke KY

Sehari sebelum itu, Senin (16/3/15), para ibu-ibu petani Rembang ini bersama Walhi dan lembaga lain mendatangi Komisi Yudisial. Mereka melaporkan sikap hakim yang dinilai mencurigakan.

Manager Kebijakan dan Pembelaan Hukum Walhi Eksekutif Nasional,Muhnur Satyahaprabu mengatakan, sidang PTUN Semarang sampai pada keterangan ahli. “Satu fakta tidak bisa dianggap remeh adalah kondisi hakim cenderung tidak netral. Sangat subyektif. Maka kami melaporkan tindakan tidak profesional hakim ke Komisi Yudisial,” katanya.

Dia menceritakan, salah satu hakim anggota berperilaku menyalahkan saksi yang hadir di pengadilan. “Jadi saksi kita sekretaris desa tidak mengetahui pembangunan pabrik semen malah disalahkan hakim. Hakim malah mengatakan itu salahmu. Bukan salah pabrik semen. Harusnya saksi bertanya.”

Menurut Muhnur, tanggapan KY positif. Laporan warga sudah lama ditunggu. KY berjanji menindaklanjuti dan mengawasi ketat hakim PTUN Semarang yang menangani perkara ini.

Terkait Amdal perusahaan, di persidangan terungkap bahwa Semen indonesia memanipulasi sosialisasi. Kegiatan diklaim sosialisasi ternyata pembagian sembako dan sejadah menjelang Lebaran. Hal itu terlihat dari foto-foto di persidangan.

“Itu sosialisasi tidak jujur dan tidak konstruktif. Sosialisasi soal dampak lingkungan pembangunan pabrik semen tidak pernah dilakukan. Hanya soal dibuka lapangan pekerjaan,” katanya.

Mereka juga ke KPK dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Laporan ke KPK dibuat karena ada dugaan korupsi penerbitan izin pembangunan pabrik semen. Izin terbit enam bulan menjelang pemilihan gubernur.

“Patut diduga ada keterlibatan kuat antara penerbitan izin dan kebutuhan uang kampanye. Ada  kemungkinan keterlibatan orang partai dan gubernur dalam proses lelang proyek. Itu masih dugaan. Maka kami meminta KPK untuk serius mengusut itu,” kata Muhnur.

DI KLHK, mereka kembali mengadukan sebagian besar kawasan pabrik semen masuk kawasan hutan. Muhnur meminta KLHK setop pembangunan di kawasan hutan. “Kondisi lingkungan harus diperhatikan. Sebab Pegunungan Kendeng menyuplai air bagi 600.000 jiwa lebih di lima kabupaten. Jika pembangunan terus dipaksakan, mengancam banyak orang.”

Di KLHK,  mereka diterima tim pengaduan konflik yang baru beberapa waktu lalu terbentuk. “Kami memasukkan kasus ke sana dan berharap jadi fokus perhatian mereka. Mereka berjanji akan mempelajari kasus ini.”

Perusahaan semen mempunyai dua argumentasi yang sering disampaikan. Pertama, kebutuhan semen untuk pembangunan infrastruktur. Kedua, pertambangan semen di Jawa tidak melanggar UU. “Itu jelas sangat keliru.Pertambangam semen tidak melanggar selama berada di luar kawasan karst. Ini sesuai aturan tata ruang bahwa karst itu dilindungi dan tidak boleh ada pertambangan. Karst pasti batu gamping. Sampai saat ini batu gamping adalah satu-satunya bahan baku semen. Artinya pembangunan pabrik semen pasti merusak karst.”

Sketsa perjuangan para perempuan Rembang karya Andreas Iswinarto. Foto: dari Facebook Andreas Iswinarto

Sketsa perjuangan para perempuan Rembang karya Andreas Iswinarto. Foto: dari Facebook Andreas Iswinarto

 

 


Merekam Perjuangan Para Perempuan Rembang dalam Menjaga Bumi was first posted on March 19, 2015 at 11:28 pm.

Setahun Lebih Dilaporkan Lakukan Perambahan Hutan Lindung, Hingga Kini PT. Vale Belum Ditindak!

$
0
0

PT. Inco yang berganti nama menjadi PT Vale Indonesia. Foto: Christopel Paino

Salah satu perusahaan nikel terbesar di Indonesia, PT. Vale Indonesia, dilaporkan ke polisi dengan delik melakukan perambahan hutan lindung. Meski sudah dilaporkan, tidak ada tindakan yang dilakukan oleh kepolisian kepada perusahaan tersebut.

“Kami sudah melaporkan PT. Vale Indonesia kepada Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah dengan Nomor Surat: 22/E/FORBES/MRW/IX/2013, perihal pengaduan tindak pidana kehutanan, tertanggal 8 September 2013,” kata Kuswandi, Ketua Forum Rakyat Bersatu (Forbes) Morowali, kepada Mongabay, Sabtu, (14/2/2015) lalu.

Kuswandi kini telah menjadi anggota DPRD di Kabupaten Morowali. Menurutnya, hingga kini tidak ada tindakan tegas terhadap perusahaan yang dulunya bernama PT. Inco tersebut. Bahkan katanya, setelah ia dilantik sebagai anggota DPRD, ia sempat ke Polda Sulteng dan mempertanyakan hal itu. Sekaligus memberikan bukti tambahan bahwa tahun 2013 dan sebelum 2013, PT. Vale Indonesia belum mengantongi izin pinjam pakai kawasan hutan lindung.

Perusahaan baru dapat SK dari Kementerian Kehutanan Nomor: 522/Menhut-II/2014 tertanggal 11 Juni 2014. Isinya mengenai izin pinjam pakai kawasan untuk kegiatan eksplorasi biji nikel pada kawasan hutan lindung, kawasan hutan produksi terbatas, dan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi di Blok Bahodopi, Kabupaten Morowali, seluas 14.101, 11 hektar.

“PT. Vale Indonesia dibiarkan saja melakukan pelanggaran. Ketika kami tanya ke polisi, alasan mereka masih melakukan penggalian data dan informasi terkait laporan kami. Padahal sudah ada data tambahan.”

Menurut Kuswandi, laporan terhadap PT. Vale Indonesia dilakukan sejak 2 Mei 2011 oleh Persatuan Pemuda Pelajar Mahasiswa Indonesia Bungku (P3MIB) ke Polres Morowali. Perusahaan itu dilaporkan karena melakukan pembukaan jalan di kawasan hutan lindung sepanjang 28 km, membuat jaringan pengelolaan limbah cair, membuat penampungan tanah hasil test pit, serta membangun base camp dan infrastruktur lainnya.

