Quantcast
Channel: Mongabay.co.id
Viewing all 9435 articles
Browse latest View live

Distribusi 9 Juta Hektar, Jangan Sampai Salah Sasaran

$
0
0

Rumah masyarakat adat Semende Agung di Bengkulu dibakar operasi gabungan TNBBS. Warga di sana dinilai merambah kawasan taman nasional. Padahal, dari warga berargumen mereka di sana sudah turun menurun ratusan tahun. Putusan MK 35 tak bermakna, empat warga dipidana dalam kasus ini. Apakah lahan-lahan warga adat seperti ini akan menjadi prioritas dalam distribusi lahan? Foto: AMAN Bengkulu

Pemerintahan Joko Widodo berencana meredistribusi lahan seluas sembilan juta hektar sebagai janji reforma agraria dalam Nawa Cita. Namun, tampaknya belum jelas sasaran warga yang bakal mendapatkan lahan-lahan itu. Berbagai kalangan masyarakat sipil dan pakar menyambut baik sekaligus mengingatkan, pemerintah berhati-hati dalam penyaluran lahan-lahan ini agar tak salah sasaran malah menjadi ‘alat’ baru penyusupan bagi pengusaha buat menguasai lahan.

Iwan Nurdin, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan, janji reforma agraria sebenarnya sudah digagas dua presiden, Susilo Bambang Yudhoyono dan Jokowi. “SBY baru tataran wacara. Jokowi, pada 27 Februari 2015 katakan hendak redistribusi tanah 9 juta hektar lahan seperti dalam Nawa Cita,” katanya dalam diskusi soal redistribusi lahan 9 juta hektar, di Jakarta, Rabu (1/4/15).

Dia mengatakan, distribusi lahan tanpa ada tindaklanjut memastikan tepat sasaran bisa menjadi tak berguna. Reforma agraria salah kaprah kala memberi atau distribusi lahan kepada orang yang salah atau pembagian tanah terlalu sedikit. “Kalau cuma distribusi tanah itu sebenarnya bukan land reform.”

Kala berbicara reforma agraria, katanya, capaian harus mampu mengurangi ketimpangan, bukan cuma kurangi kemiskinan. Untuk itu, kata Iwan, niat presiden mau meredistribusi lahan harus bisa dipastikan, berjalan dengan benar. Syaratnya, data akurat, didukung organisasi masyarakat sipil yang kuat dan komitmen politik. “Kalau gak didukung gerakan rakyat, maka hanya akan jadi sumber korupsi baru,” ujar dia.

Menurut dia, soal model distribusi lahan perlu menjadi perhatian pemerintah. Sebab, kondisi di lapangan begitu komplek. Yang memerlukan lahan petani di berbagai daerah, terutama di Jawa. Dia menyebutkan, ada beberapa model. Pertama, obyek (penerima) berada di sekitar lahan distribusi. “Ini lebih mudah, karena obyek dan subyek ada di lokasi sama.”

Kedua, mendekatkan subyek ke obyek (lahan) yang tersedia. “Ini sudah pernah dijalankan lewat transmigrasi dan cenderung gagal, banyak menciptakan banyak masalah.”

Ketiga, mendekatkan obyek ke subyek.  Model ini, katanya, dari daerah surplus tanah (tidak padat penduduk)  didekatkan ke minus tanah, padat penduduk dan dekat penerima manfaat. “Misal, di Jawa, banyak petani yang memerlukan lahan, perusahaan (BUMN) yang pindah, lahan didistribusi kepada warga. Ini kan lebih mudah, daripada memindahkan warga.”

Gunawan Wiradi, Pakar Agraria, mengatakan, program redistribusi 9 juta hektar merupakan niat bagus. “Saya percaya, niat bagus. Begitu juga niat rumuskan Nawa Cita. Tetapi, ada keliru kalau redistribusi 9 juta hektar itu diklaim sebagai reforma agraria. Keliru. Kenapa? Distrbusi dan redistribusi dalam konteks reforma agraria itu hanya statistik,” katanya.

Menurut dia, distribusi dan redistribusi lahan itu hanya sebaran. “Kalau cuma 9 juta hektar dibagi, lalu investor yang kuasai jutaan hektar gak diapa-apain, bukan land reform itu.”

Bapak yang mengenalkan istilah reforma agraria pada 1984 ini menghargai niat pemerintah memberikan akses dan kesempatan rakyat tetapi jangan diklaim sebagai reforma agraria.

“Bukan reforma agraria, karena tanah di Kalimantan mau diberikan warga di Jawa. Reforma itu obyek dan subyek di wilayah sama. Di berbagai negara. Bukan tanah di sana, mau dikasih dari sini.”

Bisa juga, katanya, reforma agraria lewat distribusi lahan diintegrasikan dengan program reseatlement. “Tapi jangan lupa, program reform 60-an itu diintegrasikan dengan transmigrasi, banyak bermasalah.”

Reforma agraria, katanya, bertujuan mengubah struktur secara keseluruhan, bukan hanya kala ada tanah lebih. Reforma sejati, katanya, obyek reform itu surplus land, misal tanah didapat dari pemotongan tanah luas dari pemilik.

Dwi Astuti, Direktur Bina Desa, juga menanggapi. Dia ingin berpikir positif kalau redistribusi lahan ini bagian reforma agraria. Namun, dia bertanya-tanya karena banyak yang belum jelas. “Kok konsep beluma ada ya? Bagaimana sih obyek dan subyeknya? Apakah subyek itu landless? Kalau kriteria subyek land reform tak jelas, malah didistribusikan ke perkebunan, bukan malah ke petani.”

Dia juga menyoroti soal lahan distribusi di kawasan hutan, terutama kondisi lahan. Dia khawatir, karena kawasan hutan saat ini banyak sawit. Jadi, kalau distribusi kepada warga berdekatan dengan perkebunan sawit khawatir lahan tak produktif.

Masyarakat adat di Halmahera meblokade jalan yang dibuat perusahaan di lahan adat. Akankah warga (petani) ini akan mendapatkan lahan hidup mereka lewat distribusi lahan? Foto: AMAN Maluku Utara

Selain itu, dia menilai, konflik lahan begitu tinggi belum teratasi lalu muncul rencana distribusi tanah. “Mengapa gak lahan konflik diatasi dulu, tapi tiba-tiba redistribusi? Gimana itu? Ada redistribusi lahan tanpa ada penanganan konflik. Mau pindahkan gitu saja. Itu bukan cara baik untuk tingkatkan kesejahteraan manusia.”

Dwi juga mengusulkan, pemerintahan Jokowi melakukan audit terlebih dahulu terhadap hak guna usaha atau konsesi-konsesi yang ada.  “Dengan audit tahu mana lahan konflik dan mana lahan clear. Audit itu mendesak agar yang teriak penyelesaian konflik bisa teratasi,” katanya.

Menurut dia, seharusnya, land reform, tak hanya mampu menghilangkan ketimpangan kelas. Hal penting kerab luput dari perhatian, kata Dwi, yakni, perempuan sebagai subjek land reform. “Bagaimana hilangkan ketimpangan dalam keluarga. Struktur kepemilikan tanah dalam rumah tangga, diregistrasi atas nama suami, akses dan kontrol tanah pada laki-laki.”

Pendekatan distribusi

Budiman Sudjatmiko, Komisi II DPR mengatakan, land reform sudah menjadi keharusan sebuah negara yang ingin daya beli dan kemampuan masyarakat desa kuat.

Belum lama ini, dia bertemu Jokowi. Kepada dia, Presiden berpesan, agar ikut mengawasi distribusi 9 juta hektar hingga implementasi di lapangan benar-benar diterima warga yang seharusnya.

Mengenai obyek sembilan juta hektar, katanya, bisa dari beberapa sumber. Lahan obyek distribusi,  sebenarnya sudah ada sejak 2012. Yakni, obyek inventarisasi tanah telantar, seluas 4.801.875 hektar, lebih 1.000 hak tanah antara lain dari HGU, HGN, sampai izin lokasi.

Lalu, inventarisasi skema kawasan hutan konversi. Ada perbedaan data antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta BPN. Data KLHK 2012, luas hutan produksi konversi 17, 94 juta hektar sedang BPN 20.030.589 hektar. Dari luas itu, potensi tanah obyek reforma agraria 8.149.941 hektar di 17 provinsi, 104 kabupaten, serta 629 lokasi. “Dari sebaran itu, sembilan juta hektar bukan angka yang sulit dicapai.”

Jadi, katanya, dalam redistribusi lahan, kata Bambang, yang dipakai menggunakan tiga pendekatan. Pertama, pendekatan tanah terlantar lewat PP No 11 Tahun 2010 tentang penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar. Memang, katanya, ruang lingkup baru perkebunan swasta, dan masih mengecualikan aset negara termasuk perkebunan negara.

Kedua, tanah di kawasan hutan. Lewat peraturan bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Uumum, Kepala BPN yang terbit Oktober 2014 soal tata cara penyelesaian penguasaan tanah di kawasan hutan. “Ini kehutanan termasuk hutan adat dan hutan Jawa.”

Ketiga, pendekatan penyelesaian konflik. Caranya, kata Bambang, ada peraturan Kepala BPN pada 2011 soal pengelolaan pengkajian dan penanganan kasus pertanahan.

Dengan tak menggunakan klasifikasi berdasar subyek dan sejarah perundang- undangan sektoral.

Menurut dia, kesulitan biasa dihadapi kala birokrasi memandang reforma agraria hanya sebagai kebijakan. “Padahal bicara reforma agraria itu bicara gerakan.”

Untuk itu, katanya, terpenting harus pengetatan di bawah. Jangan sampai, hanya pemberitaan land reform padahal buat menyelundupkan land reform kepada perkebunan-perkebunan besar. Jadi, kata Budiman, gerakan sosial harus terlibat guna mengamankan land reform dari ‘penyelundup-penyelundup’ ini.

Sumber: KPA

Sumber: Usulan penerima versi KPA

Inilah aksi para petani  penggarab, petani yang terancam kehilangan lahan dan buruh tani di Jakarta mendesak land reform dan penghentian perampasan lahan-lahan pertanian. Apakah mereka bakal menerima redistribusi lahan?

Inilah aksi para petani penggarab, petani yang terancam kehilangan lahan dan buruh tani di Jakarta mendesak land reform dan penghentian perampasan lahan-lahan pertanian. Apakah mereka bakal menerima redistribusi lahan?

 


Distribusi 9 Juta Hektar, Jangan Sampai Salah Sasaran was first posted on April 1, 2015 at 11:45 pm.

Pembangunan Jalan Lingkar Persempit Habitat Gajah Balai Raja

$
0
0

Kabar duka datang dari keluarga gajah Sumatra (Elephas maximus sumatranus). Kurang dari tiga bulan di tahun 2015 ini saja, sudah tujuh ekor gajah mati di Riau. Kabar buruk terbaru adalah sebuah proyek pembangunan jalan lingkar telah menghancurkan hutan rimba habitat gajah di Suaka Margasatwa Balai Raja, Bengkalis, Riau yang sebenarnya kini hanya tinggal 150 hektar dari luasan awalnya 18 ribu hektar.

Pemkab Bengkalis telah memulai proyek pembangunan ini sejak beberapa bulan lalu. Tujuannya adalah untuk mengurai kemacetan jalur Pekanbaru-Medan yang melintasi Kecamatan Pinggir dan Kota Duri, Kabupaten Bengkalis. Jalan lintas itu dibangun sepanjang 33,6 kilometer dengan lebar 16 meter dari Kulim 7 hingga Desa Balai Raja, Kecamatan Pinggir.

Pembukaan jalan lingkar alternatif di Balai Raja, Kabupaten Bengkalis, Riau, bersinggungan dengan wilayah jelajah gajah Sumatera kelompok Balai Raja. Kondisi ini dikhawatirkan memperparah potensi konflik gajah dan manusia yang selama ini telah terjadi. Foto : L Andreas Sarwono/FKGI

Pembukaan jalan lingkar alternatif di Balai Raja, Kabupaten Bengkalis, Riau, bersinggungan dengan wilayah jelajah gajah Sumatera kelompok Balai Raja. Kondisi ini dikhawatirkan memperparah potensi konflik gajah dan manusia yang selama ini telah terjadi. Foto : L Andreas Sarwono/FKGI

Pembangunan jalan itu juga akan membelah hutan-hutan kecil termasuk Suaka Margasatwa (SM) Balai Raja, habitat penting dan satu-satunya yang tersisa bagi sekitar 30 ekor gajah di kawasan ini. Belum lagi proyek ini selesai dibangun dan mengurai kemacetan kendaraan, pembangunan ini telah mengurai hutan-hutan kecil menjadi potongan-potongan lebih kecil.

Ketua Himpunan Penggiat Alam (Hipam) Kota Duri, Zulhusni Syukri kepada Mongabay Selasa (01/04/2015) mengatakan bahwa proyek tersebut sangat mengancam jalur jelajah gajah-gajah Balai Raja sehingga harus segera dihentikan. Proyek itu juga akan semakin meningkatkan konflik gajah dan manusia di daerah jelajahnya.

“Seharusnya pada bulan ini rombongan gajah sudah berada di (hutan-hutan) Duri karena jalur jelajahnya begitu setiap tahun, tapi karena pembangunan jalan ini, rombongan gajah itu terjebak di konsesi Arara Abadi. Ini yang membuat gajah semakin terdesak dan stres,” kata Husni.

Proyek ini sendiri sudah dihentikan sementara waktu sejak dua pekan lalu menyusul aksi protes puluhan aktivis lingkungan baik dari Kota Duri sendiri maupun dari provinsi lainnya. Aktivis mendirikan tenda dan bermalam tepat di ujung pembangunan jalan yang akan membelah hutan Talang. Pada waktu itu terdapat lima alat berat terlihat masih beroperasi.

“Kami sudah bertemu dengan Kepala PU (Dinas Pekerjaan Umum) Bengkalis soal kekhawatiran ini. Dia bilang kalau melanjutkan pemotongan hutan, mereka akan diskusi dulu dengan penggiat alam. Tapi hingga sekarang kami belum dapat undangan kapan ini didiskusikan,” kata Zulhusni.

Pembukaan jalan lingkar alternatif di Balai Raja, Kabupaten Bengkalis, Riau, bersinggungan dengan wilayah jelajah gajah Sumatera kelompok Balai Raja. Kondisi ini dikhawatirkan memperparah potensi konflik gajah dan manusia yang selama ini telah terjadi. Foto : L Andreas Sarwono/FKGI

Pembukaan jalan lingkar alternatif di Balai Raja, Kabupaten Bengkalis, Riau, bersinggungan dengan wilayah jelajah gajah Sumatera kelompok Balai Raja. Kondisi ini dikhawatirkan memperparah potensi konflik gajah dan manusia yang selama ini telah terjadi. Foto : L Andreas Sarwono/FKGI

Kekhawatiran ini juga disampaikan Ketua Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) Krismanko Padang. Menurut dia proyek tersebut harus dihentikan karena akan memperparah konflik gajah dan manusia.

“Semenjak jalan ini dibangun, kelompok gajah Balai Raja tidak pernah kembali ke sini. Pada pekan lalu, kelompok gajah ini berkonflik dengan manusia di Desa Beringin yang mengakibatkan satu warga meninggal dunia,” ujar dia.

Berdasarkan pantauan FKGI pekan lalu di lokasi, masih terdapat dua unit alat berat yang diparkir di wilayah SM Balai Raja. Sebelum dihentikan oleh pegiat lingkungan, alat berat tersebut ditenggarai tengah menimbun area hutan rawa yang kerap digunakan kelompok gajah untuk beristirahat.

Krismanko mengatakan habitat gajah kelompok Balai Raja kondisinya sangat tidak layak karena sudah berubah menjadi area perkebunan dan permukiman masyarakat. SM Balai Raja dengan luas 18 ribu hektar yang ditetapkan pemerintah melalui SK Menteri Kehutanan RI Nomor 173/Kpts-II/1986 tanggal 6 Juni 1986 untuk konservasi gajah kini hampir seluruhnya telah diokupasi masyarakat.

Kelompok gajah ini diperkirakan hanya berjumlah 30-an ekor dan berlindung di bagian-bagian kecil hutan rawa dan menjadikan tanaman perkebunan masyarakat seperti sawit dan karet sebagai sumber makanan.

Dari 33,6 kilometer yang ditargetkan, kini pengerjaannya sudah sekitar 25 kilometer rampung dan sebagiannya tengah proses pengerasan pasir dan batu. Dan selama proses pembangunan jalan ini telah terjadi konflik gajah-manusia pada pekan lalu yang menewaskan seorang penjaga kebun sawit Pak Lung (50) warga Desa Serai Wangi, Kecamatan Pinggir.

Saat kejadian pada pekan lalu, Pak Lung tengah berada di gubuknya di kebun sawit di Desa Beringin, Pinggir. Ia tidak sadar bahwa di luar gubuk ternyata sejumlah warga tengah menghalau kawanan gajah. Saat ke luar gubuk itulah kawanan gajah sudah di dekatnya dan menginjak bagian badannya. Ia tewas dalam perjalanan menuju balai pengobatan terdekat.

Kepunahan gajah kelompok Balai Raja yang berjumlah sekitar 30 ekor tinggal menunggu waktu. Tahun lalu tiga ekor gajah mati. Dua ekor betina dewasa dan satu anak gajah jantan. Satu dari betina yang mati itu adalah gajah yang dipasangkan alat pemindai lokasi (GPS solar) oleh WWF dan Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA). Sementara sang anak jantan diduga mati diracun.

Dua unit alat berat berhenti beroperasi dalam pelaksanaan pembukaan jalan lingkar di Kabupaten Bengkalis, Riau. Pembukaan jalan lingkar alternatif di Balai Raja, Kabupaten Bengkalis, Riau, bersinggungan dengan wilayah jelajah gajah Sumatera kelompok Balai Raja. Kondisi ini dikhawatirkan memperparah potensi konflik gajah dan manusia yang selama ini telah terjadi. Foto : L Andreas Sarwono/FKGI

Dua unit alat berat berhenti beroperasi dalam pelaksanaan pembukaan jalan lingkar di Kabupaten Bengkalis, Riau. Pembukaan jalan lingkar alternatif di Balai Raja, Kabupaten Bengkalis, Riau, bersinggungan dengan wilayah jelajah gajah Sumatera kelompok Balai Raja. Kondisi ini dikhawatirkan memperparah potensi konflik gajah dan manusia yang selama ini telah terjadi. Foto : L Andreas Sarwono/FKGI

Sementara itu dalam rilisnya Kepala Bidang Wilayah II Balai BBKSDA Riau Supartono menyatakan pihaknya sudah melayangkan surat kepada Pemkab Bengkalis terkait pembukaan jalan tersebut.  “Pada intinya kami meminta Pemkab untuk mengkaji ulang karena jalan tersebut melintasi areal jelajah gajah. Luas habitat gajah yang tersisa di SM Balairaja hanya tinggal 150 hektar, ini pun mau dipotong untuk pembangunan jalan,” ujar dia.

