Quantcast
Channel: Mongabay.co.id
Viewing all 9432 articles
Browse latest View live

KPK: Kawasan Hutan Tak Jelas Bikin Masalah

$
0
0
Pelaksana Tugas Ketua KPK, Taufiquerachman Ruki menegaskan  akan menelusuri izin tambang dikawasan hutan yang ada di empat provinsi  Sumbagut. Foto: Ayat S Karokaro

Pelaksana Tugas Ketua KPK, Taufiquerachman Ruki. Foto: Ayat S Karokaro

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan, ketidakjelasan status kawasan hutan, menimbulkan masalah seperti tumpang tindih perizinan antar perusahaan maupun lahan masyarakat. Bahkan, ada izin di hutan konservasi dan lindung. Data KPK, pada 2014 setidaknya 1,3 juta hektar izin tambang dalam kawasan hutan konservasi dan 4,9 juta hektar di hutan lindung.

Taufiquerachman Ruki, Pelaksana Tugas (Plt) Ketua KPK mengatakan, tumpang tindih pertambangan di kawasan hutan juga terjadi di Sumatera Bagian Utara, seperti Sumatera Utara, Aceh, Riau, dan Sumatera Barat. Di Aceh, 31.000 hektar hutan konservasi, dan 4,9 juta hektar hutan lindung, salah satu di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).

Di Sumut, tumpang tindih izin pertambangan 2.200 hektar di hutan konservasi, 136 ribu hektar hutan lindung. Di Sumbar, 190.000 hektar hutan konservasi, dan 97.000 hektar hutan lindung. Untuk Riau, tumpang tindih 240.000 hektar di hutan konservasi, dan 10.000 hektar hutan lindung.

“Masalah ini sangat penting dituntaskan. Sinergitas sangat diperlukan. Pengelolaan sumberdaya manusia, tanggung jawab seluruh elemen bangsa, ” katanya, dalam monitoring dan evaluasi gerakan nasional penyelamatan sumber daya alam di Medan, Selasa (24/3/15). Acara ini juga dihadiri Dian Patria, Ketua Tim Kajian Sumberdaya Alam, Direktorat Penelitian dan Pengembangan (Litbang) KPK, empat gubernur se-Sumbagut dan 18 kementerian/lembaga, serta bupati/walikota dari Aceh, Sumbar, Sumut, dan Riau.

Pengusutan dan penyelidikan soal ini, katanya, akan dilakukan. Dengan data itu, KPK akan ‘menguliti’ satu persatu, siapa yang bertanggungjawab.

Dia mengatakan, kehancuran sektor kehutanan dan pertambangan ini, terjadi karena semrautnya system yang terjadi di Indonesia. Ini sesuai fakta yang ditemukan adanya masalah tumpang tindih perizinan hingga beroperasi dikawasan hutan.

KPK, juga menemukan tumpang tindih izin antara kuasa pertambangan dengan pemilik hak guna usaha (HGU), antara PKP2P dengan kehutanan, dan industri dengan usaha pertambangan masyarakat.

Menurut dia, beberapa kepala daerah sudah sadar. Pengusaha ada yang mengembalikan izin, karena tumpang tindih.“Ada juga bupati tegas mencabut IUP.”

“Semua pelan-pelan kita tangani. Iumpang tindih izin tambang sudah lebih 15 tahun. Ini harus dibereskan. Siapa yang bertanggungjawab akan menanggung apa yang dilakukan. Satu persatu kita kuliti dan teliti.”

Ratusan izin tambang bermasalah

KPK juga sedang fokus memonitoring dan evaluasi gerakan nasional penyelamatan sumber daya alam Indonesia. Data KPK, di Sumatera Bagian Utara (Sumbagut), empat provinsi izin usaha pertambangan (IUP) bermasalah alias non clean and clear (CNC), yaitu Sumatera Barat, Aceh, Riau, dan Sumut. Di empat provinsi itu, ada 706 IUP status CNC, dan 695 IUP non CNC.

Dari 113 IUP di Aceh, ada 94 IUP kurang bayar, senilai Rp22,6 miliar untuk iuran tetap, dan Rp59,2 juta royalti. Di Riau, ada 71 dari 90 IUP kurang bayar, iuran tetap senilai Rp17,1 miliar, dan royalti Rp3,6 miliar.

Sedangkan di Sumbar, dari 212 IUP, 159 kurang bayar, iuran tetap Rp12,9 miliar, dan royalti Rp2 miliar. Di Sumut, dari 32 IUP, 28 kurang bayar senilai Rp 8,1 miliar untuk iuran tetap.

Ruki, menyatakan,  dari tata kelola, ada persoalan piutang negara dari pemegang IUP mineral dan batubara. Terdapat 352 IUP kurang bayar di empat provinsi itu, katanya, lebih Rp66,5 miliar. Iuran tetap Rp60,7 miliar, dan royalti Rp5,7 miliar.

“Ini terjadi dalam 2011-2013. Hasil kajian KPK sektor mineral dan batubara, juga menemukan 2014 tidak semua eksportir batubara, melaporkan hasil pada pemerintah. Ini berpotensi kerugian negara.”

Gatot Pujo Nugroho, Gubernur Sumut dan tiga perwakilan gubernur yang hadir mengatakan dengan UU Nomor 23 tahun 2014, perizinan ditangani provinsi. Jadi, jika izin keluar oleh kabupaten/kota menjadi tanggung jawab provinsi mengevaluasi.

Dia menyatakan, akan ada pembahasan serius dan evaluasi detail. Jika ada potensi perusakan alam, bahkan tumpang tindih, maka provinsi akan mencabut izin.

 

 


KPK: Kawasan Hutan Tak Jelas Bikin Masalah was first posted on March 28, 2015 at 7:27 am.

Warga Buyat Protes Tambang, Pemilik Perusahaan Mau Lapor Pemerasan. Ada Apa?

$
0
0
Eskavator perusahaan tambang emas tengah beraksi di hutan Garini. Foto: Solidaritas Masyarakat Buyat Bersatu

Eskavator perusahaan tambang emas tengah beraksi di hutan Garini. Foto: Solidaritas Masyarakat Buyat Bersatu

Warga Kecamatan Buyat, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sulawesi Utara, kembali redah oleh pertambangan. Beberapa tahun silam, lokasi ini heboh dengan pro-kontra operasi Newmont Minahasa Raya. Kini, warga berancang-ancang melaporkan PT Boltim Primanusa Resources (BPR) karena beroperasi tanpa sosialisasi kepada warga. Sedang Jackson Kumaat, pemilik BPR, malah akan balik melaporkan beberapa warga dengan tuduhan pemerasan.

Sekitar 14 warga Desa Buyat menggelar temu media di LBH Manado, Selasa (17/3/15). Mereka mewakili 800 warga tergabung dalam Solidaritas Masyarakat Buyat Bersatu. Mereka menyatakan, BPR tidak layak hadir di Buyat karena tidak pernah berkomunikasi dengan warga kala beroperasi di hutan Garini. Bahkan, izin eksplorasi perusahaan baru diketahui warga setelah LBH Manado berkomunikasi dengan pemerintah kabupaten.

Meskipun IUP eksplorasi dimiliki, namun perwakilan warga Buyat kecewa karena penebangan sudah mulai. “Perusahaan tidak pernah sosialisasi kepada warga. Kami mencari tahu izin mereka. Kalau IUP eksplorasi kenapa perusakan hutan? tanya Edi Sengkey, perwakilan warga Buyat.

“Warga menolak perusahaan tambang sejak Agustus 2014. Awalnya peninjauan. Tiba di lokasi, warga menemukan eskavator dan menyaksikan ada pohon ditebang.”

Hutan Garani, di Buyat, yang terbbat tambang emas. Foto: Solidaritas Masyarakat Buyat Bersatu

Hutan Garini, di Buyat, yang terbbat tambang emas. Foto: Solidaritas Masyarakat Buyat Bersatu

Berdasarkan penuturan Edi, Garini berstatus hutan lindung dikelilingi sungai. Dia khawatir, penebangan pohon menimbulkan bencana di Buyat, karena 1991 pernah banjir berdampak 12 rumah tergusur.

Menurut Alfian Lasabuda, perwakilan warga, BPR mulai membuka lahan sekitar April-Mei 2014. Kabarnya, pemerintah kabupaten mengeluarkan IUP eksplorasi 2010. “Perusahaan akan produksi emas. Mereka sembunyi-sembunyi. Lokasi pertambangan ditempuh hingga tiga jam. Warga tidak mengetahui pasti awal masuk dan kapan penebangan pohon dimulai.”