“Seluruh kegiatan yang dilakukan PT. Vale Indonesia berada pada kawasan hutan dengan fungsi lindung.”

Dalam laporan itu, dilampirkan pula analisis tindak pidana kehutanan, foto-foto aktivitas perusahaan di lapangan, peta yang dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Morowali, juga kliping berita dan berita acara hasil peninjauan lapangan oleh dinas kehutanan. Surat tersebut ditembuskan kepada Kapolri, Kepala Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri, Menteri Kehutanan RI, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kuswandi mengungkapkan, PT. Vale Indonesia saat melakukan kegiatan tersebut tidak memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan dari kementerian kehutanan berdasarkan berita acara hasil peninjauan lapangan yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan Morowali pada Selasa, 15 Desember 2009. Berita acara tersebut ditandatangani oleh Asep Haerudin, Kepala Seksi Tertib Peredaran dan Iuran Kehutanan, dan Nasrun Lasara Kepala Seksi Perlindungan dan Konservasi, serta Baharudin Kepala Seksi Penatagunaan Hutan.

“Berdasarkan fakta-fakta, cukuplah dikatakan bahwa PT. Vale Indonesia telah melanggar UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Tetapi sudah satu tahun lebih tidak ada progres dari penyelidikan yang dilakukan polda.”

 

Meski sudah dilaporkan setahun lebih dengan dugaan melakukan perambahan hutan lindung, hingga kini belum ada tindakan terhadap PT. Vale. Foto: Rhett Butler

Dinas Kehutanan Morowali benarkan perambahan

Asep Haerudin yang saat ini menjabat Kepala Bidang Planologi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Morowali, saat dikonfirmasi, Senin (16/02/2015), mengungkapkan kalau laporan ke pihak Polres Morowali soal perambahan hutan kawasan itu telah ditindak lanjuti ke Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) dan telah sampai di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Menurut Asep, berdasarkan surat dari Kepala BKSDA Sulteng, menindaklanjuti surat Direktur PPH Nomor: S.146/PPH-4/RHS/2011 tanggal 11 April 2011 perihal penghentian kegiatan di lapangan, telah dillakukan penyelidikan atau pengumpulan bahan keterangan data di lokasi kegiatan PT. Vale di Blok Sorowako dan Blok Bahodopi, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah.

Salah satu poin dari surat tersebut membenarkan kegiatan penambangan dan penebangan kayu di kawasan hutan lindung tanpa ijin pinjam pakai yang dilakukan oleh PT. Inco Tbk di Blok Bahodopi. Poin lainnya, untuk kasus penambangan tanpa izin dan penebangan kayu tanpa ijin pinjam kawasan yang dilakukan PT. Inco Tbk, sudah dapat dilakukan proses penyidikan baik oleh penyidik Polri atau Penyidik PNS Kementerian Kehutanan.

Asep berpendapat, setiap laporan terkait dugaan perambahan hutan kawasan tanpa ijin sudah ditindak lanjuti oleh pihak Polres Morowali dan Polda Sulteng. Hal ini dibuktikan dengan dua kali dirinya diperiksa untuk memberikan keterangan kasus tersebut.

“Setiap laporan itu selalu diperiksa, paguyuban mahasiswa maupun dari Forbes Morowali,” katanya.

Selain itu menurutnya, kasus tersebut tidak sepenuhnya benar jika dikatakan mandek di kepolisian. Pasalnya, persoalan hutan kawasan itu merupakan kewenangan dari Kementerian kehutanan. Sehingga, pihak Polres Morowali sudah melimpahkan ke Kementerian Kehutanan.

“Begitu juga dengan laporan Forbes, karena ini persoalan otoritas dalam hutan kawasan yang berada dalam wilayah Kementerian Kehutanan.”

Lain lagi yang diungkapkan oleh Direktur Jatam Sulteng, Syahrudin Ariestal Douw. Menurutnya, dalam kasus PT Vale ini, ia menganggap kepolisian secara diam-diam telah menghentikan laporan yang diajukan oleh Forbes Morowali. Kepolisian juga, katanya, tidak berupaya melakukan pemanggilan terhadap Direktur PT. Vale yang menjadi objek laporan.

“Kami ikut mendampingi Forbes, dan laporan langsung ditindaklanjuti, lalu dibuat berita acara pemeriksaan (BAP). Bahkan, kapolda ketika itu berjanji akan menyelesaikan kasus kejahatan di sektor sumber daya alam. Tapi, sampai saat ini belum ada hasilnya,” kata Etal, kepada Mongabay, Kamis (19/3/2015).

Menurutnya, kasus ini sangat merugikan masyarakat di sekitar kawasan hutan. Kalau ada yang beralibi bahwa PT. Vale telah memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan, kata Etal, maka harus dilihat sejarah lahirnya izin tersebut. Sebab, perusakan hutan telah dilakukan terlebih dahulu, baru kemudian izin pinjam pakai kawasan keluar belakangan.

“Salah satu cara agar kasus PT. Vale ini bisa diselesaikan kembali oleh kepolisian adalah dengan melakukan pra peradilan. Tapi ini hanyalah salah satu kasus saja, karena ada banyak kasus kejahatan di sektor sumber daya alam. Misalkan, yang dilakukan oleh perusahaan PT. Bintang Delapan Mineral di Morowali,” ujar Etal.

 

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio


Setahun Lebih Dilaporkan Lakukan Perambahan Hutan Lindung, Hingga Kini PT. Vale Belum Ditindak! was first posted on March 20, 2015 at 1:40 am.

Menyelamatkan Hutan TN Meru Betiri Dengan Memakmurkan Masyarakat. Kok Bisa?

$
0
0

Meski berstatus taman nasional, kawasan Meru Betiri memiliki ribuan hektar lahan kritis hutan. Berbagai cara dilakukan untuk merehabilitasi lahan kritis tersebut, salah satunya adalah dengan cara memberdayakan masyarakat.

Pihak Taman Nasional (TN) Meru Betiri berhasil merehabilitasi lahan kritis dengan cara dengan menggandeng masyarakat sekitar untuk bekerjasama mengelola lahan seluas 7 hektar, sekaligus mencegah upaya pembalakan kayu hutan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.

Keterlibatan masyarakat menjadi penting ditengah minimnya upaya pemerintah serta aparatur terkait dalam menjaga kelestarian hutan. Program rehabilitasi bersama masyarakat saat ini telah dilakukan pada lahan seluas 4.023 hektar, dilakukan dengan menanam tanaman ekonomis berdimensi konservasi.