Koordinator Flying Squad WWF Riau Syamsuardi mengatakan pembukaan jalan di daerah jelajah gajah juga akan mengancam secara langsung keselamatan manusia.

“Penghentian proses pembangunan jalan ini menunggu hasil musyawarah antara Pemkab Bengkalis dan beberapa lembaga pro lingkungan. Dari pertemuan tersebut diharapkan akan ada solusi terbaik agar konflik gajah dan manusia dapat ditekan sekecil mungkin,” jelas dia.

Dari pemetaan yang dilakukan WWF berdasarkan daerah distribusi gajah kelompok Balai Raja pada 2014, setidaknya ada tiga lokasi di ruas jalan tersebut yang berada pada wilayah gajah dengan frekuensi keberadaan yang sangat tinggi. Lokasi tersebut berupa spot-spot hutan rawa yang digunakan sebagai tempat gajah minum, berlindung, dan bermain pada siang hari.

Sementara itu Kepala Dinas PU Pemkab Bengkalis hingga rabu malam belum bisa dihubungi meski nomor teleponnya aktif.

Data LSM WWF mengungkapkan sejak 2004-2014 sudah 145 ekor gajah yang mati. Angka itu belum termasuk tujuh gajah yang mati di awal tahun ini. Sehingga totalnya mencapai 152 ekor. Konflik terjadi karena perburuan, konflik akibat kerusakan perkebunan warga dan sakit atau mati alami. Umumnya kalau konflik karena perburuan, sebagian gading pada gajah jantannya hilang ketika ditemukan bangkainya. Hanya beberapa kecil saja yg ditemukan masih bergading.

 


Pembangunan Jalan Lingkar Persempit Habitat Gajah Balai Raja was first posted on April 2, 2015 at 2:16 am.

Merindukan Rumah Aman bagi Orangutan “Unreleasable”

$
0
0

Paling lambat, tahun 2015 semua orangutan yang berada di pusat rehabilitasi sudah dikembalikan ke habitatnya. Foto: Rhett Butler

Strategi dan rencana aksi konservasi orangutan Indonesia 2007-2017 menyatakan bahwa paling lambat semua orangutan yang berada di pusat rehabilitasi sudah dikembalikan ke habitatnya pada 2015. Realistiskah target tersebut?

Janmartin Sihite, CEO Yayasan BOS (Borneo Orangutan Survival Foundation), menuturkan bahwa sah saja kebijakan itu dibuat karena pastinya pemerintah telah memperhitungkan rencana besar itu dengan baik. Pemerintah, sebagai regulator, juga telah memikirkan matang-matang dimana tempat yang nyaman untuk pelepasliaran orangutan. Yang pastinya, akan ada pelibatan pihak swasta guna mendapatkan capaian tersebut.

Namun, Janmartin melanjutkan, yang perlu dipikirkan juga adalah bagaimana dengan nasib orangutan yang tidak dapat dilepasliarkan (unreleasable) karena berbagai kondisi. Misalnya, karena mengidap penyakit, tubuhnya cacat, atau perilakunya tidak liar lagi karena terlalu lama dipelihara manusia. Haruskah orangutan unreleasable ini dilepaskan berbarengan dengan orangutan yang siap dilepasliarkan?

Jika orangutan unreleasable ini tetap dilepasliarkan tentunya akan mengganggu keseimbangan populasi orangutan di alam liar, baik dari segi kesehatan maupun perilaku, yang ditambah lagi ancaman perburuan. “Dipastikan, orangutan unreleasable ini tidak akan bertahan lama hidup di hutan karena selain tidak memiliki kemampuan bertahan hidup, ia juga tidak mampu berkompetisi untuk mencari pakan. Terlebih, melawan musuh alaminya di hutan,” paparnya, Rabu (1/4/2015).

Diperkirakan, saat ini terdapat 700 individu orangutan kalimantan yang berada di pusat rehabilitasi Yayasan BOS. Sekitar 500 individu berada di Program Reintruduksi Orangutan Kalimantan Tengah (Nyaru Menteng) dan 200 individu berada di Program Reintruduksi Orangutan Kalimantan Timur (Samboja Lestari). “Sekitar 10 persen dari total populasi ini merupakan orangutan unreleasable. Yayasan BOS, tidak ingin nasib mereka terus hidup di kandang hingga akhir hayatnya. Mengapa? Karena, mereka memang berhak hidup di hutan, rumah alaminya,” ujar Janmartin.

 

Pulau Salat Nusa secara keseluruhan yang berada di Kabupaten Pulau Pisau, Kalimantan Tengah.  Foto: Yayasan BOS

Pulau Salat Nusa secara keseluruhan yang berada di Kabupaten Pulau Pisau, Kalimantan Tengah. Foto: Yayasan BOS

Kawasan Badak Besar yang saat ini tengah diupayakan sebagai tempat pelepasliaran orangutan. Foto: Yayasan BOS

Kawasan Badak Besar yang tengah diupayakan sebagai tempat pelepasliaran orangutan. Foto: Yayasan BOS

 

Pulau Salat

Denny Kurniawan, Manajer Program Yayasan BOS Nyaru Menteng, menyatakan saat ini rumah nyaman bagi orangutan unreleasable dan juga yang siap lepas liar tengah diupayakan di kawasan Badak Besar dan Badak Kecil, Pulau Salat Nusa, Kabupaten Pulau Pisau, Kalimantan Tengah.

Denny menjelaskan wilayah ini dipilih karena jauh dari ancaman ekplorasi dan eksploitasi. Lahan yang dibutuhkan untuk program ini sekitar 655 hektar dari luas total Pulau Salat yang diperkirakan 3.419 hektar. Kawasan ini juga memiliki daya dukung ideal yang vegetasinya terpelihara baik, terisolasi air sungai sepanjang tahun, dan nyata-nyatanya tidak ditemukan populasi orangutan liar.

Yang terpenting adalah, Pemerintah Kabupaten Pulau Pisang bersama segenap masyarakat di Kecamatan Jabiren Raya mendukung wilayah mereka dijadikan kawasan konservasi orangutan. “Ganti rugi kebun warga berjalan lancar dan mereka menyambut baik langkah pelestarian orang utan,” paparnya.

Menurut Denny, target berikutnya adalah kawasan yang sebagiannya berada di delta Sungai Kahayan ini akan diusulkan menjadi kawasan ekosistem esensial yang kewenangannya berada di Pemerintah Kabupaten Pulau Pisau. Ini penting dilakukan mengingat, kawasan Badak Besar dan Badak Kecil merupakan ekosistem lahan basah yang memberikan jasa lingkungan seperti perlindungan air bersih (watershed protection) dan pengurangan risiko banjir. “Pengelolaannya tetap dilakukan bersama antara Yayasan BOS, Pemerintah Daerah Pulau Pisau, dan masyarakat setempat.”

 

Dukungan masyarakat diperlukan demi tercapainya program konservasi orangutan di Pulau Salat Nusa ini. Foto: Yayasan BOS

Dukungan masyarakat diperlukan demi tercapainya program konservasi orangutan di Pulau Salat Nusa ini. Foto: Yayasan BOS

 

Eddy Pratowo, Bupati Kabupaten Pulang Pisau, menegaskan bahwa Kabupaten Pulang Pisau memang mendukung upaya konservasi orangutan yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Kalimantan Tengah. “Dukungan ini merupakan komitmen Kabupaten Pulau Pisau bahwa pembangunan dan perlindungan kawasan konservasi selaras dengan pembangunan nasional.”

Menurut Eddy, orangutan merupakan flag species penting Provinsi Kalimantan Tengah. Karena itu, keberadaannya harus dijaga dan kawasan yang tengah diupayakan sebagai habitat orangutan ini harus kita dukung bersama. “Bukan hanya untuk pelestarian orangutan tetapi juga bagi kelestarian hutan kita.”

Orangutan merupakan spesies ikonik Indonesia yang memiliki fungsi penting dalam menjaga ekosistem hutan. Salah satu perannya adalah menebarkan biji yang sangat membantu meregenerasi hutan. Melindungi orangutan berarti kita telah menjaga kehidupan satwa liar di alam, dan pastinya manusia dapat menikmati layanan ekologis yang bersumber dari hutan.

 

 


Merindukan Rumah Aman bagi Orangutan “Unreleasable” was first posted on April 2, 2015 at 3:16 am.

Kebijakan Hanya Perusahaan Yang Bisa Tangkap Ikan, Tidak Adil dan Melawan Nawacita. Kenapa?

$
0
0

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengeluarkan kebijakan pasca moratorium perizinan penangkapan ikan yaitu hanya memperbolehkan perseroan terbatas atau perusahaan yang berbadan hukum yang bakal diberi izin menangkap ikan di perairan Indonesia. Izin tidak akan diberikan kepada perseorangan.

Pengamat Kemaritiman dari Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Alan F Koropitan melihat kebijakan ini justru bertentangan dengan keinginan Presiden Joko Widodo yang tertuang dalam Nawacita.

“(Kebijakan itu) bertentangan dengan Nawacita. Itu berarti nelayan tidak menjadi agenda utama pembangunan.  Padahal semangatnya, Nawacita ingin negara hadir untuk seluruh komponen bangsa dalam hal ini nelayan. Bagaimana agenda untuk memajukan nelayan dan tambak masuk dalam kedaulatan maritim. dan ini sifatnya perseorangan,” kata Alan yang dihubungi Mongabay pada Rabu (02/04/2015).

Nelayan melaut. Seraya melaut mereka sambil menjaga kawasan dari praktik-praktik merusak lingkungan. Foto: Indra Nugraha

Nelayan melaut. Seraya melaut mereka sambil menjaga kawasan dari praktik-praktik merusak lingkungan. Foto: Indra Nugraha

Kebijakan hanya perusahaan yang bakal diberikan izin penangkapan ikan, terkesan menjadi kebijakan ‘jalan pintas’ karena KKP tidak ada keinginan untuk mensejahteraan nelayan dengan mendata jumlah nelayan dan memberikan akses pendanaan kepada mereka.

“Kebijakan ini terkesan jalan pintas, karena KKP tidak mau mendata nelayan. Kita tahu sendiri kualitas data di KKP, data itu hanya asumsi. Maka data itu harus diperbaiki oleh Bu Susi Pudjiastuti. Data dari KKP, ada 2,3 juta orang petambak dan 2,2 juta nelayan. Totalnya ada 5 juta orang. Benar tidak memang jumlahnya segitu? Distribusinya ada dimana saja?” tanya dosen Kelautan IPB Bogor itu.

Seharusnya negara hadir kepada nelayan dengan memberikan layanan pendanaan kepada nelayan dengan cara mendirikan bank khusus untuk nelayan. “Justru di Nawacita sudah diberikan solusi dengan semacam Bank Agro Maritim. Bila susah bank, maka dibuat lembaga khusus saja untuk perikanan dan pertanian,” katanya.

Alan mencontohka dua negara yang peduli terhadap nasib nelayannya yaitu Perancis dan Thailand.  “Perancis itu mendata seluruh nelayann. Kapalnya apa, ABK berapa, jenis alat tangkapnya apa. Berapa yang bisa nelayan itu tangkap dalam satu bulan. Setelah data nelayan itu lengkap, maka bisa diberikan kredit melalui Bank Perkreditan Tani dan Nelayan. Kredit dana bisa diberikan sesuai kapasitas nelayan itu menangkap ikan, dengan cicilan yang murah,” jelas Alan.

Sedangkan pemerintah Thailand memberikan izin kepada kelompok nelayan yang terdiri dari 5-6 orang. Izin etrsebut menjadi dasar bank untuk mengeluarkan kredit dana. Sedangkan di Indonesia, pemerintah terkesan membiarkan nelayan tradisional mencari alat tangkap dan permodalannya. “Kesannya kita membiarkan nelayan mencari alat tangkap dan permodalan, sehingga nelayan terjerat permodalan dari sistem pendanaan tengkulak,” katanya.

Selain itu, nelayan juga seharusnya dilindungi oleh asuransi. “Nelayan sudah ada alat tangkap dan kapal. Andaikan dalam beberapa minggu atau satu bulan tidak bisa melaut karena ada cuaca ekstrim, maka asuransi akan mengganti pendapatan menangkap ikan,” katanya.

Nelayan salah satu sektor terdampak pembangunan pesisir dan laut. Foto: Andreas Harsono

Nelayan salah satu sektor terdampak pembangunan pesisir dan laut. Foto: Andreas Harsono

Dengan data nelayan yang lengkap, juga bisa menjadi dasar pemerintah untuk mengontrol pengelolaan WPP (wilayah pengelolaan perikanan) karena sudah mengetahui potensi penangkapan dari nelayan.

Oleh karena itu, menjadi prioritas kerja dari KKP untuk melakukan pendataan nelayan meliputi jumlah nelayan,  jenis kapal, jenis alat tangkap, dan jumlah ABK.

Sebelumnya KKP berencana memberikan izin penangkapan ikan di perairan Indonesia hanya kepada perusahaan yang memiliki badan hukum dengan alasan kemudahan pengecekan dan pelaporan finansial.

“Yang boleh ikut berbisnis hanya PT. Kenapa? Supaya ada akuntabilitas finansial, bank bisa mengecek berapa kredit. Kita bisa ngecek dari bank. Ada akuntabilitas hasil tangkapan. Kalau dia PT ada kewajiban melaporkan,” kata

Direktur Jenderal (Dirjen) Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau kecil (KP3K) KKP, Sudirman  Saad dalam sebuah acara di, Jakarta Pusat,pada  Selasa (31/03/2015).

Sudirman mengatakan dengan berbentuk perseroan terbatas, juga akan memperbesar akses nelayan yang tergabung dalam perusahaan kepada layanan keuangan di bank. “Kalau PT jelas, kalau perseorangan bank ragu membiayai. Alasan perbankan kita kan klasik, NPL (Non Performing Loan) industri perikanan tinggi,” katanya.


Kebijakan Hanya Perusahaan Yang Bisa Tangkap Ikan, Tidak Adil dan Melawan Nawacita. Kenapa? was first posted on April 2, 2015 at 5:21 am.

Kala Tambang Abai Reklamasi dan Ciptakan Masalah Lingkungan

$
0
0
Inilah lubang tambang yang sudah tiga tahun ditinggal begitu saja oleh perusahaan dan menelan satu anak tewas. Foto: Jatam Kaltim

Inilah lubang tambang yang sudah tiga tahun ditinggal begitu saja oleh perusahaan dan menelan satu anak tewas. Foto: Jatam Kaltim

Pertambangan di Indonesia menyisakan banyak masalah lingkungan dan sosial. Salah satu,  perusahaan kerab tak mereklamasi bekas tambang hingga lubang-lubang menganga bak danau atau kolam raksasa. Alhasil, seperti di Samarinda, dari 2011-2014, sembilan anak tewas tenggelam di dalam lubang ‘neraka’ buatan manusia itu.

“Lubang tambang menganga dibiarkan begitu saja tanpa ada papan peringatan. Anak-anak bebas main. Kita berharap jangan sampai ada korban lain lagi,” kata Mareta Sari, divisi riset dan pendidikan Jatam Kaltim saat berdiskusi di Jakarta, Rabu (25/3/15).

Dia mengatakan, 71% luas Samarinda sudah menjadi 52 izin pertambangan. Hingga ruang gerak masyarakat mendapatkan lingkungan sehat, aman dan bersih berkurang.

“Ancaman tidak hanya terjadi bagi kalangan dewasa juga anak-anak. Tambang bersinggungan langsung dengan pemukiman warga. Air bersih, udara sehat dan tanah pertanian terancam. Ini sengaja dilakukan pemerintah daerah dan pengusaha.”

Mareta mengatakan, Samarinda tidak layak ditempati manusia. Ketersediaan air bersih kurang sampai ada warga mengambil air lubang bekas tambang. Padahal, kotor dan beracun.

“Pemerintah Samarinda tak serius menangani ini.  Padahal walikota menyatakan Samarinda kota layak anak,” katanya.

Dia heran mengapa aturan reklamasi tak jalan pemerintah diam saja. Padahal, ada peraturan pemerintah nomor 78 tahun 2010 soal kewajiban reklamasi. Ada juga peraturan menyebut lokasi pertambangan harus berjarak minimal 500 meter dari pemukiman warga. Faktanya, banyak lokasi pertambangan, berjarak hanya 50 meter.

Merita menilai, peraturan terkait kewajiban reklamasi masih lemah. Begitu juga penegakan hukum. Hingga ada celah perusahaan melanggar dan mengelak dari kewajiban.

“Ibu korban ingin ada penegakan hukum. Dia hanya ingin lubang tambang ditutup agar tak ada korban. Jangan ada lagi pemberian izin bagi perusahaan pertambangan merusak. Pertambangan jangan di dekat pemukiman.”

Beberapa waktu lalu, ibu korban tambang mendatangi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KPPA) juga Komnas HAM. Jatam juga melayangkan surat kepada kapolri mempertanyakan kinerja kepolisan.

Ki Bagus Hadi Kusuma dari Jatam Nasional mengatakan, peraturan pemerintan terkait kewajiban reklamasi perlu dikritisi kembali. “Keseluruhan peraturan perundang-undangan ini tidak tegas baik UU maupun turunan. Kewajiban apa saja yang harus dilakukan perusahaan, siapa mereklamasi tidak diatur rinci.”

Dalam UU dan turunan, ada mandat membentuk komisi pengawasan reklamasi pasca tambang namun sampai hari ini tidak ada.

Gak heran karena sudah memberikan dana jaminan reklamasi, perusahaan lepas tangan begitu saja. Kalau kita berbicara soal reklamasi dan pasca tambang kan seharusnya bagaimana lingkungan sosial ditinggalkan tambang bisa pulih lagi.”

Selama ini,  perusahaan mengklaim tanggung jawab sosial. Padahal,  itu kegiatan sukarela. “Selain sembilan anak di Samarinda, di Kukar ada empat anak dan dua dewasa di lubang tambang. Jika dibiarkan, pemerintah daerah maupun pusat tak jauh dengan keledai. Masuk ke lubang sama berkali-kali,” katanya.

Tak hanya itu. Dana jaminan reklamasi perusahaan sebagai syarat mendapatkan IUP sebenarnya berpotensi menjadi ladang korupsi.”Menurut Dinas Pertambangan Kalsel, biaya reklamasi pasca tambang itu Rp60 juta per hektar. Siapa yang memegang dana jaminan dan melaksanakan?”

Menurut Bagus, di Kalimantan ada 8.000 izin tambang, tetapi hanya 210 perusahaan memberikan dana jaminan reklamasi. Hasil temuan BPK 2013,  menyebut ada kekurangan pembayaran kepada negara dari royalti, pajak dan lain-lain mencapai Rp94 miliar.

“Kalau dibandingkan reklamasi dengan negara lain, Indonesia jauh tertinggal. Di Australia, perusahaan tambang harus membayar biaya per hektar mencapai $40-100 juta Australia. Sangat jauh.”