Alfian meyakini, kehadiran perusahaan menimbulkan gesekan antarwarga pendukung dan penolak. Akibatnya, hubungan kekerabatan makin renggang. Mereka cemas kalau-kalau cara kekerasan digunakan untuk memecah-belah persatuan warga Buyat.

Menurut dia, kehadiran tambang tidak memiliki dampak positif menopang ekonomi warga. Berdasarkan pengalaman, banyak warga Buyat memilih jadi petani meski daerah itu menjadi lokasi tambang berskala besar. “Zaman Newmont banyak pekerja datang dari luar. Satu atau dua orang warga Buyat kerja di sana. Ada atau tidak tambang, warga tetap bertani.”

Hendra Baramuli, Direktur LBH Manado, mengatakan, berdasarkan investigasi di lapangan, melihat pertambangan menyebabkan perusakan lingkungan, seperti pohon-pohon ditebang dan aliran sungai tertimbun.

“LBH Manado sementara mengumpulkan bukti-bukti untuk upaya hukum. Sebab sudah 23 Januari 2015 mendatangi bupati dan dinas-dinas terkait, seperti BLH, ESDM dan Kehutanan, tapi masih mengumpulkan bukti-bukti yang kami minta. Ini sudah satu bulan belum direspon. Jika mereka lalai, kami akan menempuh jalur hukum.”

Sejak 28 November 2014,  warga Buyat mengadu ke LBH Manado. LBH Manado turun lapangan. Mereka konfirmasi kepada bupati dan dinas terkait. Sehan Landjar, Bupati Boltim, dalam rilis LBH, membenarkan ada izin eksplorasi.

“Adapun izin-izin yang kami minta,  izin prinsip, lokasi, usaha pertambangan, pinjam pakai kawasan hutan, pelepasan kawasan hutan dan surat peringatan penghentian aktivitas tambang (pertama dan kedua).”

LBH Manado menarik beberapa catatan penting. Pertama, sosial kegiatan BPR memecah warga masyarakat, antara menerima dan menolak. Situasi ini, khawatir memunculkan konflik horizontal baik mental maupun fisik.

Kedua, pemerintah Boltim harus segera merespon dengan transparan dan akuntabel kepada masyarakat, terkait kegiatan pertambangan BPR.

Ketiga, pantauan di lapangan, BPR telah merusak lingkungan. Ini mengancam lingkungan hidup di mana lokasi perusakan posisi strategis penunjang sumber kehidupan masyarakat.

Tenda para pekerja tambang. Foto: Solidaritas Masyarakat Buyat Bersatu

Tenda para pekerja tambang. Foto: Solidaritas Masyarakat Buyat Bersatu

Laporkan warga ke polisi

Sedang Jackson Kumaat, pemilik BPR, kala dikonfirmasi Mongabay, membantah tuduhan itu. Sejak 2010, BPR mendapatkan IUP dari pemerintah kabupaten. Lokasi pertambangan seluas 2.200 hektar di hutan produksi, bukan lindung.

“Kami masuk tahap produksi, sudah ada IUP, kok,” katanya ketika berkomunikasi via telepon dengan Mongabay, Kamis (26/3/15).

Tuduhan pencemaran lingkungan juga dibantah. Sebab, tim Amdal dari Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado pernah mengambil sample udara dan air. “Nggak ada pencemaran. Memang ada penebangan pohon, tapi kami akan reboisiasi. Kami akan tanam pohon lagi.”

Dia menambahkan, sosialisasi sejak lama kepada warga, 800 tandatangan dukungan warga Buyat didapat, ditambah lagi dukungan enam sangadi (kepala Desa) Kecamatan Buyat bersatu.

Pria yang akrab disebut Jacko ini, meragukan kemurnian protes 14 perwakilan warga itu. Dia menilai, ada unsur iri hati. Mereka kecewa karena tidak bisa bekerja di perusahaan.

Nggak mungkin semua kerja. Kan, berdasarkan kualifikasi orang-orang Buyat. Yang kerja sama saya banyak.”

Sebelumnya, kata Jacko yang juga Ketua KNPI Sulut ini, pada Desember 2014, 14 perwakilan warga Buyat menemui dia ke Jakarta. Mereka meminta ganti-rugi Rp200 juta, Rp80 juta biaya tiket pesawat. Bahkan, dia menyebut telah transfer sampai tiga tahap.

Perwakilan warga dinilai melakukan pemerasan. Sebab, pada Januari-Februari ada warga Buyat meminta uang, namun Jacko tidak mengabulkan permintaan itu. Dia mengaku memiliki bukti transfer ke salah satu perwakilan warga yang pergi ke Jakarta. Dia juga menyimpan SMS warga yang minta kirim uang. Jackson sedang mengumpulkan bukti-bukti untuk melaporkan kasus ke kepolisian.

“Saya membuat laporan tindak pidana pemerasan ke Polda Sulut. Bukti-bukti sangat jelas. Mereka harus pertanggungjawabkan, mereka peras saya apa enggak. Sekarang, mereka bilang minta ganti uang transpor, kenapa minta ganti sama saya, sedangkan saya sedang dihantam?” “Intinya, sih, kalau gerakan mereka murni banyak yang kasihan sama mereka. Banyak yang iba, kalau mereka murni.”

Foto: Solidaritas Masyarakat Buyat Bersatu

Foto: Solidaritas Masyarakat Buyat Bersatu


Warga Buyat Protes Tambang, Pemilik Perusahaan Mau Lapor Pemerasan. Ada Apa? was first posted on March 28, 2015 at 9:15 am.

Banjir Lima Tahunan Adalah Berkah bagi Warga Pulokerto Palembang. Benarkah?

$
0
0
Warga Desa Sungai Air Hitam, Pulokerto, Palembang, yang hidupnya sangat dekat dengan air. Foto: Herwin Meidison

Warga Desa Sungai Air Hitam, Pulokerto, Palembang, yang hidupnya sangat dekat dengan air. Foto: Herwin Meidison

Setiap lima tahun, sebagian besar kawasan Pulokerto, Kecamatan Gandus, Palembang dan Sungai Buluh, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan dipastikan tergenang air. Tingginya dapat mencapai 1-2 meter. Bagi masyarakat di luar daerah tersebut, banjir adalah bencana. Tapi, tidak bagi masyarakat setempat yang menganggapnya sebagai berkah. Kenapa?

“Selama puluhan tahun, sejak leluhur kami di sini, saat musim air pasang yang waktunya dapat mencapai dua bulan, adalah masa bagi kami mengumpulkan ikan yang dibawa air luapan Sungai Musi,” kata Mang Amir (50), warga Desa Sungai Buluh, Kecamatan Sukarela, Kabupaten Banyuasin, Rabu (25/03/2015).

Desa Sungai Buluh letaknya berbatasan dengan Desa Sungai Air Hitam, Kelurahan Pulokerto, Kecamatan Gandus, Palembang. Pembatas dua wilayah ini adalah Sungai Semai, anak Sungai Musi. Meskipun berbeda pemerintahan, tapi kondisi alamnya sama, masih satu hamparan. “Bahkan sebagian besar warga di desa kami dengan Desa Sungai Air Hitam masih satu keluarga,” katanya.

Wilayah ini berada di tepi Sungai Musi. Sekitar 500 meter dari Sungai Musi, wilayahnya berupa rawa, yang saat ini dijadikan persawahan dan perkebunan. Sekitar 1-3 kilometer dari Sungai Musi, berupa perbukitan. Saat ini sebagian besar perbukitan ini sudah dijadikan perkebunan karet dan sawit, sejak tahun 1980-an. Hanya sebagian yang masih berupa hutan.

Setelah banjir menyusut, kolam jebakan ikan yang  dibuat warga di area perkebunan dan sawah, akan dipenuhi ikan air tawar. Seperti ikan gabus, sepat, baung, betok, lais, patin, dan lainnya.

“Masa menangkap ikan ini disebut masa berkarang. Ikan-ikan yang didapatkan selain dijual ke pasar, juga dikonsumsi dan dibuat ikan asin,” kata Mang Amir.

Berkarang ini dilakukan warga secara berkelompok. Biasanya, setiap kolam jebakan dimiliki oleh tiga hingga lima keluarga. Dari anak-anak hingga nenek turut berkarang.

Masa banjir atau tergenang ini mulai Desember hingga Januari. Berkarang dilakukan pada bulan Maret dan April. “Tahun ini masa banjir besar itu akan terjadi. Terakhir pada 2010 lalu, berton ikan dihasilkan dari sini,” ujarnya.