Lahan Hutan Rehabilitasi seluas 7 Hektar yang ditanami  masyarakat petani hutan Desa Curahnongko. Foto : Petrus Riski

Lahan Hutan Rehabilitasi seluas 7 Hektar yang ditanami masyarakat petani hutan Desa Curahnongko. Foto : Petrus Riski

Menurut Nurhadi selaku Direktur Konservasi Alam Indonesia Lestari (KAIL), LSM yang didirikan dari dan oleh masyarakat setempat, kegiatan rehabilitasi lahan merupakan cara yang efektif untuk menjaga serta melestarikan hutan, karena didalamnya juga berlangsung proses penguatan ekonomi masyarakat, melalui pemanfaatan lahan serta tanaman hutan tanpa harus menebang pohon.

“Masyarakat dapat menghasilkan tanaman tumpangsari disamping tanaman pokok hutan yang ditanam. Ini agar masyarakat aktif melakukan kegiatan rehabilitasi hutan di lahan rehabilitasi, serta mengelola dan mendapatkan hasilnya untuk meningkatkan ekonomi keluarga,” ujar Nurhadi.

Dalam program rehabilitasi itu, masyarakat mendapat izin menanam dan mengelola tanamam pokok dan tanaman tumpangsari pada lahan yang masih gundul, tetapi lahan tetap milik TN Meru Betiri. Sekarang lahan menjadi hjau dan rimbun.

“Setelah lahan digarap masyarakat, masyarakat menerima manfaar dari tanaman tumpang sari, sedangkan Taman Nasional menerima manfaat dari tanaman pokoknya, artinya pohonnya ada lagi,” tutur Abdul Halim Fanani, warga Desa Curahnongko, Kecamatan Tempurejo, Jember, Jatim yang berharap sinergi semacam ini dapat terus terbina.

Abdul mengatakan legalitas hak pengelolaan pada lahan kritis kepada masyarakat menjadi penting ada kawasan konservasi seperti di TN Meru Betiri, agar tidak bermasalah dengan hukum.

“Legalitas, dimana masyarakat diberikan hak resmi tertulis untuk mengelola hutan. Kalau bicara konservasi itu sangat kaku, tapi pertanyaannya mampukah pemerintah kita melakukan itu. Maka alternatifnya adalah keterlibatan masyarakat dalam membantu konservasi,” kata Abdul Halim yang sehari-hari bertugas sebagai Kepala Urusan Keamanan Desa.

Beberapa pohon dan tanaman yang ditanam masyarakat petani  di lahan 7 hektar di Taman Nasional Meru Beritir yang masuk dalam Desa Curahnongko. Foto : Petrus Riski

Beberapa pohon dan tanaman yang ditanam masyarakat petani di lahan 7 hektar di Taman Nasional Meru Beritir yang masuk dalam Desa Curahnongko. Foto : Petrus Riski

Tingkat pendidikan masyarakat desa yang masih tergolong rendah, bukanlah halangan untuk peduli konservasi hutan pasca terjadinya penjarahan kayu di hutan.

Kepedulian konservasi masyarakat, kata Abdul, berawal dari perkenalan dengan Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN) yang memberikan pemahaman tentang lingkungan di kawasan hutan TN Meru Betiri.

“Masyarakat tidak serta merta mau ikut apalagi ini terkait dengan lingkungan, yang harus memberi pemahaman mengenai dampak ketika hutan terbakar atau gundul, maka masyarakat yang tinggal dekat dengan hutan adalah kuncinya,” katanya.

Untuk menampung dan mengelola hasil panen tumpangsari dari program rehabilitasi itu, didirikan koperasi bernama Multi Usaha Lestari.

“Saat ini petani sudah bisa mengelola hasil dari lahan rehabilitasi berupa keripik nangka. Kalau buah nangka dulunya dijual seperti biasa itu kurang menguntungkan, dengan dijadikan keripik nangka bisa mendatangkan nilai lebih,” papar Nurhadi.

Selain keripik nangka juga ada hasil buah-buahan lainnya serta buah hasil pohon hutan seperti kemiri, kedawung, dan pakem. Ibu-ibu rumah tangga juga turut memanfaatkan tanaman hasil hutan rehabilitasi seluas 7 hektar, dalam bentuk pengolahan dan pembuatan jamu tradisional dari tanaman obat.

“Dari pekarangan dan di lahan rehabilitasi serta di dalam hutan kami memperoleh kapulogo, kemukus, cabe jawa, ada juga kayu rapat. Kami bersyukur karena orang yang sakit dan tidak dapat sembuh secara medis, dapat diobati dan sembuh dengan ramuan Toga (tanaman obat keluarga),” ujar Katemi, Ketua Kelompok Toga Sumber Waras, Desa Andongrejo.

Cabai Jawa, salah satu tanaman obat yang ditanam  masyarakat di lahan rehabilitasi.Foto : Petrus Riski

Cabai Jawa, salah satu tanaman obat yang ditanam masyarakat di lahan rehabilitasi.Foto : Petrus Riski

Ada sekitar 70 jenis dari 300-350 bibit tanaman obat dari hutan yang berhasil dibudidayakan di pekarangan warga dan diolah untuk dijual menjadi jamu tradisional yang meningkatkan perekonomian warga.

“Manfaat obat dari Taman Nasional Meru Betiri cukup membantu, baik untuk menyembuhkan penyakit maupun menambah pendapatan dari menjual jamu,” tambah Katemi yang mengaku telah menerima pesanan jamu tradisional dari berbagai daerah dan luar pulau Jawa.

Sedangkan Kepala Resort Andongrejo, TN Meru Betiri, Heman Sutresna mengatakan, kerjasama pengelolaan hutan di lahan rehabilitasi telah banyak membantu Taman Nasional menghijaukan kembali kawasan yang kritis.

“Pasca reformasi terjadi penjarahan kayu secara besar-besaran di Meru Betiri, dengan merintis kegiatan rehabilitasi kawasan hutan yang kritis bersama masyarakat, tugas kami dalam menjaga hutan menjadi terbantu,” kata Heman.

Terdapat 4 desa yang berbatasan langsung dengan TN Meru Betiri, yaitu Desa Curahnongko, Andongrejo, Sanenrojo, dan Wonoasri, dimana terdapat 24 kelompok petani hutan di Desa Curahnongko dan 18 kelompok petani hutan di Desa Andongrejo, yang diajak bekerjasama mengembalikan fungsi hutan.

Pada seluruh kawasan Taman nasional Meru Betiri yang masih perlu direhabilitasi, tercatat seluas 2.773 hektar berdasarkan review zonasi yang dilakukan pada tahun 2011.