Yodisman Sorata, mediator Komnas HAM mengatakan, negara dan korporasi melakukan simbiosis mutualisme salah dalam ekspansi pertambangan. Mereka abai pemenuhan HAM.

“Negara mengincar pajak, retribusi, bagi hasil. Korporasi jelas hanya mengincar keuntungan. Praktik pertambanhan ini tidak mensejahterakan masyarakat sekitar.”

Masalah dalam pertambangan, katanya, karena masyarakat tidak dilibatkan. Relasi sosial dan budaya masyarakat luput dari perhatian pengambil kebijakan.

“Pengawasan ada tetapi tindak lanjut tak ada. Ketika masyarakat dilaporkan proses cepat. Ketika perusahaan dilaporkan, lama.”

Untuk mengatasi beragam masalah ini, Komnas HAM mendorong terbentuk panduan bisnis dan HAM. PBB pada 2011, mengadopsi ini. Di level nasional, Indonesia belum punya.

Menanggapi ini, Asisten Deputi Pertambangan Energi dan Migas KLHK Sigit Reliantoro mengatakan, seharusnya jika reklamasi berjalan benar,lahan bisa bermanfaat bagi masyarakat.

“Kita berkaca pada Malaysia. Lokasi pertambangan premium dekat kota setelah direklamasi bisa jadi pemukiman baru juga perkebunan.”

Dampak penggalian nikel di hutan dan tumpukan ore di jetty menyebabkan air sungai hingga mengalir ke laut berubah warna di Morowali, Sulawesi Tengah. Air tak lagi jernih tapi berwarna orange. Foto: Sapariah Saturi


Kala Tambang Abai Reklamasi dan Ciptakan Masalah Lingkungan was first posted on April 2, 2015 at 7:15 am.

Upaya Para Ilmuwan Membangkitkan Gajah Purba dari Tidur Panjangnya

$
0
0
Spesimen mammoth yang ditampilkan di Royal BC Museum, Victoria. Sumber: Wikipedia common

Spesimen mammoth yang ditampilkan di Royal BC Museum, Victoria. Sumber: Wikipedia common

Tampaknya apa yang dua dekade lalu pernah ditampilkan dalam film science-fiction Jurassic Park akan semakin mendekati kenyataan. Dalam film tersebut, para peneliti berhasil membangkitkan kembali hewan-hewan purba yang sudah punah dengan mengambil DNA mereka. Saat ini, para peneliti coba membangkitkan mammoth dari tidur panjangnya, agar spesies karismatik ini dapat kembali dihadirkan dalam dunia modern kontemporer.

Anda pasti mengenal Mammoth (Mammuthus primigenius), atau setidaknya pernah melihat gambarnya. Inilah gajah purba berbulu tebal yang hidup sejak 5 juta tahun lalu, dan diperkirakan mengalami kepunahan total sekitar sepuluh hingga limaribu tahun yang lalu. Kepunahan mammoth dipercaya akibat perburuan oleh nenek moyang manusia, -spesies yang sejak kehadirannya di muka bumi paling banyak membuat kepunahan spesies lain, dan berubahnya lingkungan tempat hidupnya. Habitat gajah purba ini berada di Asia Utara, Siberia, Eropa, dan Amerika Utara.

Mammoth dikenal dengan ukuran tubuhnya cukup besar, berat badannya mencapai 12 ton, dan panjang gadingnya sekitar 3,3 meter. Mammoth memiliki tinggi sekitar 3 meter, dan “hidup” berdampingan dengan manusia purba yang memburu mereka untuk dimakan daging dan menggunakan kulit tebal mammoth sebagai bahan penghangat tubuh.

Karena rambut tebalnya, mammoth pun disebut sebagai woolly elephant atau gajah berbulu tebal karena mempunyai bulu yang sangat tebal untuk melindungi tubuhnya dari suhu dingin yang ekstrim.

Meski satwa ini telah lama punah, para ilmuwan meyakini bahwa mammoth dapat kembali ‘dibangkitkan dari kuburnya’ (de-extinction). Ilmuwan dari Universitas Harvard (AS) mengatakan bahwa kini ada langkah maju untuk menghidupkan lagi gajah prasejarah berbulu tebal tersebut. Profesor Genetik Harvard, George Church menyebut metode ini sebagai “Crispr“, yang memungkinkan ilmuwan melakukan penyuntingan genom secara presisi pada DNA mammoth.

Para peneliti di Harvard mengobservasi DNA Mammoth selama sekian lama sehingga berhasil memisahkan gen mammoth, lalu membuat salinan dari 14 gen dan menyusupkannya ke dalam kode genetik gajah modern.

Perbedaan genom dari dua spesies gajah purba dan modern ini hanya berbeda 0,6 persen (sebagai perbandingan manusia dan simpanse memiliki perbedaan genom sekitar 1 persen). Melalui identifikasi dan rekayasa genetik, maka peluang untuk menulis ulang genom mammoth secara teknis dapat dilakukan.

“Kami sekarang memiliki banyak gen mammoth, namun belum bisa dipublikasikan dalam jurnal ilmiah karena masih banyak pekerjaan yang harus kami lakukan,” imbuh Church. “Prioritas kami pada gen Mammoth yang mengatur untuk bertahan pada suhu dingin, mengatur bulu, ukuran telinga, lemak, serta terutama hemoglobin,” papar Church seperti dinukil dari The Sunday Times.

 

ghghghg

Perbandingan tinggi tubuh manusia dengan mammoth. Sumber: prehistoric-wildlife.com

 

Sebelumnya, ide untuk menghidupkan mammoth telah diupayakan selama satu dekade lebih lewat metode kloning sel oleh peneliti Jepang Akira Iritani, dan koleganya dari Jepang dan Rusia. Berbeda dengan pendekatan ilmuwan dari Harvard, tim ini bekerja dengan mencari jaringan dari spesimen mammoth beku yang ditemukan dari dataran Siberia yang selalu tertutup lapisan es. Tim ini mengklaim telah menemukan potongan paha mammoth yang “masih baik” dan dapat digunakan untuk tujuan proses kloning.

Secara terpisah, upaya mirip Iritani, dilakukan pula oleh tim ilmuwan Korea Selatan, yang dipimpin oleh Hwang Woo Suk.

Pilihan untuk mengkreasikan ulang DNA mammoth dari awal ini sangatlah sulit, karena dibutuhkan keberuntungan untuk menemukan gen spesimen mammoth yang baik. Upaya ini, karena berbagai faktor, termasuk menemukan spesimen utuh yang selamat melewati masa ribuan tahun, menjadi pekerjaan yang teramat sulit. Kesulitan ini kemudian mendorong para peneliti melakukan pendekatan berbeda, yaitu daripada menggunakan materi awal dari DNA mammoth, para peneliti coba melakukan salin ulang DNA mammoth berbahan DNA gajah afrika.

Upaya untuk membangkitkan spesies yang telah punah tidak lepas dari sejumlah kritik. Ahli DNA hewan purba Alex Greenwood, menyebutkan alih-alih memberi prioritas pada hewan yang telah punah selama ribuan tahun, upaya serupa seharusnya diarahkan untuk mempertahankan satwa yang saat ini terancam kepunahan.

Sebaliknya para ilmuwan yang pro dengan proyek ini, menganggap keberhasilan ini akan membuka revolusi bidang sains, termasuk memulai proyek konservasi genom terhadap spesies lain yang telah terancam punah, seperti badak sumatera yang saat ini terancam di habitat alam bebasnya.

 

 

 


Upaya Para Ilmuwan Membangkitkan Gajah Purba dari Tidur Panjangnya was first posted on April 2, 2015 at 11:23 am.

Sembilan Buruh Harian PT. BPK Dipenjara, Warga Protes dengan Blokir Jalan Utama Perusahaan

$
0
0
Warga dan buruh harian PT. Bumi Pratama Khatulistiwa (BPK) sedang berkumpul dan memblokir akses jalan utama menuju perusahaan sawit milik Wilmar Group, Rabu (1/4/2015). Foto: Andi Fachrizal

Warga dan buruh harian PT. Bumi Pratama Khatulistiwa (BPK) sedang berkumpul dan memblokir akses jalan utama menuju perusahaan sawit milik Wilmar Group, Rabu (1/4/2015). Foto: Andi Fachrizal

Warga Desa Sungai Malaya, Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, memblokir akses jalan utama menuju konsesi PT. Bumi Pratama Khatulistiwa (BPK), Rabu (1/4/2015). Aksi ini menuntut pembebasan sembilan buruh harian perusahaan sawit Wilmar Group itu yang dipenjarakan sejak Januari lalu.

Akibat pemblokiran akses jalan tersebut, aktivitas PT. BPK terlihat lumpuh. Hanya warga desa di sekitar konsesi yang bebas melintas. Sedangkan truk pengangkut sawit yang hendak masuk ke perusahaan, tertahan di jalanan.

“Kami tak bisa memaksakan diri melintasi portal yang dipasang warga. Lebih baik menunggu saja, sambil menunggu arahan pimpinan,” kata Udir (35), salah seorang sopir truk sawit dari Kecamatan Menjalin, Kabupaten Landak, ketika ditemui di Sungai Malaya.

Udir bersama dua rekannya sesama sopir truk pengangkut sawit, sejatinya akan masuk ke pabrik pengolahan sawit milik PT. BPK. Mereka membawa sekitar 20-an ton tandan buah segar (TBS) dari kebun milik PT. Hilton Duta Lestari di Kabupaten Landak. Perusahaan itu belum memiliki pabrik pengolahan sawit sendiri. Akhirnya, buah dari kebun dikirim ke pabrik milik PT. BPK di Kubu Raya untuk diolah.

“Kami tak ngerti apa persoalan di BPK sampai warga marah. Tapi, begitu masuk ke Sungai Malaya, kami ditegur pengendara kalau di depan ada buruh dan warga memblokir jalan,” jelas Udir.

Terkait untung rugi, warga Menjalin ini gamang sebelum menjawab. “Ya rugilah kalau tiga truk kami tak bisa masuk. Buah ini akan busuk jika tertahan sampai dua hari. Kerugiannya bisa sampai Rp20-an juta.”

Tokoh pemuda Desa Sungai Malaya, RWR Maulana M (42) mengatakan, pemblokiran jalan ini sesungguhnya tak perlu terjadi jika tuntutan buruh PT. BPK dipenuhi. “Warga ikut terlibat lantaran buruh perusahaan itu masih warga Sungai Malaya dan Sungai Enau,” katanya di lokasi pemblokiran.

Menurut Maulana, buruh harian hanya menuntut perusahaan membebaskan sembilan rekan mereka yang sudah jadi penghuni rumah tahanan Mempawah. Sekian lama ditunggu, perusahaan tak berniat menemui warga.

Kepala Kepolisian Sektor Ambawang, AKP Sudyono Warto mengatakan, sedari awal pihaknya sudah memberi masukan kepada kedua belah pihak. “Mulai dari pemeriksaan sampai sebelum berkasnya ke tahapan P-21. Tapi, semua terpulang kedua belah pihak. Kini, pihak kejaksaan yang berwenang,” ucapnya melalui SMS.

Pada 14 Mei 2013, masyarakat pernah melakukan pemblokiran juga ke jalan masuk PT. BPK terkait keberadaan perusahaan sawit tersebut yang dianggap warga sebagai biang bencana lingkungan yaitu menyumbang debu saat kemarau dan mengundang banjir kala penghujan. Foto: Andi Fachrizal

Pembayaran upah harian telat

Berdasarkan keterangan warga, kasus ini dipicu ulah manajemen PT. BPK yang telat membayar upah harian pekerja. Buruh hanya diberi peluang kerja empat hari seminggu dengan upah Rp65 ribu per hari. Idealnya, pembayaran dilakukan sekali dalam 15 hari.

Namun,proses pembayaran ini kerap telat. Bahkan, bisa molor seminggu. Di sisi lain, perusahaan tidak juga menyiapkan koperasi sebagai sarana kas bon sembako.

“Gaji buruh ini kan pas-pasan buat makan. Itu pun telat dibayar. Ujung-ujungnya, utang sana sini. Habislah kesabaran itu dan mereka unjuk rasa di Kantor BPK,” urai Maulana.

Namun, sambungnya, dalam aksi itu, mungkin ada salah seorang buruh yang melempar batu dan mengenai kaca kantor hingga pecah. Mereka yang terekam kamera akhirnya ditangkap. Kendati, belum tentu pelakunya adalah mereka yang kini sudah mendekam di rumah tahanan.

Warga juga membeberkan sembilan nama buruh harian yang ditahan itu. Mereka adalah Zahri bin Satuma, Martinus Ahon, Nurali, Aswar, Munir, Maryuki, Musari, Lidiun, dan Andre. “Kasus yang dituduhkan sesuai BAP, pengeroyokan dan perusakan. Mana ada pengeroyokan. Siapa yang dikeroyok? Korbannya tak ada,” tukas Maulana.

Kondisi perkebunan PT. BPK yang didemo warga terkait sembilan buruh harian yang dipenjara sejak Januari lalu. Foto: Rahmadi Rahmad

Kondisi perkebunan PT. BPK yang didemo warga terkait sembilan buruh harian yang dipenjara sejak Januari lalu. Foto: Rahmadi Rahmad

Maulana juga menuding aparat Kepolisian Sektor Ambawang dan TNI masih pro ke manajemen perusahaan. “Mereka yang memicu kemarahan. Buruh demo, oknum TNI itu yang ambil pentungan dan mengeluarkan kata-kata rasis,” ucapnya.

Pihaknya, kata Maulana, meminta Pangdam XII/Tanjungpura dan Kapolda Kalbar menarik oknum anggota yang masih bercokol di konsesi PT. BPK.

Buruh juga mendesak manajemen perusahaan segera menanggapi tuntutan mereka. Jika tidak direspon, semua buruh PT. BPK akan mogok kerja terhitung 4 April 2015.

Hingga berita ini diturunkan, Mongabay Indonesia belum berhasil mongkonfirmasi  PT. BPK. Berdasarkan pantauan, selama aksi blokir jalan berlangsung, suasana kantor anak perusahaan Wilmar Group di Sungai Ambawang ini sepi.

Hanya ada sekelompok aparat yang duduk di teras mess eksekutif perusahaan. Salah seorangnya menggunakan kostum loreng menyerupai tentara. Sebagian lagi mengenakan seragam mirip polisi dan satpam.

 


Sembilan Buruh Harian PT. BPK Dipenjara, Warga Protes dengan Blokir Jalan Utama Perusahaan was first posted on April 2, 2015 at 3:28 pm.

Melihat Jejak Tongkang Batubara di Sungai Musi

$
0
0

Kolam batubara di Lahat, Sumsel. Eksploitasi batubara diduga merupakan faktor pendorong alih fungsi kawasan hutan. Foto: Walhi Sumatera Selatan

Sumatera Selatan diperkirakan memiliki potensi batubara mencapai 16,96 miliar ton atau 60% dari cadangan batubara nasional dengan kandungan kalori antara 4800-5400 Kcal/kg. Saat ini, cadangan barubaranya baru dikelola oleh PT. Bukit Asam dan PT. Bukit Kendi di Kabupaten Muara Enim. Sementara kandungan sebanyak 13,07 miliar ton belum dikelola sama sekali.

Hingga awal 2014, tercatat, luasan konsensi penambangan batubara di Sumatera Selatan )Sumsel) mencapai 2,7 juta hektar dari luasan Sumatera Selatan sekitar 8,9 juta hektar. Rinciannya adalah, sekitar 801.160 hektar berada di kawasan hutan, 6.293 hektar berada di hutan konservasi, 67.298 hektar di hutan lindung, serta 727.569 hektar berada di hutan produksi. Sisanya, 1.985.862 hektar berada di areal penggunaan lain.

Selama tujuh tahun terakhir, berbagai angkutan batubara, kecuali kereta api yang sudah berlangsung sejak masa kolonial Belanda, mengangkut batubara dari lokasi konsensi yang sebagian besar sebelumnya merupakan perkebunan. Angkutan yang digunakan selain truk adalah kapal tongkang.

Angkutan batubara berupa truk sudah mendapat reaksi dari masyarakat dan pemerintah. Selain menyebabkan kerusakan jalan umum, pencemaran udara, angkutan truk batubara ini menimbulkan kecelakaan lalu lintas yang memakan korban jiwa.

Salah satu operasi tambang batubara di sekitar Gunung Serelo yang pengangkutannya menggunakan truk. Foto: Muhammad Hairul Sobri

 

Angkutan batubara yang menggunakan kereta api. Foto: Rahmadi Rahmad

Angkutan batubara yang menggunakan kereta api. Foto: Rahmadi Rahmad

Yang tidak banyak tersorot adalah angkutan batubara yang menggunakan kapal tongkang. Angkutan ini berlangsung di Sungai Musi, sungai yang mencapai 750 kilometer panjangnya. Pengangkutan batubara menggunakan kapal tongkang ini berlangsung dari sejumlah dermaga batubara di Kabupaten Musi Banyuasin, Banyuasin, Muarenim, dan Palembang.

Berdasarkan telaah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di Sumatera Selatan hingga 2014 terdapat 359 izin usaha pertambangan (IUP). Dari jumlah tersebut, 31 pelaku usaha tidak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Data Direktorat Jenderal Pajak (April 2014) pun menyebutkan, dari 241 wajib pajak, hanya 18 yang melakukan pelaporan penghitungan pajak.

Anwar Sadat, Ketua For Batu (Forum Masyarakat Pemantau Batubara), dengan tegas meminta semua aktivitas penambangan batubara dihentikan sementara. “Aktivitas dilakukan kembali setelah tata kelola hutan selesai, audit lingkungan terhadap perusahaan penambangan batubara, serta adanya kejelasan pembagian keuntungan bagi masyarakat sekitar penambangan,” katanya.

Saat ini, kata Sadat, lantaran tidak adanya jalan khusus batubara di Sumatera Selatan, banyak jalan umum yang rusak dan menimbulkan kecelakaan. “Jika Sungai Musi terus digunakan sebagai angkutan batubara, bukan tidak mungkin batubara yang terjatuh saat diangkut akan memengaruhi kualitas mutu airnya,” ujar Sekjen Serikat Petani Sriwijaya (SPS) ini.

Dalam perjalanan saya menyusuri Sungai Musi pada Senin (30/03/2015) lalu, dari bawah Jembatan Musi II menuju Desa Muara Air Hitam, Kelurahan Pulokerto, sebuah desa yang berbatasan dengan Kabupaten Banyuasin, kensunyian alam dan kesederhanaan masyarakat tepian Sungai Musi, terlihat “mengecil” bila dibandingkan dengan keberadaan puluhan kapal tongkang yang berjalan atau tengah diisi batubara di sejumlah dermaga.