Sebulan lalu, warga berkarang ikan di rawa ini. Bulan depan, di lokasi ini pula akan ditanami padi. Foto: Herwin Meidison

Sebulan lalu, warga berkarang ikan di rawa ini. Bulan depan, di lokasi ini pula akan ditanami padi. Foto: Herwin Meidison

Aroma bau karet

Sebenarnya wilayah Pulokerto maupun Sungai Buluh, sangat berpotensi menjadi objek wisata agro. Di wilayah ini kita akan menemukan masyarakat khas tepian Sungai Musi. Mereka menetap di rumah panggung. Aktivitas mereka, selain dari bersawah dan berkebun, juga mencari ikan. Tidak heran, saat menyusuri Sungai Musi didapatkan pemandangan berupa sawah yang hijau atau menguning, lalu beberapa warga sibuk mencari ikan atau udang.

Karena kondisi alam, hampir setiap rumah memiliki perahu. “Sepeda motor maupun mobil tidak menggusur perahu. Sebab jika musim banjir, hanya perahu yang dapat digunakan di sini,” kata Ferdi Semai, seorang warga Palembang, yang menjadi petani di Desa Sungai Air Hitam, selama dua tahun ini.

Tetapi potensi wisata alam khas masyarakat tepian Sungai Musi itu, sedikit terganggu oleh keberadaan pabrik pengolalan karet yang berada di sepanjang tepian Sungai Musi di Kecamatan Gandus.

Bukan karena aktivitas pengangkutan karetnya, tapi aroma pesing yang dikeluarkan dari pengolahan karet tersebut. Aroma ini setiap saat tercium saat kita melintasi kawasan Gandus. Akibatnya warga sangat malas untuk berwisata ke daerah tersebut.

“Menurut saya, pemerintah harus meminta para pemilik pabrik karet untuk menggunakan teknologi yang mampu menyerap polusi aroma tersebut. Sehingga siapa pun yang ke sini, termasuk warga di sini, tidak lagi diserang aroma yang dapat membuat kepala pusing,” kata Ferdi.

Hulu Sungai Semai ini akan menuju ke Sungai Musi. Masyarakat sekitar memberikan nama Semai sebagai penghargaan kepada Ferdi Semai atas kepeduliannya terhadap pengelolaan lingkungan. Foto: Herwin Meidison

 

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

 


Banjir Lima Tahunan Adalah Berkah bagi Warga Pulokerto Palembang. Benarkah? was first posted on March 29, 2015 at 12:10 am.

Mereka Gunakan Bahan Lebih Ramah Lingkungan untuk Ogoh-ogoh

$
0
0
Ogoh-ogoh ini tak lagi menggunakan gabus tetapi sudah memakai bambu. Foto: Luh De Suryani

Ogoh-ogoh ini tak lagi menggunakan gabus tetapi sudah memakai bambu sampai kertas bekas. Foto: Luh De Suryani

Ribuan ogoh-ogoh, berwujud raksasa diarak sehari sebelum Nyepi, pekan lalu. Ini tradisi sama setiap tahun. Namun, ada yang beda dari ogoh-ogoh ini.  Apa itu? Penggunaan material bahan-bahan lebih ramah lingkungan. Mereka tak memakai gabus atau styrofoam.

Niko, anggota Sekaa Teruna (kelompok muda) Dai Banjar Gerenceng, Denpasar. Mereka membuat ogoh-ogoh dari batang bambu dan kertas semen bekas.

“Dulu banyak pakai gabus. Hanya bisa dikerjakan satu dua orang karena cara membentuk lebih sulit. Kalau pakai bambu, bisa dirakit ramai-ramai,” katanya. Dia lebih memberi apresiasi pada kolektivitas pembuatan ogoh-ogoh yang menjadi pertaruhan kreativitas anak muda tiap tahun ini.

Niko mengatakan, bambu dan semen bekas jauh lebih ramah lingkungan dibanding gabus. Dari segi biaya, lebih murah. Tahun lalu, banjar mengeluarkan biaya lebih Rp10 juta sementara tanpa gabus jadi Rp7 juta. Bahkan, dari ukuran dengan bambu bisa lebih besar.

Dua anggota banjar lain, I Nyoman Sanjaya dan Alit berharap penggunaan bahan lebih ramah lingkungan ini menjadi anjuran tahun-tahun mendatang.

Tidak ada data penggunaan gabus saat tradisi pengarakan ogoh-ogoh, simbol penetralisir kekuatan negatif ini di Bali. Namun, jika dikalkulasi biaya membeli bahan baku penyebab kanker itu sangat tinggi. Jumlah banjar di Bali lebih 5.000, nyaris semua membuat ogoh-ogoh. Bahkan kini ditambah kelompok ormas, klan, dan lain-lain.

Taruhlah, ada sekitar 5.000 banjar lalu biaya rata-rata pembuatan ogoh-ogoh Rp5 juta. Maka ada Rp25 miliar, untuk pembelian bahan baku. Bayangkan kalau semua membeli gabus kemudian dibakar, mengakibatkan residu lebih berbahaya.

Ogoh-ogoh Banjar Gerenceng berupa bayi raksasa dari perut keluar empat kepala ular, berjudul Kanda Pat. Nyaris semua dibentuk dari rangkaian irisan bambu. Lalu ditempel kertas koran dan semen agar lebih kuat. Tak mudah robek.

Lalu dicat sesuai desain. Sebagai dasar, banjar ini memanfaatkan pelepah pisang dan daun pisang kering (kraras) yang menjadi ornamen natural. Landasan ogoh-ogoh ini diikat di batang-batang bambu besar agar bisa diangkat ramai-ramai, diarak ke jalanan saat pawai.

Setelah keliling perempatan desa atau kota, ribuan wujud monster dan raksasa ini dianjurkan dibakar, sebagai wujud penyeimbangan atau pralina. Mengembalikan ke alam.

Jika gabus dibakar, asap hitam dan berbahaya. Dikutip dari website Unair.ac.id, styrofoam berbahaya karena terbuat dari butiran-butiran styrene, yang diproses menggunakan benzana (alias benzene). Padahal, benzana termasuk zat bisa menimbulkan banyak penyakit.

Tak hanya rangka dari bambu, cat yang digunakan buat ogoh-ogoh ini juga cat air, tak lagi pakai thiner seperti biasa. Foto: Luh De Suryani

Tak hanya rangka dari bambu, cat yang digunakan buat ogoh-ogoh ini juga cat air, tak lagi pakai thiner seperti biasa. Foto: Luh De Suryani

Dorongan tokoh muda

Marmar Herayukti, arsitek ogoh-ogoh dan tattoo artist di Denpasar berkisah. Tahun lalu,  ada pertemuan tahunan pemuda Denpasar tentang ekonomi kreatif bersama walikota. Dia mengambil inisiatif mencari bahan-bahan ‘aman’ dalam pembuatan ogoh-ogoh.

“Styrofoam sangat berbahaya, belum lagi tradisi gotong royong hilang karena dibuat sedikit orang,” kata pria pemilik Hellmonk Tattoo Studio ini. Sejak tahun lalu, kesadaran ini muncul di Gemeh, banjarnya. Mereka kembali menggunakan rakitan bambu, kertas bekas, dan lain-lain. Untuk cat, dia mengurangi thiner juga berbahaya diganti cat air.

Dari sisi biaya juga lebih hemat. Marmar menghitung,  biasa ogoh-ogoh gabus menghabiskan Rp6-25 juta tergantung ukuran. Dari rakitan bambu, maksimal Rp10 juta.

Gabus untuk ogoh-ogoh tinggi tiga sampai lima meter balok gabus besar, Rp800.000 per balok, biaya gabus Rp4 juta.

Dengan rakitan bambu menghabiskan 20 batang sekitar Rp15.000 per batang, anyaman bedeg 10 ikat Rp30.000 jadi sekitar Rp1 juta.

Pemerintah Denpasar pun, tahun ini melombakan ogoh-ogoh bersyarat khusus tidak menggunakan gabus. I Ketut Sudita, ketua tim seleksi dikutip dari laman Dinas Kebudayaan mengatakan, bobot penilaian seleksi ogoh-ogoh tahun ini berbeda. Peserta sama sekali tidak boleh menggunakan gabus.

Alternatif ulatan bambu, kayu, kertas, guwungan, gedeg, kerangka besi, rambut, dan bahan sejenis ramah lingkungan. Dipilih delapan dari masing-masing kecamatan masuk nominasi dan diberi dana Rp10 juta dipotong pajak.