“Dari semua upaya yang telah kita lakukan, masih ada 60 persen lahan kritis yang belum direhabilitasi, peran masyarakat sangat penting bagi kami karena mereka sangat membantu menghijaukan kembali lahan yang kritis,” ujarnya.

Heman mengungkapkan, kendala yang dihadapi hingga kini adalah pemahaman masyarakat yang masih suka menanam tanaman pertanian, yang mendatangkan keuntungan untuk jangka pendek. Sedangkan tanaman hutan justru dapat mendatangkan nilai ekonomis yang lebih tinggi, dengan memanen buah tanaman pokok tanpa biaya perawatan.

“Belum semua masyarakat menyadari pentingnya melestarikan hutan, banyak juga yang kurang peduli, diberi bibit gratis tapi tidak mau menanam. Kami memberikan pemahaman bahwa menanam untuk masa depan, tidak hari ini tapi paling tidak 5 tahun baru bisa dinikmati hasilnya,” tutur Heman.

Selain minimnya sumber daya yang dimiliki TN, Heman menambahkan bahwa belum semua masyarakat peduli terhadap pelestarian dan rehabilitasi hutan. Persoalan pendidikan masyarakat yang masih rendah serta alasan ekonomi menjadikan upaya rehabilitasi hutan berjalan lambat.

Namun demikian, kelompok masyarakat petani hutan seperti di Curahnongko dan Andongrejo menjadi contoh yang baik dalam rangka menyadarkan dan memberikan pemahaman kepada masyarakat, mengenai konservasi yang mendatangkan keuntungan bagi perekonomian masyarakat.

“Masyarakat sekitar hutan adalah yang paling terdampak bila hutan gundul dan rawan bencana. Kami berharap banyak masyarakat di sekitar kawasan hutan lainnya, ikut terlibat dalam upaya pelestarian serta rehabilitasi hutan dan tetap memperoleh keuntungan,” tandasnya.

Fasilitator dari LATIN, Kaswinto menambahkan, model pengelolaan lahan kritis melalui program rehabilitasi 7 hektar di Curahnongko dan Andongrejo, dapat dijadikan contoh pemanfaatan lahan kritis lainnya di hutan. Model pelibatan masyarakat untuk menanami lahan kritis, juga menjadi cara efektif bagi pemerintah untuk menjaga hutan dari penebangan liar seperti sebelumnya.

“Buktinya saat yang lain ditebangi, tidak ada satu pun pohon yang ditebang di lahan 7 hektar yang dikelola petani. Ini bukti masyarakat sebenarnya mampu ikut menjaga hutan, asalkan masyarakat juga diperkenankan mengambil manfaat dari hutan,” pungkas Kaswinto.


Menyelamatkan Hutan TN Meru Betiri Dengan Memakmurkan Masyarakat. Kok Bisa? was first posted on March 20, 2015 at 4:00 am.

Pelemahan Rupiah Ancam Pasokan Energi Nasional

$
0
0

Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS terus melemah. Situasi ini dikhawatirkanakan mengganggu keamanan pasokan energi nasional. Sebab, Indonesia masih bergantung pada energi fosil yang sebagian besar harus diimpor menggunaka mata uang dollar. Begitu juga dengan kontrak penyediaan energi primer dan pembelian listrik swasta oleh PLN. Sehingga, ketika rupiah melemah, artinya biaya untuk impor bahan bakar juga akan membengkak.

Menyikapi hal tersebut, Pemerhati Isu Energi Thamrin School Fabby Tumiwa mengatakan, persoalannya bukan dollar naik dan turun. Tapi ada persoalan yang sangat fundamental dan struktural namun tidak bisa diatasi dalam 15 tahun terakhir. Bahkan memburuk 10 tahun terakhir.

“Ketergantungan bahan bakar minyak di Indonesia mencapai 1,5 juta barel per hari. Di tahun 2018 akan meningkat menjadi 1,8 juta barel. Peningkatan tersebut berjalan seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang terus menanjak. Ini yang harus dibenahi,” kata Faby dalam acara diskusi bersama media di Jakarta, Kamis (19/3/15).

Salah satu pusat pengolahan minyak bumi di Balikpapan. Foto: Aji Wihardandi

Salah satu pusat pengolahan minyak bumi di Balikpapan. Foto: Aji Wihardandi

Lebih lanjut ia mengatakan, hal yang harus dibenahi adalah mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan mulai menggunakan energi terbarukan yang lebih bersih dan rendah emisi. ”Sekarang target pertumbuhan ekonomi kita tinggi. Kebutuhan bbm  juga akan semakin besar,” katanya.

Dua BUMN yeng terimbas dengan melemahnya nilai tukar rupiah yakni Pertamina dan PLN. Sebab keduanya mempunyai kebutuhan valas dalam bentuk dollar sangat besar.

“Hitungan saya diperkirakan Pertamina menghabiskan sekitar 60 persen pendapatannya atau setara dengan 60 juta dollar untuk biaya pengadaan minyak mentah, BBM dan LPG setiap harinya,” katanya.

Lebih lanjut Fabby mengatakan kombinasi depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar dan fluktiasi harga minyak dunia menyebabkan Pertamina mengalami kerugian. Jika Pertamina tak mampu membiayai impor minyak, maka bisa bangkrut.

“Pada Januari tahun ini saja kerugian Pertamina mencapai 35 juta dollar atau setara dengan Rp. 420 miliar,” ujarnya.

Selain itu, biaya yang dikeluarkan oleh PLN 70 persennya untuk biaya pengadaan bahan bakar, pembelian listrik swasta, operasi dan perawatan pembangkit, serta pembayaran imbal obligasi global yang juga dalam bentuk dollar.

Karena itu  menurut Fabby perlu upaya untuk mengendalikan konsumsi dan pertumbuhan konsumsi bahan bakar minyak dan listrik. Pemerintah harusnya menekan permintaan BBM, bukan terus menambah suplai. Serta diversifikasi energi untuk menghindari jebakan ketergantungan terhadap BBM dan nilai tukar rupiah di masa yang akan datang. Jika tidak dibenahi maka Indonesia akan terus mengalami hal yang serupa berulang kali.

“Kebijakan harga energi yang coba dikoreksi saat ini tidak mendorong pengembangan energi alternatif lain. Kebijakan energi sekarang tak ada konsep yang jelas,” katanya.

Fabby mengatakan, perlu ada kampanye publik untuk membuat gerakan hemat BBM dan listrik. Cara tersebut bisa ditempuh sebagai solusi jangka pendek. Jika konsumsi BBM dan listrik turun, maka kebutuhan valas asing untuk impor juga turun. Hal tersebut juga bisa berdampak pada pengurangan emisi gas rumah kaca.