Pengangkutan batubara menggunakan kapal tongkang. Sekitar 2,7 juta hektar lahan di Sumsel dijadikan lokasi konsensi batubara. Foto: Herwin Meidison

Pengangkutan batubara menggunakan kapal tongkang. Sekitar 2,7 juta hektar lahan di Sumsel dijadikan lokasi konsensi batubara. Foto: Herwin Meidison

Sungai Musi setiap hari merasakan beban ribuan ton batubara yang diangkut dengan kapal tongkang. Foto: Herwin Meidison

Sungai Musi setiap hari merasakan beban ribuan ton batubara yang diangkut dengan kapal tongkang. Foto: Herwin Meidison

 

 


Melihat Jejak Tongkang Batubara di Sungai Musi was first posted on April 3, 2015 at 2:39 am.

Kini, Petani Gayo Luwes Bisa Tersenyum Bahagia. Apa Penyebabnya?

$
0
0

Hutan Leuser yang harus dijaga kelestariannya. Foto: Junaidi Hanafiah

Petani Gayo Luwes, Aceh, kini bisa tersenyum bahagia. Mesin penyuling minyak serai wangi dan nilam yang menggunakan listrik tenaga air telah meringankan beban mereka dalam penyulingan minyak. Kini, mereka tidak perlu lagi menebang kayu sebagai bahan bakar mesin penyuling yang sebelumnya mereka lakukan perorangan.

Ketua Koperasi Masyarakat Rerebe, Kecamatan Tripe Jaya, Gayo Luwes, Saidi, mengatakan, penyulingan dengan menggunakan listrik tenaga air ini tidak hanya menghemat waktu pekerjaan tetapi juga menjaga lingkungan. “Air di tabung penyulingan yang dipanaskan menggunakan listrik jauh lebih hemat. Kualitas minyak nilam dan serainya juga jauh lebih bagus ketimbang menggunakan kayu bakar,” jelasnya, di penghujung Maret.

Menurut Saidi, sebelumnya, di desanya ada mesin pembangkit listrik tenaga air (PLTA) bantuan Jepang tahun 1999 dan satu unit mesin tambahan dari Pemerintah Daerah Gayo Lues. Namun, dua mesin itu hingga tahun 2012, hanya digunakan untuk kebutuhan rumah tangga. “Baru di tahun 2013 ini kami mendapat bantuan alat penyulingan listrik tenaga air dari USAID-Indonesian Forest and Climate Support (IFACS) yang tabungnya terbuat dari stainless sehingga tahan karat meski dipanaskan. Kami juga dapat menggunakan bersama.”

Saidi menuturkan, adanya alat penyulingan listrik ini semakin membuat masyarakat sadar bahwa hutan di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) harus dijaga. Jika tidak, listrik akan mati seperti tahun-tahun sebelumnya karena debit airnya kecil.

 

Mesin penyuling minyak serai wangi dan nilam ini telah meringankan persoalan petani di Gayo Luwes dalam menyuling minyak. Foto: Junaidi Hanafiah

Mesin penyuling minyak serai wangi dan nilam ini telah meringankan persoalan petani di Gayo Luwes dalam menyuling minyak. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Communication Officer USAID-IFACS Aceh Region, Tisna Nando menyebutkan, alat penyulingan listrik itu memang diberikan untuk petani nilam dan serai wangi agar mereka tidak menebang kayu di hutan. “Cukup banyak kayu bakar yang dibutuhkan untuk memasak serai wangi dan nilam menjadi minyak. Tungku dibakar berhari-hari hingga menghabiskan banyak kayu. Jika dibiarkan, hutan akan semakin gundul,” ujarnya.

Menurut Tisna, tahun 2013, sekitar 200 masyarakat di Rerebe setuju daerah mereka akan dibuatkan alat penyulingan minyak menggunakan arus listrik tenaga air. “Anggaran untuk alat tersebut sekitar Rp850 juta.”

Kepala Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Gayo Lues, Ferry Siswanto yang juga Ketua Forum Masyarakat Utan Leuser (FMUL) mengatakan, penyulingan minyak serai dan nilam di Rerebe, telah membantu bukan hanya petani di desa tersebut, tapi juga petani dari desa lain.

Kedepan, kami akan membangun beberapa penyulingan dari listrik di daerah lain. “Ini untuk menjaga hutan tetap terpelihara, terlebih sebagian besar wilayah Gayo Lues berada di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL),” ungkap Ferry.

 

Minyak nilam yang disuling. Foto: Junaidi Hanafiah
Minyak nilam yang disuling. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Hasil penyulingan minyak nilam. Foto: Junaidi Hanafiah

Hasil penyulingan minyak nilam. Foto: Junaidi Hanafiah

 


Kini, Petani Gayo Luwes Bisa Tersenyum Bahagia. Apa Penyebabnya? was first posted on April 3, 2015 at 4:03 am.

Peran Besar KLHK Untuk Tangani Kebakaran Hutan. Seperti Apa?

$
0
0

Memasuki musim kemarau, pemerintah harus mulai bersiap untuk mengantisipasi kebakaran hutan dan lahan (karhutla), yang akan merugikan baik dari segi lingkungan, kesehatan dan perekonomian bila terjadi. Untuk itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mempunyai peran yang sangat besar dalam menangani karhutla.

“KLHK ini sekarang punya satu kekuatan luar biasa. Dulu LH pisah dengan kehutanan, sekarang digabung,” kata Pemerhati Hukum dan Pemerintahan dari Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Mas Achmad Santosa dalam jumpa pers di Jakarta, pada Kamis (02/04/2015).

Apalagi dengan keputusan Mahkamah Agung yang menguatkan peranan KLH waktu itu sesuai pasal 95 ayat 1, UU No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), dimana KLH disebutkan sebagai sebagai koordinator penanganan karhutla. “Jadi ada legitimasi KLHK menjadi koordinator penanganan karhutla. Apalagi sekarang tidak ada lagi UKP4, DNPI, BP REDD, maka semua tanggung jawab ada di KLHK,” kata Mas Achmad Santosa yang lebih akrab dipanggil Ota.

Lahan gambut yang terbakar di Kabupaten Bengkalis,Riau pada Maret 2014 lalu. Periode kebakaran Februari-Maret itu telah menyebabkan hancurkan hutan Riau sekitar 21.900 hektar.  Foto : Zamzami

Lahan gambut yang terbakar di Kabupaten Bengkalis,Riau pada Maret 2014 lalu. Periode kebakaran Februari-Maret itu telah menyebabkan hancurkan hutan Riau sekitar 21.900 hektar. Foto : Zamzami

Pada  Juni  tahun 2014,  pemerintahan  SBY-Boediono,  telah mengidentifikasi enam permasalahan karhutla yang perlu ditanggulangi yaitu (1) sistem peringatan dini yang  tidak  optimal,  (2) jaringan  komunikasi  lemah  untuk  melakukan  koordinasi  deteksi  dan  pemadaman  karhutla (3). ketidak patuhan perusahaan-perusahaan pemilik konsesi dalam persiapan dan pelaksanaan pencegahan dan penanggulangan Karhulta di wilayah konsesinya.

Juga (4) lemahnya  pengawasan  dan  penegakan  hukum , (5) konflik  dengan  masyarakat  dan kesulitan  akses  jalan  transportasi    dan  (6) belum  adanya  kebijakan  perlindungan kawasan ekosistem gambut.

Ota melihat akar dari enam permasalahan tersebut adalah ketidakoptimalan  sistem  deteksi  dini  disebabkan  lemahnya  koordinasi  dalam  mendayagunakan  data  satelit NOAA/MODIS dan   BMKG.

Masalah lainnya yaitu dari hasil audit kepatuhan perusahaan ekstraktif yang dilakukan oleh UKP4 menunjukkan tidak   ada   satupun   perusahaan   dari   97 perusahaan  perkebunan  dan  122  perusahaan  kehutanan  mematuhi  seluruh  kewajiban  yang   diamanatkan  peraturan   perundang-undangan.  Capaian  dari   kedua   kelompok  perusahaan  ini  kurang dari 50%.

Untuk  tingkat  kepatuhan  Pemda,  dari  enam kabupaten  dan  kota  hanya  satu  kabupaten  yang  patuh  (92,74% dari 67 kewajiban). Selebihnya dikategorikan  kurang patuh (62% mematuhi 67 kewajiban). Faktor ketidaksiapan pemerintah daerah juga ikut berpengaruh.

Akan tetapi, menurutnya ahli hukum lingkungan UI itu, ketidaktaatan  tersebut  hampir  sebagian besar tidak diberikan sanksi administratif berupa peringatan, pembekuan izin atau pencabutan izin sebagai langkah preventif.

Meski, sejak 2012 penegak hukum (PPNS KLH, Polri, Kejaksaan, dan Pengadilan) telah melakukan penanganan perkara karhutla di beberapa daerah,  namun  aparat  penegak  hukum  khususnya  hakim  belum  melihat  kasus  hukum karhutla   ini   sebagai   hal   penting  dan mendesak.

Ota melihat pada umumnya putusan hakim membebaskan terdakwa atau menghukum   ringan   terdakwa. Sehingga, praktek penegakan hukum saat ini belum mampu menumbuhkan  efek jera bagi pelaku pembakaran hutan dan lahan.

“Banyak kasus karhutla yang diajukan ke pengadilan, tetapi yang diajukan pelaku lapangan. Pelaku individu atau perusahaan, belum diajukan.  Tantangan bagi KLHK bagaimana mencari pelaku intelektual dari karhutla,” lanjut Ota.

Sementara KLHK merupakan kementerian yang memiliki paling banyak Penyidik PNS dibanding institusi lain, karena gabungan PPNS KLH dan PPNS Kemhut.

Truk yang membawa warga bermasker untuk melindungi diri dari polusi asap kebakaran pada pembersihan lahan di kebun sawit PT Rokan Adiraya,  dekat Desa Sontang,  di Rokan Hulu, Riau, Sumatra. Foto diambil pada 23 Juli 2013. Foto: Ulet Ifansasti / Greenpeace

Truk yang membawa warga bermasker untuk melindungi diri dari polusi asap kebakaran pada pembersihan lahan di kebun sawit PT Rokan Adiraya, dekat Desa Sontang, di Rokan Hulu, Riau, Sumatra. Foto diambil pada 23 Juli 2013. Foto: Ulet Ifansasti / Greenpeace

Sedangkan Pemerhati Isu Kehutaanan dari Thamrin School, Togu Manurung menegaskan  bahwa 99%  penyebab kebakaran adalah  manusia (anthropogenic  factor). Pembukaan lahan dengan cara membakar yang biasa dilakukan masyarakat  lokal, pendatang dan para perambah hutan merupakan pemicu utama karhutla. Lahan yang terbakar sebagian besar berada di wilayah klaim / pendudukan / okupasi  kawasan hutan ilegal/konflik oleh masyarakat atau  wilayah yang diterlantarkan pemegang izin konsesi hutan atau HGU perkebunan.

Disamping itu, perusahaan pemilik konsesi hutan dan perkebunan kelapa sawit disinyalir ada yang   secara sengaja melakukan pembakaran hutan dalam proses pembersihan  lahan  (land  clearing). Kondisi  tersebut  diperparah  oleh  kondisi  lokasi  kebakaran  yang  sulit  dijangkau  oleh  sarana  transportasi  darat.

Harapan besar

Ada harapan besar terhadap penegakan hukum karhutla setelah ditandatanganinya kesepakatan bersama enam pemimpin kementerian dan lembaga pada Desember   2012 dan dimulainya pendekatan  multi  rezim  hukum termasuk penggunaan corporate criminal liability.

Tetapi banyak kasus karhutla yang dibawa ke pengadilan berakhir  dengan  putusan  yang  mengecewakan.  Sehingga penegakan hukum karhutla belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perubahan perilaku terutama korporasi penyebab karhutla.

Ota melihat sumber penyebab ketidak efektifan  penegakan hukum adalah kualitas dan pemahaman para penegak hukum   yang masih terbatas dalam menerapkan pendekatan multi rezim hukum  dengan mendayagunakan berbagai peraturan perundang-undanganan yang  relevan seperti UU PPLH, UU  Kehutanan, UU Perkebunan, UU  Tindak  Pidana  Pencucian  uang,  UU Tindak  Pidana  Korupsi,  UU  Pajak, termasuk menerapkan corporate criminal liability.

Koordinasi juga tidak berjalan baik antara penyidik dan penuntut dan PPNS lainnya yang terkait dengan pendektan multi rezim  hukum . Dan intervensi penanganan perkara terutama perkara-perkara korporasi besar  yang membutuhkan kepemimpinan dan pelaksana yang memiliki integritas kuat.

“Saat ini sepatutnya, ketiga persoalan tersebut harus dapat diatasi oleh KLHK yang  memegang  dua  portofolio sekaligus yaitu lingkungan hidup dan kehutanan,” jelas Ota.

kerugian karhutla di Riau Selama 2014. Sumber : Greenpeace Indonesia

kerugian karhutla di Riau Selama 2014. Sumber : Greenpeace Indonesia

Sedangkan Kepala Sekolah Thamrin School melihat pemerintahan saat ini memiliki cukup modal awal yang baik setelah Presiden Jokowi meninjau kondisi hutan dan lahan di Riau pada November 2014.

Ada  dua hal yang  dihasilkan dari kunjungan  Presiden  Jokowi yaitu Presiden menginstruksikan   untuk memelihara gambut di Kabupaten   Meranti tetap dalam keadaan basah. Sekarang  lahan  gambut yang akan dijaga untuk tetap basah telah  diidentifikasi,” kata Farhan.

Pemprov Riau juga telah menindaklanjuti Instruksi  Presiden  dengan menerbitkan Peraturan   Gubernur  Riau  No.5/2015 tentang Pelaksanaan Rencana Aksi  Pencegahan  Kebakaran  Hutan dan    Lahan  di Riau.

Oleh karena itu, Thamrin School melihat perlu diperkuatnya peran koordinasi dan fasilitasi KLHK   sehingga  memilki kemampuan  merangkul  dan  memfasilitasi  kerja-kerja  sinergis  seluruh  aparat gakum terkait Karhutla.

Pengembangan kapasitas SDM aparat penegak hukum (apgakum) harus dilakukan bersama-sama oleh seluruh pihak. Maka penguatan kapasitas green  inspector,  green  police,  green  prosecutor, dan  green  judges  menjadi  sebuah  keharusan  dalam  melindungi  sumberdaya  alam dan lingkungan.

Kemampuan  investigasi,  pemantauan  kasus-kasus  dan  perkara  dari   LSM-LSM  dan masyarakat sipil menjadi  penting  untuk  mendorong  percepatan penanganan perkara yang lebih efektif,   memberi pesan penjeraan dan mengembalikan kerugian negara akibat karhutla.

Sedangkan hakim dalam memberikan vonis hukuman kepada pihak yang terbukti bersalah harus memberikan hukuman yang maksimal (terberat) untuk menimbulkan efek jera dan denda yang juga maksimal agar dapat dimanfaatkan untuk memulihkan fungi jasa lingkungan dari ekositem hutan akibat karhutla.

Praktek pembukaan lahan dengan cara dibakar disinyalir juga dilakukan oleh perusahaan. Oleh sebab itu /sistem  hukum harus menerapkan  asas  pembuktian  terbalik oleh pemilik lahan atau pemilik konsesi hutan (HGU perkebunan) untuk membuktikan mereka tidak melakukannya.


Peran Besar KLHK Untuk Tangani Kebakaran Hutan. Seperti Apa? was first posted on April 3, 2015 at 7:52 am.

Yogyakarta Siap Melaksanakan Percepatan SVLK

$
0
0

Pemprov Yogyakarta siap melaksanakan percepatan pelaksanaan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) pada industri kehutanan.

Hal itu ditandai dengan penandatanganan deklarasi antara Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan , Koperasi dan UKM (Disiperindagkop UKM) DIY, Riadi Ida Bagus mewakili Gubernur Yogyakarta dengan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Bambang Hendroyono mewakili pemerintah pusat yang disaksikan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) DIY, Sutarto pada Senin (23/03/2015) di Yogyakarta.

Penandatanganan bersama antara Pemerintah Pusat melalui KLHK dengan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dalam percepatan penerapan SVLK. Foto : Tommy Apriando

Penandatanganan bersama antara Pemerintah Pusat melalui KLHK dengan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dalam percepatan penerapan SVLK. Foto : Tommy Apriando

Dirjen Bina Usaha Kehutanan KLHK Bambang Hendroyono mengharapkan penerapan SVLK di Yogyakarta bisa sesuai dengan harapan.  SVLK berlaku mulai 1 Januari 2015 sesuai PermenLHK No. P.95/Menhut-II/2014 tanggal 22 Desember 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan No. P.43/Menhut-II/2014 tentang Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak.

“Khususnya IKM (industri kecil dan menengah) dan IUIPHHK kapasitas sampai dengan 6.000 m3/tahun akan mendapatkan percepatan SVLK dengan biaya ditanggung pemerintah ,” katanya.

Oleh karena itu KLHK akan memfasilitasi pelaksanaan sertifikasi termasuk pendampingan dalam rangka persiapan sertifikasi serta kepemilikan pertama bagi IKM secara berkelompok dalam rangkat mempercepat perolehan SVLK bagi IKM. Ini menjadi solusi bagai pemegang IUIPHHK kapasitas s.d 6.000 m3/tahun yang belum memiliki Sertifikat Legalitas Kayu (SLK).

“Untuk mempercepat upaya tersebut, maka dibuatlah program “Percepatan Sertifikasi Legalitas Kayu pada IUIPHHK kapasitas s.d 6.000 m3/tahun, TPT, Hutan Hak dan IKM Mebel ini,” katanya.

Bambang menjelaskan ada 1300-an dari sekitar 3700 perusahaan yang mempunyai SLK. Penerapan SVLK ini bertujuan untuk memberantas pembalakan liar. Dalam 10 tahun terakhi,r illegal logging kita tinggal 20 kasus dari 50an kasus/temuan.

Sedangkan Kepala Dishutbun DIY Sutarto mengatakan, kegiatan ini bertujuan untuk membuat data base, indentifikasi SVLK, peningkatan kapasitas bagi pelaku usaha dan peningkatan peran para pihak terkait percepatan SVLK.

Data Dishutbun DIY menunjukkan ada 4 dari 31 pemegang IUIPHHK di Yogyakarta yang telah punya SVLK. Sebagian besar IUIPHHK adalah penggergajian dengan kapasitas dibawah 2000 m3 /tahun. Ada 28 dari 56 unit IKM mebel yang sudah memiliki SLK. Selain itu ada 7 lokasi pengelola hutan yang sudah memiliki PHBL.

“Harapan besar SLK memberikan manfaaat jaminan bahwa hasil kayu yang diperdagangkan untuk pasar domestik dan ekspor adalah kayu legal,” katanya.

Sementara itu Kepala Disiperindagkop UKM DIY, Riadi Ida Bagus yang membacakan sambutan Gubernur DI Yogyakarta mengatakan, adanya sistem SVLK akan memastikan produk kayu dan bahan bakunya dapat diperoleh dari sumber yang asal-usulnya dan pengelolaanya memenuhi aspek legalitas.