Dengan menggunakan ulatan bambu secara langsung mengajarkan pemuda bisa mengerjakan sejumlah keperluan ritual di Bali, misal, ngulat (merangkai) klakat, dan sengkui.

Perayaan Tahun baru Saka atau Nyepi, ogoh-ogoh memiliki peranan sebagai simbol atau visualisasi prosesi penetralisiran kekuatan-kekuatan negatif atau kekuatan Bhuta atau alam. Perwujudan Bhutakala ini dalam wujud menyeramkan. Diyakini jika kekuatan alam itu berlebihan akan menjadi kekuatan merusak dan menyeramkan.

Dari sisi sejarah banyak versi. Ada menyebutkan,  ogoh-ogoh terinspirasi dari tradisi Ngusaba Ndong-Nding di Desa Selat Karangasem. Perkiraan lain muncul dan menyebutkan barong landung merupakan perwujudan dari Raden Datonta dan Sri Dewi Baduga (pasangan suami istri berwajah buruk dan menyeramkan yang pernah berkuasa di Bali).

Tak hanya jelang Nyepi, ogoh-ogoh banyak dipesan hotel sebagai penghias pintu gerbang. Kini,  ogoh-ogoh menjadi industri seni selain seni rupa dan kriya terkenal dari Bali.

Pemerintah Kota Denpasar, tahun ini membuat lomba ogoh-ogoh yang tak menggunakan gabus. Para senimanpun membuat ogoh-ogoh ini dari bambu, kertas bekas dan lain-lain. Foto: Luh De Suryani

Pemerintah Kota Denpasar, tahun ini membuat lomba ogoh-ogoh yang tak menggunakan gabus. Para senimanpun membuat ogoh-ogoh ini dari bambu, kertas bekas dan lain-lain. Foto: Luh De Suryani

 


Mereka Gunakan Bahan Lebih Ramah Lingkungan untuk Ogoh-ogoh was first posted on March 29, 2015 at 3:37 am.

Inilah Fosil Mirip Lobster Jauh Sebelum Masa Dinosaurus

$
0
0
"Lobster prasejarah" Yawunik kootenayi yang membuka kunci bagi pemahaman baru tentang arthropoda.

“Lobster prasejarah” Yawunik kootenayi yang membuka kunci bagi pemahaman baru tentang evolusi arthropoda. Sumber: University of Toronto

Para peneliti paleontologi, seperti yang dilansir oleh sci-news.com,  melaporkan penemuan terbaru mereka yaitu fosil mahluk laut yang yang diperkirakan hidup dalam masa Cambrian Tengah. Masa sekitar 508 juta tahun yang lalu, atau lebih awal 250 juta tahun saat dinosaurus pertama muncul di permukaan bumi.

Fosil ini diberi nama Yawunik kootenayi, ditemukan di Marble Canyon Kanada, atas kerjasama para peneliti dari Universitas Toronto, The Royal Ontario Museum dan Pomona College California. Marble Canyon merupakan tempat fosil lainnya banyak turut ditemukan.

Fosil berukuran lebih kurang limabelas centimeter ini bagi para peneliti dianggap temuan penting karena membuka jalan untuk semakin memahami anatomi dan predator arthropoda pertama, termasuk untuk memahami evolusi filum anthropoda sejak lima ratus juta tahun yang lalu hingga saat ini. Adapun, karakteristik dari arthropoda sendiri adalah memiliki tubuh bersegmen, anggota tubuh simetri bilateral dan kerangka luar (eksoskeleton) yang berkitin. Yawunik termasuk dalam kelompok hewan yang disebut arthropoda leanchoiliid.

Saat ini, arthropoda adalah salah satu filum paling beragam dan sukses yang mewakili sekitar 80 persen dari spesies yang ada di bumi. Keluarga besar arthropoda meliputi berbagai jenis kalajengking, laba-laba, kupu-kupu, semut, lobster, udang dan berbagai macam kepiting.

Yawunik kootenayi memperluas sudut pandang kita tentang anatomi dan kebiasaan predator arthropoda pertama, secara khusus kelompok laba-laba dan lobster,” jelas Cedric Aria, salah satu penemu dari fosil ini yang berasal dari Universitas Toronto.

“Fosil ini telah memiliki kerangka luar, tubuh yang tersegmentasi dan bersendi, namun belum memiliki sifat-sifat canggih seperti ditampilkan oleh kelompok yang bertahan hingga hari ini.”

 

Yawunik kootenayi. Image credit: Jean-Bernard Caron / Royal Ontario Museum.

Fosil Yawunik kootenayi yang ditemukan. Foto: Jean-Bernard Caron / Royal Ontario Museum.

Yawunik tidak memiliki instrumen tambahan tertentu di bagian kepala yang dimodifikasi untuk mengolah makanan seperti yang ada pada serangga dan krustasea (crustacea) saat ini. Namun, Yawunik telah memiliki instrumen frontal panjang menyerupai antena kumbang modern atau udang, meski masih berbentuk tiga cakar panjang. Dua diantaranya merentang dekat mulut untuk membantu hewan tersebut menangkap mangsanya.

Terdapat semacam cambuk flagela menjulur memanjang dari ujung cakar, yang merupakan alat untuk menyebarkan serangan dan bergerak saat tubuhnya berenang. Dipercayai bahwa Yawunik kootenayi memegang posisi penting dalam jejaring makanan dan ekosistem masa Cambrian Tengah.

“Kita tahu bahwa larva krustasea tertentu dapat menggunakan antena mereka untuk berenang dan mengumpulkan makanan. Predator aktif besar seperti udang mantis memiliki fungsi sensorik dan fungsi penggegaman. Dengan adanya temuan Yawunik dan kerabatnya ini memberitahu kami tentang kondisi yang ada jauh sebelum pembagian tugas antar bagian organisme terjadi,” jelas Aria.

Spesies ini dinamakan Yawunik untuk menghormati sosok mitologis yang digambarkan sebagai mahluk laut besar dan menjadi ancaman bagi hewan lain karena kemampuan berburunya yang mumpuni. Sedangkan kootenayi dipilih untuk menghormati suku Ktunaxa, satu kelompok masyarakat adat yang tinggal di Kanada, yang telah lama mendiami wilayah Kootenay dimana fosil ini ditemukan.


Inilah Fosil Mirip Lobster Jauh Sebelum Masa Dinosaurus was first posted on March 29, 2015 at 10:52 am.

Nasib Pilu Tembawang yang Mulai Tergerus Sawit dan Tambang

$
0
0

Aktivitas keseharian masyarakat adat di pedalaman Kalimantan Barat. Foto: Sampan Kalimantan

Pernah mendengar kata tembawang? Tembawang merupakan penyebutan umum yang biasa digunakan masyarakat Dayak di Kalimantan Barat. Istilah ini merujuk pada sebidang lahan beserta tumbuhan di atasnya yang dimiliki oleh suatu komunitas adat.

Meski ada perbedaan penyebutan di beberapa kelompok, seperti kobunt, kampunk temawank, atau kebun kelokak, namun, apapun istilahnya tembawang tetap memiliki arti sebidang lahan yang tanamannya dapat dimanfaatkan secara ekonomi, ekologi, serta adat budaya bagi sekelompok masyarakat.

Lokasi tembawang tidak serta-merta dekat permukiman masyarakat. Dalam Buku Palasar Palaya’ Pasaroh terbitan Pemberdayaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Kemasyarakat Pancur Kasih 2013, tembawang didefinisikan sebagai lokasi bekas permukiman warga baik perorangan maupun kelompok. Meski begitu, menurut Stephanus Banjing dalam Buku Temawakng Kaloka Suku Dayak Koman, lokasi bekas permukiman yang dapat dikategorikan tembawang adalah jika di areal tersebut terdapat berbagai jenis tanaman dan buah-buahan.

Bagaimana nasib tembawang hari ini? Khairuddin Zacky, dari Perkumpulan Sahabat Masyarakat Pantai (Sampan) menyatakan, nasib tembawang saat ini menghadapi ancaman serius. “Saat ini, tidak ada optimalisasi peremajaan tanaman sebagai dampak dari keterbatasan penguasaan dan penggunaan teknologi masyarakat.”

Menurut Khairuddin, permasalahan paling mendesak yang dihadapi saat ini adalah belum adanya pengakuan dan perlindungan tembawang dalam bentuk kebijakan daerah. Faktor ini membuat tembawang tergeser dan berubah menjadi investasi berbasis hutan dan lahan,” ujarnya saat rapat dengar pendapat denga Badan Pertanahan Nasional Provinsi Kalimantan Barat, Selasa (24/3/2015).