“Kami juga mendesak agar pemerintah segera punya roadmap strategi kebijakan harga BBM yang lebih konfrehensif. Tidak hanya sekedar naik dan turun harga. Menjaga tingkat harga jual BBM yang berlaku saat ini pada bulan-bulan mendatang walaupun harga minyak dunia mengalami penurunan kembali,” paparnya.

Dengan hal tersebut, diharapkan dapat mengurangi tingkat konsumsi BBM dan membantu memperbaiki neraca keuangan Pertamina.

“Selain itu juga harus mempercepat substitusi BBM ke bahan bakar gas. Ini sudah diwacanakan sejak sepuluh tahun yang lalu tapi realisasinya nol besar. Pemerintah harus serius melakukan hal itu,” ujarnya.

Namun hal itu sangat berbanding terbalik dengan aggaran di APBNP tahun ini untuk program substitisi BBM ke bahan bakar gas yang sangat kecil.

Solusi Jangka Panjang

Sebagai solusi jangka panjang, Fabby mendesak agar pemerintah membangun sistem transportasi publik yang layak dan handal. Sehingga masyarakag tidak lagi menggunakan kendaraan pribadi. Cara tersebut akan menekan konsumsi BBM juga menurunkan emisi gas rumah kaca.

“Pemerintah juga harus menetapkan kebijakan fuel economy standard yang dapat berlaku lima tahun mendatang. Kebijakan ini harus segera didorong agar diterapkan untuk kendaraan bermotor di Indonesia,” katanya.

Fabby juga menyarankan untuk mulai memperkenalkan pajak karbon untuk BBM. Selain itu, pengembangan energi terbarukan yang murah juga harus didorong. Ini bisa dilakukan dengan cara akusisi teknologi dan fasilitasi pendanaan untuk membiayai proyek energi terbarukan.

“Ini sesuai dengan Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang menargetkan penggunaan energi terbarukan di tahun 2025 sebesar 23 persen,” katanya.

Sedangkan Pemerhati Isu Ekonomi Poltik dan Tata Kelola Pemerintahan Thamrin School Jalal mengatakan, pemerintah juga haris membuat regulasi yang jelas terkait dengan penggunaan BBM oleh industri. Sebab industri menggunakan BBM dalam jumlah yang sangat besar. “Harus ada standar efisiensi energi untuk keseluruhan industri. Harus melibatkan Kadin untuk mengatur hal ini,” katanya.

Sementara Kepala Sekolah Thamrin school Farhan Helmy mengatakan, ia mendukung kebikakan pemerintah untuk meningkatkan blending biofuel bahan bakar nabati (BBN) dengan BBM sebanyak 15 persen. Ini dilakukan untuk mengurangi impor BBM dan kebutuhan valas.

“Tapi ini harus konsisten. Setelah 15 persen maka harus naik jadi 20, atau 25 persen. Ini bisa memanfaatkan 1,5 juta hektare lahan terdegradasi yang sesuai untuk memasok konsumsi bio etanol,” katanya.

Namun Farhan mengatakan, penyediaan biofuel (BBN) harus mempertimbangkan dan menjunjung aspek keberlanjutan, net emisi GRK yang dihasilkan dan kelestarian fungsi ekologis. Peningkatan produktifitas perkebunan dan efisiensi produksi BBN dari minyak sawit harus tetap menjadi prioritas pemerintah.

“Pemerintah juga harus melakukan audit biaya produksi BBN secara berkala sebagai acuan untuk menetapkan harga yang efisien. Sehingga berpihak pada kepentingan publik. Tidak hanya pada produsen,” ujarnya.

Farhan menegaskan, pengembangan BBN harus dilakukan secara terpadu dan terintegras dengan strategi pengembangan energi terbarukan dan substitusi bahan bakar minyak. Tapi tetap dengan memperhatikan sensitifitas keseimbangan ekologis dan kelestarian lingkungan. “Hal ini perlu ditunjukan dengan adanya kebijakan tata ruang dan keberpihakan pada pengembangan industri secara adil dan konsisten,” tandasnya.

 


Pelemahan Rupiah Ancam Pasokan Energi Nasional was first posted on March 20, 2015 at 4:35 am.

Melasti, Sucikan Bumi Menyambut Nyepi

$
0
0
Warga Tanjung Benoa sembahyang menghadap laut. Foto: Luh De Suryani

Warga Tanjung Benoa sembahyang menghadap laut. Foto: Luh De Suryani

Pekan ini, sebelum Hari Raya Nyepi, sebagian warga Bali berjalan kaki menuju pantai menyucikan alam. Arak-arakan warga berpakaian adat dominan putih membawa sesaji dan benda-benda yang disucikan. Ritual Melasti, namanya. Mereka membelah kesibukan lalu lintas dalam rute mencari Baruna, sumber tirta atau air suci dalam mitologi Mandaragiri.

Ini juga yang tampak di Denpasar dan sekitar. Mereka ritual Melasti ke Pantai Padanggalak. Parade gamelan, alat-alat sakral, umbul-umbul terlihat semarak dan indah dari desa sampai pantai.

Tiap tahun, Padanggalak menjadi salah satu pesisir paling padat saat Melasti. Tiap desa membagi waktu agar ada tempat duduk menghadap sang Baruna dan menghaturkan puja. Warga terpaksa duduk di atas bebatuan besar, tanggul penahan ombak karena pantai tak cukup aman.

Kadek Suana, warga Badung, mengheningkan diri.  Dia duduk bersila menghadap laut, selat antara Tanjung Benoa dan Pulau Serangan,  hasil reklamasi. Ribuan warga lain bersikap sama. Asana atau duduk bersila untuk laki-laki dan bersimpuh bagi perempuan. Para pemimpin upacara memercikkan tirta sebelum memulai puja.

Suana menggosokkan tangan, mendengarkan aba-aba dari pandita untuk memulai puja. Dia mengangkat kedua tangan sejajar ubun-ubun. Doa-doa dan genta mengalun di sela suara ombak dan desir angin. “Dulu sebelum reklamasi, Pulau Serangan cantik sekali. Jajaran pohon kelapa di tepi pantai, gampang sekali nyari ikan di pesisir,” kata Suana.

Kondisi jauh berbeda setelah reklamasi. “Kami tak mau daerah kami juga begitu,” kata Komang Arsa,  menimpali.