“Kayu disebut legal bila asal-usulnya, ijin penebangannya, sistem dan prosedur penebangan, pengangkutan, pengolahan dan perdagangan atau pemindahtanganannya dapat dibuktikan memenuhi semua persyaratan legal yang berlaku,” kata Gubernur.

Ia menambahkan, sumber daya hutan telah jadi modal utama pembangunan ekonomi, memberikan dampak positif bagi peningkatan pendapatan negara dan peningkatan tenaga kerja serta mendorong pengembangan wilayah. Pemanfatan hutan untuk memperoleh pemanfatan maksimal harus dengan tetap menjaga kelestarian hutan itu sendiri.

Pada kenyataannya, pemanfaatan hutan produksi baru pada bagaimana hutan tersebut mampu memproduksi kayu yang berkualitas. Pemerintah menerapakan SVLK untuk memastikan agar produk kayu yang beredar dan diperdagangkan di Indonesia memiliki status legalitas yang meyakinkan. Dampak strategisnya, produk kayu di Indonesia yang disertai verifikasi legal akan lebih diterima di pasar dunia.

Untuk itu, maka dengan SVLK para petani dari hutan rakyat dan masyarakat dapat menaikkan posisi tawar dan tidak perlu risau keabsahan hasil kayunya ketika akan dijual. Demikian juga produsen kayu mebel yakin akan sumber bahan kayunya sehingga lebih mudah meyakinkan para pembeli di luar negeri.

“Produk kayu yang telah tersertifikasi ternyata meningkat setiap tahun. Pada tahun 2006 hutan prosuksi yang bersertifikat adalah 370,8 juta meter persegi. Luas tersebut bertambah 416,4 juta pada 2008,artinya pasar merespon positif hasil produk kayu bersertifikat,” katanya.

Perusahaan mebel harus memastikan legalitas sumber kayu, namun demikian tingkat pengendalian pengangkutan dari kayu ke industri masih rendah. Hal ini karena masih lemahnya sanksi yang diberikan pejabat berwenang terhadap prosedur pengangkutan kayu.

Ada banyak penyalahgunaan dokumen, hingga ada perbedaan jumlah kayu yang diangkut atau diolah dengan apa yang dilaporkan. Untuk itu perlu adanya pemeriksaan secara periodik dan dapat diakses publik untuk melakukan kontrol.

Hambatan dan Tantangan

Sedangkan Dwi Nugroho dari lembaga Arupa mengatakan adanya roh perubahan dan perbaikan tata kelola kehutanan dari penerapan SVLK yang merupakan intervnesi pemerintah untuk perdagangan kayu yang lebih baik. Pelaku industri kayu di Yoyakarta juga sudah siap mendapatkan SVLK baik biaya sendiri maupun dibantu oleh pemda.

Sementara itu, pendamping SVLK Sugeng Triyanto mengatakan kebijakan daerah masih jadi penghambat penerapan SVLK di Yogyakarta yaitu perzinan dan dokumen PUHH yang masih carut marut. Badan Pertanahan Nasional dan Kantor Pajak daerah belum mengetahui tentang SVLK.

“Perlu ada inovasi kebijakan untuk mendorong agar tidak ada lagi masalah diperijinan dalam mempercepat SVLK di DIY,” kata Sugeng.


Yogyakarta Siap Melaksanakan Percepatan SVLK was first posted on April 3, 2015 at 8:43 am.

Sumatera Barat Pasca Koordinasi dan Supervisi KPK. Seperti Apa?

$
0
0

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan koordinasi dan supervisi (korsup) untuk empat propinsi di Sumatera bagian utara yaitu di Aceh, Sumatera Utara (Sumut), Sumatera Barat (Sumbar) dan Riau.

Kegiatan yang dilakukan di Kantor Gubernur Sumut, Kota Medan pada minggu kemarin ini diikuti oleh gubernur, bupati/walikota beserta satuan kerja perangkat daerah (SKPD) lainnya yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam di propinsi itu.

Karena kekayaan sumberdaya alam yang melimpah, Sumbar menjadi propinsi yang paling banyak mengeluarkan izin usaha pertambangan (IUP) di Sumatera. Dari data Ditjen Minerba Kementerian ESDM tercatat sebanyak 281 izin dikeluarkan yang terdiri dari 140 IUP logam, 69 IUP non logam, 71 IUP Batubara, dan hanya sebanyak 136 izin yang berstatus clear and clean (CNC).

Aktifitas pertambangan Bijih besi yang dilakukan oleh salah satu perusahaan tambang di Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Foto: Riko Coubut

Aktifitas pertambangan Bijih besi yang dilakukan oleh salah satu perusahaan tambang di Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Foto: Riko Coubut

Ada 124 IUP mineral dan 21 IUP batubara yang tidak berstatus, yang bermasalah secara administrasi maupun wilayah (tumpang tindih). Dari 281 izin yang dikeluarkan, hanya 27 IUP yang memiliki data mengenai jaminan reklamasi.

Sebanyak 12 izin pertambangan terindikasi dalam kawasan hutan konservasi dengan total luas lahan 190,16 hektar dan sebanyak 69 izin pertambangan dalam kawasan hutan lindung dengan total luas lahan 97,315,06 hektar.

Sedangkan data Ditjen Planologi Kementerian Kehutanan mencatat penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan sebanyak 2 unit IPPKH (izin pinjam pakai kawasan hutan)-eksplorasi seluas 4.710,64 hektar. 2 unit telah diberikan persetujuan prinsip seluas 194,69 hektar, 7 unit IPPKH-operasi produksi seluas 1.685,79 hektar.

Wilayah kelola untuk sumber penghidupan bagi masyarakat di Sumbar sangatlah kecil jika dibandingkan dengan besarnya akses dan wilayah kelola yang dikuasai oleh pemerintahan dan diberikan kepada perusahaan. Dari 4.229.730 hektar luas wilayah Sumbar, seluas 2.382.058 hektar merupakan kawasan hutan dan seluas 192.745 hektar sudah diserahkan kepada perusahaan dalam bentuk IUPHHK Alam.

Pada 2002, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumbar mencatat ada 43 perusahaan di sektor perkebunan yang memiliki hak guna usaha (HGU) dengan luas konsesi ± 242.827 hektar.  Sedangkan data Dinas ESDM Sumbar tahun 2009 terdapat 263 perusahaan yang sudah mendapatkan izin pertambangan yang tersebar pada 14 kabupaten/kota dengan areal izin usaha pertambangan seluas 349.667 hektar, baik untuk kegiatan penyelidikan umum/eksplorasi ataupun kegiatan operasi produksi.

Selain tidak berkontribusi terhadap perbaikan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, banyak izin keruk dan pemanfaatan sumberdaya alam di Sumbar justru semakin menurunkan daya dukung lingkungan yang berakibat terhadap meningkatnya intensitas bencana ekologis seperti banjir, banjir bandang dan longsor.

Pada pertemuan kegiatan monitoring dan evaluasi korsup minerba di Medan, Kepala Dinas ESDM Sumbar, Marzuki Mahdi, menjelaskan Gubernur Sumbar telah menyurati bupati/walikota untuk segera melaksanakan penataan IUP dan mendaftarkan IUP ke Kementerian ESDM untuk mendapatkan sertifikat CNC, merekonsiliasi IUP, menagih tunggakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), mengalihkan domisili NPWP IUP, memproses IUP yang belum CnC menjadi CNC, mengeluarkan IUP yang masuk kedalam hutan konservasi, mendorong proses pinjam pakai kawasan hutan sebelum IUP beroperasi, dan menyelesaikan masalah tumpang tindih IUP.

Marzuki menambahkan hasilnya kini di Sumbar sebanyak 105 IUP sudah berstatus CNC, sebanyak 71 IUP belum CNC, dan 100 IUP Non CNC. Progres penataan tumpang tindih IUP dengan kawasan hutan telah dilakukan yaitu seluas 8.970,21 hektar kawasan hutan telah diajukan pengurusan izin pinjam pakai kawasannya. Sementara itu pelaksanaan kewajiban keuangan pelaku usaha pertambangan minerba yang telah direkapitulasi dalam bentuk PNBP tahun 2014 mencapai Rp22,5 triliun. Dan untuk penataan jaminan reklamasi dan jaminan pasca tambang teridentifikasi sekitar Rp5,5 triliun.

Tetapi masih ada permasalahan yaitu tidak tersedianya dokumen yang lengkap pada pelaku usaha (pemegang IUP), sebagai besar pemegang IUP di kabupaten/kota tidak mempunyai alamat yang tetap, pelaku usaha belum sepenuhnya memberikan laporan produksi kepada pemerintah, dan belum ada pelaku usaha yang membangun smelter di daerah.

Aktiiftas penambangan liar di badan sungai dengan menggunakan kapal keruk (sedot) di Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat. Foto: Riko Coubut

Aktiiftas penambangan liar di badan sungai dengan menggunakan kapal keruk (sedot) di Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat. Foto: Riko Coubut

Pada pertemuan tersebut, Ketua KPK Taufiequrrachman Ruki mengatakan bangsa ini kurang cerdas dalam pengelolaan sumbedaya alam karena dipandang tidak mampu memanfaatkan anugerah kekayaan alam untuk  sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Ketika KPK melakukan pemantauan, banyak pihak akhirnya berkasus ke pengadilan dan masuk penjara.

“KPK hadir dalam elemen bangsa bukan sebagai ‘monster’  yang menakut-nakuti, namun ikut serta untuk memperbaiki bangsa itu, untuk sebesar-besarnya mewujudkan kemakmuran rakyat. Untuk itu sejak dua tahun yang lalu, KPK muncul dalam sisi yang soft dalam sisi pencegahan tentang pidana korupsi. KPK bergerak masuk untuk melakukan analisa dan evaluasi serta mempelajari sebuah sistem yang ada di pemerintahan ini lalu memperbaiki sistem itu disana-sini dan efeknya luar biasa,” katanya.

Ditempat terpisah, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Barat, Uslaini kepada Mongabay mengatakan pihaknya akan membawa permasalahan pertambangan, kehutanan dan perkebunan di Sumbar ke KPK, sebab ada indikasi kerugian negara atas kegiatan-kegiatan tersebut. Kerugian terebut dapat dilihat dari minimnya kesadaran dari perusahaan-perusahaan tersebut untuk membayar segala bentuk kewajiban-kewajibannya terhadap negara.

Melalui Koalisi Anti Mafia Tambang, telah disampaikan persoalan tambang dalam rapat konsolidasi korsup KPK terkait Tambang Minerba di Jakarta beberapa waktu yang lalu. Kini, pihaknya tengah melakukan riset di sektor pertambangan  Batubara kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat me­nyang­kut kerusakan lingkungan yang ditimbulkan serta keterlibatan masyarakat dalam pemberian izin.

Gerakan Penyelamatan Sumber Daya Alam

Kegiatan korsup ini berawal dari banyaknya pengaduan tentang korupsi kehutanan yang masuk ke KPK. Setelah dilakukan kajian pada 2010, ditemukan hampir 90% kawasan hutan di Indonesia diragukan keabsahannya karena belum dikukuhkan.

Oleh karena itu, pada tanggal 11 Maret 2013, dilaksanakanlah penandatanganan nota kesepakatan bersama 12 kementerian dan lembaga negara tentang percepatan pengukuhan kawasan hutan Indonesia. Dalam nota kesepakatan bersama tersebut, masing-masing kementerian memiliki rencana aksi mengenai harmonisasi regulasi dan kebijakan, penyelarasan teknis dan prosedur serta resolusi konflik, dan sebagian rencana aksi kementerian ESDM yang fokus mengenai izin usaha pertambangan (IUP) disebut korsup minerba.

Kegiatan Korsup Minerba pada periode tahun pertama (awal 2014) difokuskan di 12 propinsi pemilik IUP terbanyak (mencangkup 70 persen IUP se-Indonesia) yang berlokasi di Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Sumsel, Jambi, Kalbar, Kalteng, Kalsel, Kaltim (mencangkup Kaltara), Sulsel, Sulteng, Sultreng dan Maluku Utara.

 Kegiatan  tersebut  melibatkan instansi  pemerintah  pusat  yang  terkait,  pemerintah  provinsi,  dan  pemerintah  kabupaten/kota.  Hasilnya antara lain dicabutnya izin-izin yang tidak memenuhi ketentuan regulasi, dibayarkannya  kewajiban keuangan yang selama ini diabaikan oleh pelaku usaha, penegakan aturan, dan pengetatan pengawasan dengan  melibatkan  berbagai  pihak.

Pada 6 Februari 2014, masing-masing pemprov menandatangani rencana aksi korsup minerba yang berlaku setahun, terdiri atas lima tema utama penataan izin usaha pertambangan, pelaksanaan kewajiban keuangan pelaku usaha pertambangan, pelaksanaan pengawasan produksi pertambangan, pelaksanaan kewajiban pemurnian hasil tambang, dan pelaksanaan pengawasan penjualan dan pengangkutan/pengapalan hasil tambang.

Mengingat tidak hanya di sektor pertambangan semata yang berpeluang menimbulkan kerugian negara maka Korsup KPK ini diubah menjadi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumberdaya Alam Indonesia.

Gerakan Nasional Penyelamatan  SDA  Indonesia  di sektor kehutanan dan perkebunan bertujuan untuk mendorong perbaikan tata kelola sektor kehutanan dan perkebunan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dengan memperhatikan aspek keberlanjutan, konsistensi, keterpaduan, kepastian hukum, kemiteraan, pemerataan, peran serta masyarakat, keterbukaan, desentralisasi, akuntabilitas, dan keadilan. Melakukan perbaikan sistem pengelolaan sumberdaya kehutanan dan perkebunan untuk mencegah korupsi, kerugian keuangan negara dan kehilangan kekayaan negara.


Sumatera Barat Pasca Koordinasi dan Supervisi KPK. Seperti Apa? was first posted on April 4, 2015 at 3:35 am.

Julang Sumba: Mengapa Jenis Enggang ini Ada di Kepulauan Nusa Tenggara?

$
0
0
Julang sumba jantan_BI_Lars Petersson

Julang sumba (Rhyticeros everetti) jantan. Foto: Burung Indonesia/Lars Petersson

Inilah satu-satu jenis enggang endemik Indonesia yang ada di kepulauan Nusa Tenggara, tepatnya di Sumba seperti nama yang diberikan kepadanya.  Mengapa ia ada di wilayah ini?

 

Burung julang dikenal sebagai ‘petani’ dari dalam hutan, burung ini memakan biji-bijian dari dalam hutan dan menyebarkannya ke seluruh wilayah hutan lain. Burung ini juga memakan binatang kecil seperti kadal, kelelawar, tikus, ular dan serangga.

Dari sekitar 57 jenis julang yang ada di dunia, tigabelas diantaranya dapat ditemukan di Indonesia. Julang (nama lainnya: enggang, rangkong, kangkareng, dalam bahasa inggris: hornbill), termasuk dalam famili bucerotidae. Bucerotidae sendiri terambil dari bahasa yunani, yang berarti ‘tanduk sapi’ yang merujuk pada bentuk ciri khas paruh burung ini.

Diantara tiga jenis julang endemis Indonesia, julang sumba (Rhyticeros everetti) terbilang paling unik, karena berada jauh dari daratan lain yang menjadi habitat julang.

Dari segi corak warna, mungkin penampilan julang sumba barangkali dianggap masih kalah dibanding julang sulawesi, namun burung berbulu dominan hitam ini, justru terletak pada keberadaannya di pulau yang sohor dengan kebudayaan megalitikum tersebut. Tidak ada sebaran julang yang dapat ditemukan di pulau-pulau Nusa Tenggara lain.

Berdasarkan salah satu teori yang berkembang, pulau Sumba diduga berasal dari pecahan benua Asia. Sementara pulau-pulau lain di Nusa Tenggara merupakan pulau vulkanis yang terbentuk akibat aktivitas gunung api.

“Karena itu, beberapa jenis burung khas daratan Asia dapat dijumpai di Sumba meskipun jenis-jenis tersebut tidak terdapat di pulau lain di Nusa Tenggara,” jelas Jihad, Bird Conservation Officer Burung Indonesia.

Sejak terpisah dari benua Asia, jenis-jenis tersebut berevolusi menyesuaikan kondisi alam Sumba sehingga menjadi jenis unik yang endemis. Sayangnya, julang sumba saat ini masuk dalam kategori rentan (vulnerable), karena populasi dan area sebarannya yang kecil.

Populasinya di seluruh Sumba diperkirakan kurang dari sepuluh ribu individu. Meskipun perlindungan terhadap hutan dataran rendah di kawasan konservasi terus dilakukan, tetapi fragmentasi masih tetap terjadi di luar kawasan tersebut. Akibatnya, saat ini diperkirakan terjadi penurunan populasi burung yang dikenal dalam nama lokal goanggali ini hingga sekitar 30-49%.

Burung jantan dan betina mudah dibedakan. Kepala dan leher burung jantan berwarna merah, sedang burung betina memiliki kepala dan leher berwarna hitam. Burung ini memiliki paruh kekuningan dengan kantung leher biru. Panjang burung ini termasuk besar lebih kurang 70 centimeter, dan dapat ditemukan baik secara soliter maupun berkelompok hingga limabelas ekor. Julang sumba ditemukan dari dataran rendah hingga ketinggian 950 m dpl.

Penyelamatan hutan yang tersisa di Sumba dapat membantu menyelamatkan jenis ini dari kepunahan. Sebab, julang sumba sejatinya dapat dijumpai di semua tipe habitat berhutan di Sumba. Burung ini paling sering mengunjungi hutan dataran rendah dengan pohon-pohon besar dan bertajuk rapat, terutama yang berada dalam kawasan Taman Nasional Manupeu Tanadaru (TNMT), salah satu kawasan yang memiliki populasi Julang sumba terbesar di Pulau Sumba.

Dalam artikel kerjasama antara Mongabay-Indonesia dan Burung Indonesia bulan April 2015 ini, Anda bisa mengunduh kalender digital untuk gadget atau komputer Anda. Silakan klik tautan ini dan simpan dalam perangkat anda

 

 

 


Julang Sumba: Mengapa Jenis Enggang ini Ada di Kepulauan Nusa Tenggara? was first posted on April 4, 2015 at 4:06 am.

Inilah Aksi Para Perempuan Desa Tamarupa

$
0
0
Ibu-ibu anggota Kelompok Kalaroang kini aktif dalam usaha budidaya rumput laut. Setiap anggota kelompok memiliki ratusan bentangan dengan hasil mencapai jutaan rupiah setiap kali panen. Budidaya rumput laut ini mampu memperbaiki perekonomian keluarga menjadi lebih baik. Foto: Wahyu Chandra

Ibu-ibu anggota Kelompok Kalaroang kini aktif dalam usaha budidaya rumput laut. Setiap anggota kelompok memiliki ratusan bentangan dengan hasil mencapai jutaan rupiah setiap kali panen. Budidaya rumput laut ini mampu memperbaiki perekonomian keluarga menjadi lebih baik. Foto: Wahyu Chandra

Para perempuan pesisir di Desa Tamarupa ini berhasil bangkit dari kemiskinan dengan memanfaatkan potensi laut dan pesisir. 