Liu Purnomo, Manajer Kampanye Sampan pun menuturkan, berdasarkan identifikasi wilayah dan tutupan hutan tahun 2013 yang dilakukan Sampan di Kabupaten Melawi, dari total wilayah Melawi 10.640,80 km persegi hanya 411,673.40 hektar saja yang memiliki tutupan hutan. “Bahkan, wilayah hutan tersebut sudah dikapling untuk kegiatan pertambangan, perkebunan sawit, dan perkebunan kayu. Dengan kata lain, perlahan dan pasti, Melawi akan kehilangan tembawang,” ujarnya.

Inilah biji tengkawang. Foto: Sampan Kalimantan

Upaya meningkatkan hasil tembawang agar bernilai ekonomi telah dilakukan.   “Tengkawang, tanaman khas tembawang, yang merupakan bahan baku untuk pembuatan minyak nabati terbaik dibandingkan kelapa sawit, tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah setempat,” ujar Hardian Susanto, Pendamping Sampan untuk masyarakat Tembawang Melawi.

Terkait tengkawang, Agustine Lumangkun, peneliti dari Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura, menjelaskan bahwa vegetasi tengkawang saat ini  telah berkurang 50-70 persen. Padahal, tengkawang memiliki filosofi mendalam bagi masyakat Dayak. “Semua terjadi akibat deforestasi, termasuk tergusurnya tembawang yang di dalamnya terdapat tanaman bernilai tinggi sebagaimana tengkawang,” ujarnya.

Menurut Liu, agar tembawang tetap terjaga haruslah ada kepastian hukum dalam bentuk kebijakan daerah. ”Menyelamatkan tembawang sama dengan mempertahankan identitas dan kearifan masyarakat.”

Pernyataan Liu senada dengan harapan Nian, masyarakat dari Melawi. Menurutnya, pemerintah Kalimantan Barat harus mendengarkan tuntutan masyarakat mengenai hak kelola adat. “Kami ingin adanya pengakuan yang menjamin bahwa kami sebagai masyarakat dapat memanfaatkan sumber daya alam yang ada di wilayah kami, termasuk tembawang di dalamnya.”

Menanggapi permasalahan tersebut, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, Gusmin Taurita, mengatakan bahwa program inventarisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah (IP4T) diharapkan memberikan solusi terhadap konflik lahan di Kalimantan Barat. “Program ini juga memberikan ruang terhadap masyarakat untuk dapat mengelola lahan komunal yang memiliki fungsi ekologi dan ekonomi,” ujarnya.

Mentega hasil olahan minyak tengkawang ini belum dioptimalkan potensinya. Foto: Sampan Kalimantan

 

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio


Nasib Pilu Tembawang yang Mulai Tergerus Sawit dan Tambang was first posted on March 30, 2015 at 12:57 am.

Kampanye Earth Hour 2015 Makin Meluas, Tapi Makin Kehilangan Substansinya. Kenapa?

$
0
0

Kampanye penghematan energi Earth Hour yang digagas oleh WWF, kembali digelar serentak pada Sabtu (28/03/2015) di seluruh dunia. Di Indonesia, tercatat ada 30 kota dan puluhan komunitas yang ikut berpartisipasi memadamkan lampur selama sejam pada pukul 20.30 – 21.30.

Akan tetapi, beban pemakaian listrik selama sejam pelaksanaan Earth Hour justru sedikit naik. Hanya beberapa daerah seperti Jakarta, Jawa Barat dan beberapa kota lain yang bebannya turun kecil.

Pelaksanaan Earth Hour tahun 2014 di Bundaran HI Jakarta. Foto : WWF-Indonesia

Pelaksanaan Earth Hour tahun 2014 di Bundaran HI Jakarta. Foto : WWF-Indonesia

Manajer Senior Komunikasi Korporat PLN, Bambang Dwiyanto menduga hal tersebut dipengaruhi faktor cuaca, dimana pada saat perayaan Earth Hour di beberapa daerah cuaca cukup panas sehingga mendorong orang untuk menyalakan pendingin udara (AC).  Hal ini juga mengindikasikan bahwa partisipasi masyarakat untuk mengikuti program ini masih relatif rendah.

PLN mencatat, beban listrik Jakarta pada Sabtu 28 Maret 2015 jam 21.00 WIB sebesar 3.322 Mega Watt (MW) atau turun 165 MW (4.73 %) dibanding beban pada hari Sabtu 14 Maret 2015 pada jam yang sama yang sebesar 3.487 MW. Sementara beban listrik di Jawa Barat tadi malam jam 21.00 WIB sebesar 4.072 MW atau turun 19 MW (0.22 %) dibanding beban pada 14/3 jam yang sama yang sebesar 4.091 MW.

“Di sistem kelistrikan Jawa Madura Bali (Jamali) tadi malam beban justru cenderung naik,” kata Bambang seperti dikutip dari laman PLN. Beban Jamali 28 Maret 2015 jam 21.00 WIB sebesar 19.680 Mega Watt (MW) atau naik 385 MW (1.99 %) dibanding beban pada jam yang sama Sabtu 14/3 yang sebesar 19.295 MW.

Pada perayaan earth hour 2014, beban listrik di Jamali turun sebesar 509 MW. Sementara beban listrik di Sumatera pada 28 Maret 2015 jam 21.00 WIB sebesar 4.218 MW atau naik 34 MW (1.52 %) dibanding beban pada jam yang sama 14/3 yang sebesar 4.184 MW. Perbandingan sengaja dengan beban pada hari yang sama dua minggu lalu karena pada Sabtu 21 Maret 2015 ada perayaan Nyepi yang juga mempengaruhi beban listrik.

Gerakan Berkembang

Direktur Program Komunikasi dan Advokasi WWF Indonesia, Nyoman Iswarayoga mengatakan pelaksanaan kampanye Earth Hour berkembang dari tahun ke tahun dengan makin banyak pemerintah daerah dan terutama komunitas yang terlibat. “Earth Hour di Indonesia berkembang pesat. Ada 30 kota yang melakukan secara mandiri. WWF hanya membantu dan mengarahkan saja,” katanya.

30 kota yang terlibat antara lain mulai dari Aceh, Padang, Lampung, Jakarta, Bekasi, Tangeran, Bandung, Jogja, Solo, Gresik, Surabaya, Sidoarjo, Denpasar, Pontianak, Makassar sampai ke Jayapura.

Pelaksanaan Earth Hour tahun 2014 di Jakarta. Foto : WWF-Indonesia/Nefa D Firman

Pelaksanaan Earth Hour tahun 2014 di Jakarta. Foto : WWF-Indonesia/Nefa D Firman

Nyoman mengatakan kegiatan Earth Hour memang berbasis di perkotaan, dengan kampanye utama berupa gaya hidup hemat energi setiap waktu. Kampanye Earth Hour difokuskan di Jawa Bali dan terutama di Jakarta, karena 78 persen konsumsi listrik Indonesia terfokus di Jawa – Bali karena 68 persen konsumennya berada di pulau tersebut. Sedangkan Jakarta dan Tangerang menyerap 23 persen dari konsumsi listrik Indonesia.

Diilustrasikan bahwa pelaksanaan satu jam Earth Hour oleh 10 persen penduduk Jakarta atau 700 ribu rumah mematikan 2 lampu selama 1 jam, akan menghemat 300 MW atau cukup untuk mengistirahatkan 1 pembangkit listrik, setara dengan listrik untuk menyalakan 900 desa, mengurangi beban biaya listrik Jakarta ± Rp 200 juta, mengurangi emisi ± 267 ton CO2, setara dengan daya serap emisi dari 267 pohon berusia 20 tahun dan setara dengan ketersediaan oksigen untuk ± 534 orang.

Selain kampanye penghematan energi, WWF Indonesia membebaskan komunitas pelaksana Earth Hour menambahkan materi kampanye sesuai kondisi daerah masing-masing. “Komunitas-komunitas itu juga menginisiasi kampanye konservasi. Kita juga dorong agar berkontribusi dalam program konservasi WWF,” ujarnya.

Untuk Earth Hour 2015 yang bertema “Hijaukan Hutan, Birukan Laut”, WWF Indonesia mengusung 7 isu kampanye konservasi yaitu laut dan pesisir, deforestasi, biodiversity, sampah, sungai & air, transportasi, dan energi. Ada tiga fokus proyek adopsi yaitu mangrove, koral, dan penyu.

Kehilangan Substansi

Mantan Direktur Energi dan Iklim WWF-Indonesia, Fitrian Ardiansyah mengatakan apapun kegiatan yang meminta masyarakat, pemimpin dunia dan negara untuk mengingatkan perlunya pengelolaan lingkungan dan bumi lebih baik, mitigasi dan reduksi perubahan iklim tetap diperlukan dan harus didukung.