Usai persembahyangan, mereka mengingat kenangan masa remaja. Mencari ikan di Serangan atau bermain perahu di pesisir. Pulau Serangan kini gersang, ditelantarkan investor yang mereklamasi sejak 1990an. Jarak antara Tanjung Benoa dan Serangan hanya beberapa puluh meter. Terlihat jelas dari ujung Tanjung.

“Pantai di Tanjung ini abrasi karena dampak reklamasi Serangan. Lihat, harus dipasang tanggul batu biar tak habis,” kata pria penjaja aneka jasa di pesisir Nusa Dua ini.

Suana dan Arsa berkali-kali tanpa ditanya menyampaikan uneg-uneg tentang rencana reklamasi. “Saya heran, harus bagaimana kami bicara? Pemerintah tak mendengarkan, kami dianggap tidak ada.”

Menjunjung benda sakral menghadap laut Tanjung Benoa, pada ritual Melasti. Foto: Luh De Suriyani

Menjunjung benda sakral menghadap laut Tanjung Benoa, pada ritual Melasti. Foto: Luh De Suriyani

Persembahyangan usai. Puluhan orang bersiap melarung sesaji ke laut. Sebuah replika perahu layar nelayan tradisional digotong beberapa orang menuju bibir selat Tanjung Benoa dan Serangan. Di dalam berisi doa dan pengharapan agar alam senantiasa memberi kesejahteraan. Laut, sang baruna sang  sumber air suci tak berbalik menjadi musibah karena keserakahan manusia.

Desa di tanjung selatan Bali ini memang tergantung laut. Tak hanya secara spiritual juga nyata karena sebagian besar penghasilan dari pesisir. Ada puluhan hotel mewah dan jasa usaha wisata air.

I Nyoman Widia, Kelihan (pimpinan) adat Banjar Tengah, Tanjung Benoa menyebut,  melasti adalah salah satu momen sakral bagaimana hubungan manusia dan laut di Bali begitu saling terkait. Ritual ini selalu mengingatkan warga tentang pentingnya laut yang menjadi halaman depan dan belakang Tanjung Benoa. Untuk itu, dia merasa penolakan rencana reklamasi di Teluk Benoa harus dipegang teguh.

Melasti ini ritual menjelang pergantian tahun baru Saka, ditandai Nyepi di Bali. Saat Nyepi, Bali seperti istirahat sejenak selama 24 jam. Tak boleh ada aktivitas di luar rumah. Dimulai Sabtu, pukul 6.00 sampai Minggu pagi. Seluruh fasilitas publik tutup termasuk bandar udara, pelabuhan, lalu lintas, dan lain-lain.

Hanya kondisi darurat memperbolehkan warga ke luar rumah seperti rumah sakit itu pun harus didampingi petugas keamanan tradisional wilayah atau pecalang.

Kebajikan Nyepi untuk mengistirahatkan bumi ini menjadi inspirasi gerakan World Silent Day (WSD) yang digagas sejumlah lembaga dan masyarakat Bali. Gagasan Hari Hening Sedunia ini diusulkan kepada delegasi negara anggota dan Sekretariat United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC (Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim), agar diadopsi global. Kampanye sejak 2007, dan 2015, WSD bertepatan dengan Nyepi.


Melasti, Sucikan Bumi Menyambut Nyepi was first posted on March 20, 2015 at 4:25 pm.

Dari Rakernas AMAN: Mendagri Bicara Soal Percepatan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat

$
0
0
Mendagri, Tjahjo Kumolo, disambut dengan tarian adat kala hadir dalam pembukaan Rakernas AMAN IV di Kabupaten Sorong, Papua Barat. Foto: Sapariah Saturi

Mendagri, Tjahjo Kumolo, disambut dengan tarian adat kala hadir dalam pembukaan Rakernas AMAN IV di Kabupaten Sorong, Papua Barat. Foto: Sapariah Saturi

Pagi itu, ratusan masyarakat adat dari berbagai penjuru nusantara, berpakaian adat bersiap memasuki Lapangan Waronai, Kabupaten Sorong, Papua Barat. Itulah tempat pembukaan rapat kerja nasional (rakernas) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara IV. Sebelum masuk, di pintu gerbang ada ritual penyambutan. Para pemimpin adat berada di jajaran depan. Antara lain tampak Abdon Nababan, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat dan Ketua Dewan AMAN Nasional, Hein Namotemo, juga Bupati Halmahera Utara.

Tali penutup jalan digunting, penanda pemilik wilayah adat di Sorong,  menerima para tamu dari berbagai daerah itu masuk. Beberapa pejabat juga baru tiba. Ada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, Gubernur Papua Barat  Abraham Octavianus Atururi, dan jajaran pimpinan daerah Papua Barat, yang lain. Tak lama, Tjahjo Kumolo Menteri Dalam Negeri, juga datang. Dia disambut tarian selamat datang.

Pada 17 Maret itu, AMAN tak hanya rakernas. Itu juga hari ulang tahun ke-16 organisasi ini, sekaligus memperingati Hari Kebangkitan Masyarakat  Adat. Tjahjo Kumolo dan Siti Nurbaya, hadir mewakili Presiden Joko Widodo.

“Kami menyampaikan sambutan atas nama pemerintah. Moga rakernas dan Hut ke-16 moga bisa lahirkan pikiran buat menata kekuatan masyarakat adat sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan negara Indonesia,” kata Tjahjo.

Sebelum Indonesia, berdiri, katanya, masyarakat adat sudah ada lebih dulu. “Jadi masyarakat adat nusantara, harus mampu jadi perekat kebhinekaan, dan kekuatan bangsa yang besar.”

Untuk itu, dia atas nama pemerintah dan Mendagri, meminta seluruh bupati dan walikota serius memberikan perhatian kepada desa dan wilayah adat di daerah masing-masing. “Lakukan pendataan, penataan, hingga jelas mana hak-hak adat., yang merupakan daerah yang harus dihargai,” ujar dia.

Para tetua adat yang hadir dari berbagai komunitas adat nusantara. Foto: Sapariah Saturi

Para tetua adat yang hadir dari berbagai komunitas adat nusantara. Foto: Sapariah Saturi

Sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan hutan adat bukan hutan negara, menjadi angin segar perjuangan masyarakat adat Indonesia. Masyarakat adat, kata Tjahjo,  memiliki hak, kewenangan kongkrit untuk  mengelola adat, sosial, kultural, sampai ekonomi. “Ini bagian di mana ada hak tradisional tersimpan yang melekat pada masyarakat hukum adat.”

Dia menyadari, pengabaian pengakuan hak-hak kepada masyarakat adat selama ini menciptakan ketidakpercayaan kepada pemerintah dan benturan-benturan di lapangan. “Ke depan harus dihilangkan.”