Dulu, warga Desa Tamarupa, Kecamatan Mandalle, Kabupaten Pangkajene, Sulawesi Selatan, tak begitu tertarik budidaya rumput laut. Itu dianggap tak prospektif karena kerab gagal. Kalaupun berhasil hanya sedikit. Salah satu penyebab, kondisi pantai berlumpur yang tak cocok budidaya rumput laut.

Jikapun budidaya, harus jauh ke laut, sekitar 50-100 meter dari garis pantai. Penyebab lain, limbah semen pembangunan poros Makassar-Parepare yang dibuang ke kanal dan mengalir ke laut, tempat warga budidaya rumput laut.

“Warga trauma karena selama ini rumput laut selalu hancur. Itu sisa semen pembangunan jalan membuat rumput laut tidak bisa tumbuh bagus,” kata Syarifah, Ketua Kelompok Kalaroangg kepada Mongabay.

Pada 2013, Kelompok Kalaroang mencoba mengajak kembali warga budidaya rumput laut. Sebagai pemancing mereka diberi bantuan bibit dan bentangan tali.

Menurut dia, mengajak warga terlibat bukanlah hal mudah karena sudah trauma masa lalu. Untungnya, sebagian ibu-ibu bekas murid sekolah Paket A. Syarifah yang mengajari mereka membaca, menulis dan berhitung beberapa tahun lalu. Kelompok ini, memulai usaha rumput laut dengan 10 anggota.

Berbekal bantuan usaha dua ton bibit rumput laut dan ratusan bentangan tali, dari program RCL Oxfam, Syarifah bersama anggota kelompok lain memulai usaha. Jarak penanaman agak jauh ke laut, merekapun harus menggunakan perahu. Untuk pekerjaan penanaman ini, suami mereka yang melakukan. Belakangan mereka malah menggaji orang lain.

Peran para ibu-ibu ini pada persiapan penanaman, juga panen dan pengeringan. Memilih bibit yang baik dan membersihkan dari sampah-sampah yang menempel di rumput laut.

Syarifah mengatakan, di awal penanaman setiap anggota mendapat bantuan bibit 200 kg dan tali 32 bentangan. Setiap bentangan tali 25 meter.

Bibit jenis Eucheuma cottonii merah dan hitam, dianggap cocok dengan kondisi pantai di sana. Hasil panen jauh melampaui harapan. Dengan harga jual fluktuatif antara Rp11.000-Rp16.000 per kg, keuntungan sekali panen cukup lumayan. “Satu bentangan biasa menggunakan lima sampai enam kg bibit. Hasil panen bisa 30 kg per bentangan.”

Kondisi ini,  membuat banyak warga lain tertarik. Karena tak memiliki modal, Kalaroangg berinisatif menerapkan bantuan bergilir. “Setiap anggota lama membantu anggota baru semampu mereka, berupa bibit dan bentangan tali. Ada juga uang yang terkumpul dari sumbangan anggota ke kelompok diputar kembali untuk anggota-anggota baru.”

Usaha rumput laut ini bukan tanpa kendala. Pada Januari-Februari,  budidaya tak bisa karena ombak besar. Pembibitan biasa Maret-April. Penanaman biasa baru bisa pada Juli-Oktober tiap tahun.

Menghadapi kondisi ini, mereka mencoba menanam rumput laut pakai sistem keramba. Keramba diikat pada bentangan tali sebagaimana teknik budidaya biasa. “Dengan metode ini bisa budidaya sepanjang tahun tanpa takut ombak. Hasilnya jelas jauh lebih banyak,” kata Syarifah.

Kini setiap anggota memiliki jumlah bentangan jauh lebih banyak. Dari hanya 32, kini mereka rata-rata memiliki ratusan bentangan setiap orang. “Jumlah bentangan tergantung kemampuan mereka saja.”

Rakkang, alat baru penangkapan kepiting kini diperkenalkan kepada nelayan di Desa Tamarupa. Selama ini mereka menggunakan jaring dengan hasil yang terbatas dan mudah rusak. Dengan rakkang hasil tangkapan jauh lebih baik. Foto: Wahyu Chandra

Rakkang, alat baru penangkapan kepiting kini diperkenalkan kepada nelayan di Desa Tamarupa. Selama ini mereka menggunakan jaring dengan hasil yang terbatas dan mudah rusak. Dengan rakkang hasil tangkapan jauh lebih baik. Foto: Wahyu Chandra

Usaha penangkapan kepiting

Sukses dengan usaha rumput laut, kelompok ini mencoba penangkapan kepiting. Pantai di sekitar Desa Tamarupa dikelilingi hutan mangrove dikenal salah satu habitat kepiting.

Usaha ini sebenarnya sudah dilakukan warga meski terbatas. Padahal permintaan kepiting per hari cukup besar. “Pasar ada tapi sedikit yang mengusahakan.”

Melalui usaha ini, anggota memiliki tambahan penghasilan lain. Dalam sehari,  setiap orang bisa memperoleh satu sampai dua kg kepiting berbagai ukuran. Dalam satu kg biasa memuat tiga sampai empat kepiting ukuran sedang. Dulu mereka mengambil kepiting ukuran kecil, sekarang tidak lagi setelah ada larangan pemerintah.

Hasil tangkapan dijual ke pengumpul kepiting, berkisar Rp30.000-Rp 35.000 per kg.

Penangkapan kepiting dengan membentangkan jaring sepanjang pantai. Kepiting melintas akan terjerat. Belakangan cara ini tidak efektif, merekapun mencoba menggunakan alat tangkap, disebut rakkang.

“Jaring mudah putus dan hasil tangkapan kurang. Jaring hanya bisa dipakai sampai tiga kali penangkapan, setelah itu harus diganti yang baru.”

Dengan rakkang diyakini jauh lebih awet. Hasil bisa lebih banyak. Rakkang seperti kubus terbuat dari kawat besar sebagai rangka dikitari jaring. Rakkang diikat pada tali dibentangkan hingga satu km. Sekali bentangan bisa memuat hingga dua ratus rakkang.

Rakkang dibiarkan tenggelam hingga dasar laut karena kepiting biasa lebih banyak di dasar.

Menurut Soni Kusnito, fasilitator RCL, penggunaan rakkang sebenarnya sudah banyak di daerah lain, termasuk di Maros dan Pangkep. “Kalau di Desa Tamarupa masih baru. Kita harap hasil tangkapan lebih banyak seperti daerah lain.”

Sebagaimana daerah dampingan lain, katanya,  program RCL membantu kelompok pengadaan rakkang ratusan unit.

Penggunaan rakkang terbilang efektif karena letaknya di dasar laut. Jika jaring biasa hanya dapat satu sampai dua kg, rakkang jauh lebih banyak.

Kendala usaha ini, transportasi penyebaran dan pengambilan rakkang. Jika menggunakan perahu biasa proses lambat, padahal mereka berburu waktu harus sebelum matahari muncul.

DKP Pangkep menganggarkan bantuan mesin perahu bagi anggota kelompok ini, meski terbatas tiga mesin.“Kita sudah anggarkan tiga mesin perahu Rp3 juta per unit. Saya sebenarnya minta lebih banyak tapi baru ini disetujui. Semoga ada penambahan lagi tahun depan,” kata Sumarni, penyuluh perikanan Pangkep.

Siti Raiyah (kerudung kuning) berusia 75 tahun selama ini kehidupannya ditopang oleh anak dan cucu. Kini ia bisa memiliki penghasilan sendiri dari usaha pembuatan jaring. Ia bahkan dipercaya sebagai pengumpul jaring hasil buatan dari anggota Kelompok Siangkalinga Adae lainnya. Dalam sebulan mereka bisa menghasilkan hingga 800 ikat jaring. Foto: Wahyu Chandra

Siti Raiyah (kerudung kuning) berusia 75 tahun selama ini kehidupannya ditopang oleh anak dan cucu. Kini ia bisa memiliki penghasilan sendiri dari usaha pembuatan jaring. Ia bahkan dipercaya sebagai pengumpul jaring hasil buatan dari anggota Kelompok Siangkalinga Adae lainnya. Dalam sebulan mereka bisa menghasilkan hingga 800 ikat jaring. Foto: Wahyu Chandra

Usaha jaring

Desa Tammarupa selama ini juga dikenal sebagai penghasil jaring ikan. Usaha ini ada berpuluh-puluh tahun silam dan keterampilan turun temurun.

Menyadari potensi ini, Syarifah menginisasi membentuk kelompok lain, khusus usaha jaring. Yakni, Kelompok Siangkalinga Adae, berarti saling mendengarkan pendapat orang. Anggota kelompok prioritas perempuan lanut usia dan janda.

Sebagian anggota kelompok ini sudah terampil membuat jaring tetapi . produksi terbatas karena keterbatasan modal. Dulu, dalam sebulan hanya bisa memproduksi satu sampai dua set atau sekitar 15–30 ikat jaring.

Di awal, setiap orang diberi bantuan empat set bisa memproduksi hingga 60 ikat jaring. Dulu, penghasilan Rp750.000 per bulan, kini bisa Rp3 juta.

Fatmasari Hutagalung, Project Officer RCL Oxfam,  menyatakan, program ini memang kadang memberi bantuan in kind (barang) dan tak bentuk uang. “Ini sekadar pemancing. Setelah ada hasil malah kini mereka yang membantu warga lain. Jadi ada sistem pergiliran bantuan mandiri.”

Pemilihan ketiga jenis usaha ini, katanya, berdasarkan kebutuhan masyarakat dan potensi. “Kita identifikasi di awal program. Kita bantu sesuai kebutuhan, termasuk dalam pengelolaan kelompok, keuangan dan menyediakan pasar bagi mereka.”

 

Desa Tamarupa sebagai perkampungan nelayan sebagaimana daerah pesisir lain identik dengan kemiskinan dan ketertinggalan. Kini warganya mulai bangkit secara ekonomi mengandalkan potensi daerah setempat berupa budidaya rumput laut dan kepiting. Sebagian warga juga menekuni usaha pembuatan jaring yang hasilnya dijual hingga ke Papua. Foto: Wahyu Chandra

Desa Tamarupa sebagai perkampungan nelayan sebagaimana daerah pesisir lain identik dengan kemiskinan dan ketertinggalan. Kini warganya mulai bangkit secara ekonomi mengandalkan potensi daerah setempat berupa budidaya rumput laut dan kepiting. Sebagian warga juga menekuni usaha pembuatan jaring yang hasilnya dijual hingga ke Papua. Foto: Wahyu Chandra


Inilah Aksi Para Perempuan Desa Tamarupa was first posted on April 4, 2015 at 5:28 am.

Perlahan, Produksi Rotan Alam di Sulawesi Tengah Terpinggirkan

$
0
0

Hutan rotan di Ujung Kulon. Indonesia begitu bangga dengan predikat sebagai negara yang memasok bahan baku rotan dunia hingga 85 persen. Foto: Rhett Butler

Tidak banyak yang tahu bila Sulawesi Tengah merupakan salah satu daerah penghasil rotan terbesar di Indonesia.

Industri mebel rotan yang berkembang pesat di Cirebon, Jogyakarta, Solo, dan Surabaya hampir sebagian besarnya, terutama untuk rotan berukuran besar, dipasok dari Sulawesi Tengah. Bahkan, rotan dari Sulawesi Tengah ini menguasai sekitar 80 persen dari produksi rotan alam Indonesia.

Tercatat, ada 38 jenis rotan di Sulawesi Tengah yang secara potensial dapat dimanfaatkan, meski saat ini baru sekitar 7 jenis yang telah dikomersilkan. Diantaranya adalah rotan lambang (Calamus sp), rotan batang (Daemonorops inops Werb), rotan tohiti (Calamus simpisipus), rotan merah (Calamus panayuga Becc), rotan ronti (Calamus axilais), rotan susu (Calamus sp), dan rotan umbul (Calamus shympsipus).

Berdasarkan data Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah, produksi rotan Sulawesi Tengah yang berasal dari delapan kabupaten/kota mencapai 19.697,31 ton. Wilayah tersebut adalah Kota Palu, Kabupaten Donggala, Parimo, Poso, Tojo Unauna, Banggai, Morowali, dan Buol. Palu tercatat sebagai penyubang terbesar yaitu sekitar 8.428,3780 ton rotan.

Meski Sulawesi Tengah dikenal sebagai sentranya rotan alami, namun sebagaimana penjelasan Efendi, Ketua Asosiasi Pengusaha Mebel Indonesia (Asmindo) Palu, justru saat ini, industri rotan di Palu sedang lesu. Pemicunya adalah, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 35 tahun 2011 tentang pelarangan ekspor rotan mentah dan setengah jadi.

Sejak aturan ini keluar, beberapa industri rotan di Palu gulung tikar, meski ada juga yang bertahan dengan kondisi sekarat. “Dari tiga pabrik yang ada, dua terpaksa tutup. Di tingkat petani pun, yang biasanya mengambil rotan sekitar 70-80 kilogram per hari, kini rata-rata hanya 40 kg,” kata Efendi kepada Mongabay.

Menurut Efendi, pelarangan ekspor rotan mentah dan setengah jadi membuat gairah petani rotan hilang. Akibatnya, pasokan untuk industri berkurang. Bahkan, kondisi yang tidak menguntungkan ini semakin buram dengan adanya kebijakan resi gudang tahun 2012 yang awalnya dianggap sebagai solusi. Yaitu, kebijakan agar para pengusaha rotan menyimpan terlebih dahulu rotannya sebelum memasok ke luar daerah. “Untuk Sulawesi Tengah biasanya rotan dikirim ke Cirebon dan Surabaya.”

Namun, lanjut Efendi, kebijakan resi gudang untuk rotan, tidak bisa diterapkan sebagaimana resi gudang untuk beras, kakao, atau produk makanan lain. Rotan, bila disimpan terlalu lama akan berkurang nilai jual dan kualitasnya. Selain itu, tidak setiap waktu, masyarakat membutuhkan rotan. Ini jelas berbeda dengan beras yang selalu dicari sebagai kebutuhan primer. “Akibatnya, kami harus menanggung semua beban itu, sementara pemerintah tidak bisa memberikan jaminan.”

Efendi pun menawarkan dua usulan terkait terpuruknya rotan di Sulawesi Tengah ini. Pertama, Pemerintah Sulawesi Tengah segera membentuk badan penyanggah yang bisa menampung rotan dari pedagang daerah. Ini penting dilakukan untuk memberikan kepastian penampungan rotan dan menumbuhkan kembali geliat produksi rotan alam yang mulai tergusur rotan sintetis asal Cina. Kedua, pemerintah pusat membuka kembali kran ekspor rotan dengan menggunakan sistem kuota atau memilih jenis-jenis rotan tertentu sebagai komoditi ekspor. “Solusi yang sepatutnya dipertimbangkan.”

Kursi dari rotan hasil kerajinan masyarakat di Palu. Sumber: Perindagkoppalu.com

Jusupta Tarigan, Direktur Eksekutif Non-Tember Forest Products – Exchange Programme (NTFP – EP), menuturkan apa yang terjadi di Palu yang notabene merupakan daerah rotan unggulan nasional merupakan gambaran menyeluruh kondisi rotan di Sulawesi Tengah.

Menurut Jusupta, peraturan Nomor 35 tahun 2011 harus ditinjau ulang. Pasalnya, tujuan utama pemerintah melindungi rotan alam Indonesia agar tidak habis diekspor dalam bentuk mentah sepertinya lebih mengarah pada “penyelamatan” industri pengolahan rotan yang ada di Cirebon dan Surabaya.

Namun, dari hasil kunjungan kami ke Cirebon, ternyata aturan tersebut tidak mampu menggeliatkan industri di sana. Karena, sejak regulasi itu diluncurkan, para petani sudah tidak bernafsu mengusahakan rotan. Akibatnya, pasokan rotan yang sebagian besar berasal dari Sulawesi Tengah tidak ada lagi. “Kondisi ini terlihat di Desa Namo, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, yang hampir lima tahun tidak memanen rotannya karena tidak ada pedagang yang mau beli,” tuturnya.

Sebagaimana Efendi, Jusupta juga memberikan solusi kepada pemerintah agar gairah industri rotan alam di Sulawesi Tengah dan Indonesia kembali bangkit. “Aturan yang dibuat sebaiknya tidak hanya memikirkan kepentingan industri, tetapi masyarakat dan para petani rotan harus dipikirkan. Juga, aturan ekspor rotan mentah dan setengah jadi tetap bisa dilakukan dengan catatan hanya jenis rotan tertentu saja atau endemik yang tidak bisa ditiru negara lain yang diperbolehkan,” paparnya, Kamis (2/4/2015).

Terancam

Jika para pengusaha mempersoalkan regulasi yang telah membuat lesunya industri rotan, pendapat yang dilontarkan aktivis lingkungan asal Sulawesi Tengah ini justru melihat dari ketersediaan lahan. Irwan Frans Kusuma, pegiat isu agraria dan hutan mengatakan, potensi rotan di Sulawesi Tengah diperkirakan, akan menghilang perlahan. Contohnya Kabupaten Banggai.

“Di Banggai, rotan diperkirakan akan hilang 10-15 tahun ke depan. Persoalannya, hutan telah dikapling untuk pertambangan, kebun sawit, hingga minyak dan gas. Yang kami catat ada lima izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK), tiga izin perkebunan kelapa sawit, serta izin pertambangan nikel, emas dan migas.“

“Ditambah perambahan liar yang marak terjadi telah memotivasi terjadinya pengurangan luasan hutan tempat rotan alam tumbuh dan berkembang,” kata Irwan.

Menurut Irvan, sepertinya cerita keberuntungan masyarakat yang kerjanya menjadi petani rotan akan hilang dengan sendirinya akibat hadirnya investor besar yang mengambil sumber daya hutan mereka untuk dijadikan tambang maupun kebun sawit. “Kecamatan Toili, Batui Selatan, Bualemo, Nuhon,  Bunta, dan Simpang Raya yang selalu dilanda banjir tahun sejak 2007-2011 merupakan wilayah potensi pangan dan penampungan rotan siap ekspor yang mulai kehilangan hutannya.”

Pemerintah harus memikirkan kondisi ini. “Harus dibuat peraturan untuk menyelamatkan potensi rotan yang tidak hanya di Sulawesi Tengah, tetapi juga Indonesia. Misalnya, kursi atau meja di perkantoran harus ada yang terbuat dari rotan. Jika tidak, rotan sintetis asal Cina yang kini merajalela dan telah bekerja sama dengan beberapa industri rotan di Indonesia akan membanjiri nusantara. Padahal, Indonesia disebut sebagai pemasok rotan dunia hingga 85 persen jumlahnya. Ironis bukan?” tegas Jusupta.