“Earth Hour merupakan salah satu bentuk kegiatan itu. Ini seperti peringatan Hari Bumi, yang  menjadi simbol untuk mengingatkan kita semua. Sama seperti perayaan hari-hari besar keagamaan,” katanya.

Tetapi apakah kegiatan Earth Hour sudah benar-benar mengingatkan semua pihak untuk bergaya hidup hemat energi? Fitrian mengatakan ada tantangan besar dalam pelaksanaan kegiatan menyangkut kapasitas organisasi sebesar WWF, bahkan yang dilakukan oleh PBB sekalipun.

“Apa yang ingin dicapai dari Earth Hour? Bila target kepada masyarakat luas dan komunitas, maka pemimpin daerah, tokoh keagamaan, tokoh masyarakat dan pemimpin komunitas harus dilibatkan, seperti melibatkan komunitas pejalan kaki, komunitas bike to work, komunitas pelari, dan sebagainya,” kata salah satu penggagas Earth Hour di Indonesia itu.

Dia melihat karakter masyarakat Indonesia yang tidak lepas dari patron pemimpinnya, artinya masyarakat akan lebih melihat dan mengerjakan apa yang diharapkan bila pemimpinnya pun ikut andil dalam kegiatan tersebut.

“Ada kesenjangan pada jargon dan kebijakan pengelolaan lingkungan dan ekonomi di pemerintahan dan perkotaan. Jargon ini harus seiring dengan platform pembangunan dan politik di nasional, provinsi, dan kota,” katanya.

Dia melihat Earth Hour 2015 juga terlalu banyak dibebani oleh isu yang ingin diangkat. Ada 6 isu konservasi selain isu utama tentang energi pada program kampanye tahunan WWF itu.

“Kalau kegiatan banyak terbebani banyak misi, masyarakat akan sulit menangkap dan mencerna. Kalau kampanye itu ingin meminta perubahan kebijakan ke pemerintah, pemerintah juga akan bingung karena terlalu banyak permintaan,” katanya.

Lebih baik Earth Hour dikembalikan pada misi awal yaitu tentang penghematan energi dengan kemasan kegiatan yang tuntas, tegas tapi ringkas.

Fitrian juga melihat ada kecenderungan kegiatan Earth Hour dari tahun ke tahun semakin terasa menjadi hanya sekedar seremoni. “Seperti layaknya suatu event, ada kecenderungan bisa terjebak dalam seremoni, kalau kegiatan tidak digawangi oleh tim yang kuat dengan substansi kegiatan,” katanya.

Meskipun begitu, kegiatan kampanye semacam Earth Hour ini masih kurang dan perlu diperbanyak lagi.  “Event untuk mengingatkan pengelolaan bumi dan linkgungan masih kurang, tapi jangan sampai terjebak dalam rangkaian seremonal yang kehilangan subastansi, acara seharusnya mudah dicerna dan tataran audien,” jelasnya.

Dia melihat enam tahun pelaksanaan Earth Houar di Indonesia, semestinya substansi kampanye sudah semakin jelas. “Harusnya sudah jelas (substansi kampanye), mau minta apa ke Presiden, ke menteri minta apa dan ke pemda minta apa. Perubahan apa yang kita ingin lihat. Harusnya tidak dipisah antara komunitas dan pemimpin komunitas dan pemerintah,” katanya.

Masyarakat atau komunitas bakal berubah karena sebagai makhluk sosial tentu juga ingin berbuat baik. Apalagi kalau ada keuntungan atau insentif dari pemerintah untuk mendorong perubahan itu.

Konfigurasi Earth Hour saat melintas di Jl. Jenderal Sudirman Jakarta, 17 Maret 2013 silam. Foto: Irwan Citrajaya/Earth Hour Indonesia

Konfigurasi Earth Hour saat melintas di Jl. Jenderal Sudirman Jakarta, 17 Maret 2013 silam. Foto: Irwan Citrajaya/Earth Hour Indonesia

“Ada hubungan dengan perubahan perilaku masyarakat dengan perubahan perilaku di pemerintahan. Misalnya program pengurangan sampah, mendaur ulang sampah akan berhasil bila masyarakat juga mendapatkan keuntungan dari program itu, misalnya ada keuntungan ekonomi atau ada pengurangan pembayaran,” jelasnya.

Oleh karena itu, Fitrian mengharapkan adanya substansi kampanye yang jelas, terukur dan sederhana dalam pelaksanan Earth Hour di masa mendatang, agar perubahan yang diinginkanpun seperti gaya hidup hemat energi bisa tercapai.

Fokus Kampanye Energi 

Sedangkan pengamat energi dari Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa, mengatakan Earth Hourmerupakan inisiatif kampanye yang baik untuk mengajak orang memahami konsekuensi penggunaan energi terhadap lingkungan, yaitu dalam bentuk perubahan iklim.

“Dengan demikian mengurangi penggunaan listrik untuk waktu tertentu bisa membantu mengurangi kebutuhan listrik. Sejam hanya sebagai contoh, tetapi tujuannya diharapkan bisa menjadi kebiasaan menggunakan energi yang efektif dan efisien,” katanya.

Fabby melihat pelaksanaan Earth Hour di masa mendatang agar fokus pada kampanye efisiensi energi, tanpa ditambahi isu kampanye lainnya, sehingga pesan yang ingin disampaikan tersampaikan secara jelas kepada masyarakat luas.

“Pesan dari kampanye kepada pengguna listrik tidak sampai. Kita lihat, acara lebih cenderung seremonial, dengan melibatkan artis dan perusahaan, kurang menyasar ke masyarakat,” tambahnya.

Senada dengan Fitrian dan Fabby, Kepala Sekolah Thamrin School Farhan Helmy mengatakan gerakan Earth Hour seharusnya bisa menjadi kampanye yang efektif dan serius dalam konservasi dan efisiensi energi.

“Diharapkan gerakan ini menjadi lebih masif dengan dipimpin oleh pemerintah. Misalnya ada kebijakan dan praktek efisiensi energi yang signifikan pada gedung-gedung pemerintahan, baik pada level nasional maupun di kota-kota,” kata penggagas Green Voice Indonesia itu.

Pemerintah bisa mendorong program efisiensi energi dengan mengeluarkan standar pemakaian perangkat elektronik yang hemat energi kepada seluruh instansi pemerintah. Apalagi sesuai dengan hasil penelitian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) bahwa biaya energi dengan tingkat emisi gas rumah kaca yang tinggi berasal dari dua hal utama yaitu dari penggunaan dan alih fungsi lahan (land use land use change forestry/LULUCF) dan di luar sektor LULUCF, termasuk energi.

“Maka pesan Earth Hour menjadi tepat untuk efisiensi energi. Bahkan sekarang ada momentum yang tepat untuk penghematan energi yaitu harga minyak global yang meningkat. Oleh karena itu, pesan kegiatan Earth Hour lebih baik fokus pada soal energi saja,”tambah mantan Koordinator Pokja Mitigasi Perubahan Iklim DNPI itu.


Kampanye Earth Hour 2015 Makin Meluas, Tapi Makin Kehilangan Substansinya. Kenapa? was first posted on March 30, 2015 at 5:58 am.

Permasalahan Perkebunan Sawit di Morowali Tak Kunjung Usai, Ini Penyebabnya

$
0
0

Perkebunan kelapa sawit di Morowali Utara, Sulawesi Tengah, hampir semuanya bermasalah. Bagaimana dengan daerah lain? Foto: Rhett Butler

Sejak diperkenalkan perkebunan kelapa sawit oleh PT. Perkebunan Nusantara XIV yang kini berganti menjadi PT. Sinergi Perkebunan Nusantara (PT. SPN) pada 1999, masyarakat di Desa Mayumba, Kecamatan Mori Atas, Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah, telah menentangnya. Mereka protes, karena lahan yang digunakan untuk perkebunan itu mencaplok tanah adat mereka.

Kini, polemik perkebunan sawit di Kabupaten Morowali Utara pun bertambah, seiring bertambahnya jumlah perusahaan. Apa latar masalahanya

Deputi Direktur Perkumpulan Evergreen Indonesia Sulteng, Agustam Nome, mengatakan masyarakat sampai saat ini terus melakukan perlawanan. Warga menuntut kembali lahan mereka yang telah diambil alih oleh perusahaan. Sebagaimana yang dilakukan terhadap PT. SPN, masyarakat juga menuntut PT. Agro Nusa Abadi (PT. ANA) yang berada dibawah payung grup PT. Astra Agro Lestari.