Guna membangun struktur sosial, ekonomi, dan politik dalam mendukung pemberdayaan,  katanya, masyarakat adat harus diberi ruang untuk mengembangkan kearifan lokal dalam proses pembangunan daerah. Pemerintah, katanya, seperti janji presiden, akan mengupayakan pengakuan dan perlindungan masyarakat  hukum adat, baik secara ekonomi, sosial, dan budaya.

“Kami sebagai pembantu presiden akan mengeluarkan instruksi kembali untuk meminta pada seluruh kepala daerah memetakan, memberdayakan, agar nilai-nilai budaya, adat yang tersebar di seluruh wilayah bisa terjaga baik dan terhormat.”

Dia mengatakan, pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat  merupakan tugas besar bersama. “Terutama masyarakat adat nusantara dan pemerintah serta elemen bangsa. Kita percepat pengakuan dan perlindungan hukum masyarakat adat. Ini penting.”

Jadi, komitmen-komitmen presiden yang tertuang dalam Nawacita, ucap Tjahjo, merupakan kampanye politik yang harus dilaksanakan. “Saya Siti, akan menjadi bagian dari komitmen dan janji politik yang telah disusun dalam program jangka pendek, menengah dan panjang dan dijabarkan dalam RPJM. Tentu,  ini proses menuju pembangunan dengan lebih baik.”

Abdon Nababan, Sekjen AMAN mengatakan, awalnya berharap kehadiran kedua menteri yang mewakili presiden ini membawa kabar kongkret bagi masyarakat adat ternyata belum. Meskipun, kedua menteri mempertegas komitmen pemerintah akan memberikan pengakuan dan perlindungan kepada masyarakat adat. “Kita pikir, misal,  ada kejelasan soal kapan pasti Satgas Masyarakat Adat terbentuk. Rupanya belum.”

Wali data peta adat

Meskipun Tjahjo berulangkali menegaskan soal percepatan pengakuan dan perlindungan hak-hak adat, namun kementerian ini belum menyiapkan infrastuktur buat menjadi walidata peta-peta wilayah adat. “Saat ini belum, kita masih siapkan infrastruktur. Nanti daerah yang pemetaan, saya sudah minta kepala daerah perhatikan,” kata Tjahjo usai acara.

Penyambutan tamu adat, oleh tuan rumah sebelum memasuki Lapangan Waronai.Foto: Sapariah Saturi

Penyambutan tamu adat, oleh tuan rumah sebelum memasuki Lapangan Waronai.Foto: Sapariah Saturi

Akhir, tahun lalu, Kepala BP REDD+, Heru Prasetyo mengatakan, Kemendagri siap menjadi wali data tetapi masih membangun infrastruktur, berupa kebijakan yang mengatur itu. Karena itulah, maka BP REDD+–yang kini lebur ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan—bersedia menjadi wali data sementara.

Abdon mengatakan, akhir tahun lalu, AMAN sudah menyerahkan 4,8 juta hektar peta wilayah adat kepada BP REDD+ dan KLHK. “Sampai sekarang belum ada perkembangan.” Sampai saat ini, katanya, belum ada satupun lembaga pemerintah yang siap menjadi wali data peta-peta itu.

Komunitas adat di AMAN

Sementara itu, dalam usia 16 tahun ini, AMAN sudah mempunyai 21 pengurus wilayah, 107 pengurus daerah, tiga organisasi sayap, tiga badan otonom, dan 2.244 komunitas adat. “AMAN mengurus langsung, hampir 17 juta warga adat di seluruh nusantara,” kata Abdon.

Dalam rakernas AMAN yang berlangsung 16-19 Maret 2015 ini AMAN menerima 128 komunitas sebagai anggota baru, 64 dengan syarat dan mengeluarkan satu anggota. Kini, anggota AMAN menjadi 2.349 komunitas.

Dalam pernyataan resmi lewat website AMAN, menyebutkan, masyarakat adat di Aceh, menyatakan kembali bergabung dengan AMAN. Hein Namotemo, Ketua Dewan AMAN Nasional senang masyarakat adat Aceh ingin kembali bergabung. Aceh menyatakan keluar dari keanggotaan AMAN saat Kongres AMAN III 2007 di Pontianak.

Hein Namotemo, Ketua Dewan AMAN Nasional  bersama Siti Nurbaya, Menteri LHK di rakernas AMAN IV Sorong. Foto: Sapariah Saturi

Hein Namotemo, Ketua Dewan AMAN Nasional bersama Siti Nurbaya, Menteri LHK di rakernas AMAN IV Sorong. Foto: Sapariah Saturi


Dari Rakernas AMAN: Mendagri Bicara Soal Percepatan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat was first posted on March 20, 2015 at 11:44 pm.

Ironi Masyarakat Hukum Adat Terhadap UU P3H di Sumbar. Seperti Apa?

$
0
0

Beragam kritikan dan argumentasi bermunculan merespon hadirnya UU No.18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan (P3H) yang dinilai dapat merugikan hak-hak masyarakat hukum adat di Sumatera Barat. Undang-Undang ini dipandang sangat diskriminatif serta dapat mengabaikan hak-hak masyarakat hukum adat terhadap hutan. Adanya UU P3H ini membawa dampak besar memisahkan hubungan masyarakat dengan hutan, padahal di Sumbar, hutan merupakan bagian dari ulayat.

Di Sumbar terdapat 517 nagari/desa berada di dalam dan sekitar kawasan hutan, yang mengakibatkan sering terjadi konflik kehutanan, mulai dari permasalahan penetapan kawasan hutan, tata batas, pemetaan serta mengenai pengelolaannya.

Bagian timur Nagari Guguk Malalo merupakan kawasan perairan Danau Singkarak, tidak banyak lahan yang datar di daerah ini sehingga banyak masyarakatnya yang memanfaatkan kawasan hutan untuk peladangan. Foto: Riko Coubut

Bagian timur Nagari Guguk Malalo merupakan kawasan perairan Danau Singkarak, tidak banyak lahan yang datar di daerah ini sehingga banyak masyarakatnya yang memanfaatkan kawasan hutan untuk peladangan. Foto: Riko Coubut

Hutan merupakan bagian dari ulayat seperti itu ketentuan dalam hukum adat yang tumbuh dan berkembang ditengah masyarakat, termasuk berfungsi sebagai cadangan ekonomi bagi anak-cucu kemenakan di masa yang akan datang.

Untuk menjamin keberlanjutannya, hutan diatur secara adat berdasar fungsi yaitu mulai dari rimbo larangan, hutan cadangan dan hutan olahan.  Pengaturan hutan secara adat hingga kini masih dipakai dan diakui oleh masyarakat.