 

 


Perlahan, Produksi Rotan Alam di Sulawesi Tengah Terpinggirkan was first posted on April 4, 2015 at 6:07 am.

Bertemu Menteri Yohana di Samarinda, Rahmawati Cerita Pentingnya Keselamatan Anak di Sekitar Lubang Tambang

$
0
0
Rahmawati saat bertemu Menteri Yohana Yembise di Samarinda. Foto: Jatam  Kaltim

Rahmawati saat bertemu Menteri Yohana Yembise di Samarinda. Foto: Jatam Kaltim

Penghujung Februari 2015, Rahmawati dan Misransyah, bersama putra bungsungnya Muhammad Adbizar (16 bulan), berangkat ke Jakarta khusus memperjuangkan nasib mereka. Terbang jauh dari Samarinda, Kalimantan Timur, hanya satu misi yang ingin mereka tuntaskan, mencari keadilan.

Perjalanan ini harus mereka lakukan karena pemerintah daerah, pihak perusahaan, dan aparat penegak hukum seolah abai pada peristiwa kematian Raihan yang dianggap sebagai takdir yang harus mereka terima.

Rahmawati (37), adalah ibunda Muhammad Raihan Saputra (10), bocah malang yang meninggal di lubang bekas tambang batubara milik PT. Graha Benua Etam (GBE) di Sempaja Utara, Samarinda, Kalimantan Timur, pada 22 Desember 2014.

Sebelum berangkat ke Jakarta, Rahmawati telah membuat petisi di Change.org bertajuk “Tutup dan Hukum Perusahaan Pemilik Lubang Tambang Batubara Samarinda yang Membunuh Anak-anak” yang ia buat Jumat (23/01/2015). Petisi terkait kematian putranya itu ia tujukan langsung kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya dan Walikota Samarinda, Syaharie Jaang.

Dukungan mengalir terhadap petisi tersebut yang angkanya mencapai 10 ribu pendukung. Lewat petisi ini pula, akhirnya Rahmawati bertatap langsung dengan Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang memang telah menjadwalkan pertemuan itu.

Selama di Jakarta, Rahmawati dan Misransyah menggunakan kesempatan tersebut tidak hanya untuk mengadu ke Ibu Siti sekaligus menyerahkan petisi, tetapi juga mereka menemui beberapa komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, juga Komisi Perlindungan Anak dan Lembaga Perlindungan Saksi Korban.

Namun, ada satu agenda yang belum terwujud selama lawatan mereka di Jakarta, yaitu menemui Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang kala itu memang tidak di tempat.

 

Gambaran lokasi rumah Rahmawati dan kolam tambang tempat putranya tenggelam. Sumber: Jatam Kaltim

 

Bertemu di Samarinda

Kesempatan bertemu Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise justru didapatkan Rahmawati di Samarinda, Senin (23/3/2015).

“Kami ingin ada keadilan Bu, lubang tambang harus ditutup dan perusahaan harus dihukum. Kami ingin, kejadian meninggalnya anak di lubang bekas tambang tidak terulang kembali,” ungkap Rahmawati kepada Yohana di Aula Kelurahan Bentuas, Kecamatan Palaran, Samarinda.

“Kabar ini sudah saya dengar di Jakarta dan Kepala BP2KB (Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana) Provinsi Kalimantan Timur telah menyampaikan juga ke saya,” ungkap Yohana, menanggapi keluh-kesah Rahmawati.

Tugas saya melindungi seluruh anak Indonesia, termasuk 9 anak yang meninggal di lubang tambang. “Saya berjanji akan membahas masalah ini di Jakarta dan membentuk tim investigasi keselamatan anak-anak dari ancaman lubang tambang,” ucap Yohana.

Menanggapi janji tersebut, Merah Johansyah, Dinamisator Jatam Kaltim, mengatakan jika Ibu Yohana serius menindaklanjuti kasus ini maka bisa menerapkan UU 35 tahun 2004, Perubahan atas UU 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. “Pemerintah kota/provinsi dan perusahaan tambang dapat diancam pasal pidana anak, sebagaimana diatur dalam pasal 77 – 90 dalam UU ini,” ujar Merah.

Menurut Merah, penting bagi Ibu Menteri Yohana meneruskan kasus ini, karena dalam pantauan Jatam, tidak ada itikad baik dari pemerintah daerah dalam penegakan hukum. “Dari dulu gak ada kasus yang selesai, sementara 71 persen wilayah Samarinda sudah dikapling tambang batubara. Lubang-lubang itu, dibiarkan menganga yang membahayakan warga sekitarnya. ”

Dalam catatan Jatam Kaltim periode 2011-2014, sudah 9 anak meninggal di lubang maut bekas tambang yang tersebar di Samarinda. “Padahal, Samarinda mendeklarasikan diri sebagai Kota Layak Anak. Tapi, setiap tahun selalu ada yang meninggal. Sampai kapan ini terjadi?” tegas Merah.

 

Kondisi Kota Samarinda akibat pertambangan

 


Bertemu Menteri Yohana di Samarinda, Rahmawati Cerita Pentingnya Keselamatan Anak di Sekitar Lubang Tambang was first posted on April 5, 2015 at 5:13 am.

Laporan Riset Terbaru: Laju Hilangnya Tutupan Pohon Indonesia Terendah Dalam Sepuluh Tahun Terakhir

$
0
0

Tajuk pohon hutan tropis. Foto: Rhett Butler

 

Hasil penelitian terbaru tentang kehutanan (02/04/2015) yang dipimpin oleh pakar kehutanan Matt Hansen dari University of Maryland dan World Resources Institute (WRI) melaporkan laju kehilangan tutupan pohon di Indonesia periode 2011-2013 adalah 1,6 juta hektar/tahun; angka terendah sejak sepuluh tahun terakhir, namun masih termasuk peringkat lima besar di seluruh dunia.

Di sisi lain, laju hilangnya hutan primer Indonesia 2013 juga menunjukkan pelambatan, yaitu kurang dari setengah juga hektar per tahun, terendah sejak tahun 2003.

Penyebab dari turunnya tutupan pohon dan kehilangan hutan pimer diprediksi akibat adanya upaya moratorium atas izin konversi hutan, anjloknya harga komoditas (tambang dan mineral serta sawit) di pasar internasional, komitmen perusahaan untuk menerapkan kebijakan nol-deforestasi dan fakta bahwa hutan yang tertinggal adalah hutan yang sulit untuk diakses.

Data terbaru ini menunjukkan tanda-tanda cukup menggembirakan bagi hutan di Indonesia, tetapi dibutuhkan data dengan rentang waktu yang lebih lama dan riset tambahan untuk mengkonfirmasi tren tersebut. Hutan primer di Indonesia dikenal sebagai hutan yang sangat kaya dengan keanekaragaman hayati dan stok karbon tertinggi di dunia.

“Informasi terbaru ini menuturkan cerita positif mengenai hutan di Indonesia, namun terlalu dini menyatakan ini adalah tren yang pasti, saat ini Kementerian sedang membandingkan angka yang dimiliki Kementerian dengan temuan ini,” jelas Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dalam siaran persnya.

“Apabila benar, ini adalah indikator kuat bahwa investasi signifikan yang dilakukan Indonesia untuk melindungi hutan terbayarkan. Kami akan mengambil langkah-langkah tambahan untuk memastikan tren positif ini tetap berlanjut.”

 

 

Klik pada gambar untuk memperbesar. Sumber: GFW/WRI

 

Sudah sewajarnya jika Menteri LHK menyampaikan kelegaannya, karena pada laporan sebelumnya yang dipublikasikan oleh University of Maryland dan WRI, menyatakan bahwa angka kehilangan tutupan hutan primer di Indonesia meningkat selama periode 2001-2012.

“Data terbaru ini harus dapat terus mendorong momentum untuk memperbaiki sistem pengawasan dan pengelolaan hutan di Indonesia,” jelas Nirarta Samadhi, Direktur WRI Indonesia. Menurutnya, perbaikan dalam bidang penegakan hukum dan transparansi data untuk mempromosikan pengembangan komoditas berkelanjutan, memperkuat moratorium hutan dan pemetaan hutan perlu terus dilanjutkan.

Meskipun secercah harapan mulai tumbuh, namun secara global pada tahun 2013, 18 juta hektar hutan di seluruh dunia telah hilang, meningkat hampir sepertiga sejak awal tahun 2000-an yang menyebabkan krisis kehilangan hutan global masih jauh dari terpecahkan. Secara bersamaan, Rusia dan Kanada mewakili bagian empat puluh persen dari total negara yang kehilangan hutan arborealnya. Dimana kehilangan hutan telah naik hampir 50 persen dalam 13 tahun terakhir.

Hilangnya hutan empat musim-boreal, dalam beberapa tahun terakhir disebabkan oleh kebakaran dan pembalakan. Penebangan hutan menyebabkan hutan yang tersisa menjadi rentan terhadap kebakaran. Perubahan iklim juga memperburuk risiko kebakaran.

 

Klik pada masing-masing gambar untuk memperbesar. Sumber: Mongabay.com

 

Secara global, dunia kehilangan lebih dari 18 juta hektar tutupan pohon pada tahun 2013. Data menunjukan negara-negara seperti Rusia, Kanada, dan Brasil menyumbang 2,2 juta hektar, Amerika Serikat (1,7 juta hektar), dan Indonesia (1,6 juta hektar) adalah 5 peringkat teratas negara dengan angka rata-rata kehilangan tutupan pohon pertahun tertinggi dari 2011–2013. Hanya di tahun 2013 Indonesia mengalami angka kehilangan tutupan pohon terendah selama 10 tahun terakhir.

Sementara negara-negara di belahan utara mengalami percepatan hilangnya tutupan pohon secara serius, daerah tropis masih menyumbang sebagian besar hutan yang hilang, yaitu sebesar hampir 19 juta hektar selama periode 2011-2013. Masing-masing negara tersebut adalah Brasil (4,5 juta hektar kehilangan tutupan hutan), Indonesia (3,3 juta ha), Republik Demokratik Kongo (1,4 juta ha), dan Malaysia (931.000 ha).

Tiga dari empat negara yaitu, Brasil, Indonesia dan Malaysia diketahui terdapat trend signifikan pelambatan hilangnya hutan pada tahun 2013.

Hilangnya hutan akan berpengaruh terhadap fungsi ekologis bumi, termasuk pengaruhnya terhadap curah hujan, lepasnya simpanan karbon, hilangnya lapisan tanah subur dan berkurangnya jasa lingkungan dan pasokan oksigen dalam sistem planet. Hilangnya hutan pun akan berpengaruh terhadap gagalnya sistem pertanian yang berkelanjutan.

Riset Global Forest Watch adalah sistem online dinamis untuk memantau hutan lewat penyatuan data citra satelit beresolusi tinggi, open data dan crowdsourcing untuk memperoleh informasi hutan secara tepat waktu dan terpercaya. Dari dari University of Maryland dan Google ini dapat menampilkan data kehilangan tutupan pohon dengan resolusi 30 meter.

Data terbaru tahun 2013 ini sudah dapat diakses oleh publik.

 

 

 


Laporan Riset Terbaru: Laju Hilangnya Tutupan Pohon Indonesia Terendah Dalam Sepuluh Tahun Terakhir was first posted on April 5, 2015 at 10:16 am.

Gajah-gajah Ini Jadi Tim Patroli Hutan Leuser

$
0
0
Setelah seharian mengelilingi kawasan TNGL  berpatroli bersama tim CRU, gajah-gajah ini  mandi  di sungai buat  menghilangkan lelah. Foto: Ayat S Karokaro

Setelah seharian mengelilingi kawasan TNGL berpatroli bersama tim CRU, gajah-gajah ini mandi di sungai buat menghilangkan lelah. Foto: Ayat S Karokaro

Perusakan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) menjadi kebun sawit dan penebangan liar membuat gajah makin terdesak. Konflik antara manusia dengan satwa kunci di TNGL, terus terjadi. Tim Conservation Response Unit (RCU) Tangkahan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, menyelamatkan gajah-gajah Sumatera ini. Kini,  mereka menjadi tim patroli hutan di Leuser.

Gajah-gajah ini mendapatkan pelatihan oleh tim CRU Tangkahan, Desa Namo Sialang, Kecamatan Barang Serangan, Langkat. Disini, tempat konservasi gajah liar berkonfik dengan manusia karena habitat rusak.

Sudiyono, Pelatih Gajah Liar Tangkahan yang ada di TNGL, mengatakan, ada tujuh gajah dewasa liar di Tangkahan. Satu gajah betina hamil, dan melahirkan sudah berusia tiga tahun hingga total delapan.

Tujuh gajah diselamatkan dari dua tempat, yaitu empat dari TNGL Aceh, dan tiga Bukit Lawang, Langkat. “Beruntung, ketika diselamatkan, tidak luka berat. Ketika pertama CRU Tangkahan, kami hanya memperhatikan kesehatan dan kondisi gizi makanan, ” katanya.

Gajah-gajah ini, katanya, merupakan satwa liar yang berkonflik dengan manusia yang merusak habitat menjadi perkebunan sawit maupun pencurian kayu dari TNGL.

Tim CRU berpatroli bersama gajah Sumatera di kawasan  TNGL. Foto:  Ayat S Karokaro

Tim CRU berpatroli bersama gajah Sumatera di kawasan TNGL. Foto: Ayat S Karokaro

Mereka punya kekuatan tubuh cukup baik. Merekapun dilibatkan patroli di TNGL. Tujuannya, kata Sudiyono, agar naluri liar tetap terjaga. Tim CRU Tangkahan, menganggap perlu pendampingan lebih dalam terhadap gajah-gajah ini agar satwa suatu saat bisa lepasliar ke alam bebas, khusus di TNGL. Itu berlangsung empat tahun terakhir.

Mereka menjadi bagian Dinas Kehutanan, patroli dan pengawasan serta menjaga habitat hutan agar tidak rusak.

Menurut Edi Sunardi, Manager CRU, pelatihan awal gajah-gajah liar, tergantung sang pelatih. Tergantung kemampuan dan kondisi kesehatan, mengingat mereka trauma dan stres akibat berkonflik dengan manusia.

“Makin sering dilatih, makin terbiasa dan mampulah mereka beradaptasi. Sekarang semua berjalan lancar.  Kita bersama gajah-gajah ini selalu patrol di TNGL.”

Dia menjelaskan, rutinitas patrol di TNGL setiap Senin dan Kamis. Namun patroli dan pengawasan kawasan hutan bisa sewaktu-waktu, tergantung isu atau keperluan mendesak, seperti mendapat informasi perburuan, perusak hutan dan lain-lain.

Kala santai, gajah-gajah ini sering berada di aliran Sungai Buluh untuk membersihkan diri. Gajah-gajah inipun siap membawa siapa saja yang ingin menyaksikan kondisi hutan TNGL di Tangkahan.

Data Earth Hour Aceh, mencatat, kurun 20 tahun terakhir, penurunan populasi gajah mencapai 50%,  dimana 70% habitat hancur akibat perusakan kawasan hutan.

Gajah CRU Tangkahan patroli di kawasan TNGL guna mencegah habitat mereka lebih rusak lagi. Foto: Ayat S Karokaro

Gajah CRU Tangkahan patroli di kawasan TNGL guna mencegah habitat mereka lebih rusak lagi. Foto: Ayat S Karokaro


Gajah-gajah Ini Jadi Tim Patroli Hutan Leuser was first posted on April 5, 2015 at 3:29 pm.

Kerja Berat Sang Laut

$
0
0
 *Agus Supangat, Mantan Koordinator Divisi Peningkatan Kapasitas, Penelitian dan Pengembangan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI). Sekarang bekerja di Regional Climate Projections Consortium and Data Facility in Asia and the Pacific. Tulisan ini merupakan opini penulis.

Kerja Sang Laut begitu berat. Ia telah kelebihan menyerap panas. Suhu udara pun meningkat cepat. Bukti baru menunjukkan bahwa kemampuan laut sebagai mesin penyangga panas planet bumi mulai melemah.

Ibarat mesin yang telah bekerja selama beberapa dekade, laut menyerap lebih dari sembilan per-sepuluh dari kelebihan panas di atmosfer yang terperangkap oleh emisi gas rumah kaca. Panas tersebut disimpan sebagai energi di kedalaman lautan. Sebagai mesin alam, laut telah menghindarkan planet ini dari dampak negatif penggunaan karbon berlebihan oleh manusia.

Gelombang membuat aneka gas di udara meningkat energinya. Sebuah penelitian terbaru menyebut bahwa laut memanas lebih cepat seperti perkiraan para ilmuwan sebelumnya. Ada tanda-tanda baru bahwa laut mungkin mulai melepaskan sebagian energi panas yang tersimpan, yang dapat berkontribusi terhadap peningkatan suhu global secara signifikan di tahun-tahun mendatang.

Laut telah memanas pada tingkat sekitar 0,5 – 1 Watt energi per meter persegi selama dekade terakhir, mengumpulkan lebih dari 2 X 1023 joule energi. Angka-angka ini setara dengan lima kali ledakan bom Hiroshima setiap detik – sejak tahun 1990. Padahal, laut sesungguhnya memiliki kapasitas besar untuk menyerap panas. Laut dalam pun berperan sebagai mesin penyerap dan penyimpan panas yang besar.

Ini menjadi alasan utama meningkatnya suhu permukaan planet bumi dalam selusin tahun terakhir. Buktinya, gas rumah kaca meningkat secara drastis selama periode yang sama. Fenomena “hiatus” atau waktu jeda telah menantang para ilmuwan untuk menjelaskan penyebabnya. Tapi penelitian baru menunjukkan bahwa kekuatan dibalik “hiatus” memang merupakan proses alamiah laut meski mungkin saja ini hanya terjadi sementara.

Peta menunjukkan tren kandungan panas laut global, dari permukaan ke kedalaman 2.000 meter. Zona kuning, oranye, merah merupakan peningkatan suhu laut sejak tahun 2006, yang diukur dengan jaringan sensor 3.500 argo yang mengambang di permukaan laut. Zona hijau, biru dan ungu menggambarkan zona suhu menurun, yang diukur dalam watt per meter persegi. Peta itu menunjukkan bahwa banyak pemanasan laut dalam dekade terakhir telah terjadi di belahan bumi selatan. (Sumber : Roemmich et al., Nature Climate Change)

Peta menunjukkan tren kandungan panas laut global, dari permukaan ke kedalaman 2.000 meter. Zona kuning, oranye, merah merupakan peningkatan suhu laut sejak tahun 2006, yang diukur dengan jaringan sensor 3.500 argo yang mengambang di permukaan laut. Zona hijau, biru dan ungu menggambarkan zona suhu menurun, yang diukur dalam watt per meter persegi. Peta itu menunjukkan bahwa banyak pemanasan laut dalam dekade terakhir telah terjadi di belahan bumi selatan. (Sumber : Roemmich et al., Nature Climate Change)

Angin pasat Pasifik berhembus secara luar biasa kuat selama dua dekade terakhir. Penyebabnya adalah siklus 20 sampai 30 tahun yang dikenal dengan “Interdecadal Pacific Oscillation”. Siklus ini memompa panas dari atmosfer ke Lautan Pasifik bagian barat.