Perkebunan PT. ANA seluas kurang lebih 7.000 hektar saat ini seluruhnya berada di atas lahan masyarakat tanpa proses pelepasan hak atau jual beli. Padahal, sebagian besar lahan-lahan tersebut memiliki bukti surat keterangan pendaftaran tanah (SKPT), surat keterangan terdaftar (SKT), dan sertifikat hak milik (SHM).

“Sekarang, banyak SKPT yang keluar, dan terjadi tumpang tindih lahan. Karena di atas SKPT ada lagi SKPT yang keluar. Sehingga, diperlukan uji keabsahan SKPT. Rencananya, kami akan serahkan berkas kasus yang kami damping ini ke tim sengketa lahan yang dibentuk oleh pemerintah daerah,” kata Agustam kepada Mongabay Indonesia, Sabtu (28/03/2015).

Perkumpulan Evergreen bersama dengan Walhi Sulteng sejak Oktober 2014 telah melakukan pendampingan dan pengorganisasian masyarakat di Desa Bunta, Tompira, Bungin Timbe, Malino, Peboa, Toara, dan Desa Toara Pantai, yang berkonflik dengan perusahaan PT. ANA.

“Masyarakat di sana sering kali melakukan penghadangan aktivitas masyarakat ketika menuntut hak-hak mereka. Tak jarang aksi ini berujung konflik.”

Ahmad Pelor, Direktur Walhi Sulteng menjelaskan, jika dipetakan ada empat persoalan mendasar yang menyebabkan mengapa persoalan sawit di Morowali Utara tak kunjung usai. Masalah itu adalah konversi kawasan hutan, perampasan tanah, petani plasma, dan eksploitasi buruh.

Untuk konversi kawasan hutan, diperkirakan kelompok perusahaan Kencana Agri melalui anak perusahaannya PT. Kurnia Alam Makmur telah melakukan konversi ribuan hektar kawasan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit secara illegal. Beberapa hasil investigasi sementara oleh Walhi menguatkan dugaan perusahaan milik Wilmar International Ltd itu, telah melakukan konversi lebih dari 1.000 hektar kawasan hutan di Kecamatan Mamosalato, Morowali Utara.

“Untuk perampasan tanah, perusahaan mengambil alihan lahan masyarakat dan dilakukan secara paksa, diintimidasi, bahkan tidak jarang dengan menggunakan aparat negara seperti polisi, pemerintah kecamatan. Modus yang lain adalah dengan memberikan ganti rugi tanaman tumbuh (GRTT) dan janji akan disertakan sebagai petani plasma,” ungkap Pelor.

Sementara yang terkait dengan plasma atau pola kemitraan, selalu menjadi pintu masuk perusahaan saat ingin beroperasi disebuah wilayah. Namun mayoritas perusahaan tidak mengimplementasikan pola kemitraaan atau tidak membangun kebun plasma. Hasil investigasi menunjukan bahwa hingga saat ini perusahaan-perusahaan dibawah bendera Kencana Agri dan PT. Astra Agro Lestari sama sekali tidak membangun kebun plasma yang merupakan kewajiban mereka. Namun, kedua grup perusahaan tersebut, dan mayoritas perusahaan perkebunan sawit lainnya menipu pemerintah dengan melaporkan bahwa mereka telah merealisasikan pembangunan kebun plasma.

“Masyarakat tidak paham tentang mekanisme kemitraan atau plasma, karena sejak awal tidak ada informasi yang detil dan jelas yang disajikan pihak perusahaan maupun pemerintah terkait dengan pola kemitraan yang bisa diterapkan.”

“Mayoritas perusahaan perkebunan kelapa sawit di Sulawesi Tengah (Sulteng) tidak melaksanakan kewajibannya untuk membangun kebun plasma minimal 20 persen sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 tahun 2007 dan telah diubah dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98 tahunn 2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan,” kata Pelor.

Inilah PT. Perkebunan Nusantara XIV (PTPN) yang kini berganti menjadi PT. Sinergi Perkebunan Nusantara (PT. SPN). Foto: Wardi Bania

Di sisi lain, katanya, mayoritas perusahaan perkebunan kelapa sawit membayar upah buruh dibawah standar upah minimum. Sedangkan buruh yang bekerja di perkebunan kelapa sawit mayoritas adalah buruh perempuan yang dalam praktiknya perusahaan sering abai dan tidak memenuhi hak-hak dasar buruh perempuan.

Berdasarkan kasus-kasus tersebut, Walhi Sulteng meminta kepada pemerintah pusat maupun daerah untuk segera melakukan review perizinan di sektor perkebunan dan melakukan upaya penegakan hukum terhadap perusahaan-perusahaan yang melakukan aktifitas secara illegal.

“Kami juga mendesak kepada Kementerian Agraria dan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) serta pemerintah provinsi dan kabupaten untuk segera memfasilitasi pengembalian puluhan ribu hektar tanah-tanah milik petani yang telah dikuasai dan dikelola secara sepihak oleh grup Astra Agro Lestari maupun Kencana Agri, serta perusahaan perkebunan kelapa sawit lainnya.”

Selain itu, Walhi Sulteng juga meminta kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK RI) untuk segera melakukan kordinasi dan supervisi di sektor perkebunan kelapa sawit untuk menghindari kerugian negara yang lebih besar akibat perkebunan illegal, tanpa hal guna usaha (HGU).

“Kami juga mendesak lembaga perbankan atau lembaga pembiayaan lainnya untuk mengevaluasi pemberian kredit terhadap perusahaan perkebunan yang telah melakukan pelanggaran hukum dan HAM serta perusakan lingkungan.”

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio


Permasalahan Perkebunan Sawit di Morowali Tak Kunjung Usai, Ini Penyebabnya was first posted on March 30, 2015 at 12:11 pm.

Inilah Upaya Bersama Lindungi TN Gunung Palung

$
0
0
FFI mendampingi warga bercocok tanam agroculture di Desa Laman Satong, yang mendapatkan penunjukan dari Kementerian Kehutanan pada 2011. Foto: Rahmawati./ FFI

FFI mendampingi warga bercocok tanam agroculture di Desa Laman Satong, yang mendapatkan penunjukan hutan desa dari Kementerian Kehutanan pada 2011. Foto: Rahmawati./ FFI

Guna menjaga kelestarian kawasan konservasi perlu kerjasama banyak pihak. Masyarakat, LSM, korporasi dan pemerintah harus bahu membahu bersama. Inilah yang coba dijalankan di Taman Nasional Gunung Palung (TNGP), Kabupaten Kayong Utara,  dan Ketapang,  Kalimantan Barat.

Erica Pohnan, Manajer Program Konservasi Yayasan Alam Sehat Lestari (Asri) membagi pengalaman saat berdiskusi di @america Jakarta, pertengahan Maret lalu. Yayasan Asri merupakan lembaga non profit bidang kesehatan dan lingkungan hidup.

“Kami ingin menyelamatkan hutan dengan sedikit cara berbeda. Jadi kami memberikan insentif bagi masyarakat yang berkomitmen melestarikan kawasan Gunung Palung berupa diskon saat berobat di klinik,” katanya.

Dengan menjaga taman nasional, masyarakat bisa mendapatkan pelayanan kesehatan harga murah. Diskon berlaku di setiap desa yang bekerjasama dengan Yayasan Asri. Saat ini,  ada 75 dusun 21 desa berbatasan dengan TNGP. Program ini sejak 2007.

“Kami ada staf monitoring. Mereka memantau kerusakan hutan di setiap dusun. Mereka ke lapangan wawancara masyarakat, aparat desa untuk mencari tanda-tanda kerusakan hutan. Apakah ada aktivitas penebangan pohon, perladangan berpindah dan lain-lain.”

Jika dusun ada kerusakan hutan, diskon layanan kesehatan akan dikurangi. “Dokter berjaga di klinik 24 jam dan masyarakat datang. Setiap bulan ada klinik keliling. Mereka naik mobil pikap yang berbatasan dengan TNGP.”

Yayasan Asri bersama masyarakat juga pemetaan wilayah yang bisa dimanfaatkan, misal, ada gaharu, madu, jengkol dan lain-lain.

Upaya ini sinkron dengan program Kayong utara. Di kabupaten ini ada banyak puskesmas tetapi dokter dan sumber dayamanusia sangat kurang. Yayasan Asri merangkul Dinas Kesehatan. Kolaborasi itu, mereka pernah menggelar pelatihan kebidanan se-Kayong Utara.