Pakar hukum agraria dari Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Dr. Kurnia Warman, S.H., M.Hum pada Rabu (11/03/2015), mengatakan bahwa hak ulayat merupakan hak tradisional yang bersifat komunal dari masyarakat hukum adat untuk menguasai dan mengelola suatu wilayah tertentu dalam rangka mendukung kelangsungan hidup anggota masyarakatnya sendiri.

Maka setiap anggota masyarakat hukum adat yang bersangkutan berhak dengan bebas mengolah dan memanfaatkan tanah dan sumberdaya alam yang ada dalam kawasan mereka. Ketentuan tersebut tidak berlaku bagi masyarakat luar atau pendatang, kecuali setelah mendapatkan izin dari masyarakat itu sendiri.

Kalau ada undang-undang dalam penyelenggaraan negara yang menghapus keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat dalam pengelolaan tanah dan kekayaan alam tersebut dapat dikatakan bertentangan dengan konstitusi (inkonstitusional).

Pasal 11 ayat (4) UU P3H menyatakan, bahwa “masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan penebangan kayu di luar kawasan hutan konservasi dan hutan lindung untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial harus mendapat izin dari pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Pasal itu bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang masyarakat yang dimaksud termasuk masyarakat hukum adat. Dalam pelaksananaan hak ulayat, pengambilan hasil hutan baik kayu maupun bukan kayu dalam wilayah adatnya untuk kebutuhan sendiri dan keluarganya, merupakan hak internal yang melekat dengan anggota masyarakat hukum adat, tegasnya.

Kurnia menambahkan masyarakat hukum adat mengalami nasib tragis, ibarat kata pepatah “sudah jatuh tertimpa tangga pula”. Hak ulayat mereka atas bumi, air dan kekayaan alam, terutama hutan telah dirampas oleh pemerintah, dan mereka terancam dipidana pula pada saat memanfaatkan hutan ulayat tanpa izin negara. Kondisi ini tentu sangat bertentangan dengan amanah konstitusi yang dengan tegas mengakui dan menghormati masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya.

Hamparan sawah masyarakat yang berdampingan dengan kawasan hutan di Nagari Guguk Malalo, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Foto: Riko Coubut

Hamparan sawah masyarakat yang berdampingan dengan kawasan hutan di Nagari Guguk Malalo, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Foto: Riko Coubut

Peneliti kebijakan kehutanan dari Perkumpulan Qbar, Roky Septiary, S.H saat mengatakan UU P3H merupakan contoh produk legislasi buruk yang cacat formil, dibuat secara tidak partisipatif dan tidak transparan. Secara materi, isi undang-undang ini menimbulkan ketidakpastian hukum, menciptakan masalah baru serta sangat berpotensi mencederai hak-hak Konstitusional warga negara. Mestinya hal itu menjadi pertimbangan utama pada saat melakukan pembahasan terhadap rancangan undang-undang tersebut.

Dia menambahkan bahwa undang-undang ini justru melanggengkan konflik kehutanan sebagai akibat dari ketidakpastian jaminan negara atas pengelolaan hutan oleh masyarakat. Norma-norma yang terdapat dalam undang-undang ini sangat tendensius, menyasar kepada masyarakat hukum adat, masyarakat lokal dan penduduk desa di sekitar dan dalam kawasan hutan.

Yontameri Rajo Jambak, salah seorang pemohon dalam pengujian UU P3H yang berasal dari Sumbar kepada Mongabay pada Rabu (18/03/2015) mengatakan Nagari Malalo merupakan daerah yang berdampingan langsung dengan kawasan hutan bahkan diantaranya masyarakatnya ada yang bermukim dalam kawasan hutan.

Keberadaan hutannya sangat diperlukan guna memenuhi kebutuhan sumberdaya air serta menjaga kawasan pemukiman dari ancaman bencana longsor atau galodo. Untuk itu masyarakat menerapkan sanksi adat bagi siapa saja yang memasuki hutan larangan dan hutan cadangan yang telah diperuntukkan.

Masyarakat adat Malalo membagi pengelolaan hutan tersebut menjadi tiga fungi pengelolaan yaitu hutan larangan, hutan cadangan dan hutan paramuan. Hutan larangan, merupakan hutan ulayat Nagari yang belum terbagi kepada suku-suku, seluruh isi hutannya tidak dapat dimanfaatkan baik berupa hasil hutan kayu maupun bukan kayu, biasanya letaknya jauh ditengah hutan.

Hutan cadangan merupakan kawasan hutan yang belum terbagi kepada suku-suku namun memungkinkan untuk dibagi seiring dengan pertumbuhan penduduk, pemanfaatannya dapat berupa hasil hutan kayu maupun hasil hutan bukan kayu dan harus seizing ninik mamak penguasa ulayat.

Sedangkan hutan paramuan merupakan kawasan hutan yang sudah terbagi kedalam suku-suku dan dapat dimanfaatkan oleh Anak Nagari baik berupa kayu, hasil hutan lainnya, maupun diolah menjadi areal peladangan, kata Yontameri saat memberikan keteranganya sebagai saksi dalam pengujian UU P3H pada Jum’at (20/11/2014).

“Sudah ada aturan adat serta peraturan nagari mengenai pengelolaan sumberdaya hutan di Malalo dan hingga kini masih berlaku,” tegasnya.

Sedangkan Agita Fernanda, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas mengatakan UU P3H disahkan pada 2013, sedangkan pada 2012 sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan pengujian UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dimana dalam putusannya memisahkan antara hutan adat dan hutan negara.

Lantas kenapa UU No. 18 Tahun 2013 ini tidak mempertimbangkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut?, Negara semestinya menghormati hak-hak masyarakat hukum adat atas sumberdaya hutannya.

Agita bersama mahasiswa lainnya di kampus tengah menggalang dukungan pada seluruh civitas akademika Universitas Andalas dengan membuat petisi yang memuat tentang penolakan atas pemberlakuan UU P3H karena dipandang mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan dapat mengkriminalisasi masyarakat atas pengelolaan sumberdaya hutan kedepannya.

Mereka mendukung upaya judicial review terhadap undang-undang ini yang sedang berlangsung di Mahkamah Konstitusi dan meminta kepada Hakim Konstitusi untuk mengabulkan pemohonan Judicial Review atas pengujian undang-undang tersebut.


Ironi Masyarakat Hukum Adat Terhadap UU P3H di Sumbar. Seperti Apa? was first posted on March 21, 2015 at 12:00 am.
Viewing all 9763 articles
Browse latest View live