Pergerakan angin didukung oleh sirkulasi arus periode dingin. Tapi para ilmuwan mengatakan bahwa sirkulasi yang terjadi laksana ayunan: ia akan kembali lagi sebagai periode panas. Sejarah mencatat kemungkinan terjadinya dua periode dalam satu dekade dimana angin menurun, pompa mendorong, dan panas yang tersimpan akan naik kembali ke atmosfer.

“Ada petunjuk bahwa hal ini mungkin sudah mulai terjadi,” begitu kata seorang profesor ilmu kelautan di University of New South Wales, Sydney, Australia. Tanpa tindakan pendinginan angin, suhu atmosfer bisa melonjak seperti yang terjadi pada tahun 1980-an dan 1990-an. “Sangat mungkin pemanasan akan terjadi lebih cepat atau bahkan paling cepat karena gas rumah kaca saat ini jauh lebih tinggi,” paparnya.

Para ilmuwan juga belajar bahwa laut memperoleh lebih banyak panas. Artinya, iklim secara keseluruhan bisa lebih kacau dari saat ini. Seorang profesor oseanografi di Scripps Institution of Oceanography, University of California San Diego, mengatakan: “jika ingin mengukur ketidakseimbangan energi planet bumi, suhu laut dapat memberi Anda hampir keseluruhan ceritanya.”

Hitungan para ilmuwan bahwa laut di dunia memperoleh panas dari permukaan sampai kedalaman 700 meter, mungkin baru setengahnya. Pengukuran sebelumnya yang menunjukkan bahwa tumpukan panas masih rendah terjadi karena pengamatan terhadap sebagian besar laut masih jarang secara historis.

Angka-angka yang muncul sangat rendah, terutama untuk belahan bumi selatan yang menjadi 60 persen laut di planet bumi ini. Semua terjadi karena buruknya kualitas data hingga akhirnya kemunculan Argo, dron yang bisa naik turun mengukur suhu dan salinitas laut dari permukaan sampai kedalaman 3.500 meter secara terus menerus. Argo ditempatkan di seluruh dunia mulai tahun 2005.

Sebaran alat senssor argo float di perairan global

Sebaran alat senssor argo float di perairan global

Secara global, laut bagian atas 24 – 58 persen lebih panas dari asumsi model iklim saat ini.

Sebuah analisis baru memperlihatkan bahwa tahun 1970-2004, laut atas sampai kedalaman 700 meter dari lautan di belahan bumi selatan, 48 – 166 persen lebih panas daripada pengamatan sebelumnya. Secara global, temuan ini menyimpulkan bahwa laut bagian atas 24 – 58 persen lebih panas dari asumsi kebanyakan model iklim saat ini. Artinya, kita perlu menghitung ulang perkiraan sensitivitas iklim bumi.

Analisis pengukuran Argo sampai kedalaman 2.000 meter menunjukkan bahwa panas menembus semakin dalam dan jauh ke belahan bumi selatan. Jaringan pengukuran Argo ini menghasilkan informasi komprehensif pertama dari laut yang lebih dalam.

Para peneliti menemukan bahwa dua pertiga sampai 98 persen tumpukan panas laut yang diperoleh cukup besar antara tahun 2006 dan 2013 ternyata berlangsung dengan baik di selatan khatulistiwa. Penyebabnya adalah peran putaran raksasa yang menyedot ke bawah.

Setengah dari panas yang diperoleh terjadi pada kedalaman 500 sampai 2.000 meter. Pada kedalaman 500 meter, laut mengalami pemanasan 0,002 derajat Celcius setiap tahun. Pada kedalaman 500 meter, laut memanas 0,005 derajat Celsius setiap tahun. Yang belum tampak yaitu besarnya lompatan suhu yang bisa jadi sangat mengejutkan jika dikalikan dengan kedalaman laut di seluruh sistem yang mencakup 70 persen dari planet ini.

Permukaan laut lebih cepat panas dari laut secara keseluruhan. Laut pada kedalaman 75 meter telah menghangat rata-rata 0,01 derajat Celcius per tahun sejak 1971. Kekuatan seperti angin dan arus berefek kuat pada permukaan laut. Hasil pengukuran suhu pun menjadi sangat bervariasi.

Bagaimanapun, beberapa wilayah laut memanas dengan cepat, seperti Laut Arktik yang tahun ini mengalami tahun es musim dingin terendah dan menyerap lebih banyak energi matahari. Sebagian lapisan es mencair sehingga mengekspos permukaan gelap yang baru.

Suhu permukaan laut di beberapa wilayah selama musim panas telah meningkat sekitar 1 derajat Celsius selama dua dekade terakhir. Angka ini hampir lima kali rata-rata global. Bagian dari Samudera Hindia, Atlantik Utara, dan perairan di sekitar Antartika mengalami pemanasan yang hampir sama. Kelebihan panas yang tersimpan di laut sekarang ini kemungkinan besar akan kembali ke atmosfer.

Para Oceanographer pun meramalkan bahwa “beberapa kejadian El Nino akan berlangsung.”  Kondisi air hangat dan angin tenang secara periodik di wilayah tropis Pasifik merupakan jalan besar untuk mengembalikan panas dari bawah kembali ke permukaan.  Para ahli meteorologi mengatakan kondisi El Nino ringan sedang berlangsung tahun ini.

Grafik ini dari US National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) menunjukkan peningkatan kandungan panas laut global dari tahun 1955 hingga saat ini, yang diukur dalam joule-unit energi panas. Penelitian terbaru menemukan bahwa laut telah pemanasan lebih cepat dan lebih dalam dari para ilmuwan telah diperkirakan sebelumnya. (Sumber : NOAA)

Grafik ini dari US National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) menunjukkan peningkatan kandungan panas laut global dari tahun 1955 hingga saat ini, yang diukur dalam joule-unit energi panas. Penelitian terbaru menemukan bahwa laut telah pemanasan lebih cepat dan lebih dalam dari para ilmuwan telah diperkirakan sebelumnya. (Sumber : NOAA) 

Para ilmuwan menekankan bahwa gas rumah kaca di atmosfer berada pada konsentrasi yang tinggi dibanding 100 tahun yang lalu. “Kita tidak perlu membawa panas kembali dari dalam laut ke permukaan untuk mendapatkan pemanasan di masa depan. Yang diperlukan hanyalah memperlambat penyerapan panas oleh laut. Gas rumah kaca akan melakukan sisanya,” kata para ilmuwan itu.

Tren cuaca terbaru menunjukkan bahwa mekanisme serapan seperti penimbunan panas di bawah permukaan di wilayah tropis Pasifik dan perpindahan panas ke laut dalam, sudah menurun. Tapi mengapa 2014 tetap menjadi tahun terpanas? Karena panas tidak lagi masuk ke laut dalam.

Pola angin telah berubah. Permukaan laut Pasifik telah menghangat dan ini membawa sejumlah konsekuensi. Salah satu konsekuensi utama adalah meningkatnya permukaan air laut. Air pasti akan mengembang karena panas. Fenomena ini menjadi sumbangan besar kenaikan air laut. Menghangatnya laut pun menjadi berita buruk bagi pulau-pulau dan pantai yang memang sudah terancam.

Dampak menghangatnya laut terhadap pola sirkulasi dan cuaca menjadi kompleks. Memang butuh pengamatan jangka panjang untuk melihat bahwa fenomena ini memang telah mengganggu variasi alami, namun banyak bukti menunjukkan berbagai dampak yang mungkin terjadi.

Cepatnya pemanasan perairan Arktik dapat memperburuk gelombang panas saat datangnya musim panas di Eropa dan Amerika Utara. Turunnya perbedaan suhu mendorong sirkulasi lintang pertengahan. Banyaknya siklon yang kuat baru-baru ini sangat mungkin berhubungan dengan perubahan di wilayah tropis Pasifik. Selain itu, pemanasan laut sudah menjadi ancaman serius bagi kehidupan di laut. Air hangat kurang mengikat oksigen dan gas-gas lainnya.

Pemanasan pun meningkatkan stratifikasi laut yang menghambat pergerakan air permukaan yang kaya oksigen masuk ke kedalaman yang lebih rendah oksigennya. Akibatnya, zona rendah oksigen makin menyebar. Model iklim memprediksi bahwa zona yang tidak ramah bagi sebagian besar makhluk laut ini dapat meningkat 50 persen pada akhir abad ini.

Dalam jangka panjang, dunia akan kehilangan habitat yang dibutuhkan organisme yang bernapas dengan oksigen. Untuk saat ini saja, para Oceanographer melihat tanda hilangannya oksigen di setiap cekungan laut di lautan global.

Sebuah studi terbaru terkait sedimen dasar laut pada zaman es terakhir (sekitar 10.000 hingga 17.000 tahun lalu) juga mengungkap bahwa ekosistem Lautan Pasifik dari Kutub Utara sampai Chili telah kehilangan oksigen secara luas dan tiba-tiba melalui pencairan es ketika planet menghangat. Temuan ini sekilas memperlihatkan tentang apa yang mungkin terbentang di depan mata.

Kekhawatiran lain adalah bahwa peningkatan suhu dapat mengurangi peran penting laut sebagai penyerap karbon. Menyerap karbondioksida dari atmosfer adalah cara lain yang dilakukan laut untuk mengurangi dampak gas rumah kaca, meskipun dampaknya perairan laut tumbuh semakin asam.

Saat ini, hampir setengah karbondioksida yang dihasilkan manusia larut dalam laut. Sebagian besar di antaranya berada di laut belahan bumi selatan dimana pusaran angin membenamnya dalam-dalam. Tapi air hangat mengikat lebih sedikit karbondioksida. Siklus angin pun akan menurun suatu hari nanti.

Kenaikan suhu air laut dan melemahnya angin akan mempercepat jenuhnya penyerapan karbondioksida sekaligus mempercepat masuknya gas pengikat panas ke atmosfer. Skenario ini mirip dengan kisah terjadinya pelepasan karbon laut secara besar-besaran yang mengakhiri zaman es terakhir.

Masih ada waktu untuk memperbaiki keadaan planet bumi ini. Selama ini, laut memang telah bekerja keras menjadi penyangga dengan menyerap sekitar 90 persen panas. Semua demi kenyamanan makhluk bumi. Tapi perlu diingat bahwa kerja laut yang berat ada batasnya. Pada suatu titik, ia tak akan lagi mampu melakukannya!


Kerja Berat Sang Laut was first posted on April 6, 2015 at 4:12 am.

Kolaborasi KKP dan BIG Mengelola Kelautan Berkelanjutan. Seperti Apa?

$
0
0

Kesuksesan penerapan kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam mengelola sumber daya kelautan dan perikanan secara lestari dan berkelanjutan tak lepas dari peran serta kementerian/lembaga terkait. Salah satunya adalah Badan Informasi Geospasial (BIG) sebagai salah satu lembaga pemerintah yang menyelenggarakan tugas informasi geospasial di Indonesia, termasuk di bidang kelautan.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti usai menandatangani kesepakatan bersama antara KKP dan BIG dalam penyelenggaraan informasi geospasial kelautan pada Jumat (27/03/2015)  mengatakan, informasi geospasial kelautan sangat diperlukan karena menjadi informasi utama dalam mengelola sumber daya kelautan dan perikanan  secara berkelanjutan.

Tak hanya itu, data teknis geospasial dibutuhkan untuk mendukung penegakan kedaulatan di laut, terutama dalam perundingan batas yurisdiksi negara Indonesia dengan negara tetangga. Masalah pencegahan dan pemberantasan Illegal Unreported and Unregulated (IUU) Fishing juga sangat bergantung pada pemanfaatan dan pengembangan basis data informasi geospasial yang baik dan lengkap.

“Dengan begitu penanganan illegal fishing juga akan menjadi lebih mudah dilakukan, itu sebagai bentuk upaya kita untuk menegakkan kedaulatan di laut”, kata Susi dalam siaran persnya.

Contoh peta kelautan Indonesia. Sumber : BIG

Contoh peta kelautan Indonesia. Sumber : BIG

Susi menjelaskan dengan adanya informasi geospasial kelautan yang lengkap dengan resolusi berdasarkan tingkat keperluannya, maka aktivitas pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan Indonesia bukan lagi sebuah keniscayaan. Namun disadari bahwa keberadaan data informasi geospasial kelautan yang mencakup wilayah Indonesia masih belum terintegrasi dengan baik. Data spasial yang berkualitas dan terkelola dengan baik akan sangat berpengaruh bagi pengembangan ekonomi kelautan  Indonesia di masa yang akan datang.

“Keberhasilan pengelolaan kelautan sangat berpengaruh pada tersedianya data spasial mengenai suatu tematik tertentu. Semisalnya, penentuan batas maritim di lautan dan pemetaan zona penangkapan ikan dan pengelolaan sumber daya kelautan,” kata Susi.

Selain itu, menurut Susi, pentingnya pengelolaan sumberdaya kelautan yang berkelanjutan telah menjadi isu global. Hal ini merujuk kepada fakta bahwa di beberapa belahan dunia, eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya kelautan, seperti ikan, telah masuk kepada taraf yang sangat mengkhawatirkan. Berbagai spesies ikan konsumsi semakin sulit ditemukan. Hal ini juga berdampak kepada masalah pada pemberdayaan nelayan-nelayan tradisional. Apabila eksploitasi ikan skala besar terus berjalan seperti yang ada saat ini, maka nelayan tradisional akan semakin terancam akibat sulitnya mendapatkan ikan.

“Kebijakan pengelolaan sumber daya laut berkelanjutan menjadi prioritas kami karena semata-mata adalah untuk kesejahteraan nelayan”, kata Susi.

Sementara itu Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi KKP, Lilly Aprilya Pregiwati dalam rilis menyampaikan, kesepakatan bersama antara KKP dan BIG yang ditandatangani menjadi penting dan strategis bagi kedua belah pihak. Sebagai lembaga pemerintah,  keduanya memiliki konstribusi yang sangat penting dalam mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia, sebagaimana visi Presiden Joko Widodo.

contoh peta kelautan dari BIG. Sumber : BIG

contoh peta kelautan dari BIG. Sumber : BIG

Adapun ruang lingkup kesepakatan bersama meliputi penyelenggaraan informasi geospasial untuk pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, pemanfaatan dan pengembangan basis data informasi geospasial terkait sumberdaya kelautan dan perikanan dan peningkatan infrastruktur informasi geospasial nasional di bidang kelautan dan perikanan. Selain itu, penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang informasi geospasial terkait sumberdaya kelautan dan perikanan, dan  peningkatan kapasitas sumberdaya manusia di bidang informasi geospasial untuk pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan.

Dukungan Informasi Geospasial

Kepala BIG, Priyadi Kardono dalam pemaparannya usai penandatangan kerja sama (27/03/2015) mengatakan bahwa Indonesia yang merupakan negara maritim, dengan luas wilayah perairan 6.315.222 km2 dengan panjang garis pantai 99.093 km2 serta jumlah pulau 13.466 pulau yang bernama dan berkoordinat.

“Diperlukan data dan informasi geospasial untuk membangun berbagai wilayah di seluruh Indonesia, apalagi data informasi tentang kelautan dan perikanan,” kata Priyadi.

Ia menambahkan, dalam mendukung pembangunan wilayah kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil di seluruh Indonesia, BIG menyediakan data dan informasi geospasial berupa Peta Rupabumi Indonesia (RBI) berbagai skala, Peta Lingkungan Laut Nasional (LLN), Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) dengan berbagai skala. BIG juga mendukung program nawacita di bidang kemaritiman diantaranya pembangunan tol laut, dengan menyediakan informasi geospasial untuk mendukung pengembangan 24 pelabuhan di seluruh wilayah Indonesia.

“BIG juga memetakan status batas Zone Ekonomi Ekslusif (ZEE) dan Landas Kontinen (LK), Batas Maritim NKRI serta pemetaan pulau kecil terluar,” kata Priyadi.

Kepala BIG juga menjelaskan bahwa untuk mengimplementasikan Kebijakan Satu Peta (One Map Policy), BIG menyediakan referensi tunggal IGD, mengkoordinasikan dan mengintegrasikan Informasi Geospasial Tematik (IGT) yang diselenggarakan Kementerian dan Lembaga dalam bentuk Rakornas, Rakorda dan Rakortek untuk mendukung Pokja IGT. Dalam hal dukungan untuk pembangunan kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil,  di dalam Pokja IGT dibentuk, Pokja Pemetaan Mangrove, Pokja Pemetaan Pulau-Pulau Kecil dan Pokja Pemetaan Sumberdaya Pesisir dan Laut.

Priyadi berharap ke depan dapat dilakukan peningkatan kerjasama dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kemaritiman berbasis IG melalui percepatan penyediaan data IG untuk mendukung rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Untuk itu perlu dukungan penganggaran yang memadai untuk penyediaan data IG pesisir dan laut.

“Kesemua ini dilakukan agar pengelolaan data dan informasi geospasial dapat dilaksanakan secara efektif baik di BIG maupun di K/L dan Pemerintah Daerah,” tambahnya.

BIG sendiri telah meluncurkan One Map IG Tematik untuk mendukung pembangunan pesisir, kelautan dan perikanan, diantaranya Satu Peta Mangrove, Satu Peta Padang Lamun dan Satu Peta Karakteristik Laut Nasional. Selain satu peta tersebut, BIG telah melakukan kegiatan antara lain Pemetaan Lahan Garam, Pemetaan Ekosistem Pesisir Mangrove (Kerapatan, Spesies, Karbon), Pemetaan Ekosistem Pesisir Terumbu Karang, Pemetaan Ekosistem Pesisir Habitat Lamun serta peta Pemetaan Ekoregion, Pemetaan Karakteristik Laut, Pemetaan Arah dan Kecepatan Arus.  Kesemuanya ini merupakan data dan informasi geospasial untuk mendukung Tata Ruang Laut Nasional.

Sementara itu, Abdul Halim selaku Sekjen KIARA kepada Mongabay, pada Minggu, (29/03/2015) mengatakan, terhadap kerja sama tersebut harus  bisa mengatasi ego-sektoral kelembagaan negara terkait pengelolaan kondisi geografis kelautan. Dengan satu peta dan data yang valid, kebijakan yang diambil akan lebih tepat, termasuk program pembangunannya untuk kelautan yang berkelanjutan.

“Penting juga dalam sektor penegakan hukum, kerja sama tersebut seharusnya bisa memberikan optimalisasi penegakan hukum di laut,” katanya.


Kolaborasi KKP dan BIG Mengelola Kelautan Berkelanjutan. Seperti Apa? was first posted on April 6, 2015 at 4:37 am.
Viewing all 9435 articles
Browse latest View live