Aktivis FFI Sephy Noerfahmy, Flora & Fauna Indonesia (FFI)berbagi pengalaman dalam mendampingi warga bersama-sama menjaga TNGF sejak 2005.

FFI, katanya, mengidentifikasi high conservation value(HCV) didalam dan sekitar TNGF bersama masyarakat. Survei langsung menggunakan teropong, perekam suara dan kamera trap. “Jenis survei soal mamalia, burung, reptil dan amfibi,” katanya.

Bersama-sama masyarakat, FFO mendokumentasikan keragaman hayati. “Fokus kami tidak hanya di TNGP juga di luar wilayah konservasi,” katanya.

Bekerjasama dengan Balai Taman Nasional, FFI juga membentuk Orangutan Protection and Monitoring Unit (OPMU). Masyarakat ambil bagian dalam tim ini. Tim bertugas patroli di TNGP mulai utara sampai selatan di Ketapang untuk mengidentifikasi jelajah orangutan.

“Mereka mengidentifikasi gangguan-gangguan. Terutama soal illegal logging. Jika menemukan barang bukti langsung dimusnahkan. Ini buat efek jera bagi pengusaha kayu.”

Sephy mengatakan, biasa pengusaha kayu ilegal memberikan uang lebih dulu kepada warga untuk membalak kayu. Lalu, warga menebang pohon baru diserahkan ke pengusaha. “Kalau kayu kita dimusnahkan, pengusaha sama sekali tidak dapat hasil. Mereka keluar uang tapi tidak dapat apa-apa.”

FFI juga pendampingan masyarakat di hutan desa Laman Satong seluas 1.070 hektar di dekat TNGP. “Terjadi fragmentasihutan Kayong Utara, juga selatan TNGP terutama Desa Laman Satong. Kami bersama masyarakat pembibitan dan penanaman kembali hingga petak hutan terpisah di TNGP menyatu kembali,” katanya.

FFI mendorong masyarakat mengelola hutan desa dengan membangun institusi dan memetakan potensi hutan desa.

“Masyarakat didorong menjaga desa dan hutan. Hingga mereka dapat insentif dari kegiatan mereka. Kami mengarahkan mereka ke skema REDD+.”

Di sekitar TNGP juga ada tiga perusahaan perkebunan sawit,PT Citra Usaha Sejati (CUS) dan PT Jalin Vaneo, dan PT Kayong Agro Lestari (KAL). ”Kami bekerjasama dengan CUS dan JV. Dengan KAL belum. Kami identifikasi kawasan HCV di dua perusahaan ini.”

Dia percaya, pendekatan kolaboratif antara perusahaan, masyarakat dan pemerintah daerah dapat mengurangi tekanan di TNGP.

Pembangunan sadar lingkungan

Bupati Kayong Utara Hildi Hamid mengatakan, meskipun kabupaten ini baru mekar 2007, tetapi pembangunan selalu berusaha memperhatikan aspek lingkungan hidup.

“Kami sadar kehidupan masyarakat dari kayu, tani dan nelayan. Saat ini illegal logging tidak ada. Penebangan pohon hanya oleh masyarakat untuk kebutuhan sendiri. Tidak dijual.”

Hildi mengeluarkan kebijakan, konstruksi proyek pemerintahan tak menggunakan kayu agar penebangan bisa ditekan.”Generasi para penebang kayu akan hilang dengan sendirinya. Kini anak-anak mereka tidak ikut menebang.”

Hildi mengatakan, sejak awal memimpin Kayong Utara sudah paham sepertiga wilayah merupakan area penggunaan lain. Agar perizinan tak masuk, tata ruang APL itu dialokasikan untuk kota pemerintahan, kawasan pendidikan dan pariwisata.Batas APL dan TNGP dibuat sawah.

“Agar masyarakat tidak membuka lahan di TNGP. Kalau ada investor masuk, tenggelam begitu saja. Di kabupaten ini ada tiga perusahaan sawit. Itupun keluar sebelum pemekaran.”

Untuk pertambangan, dulu pernah ada satu tambang bauksit tetapi tutup setelah kebijakan pemerintah pusat terkait larangan ekspor bahan baku.

“USAID membantu kami penyusunan kajian lingkungan hidup strategis. Kami bersinergi dengan organisasi non pemerintah. Harapannya bisa bekerjasama dengan pihak lain.”

Dubes Amerika Serikat untuk Indonesia Robert Blake mengatakan, pemerintah AS mendukung Indonesia menangani perubahan iklim melalui Indonesia Forest and Cilamte Support. Kegiatan IFACS berfokus  di Papua, Kalimantan dan Sumatera.

“Ini untuk melindungi keragaman hayati, hutan, program emisi gas rumah kaca dan jamin masyarakat sekitar dapat matapencaharian berkelanjutan.”

Dia mengapresiasi,  sinergi multi stakeholder di TNGP. “Bupati sudah  kerja keras edukasi masyarakat soal konservasi. Ini penting. Ada inovasi sebagai solusi.  Gebrakan memberikan kesehatan dan pendidikan universal untuk lindungi hutan harus diapresiasi.”


Inilah Upaya Bersama Lindungi TN Gunung Palung was first posted on March 30, 2015 at 4:51 pm.

Menjaga Kampung Onggaya

$
0
0
Pantai Kampung Onggaya. Kala memasuki kawasan ini papan-papan peringatan akan tertera, dari larangan mengambil pasir sampai menebang pohon. Warga berupaya menjaga kampung mereka. Foto: Agapitus Batbual

Pantai Kampung Onggaya. Kala memasuki kawasan ini papan-papan peringatan akan tertera, dari larangan mengambil pasir sampai menebang pohon. Warga berupaya menjaga kampung mereka. Foto: Agapitus Batbual

Kampung Onggaya, terletak di bagian timur Merauke, masuk Distrik Noukenjerai. Ia berada persis berhadapan dengan Laut Arafura,  berbatasan dengan Autralia dan Papua New Guinea. Kampung dengan 4.001 jiwa ini memiliki pantai cukup panjang hingga menjadi salah satu obyek wisata. Pantai berpasir putih. Kulit kerang berbagai ukuran berhamparan di tepian. Ia menjadi pandangan menarik di kampung ini.

”Dilarang menggali pasir di kawasan Pantai Wisata Kampung Onggaya Disrik Naukenjerai Kabupaten Merauke.” Begitulah plang peringatan kala memasuki kawasan pantai ini. Ada juga papan larangan menebang pohon.

“Papan larangan itu dirikan Kepala Kampung Onggaya atas kesepakatan warga,” kata Yustina Rumra, warga setempat. Tujuan mereka agar kawasan pesisir pantai tak rusak.

Selain memberikan keindahan pemandangan, pantai ini juga tempat warga mencari sumber pendapatan, terutama para perempuan. Tiap hari kala air pasang, Yustina dan perempuan lain membawa penangkap udang kecil terbuat dari nilon hitam. Nilon itu disebut ‘tangguh’. Biasa penduduk memakai alat ini untuk menangkap udang atau ikan.

Kalau ikan agak besar biasa mereka keringkan menjadi ikan asin. Udang halus dijual ke penadah atau buat terasi udang. Dia mengatakan, pemborong biasa datang ke Merauke untuk membeli udang halus per kg Rp10.000. Setiap hari, dia bersama perempuan lain mencari ikan dan udang. Mereka menampung udang halus 15 kg per orang.

Mereka tergabung dalam kelompok Ibu-ibu Namber Bur dan Namber May, dalam bahasa Marind Kanum berarti Satu Hati Satu Tujuan. Kelompok ini binaan Dinas Perikanan dan Kelautan. “Ini hasil jual udang halus ini sumber pendapatan keluarga,” kata ibu tiga anak ini.

Tak hanya terasi atau ikan asin buatan kelompok perempuan ini. Mereka juga memiliki usaha ekonomi rumah tangga dengan produk minyak kelapa, sampai abon.

Kepala Kampung Onggaya Bambang Sokran. Foto: Agapitus Batbual

Kepala Kampung Onggaya Bambang Sokran. Foto: Agapitus Batbual

Abrasi dan menjaga kampung

Sayangnya, kawasan pesisir pantai tempat mereka mencari ikan terus mengalami abrasi. Mangrove yang ditanam tak bertahan lama terkena hantaman ombak. Para ibupun sulit mencari udang.

Bambang Sokran (50), Kepala Kampung Ongaya mengatakan, mereka pernah menanami mangrove mencegah abrasi dan mengundang ikan-ikan dan udang mendekat. Namun, bibit mangrove langsung tercerabut tersapu ombak. “Mangrove ditanam pasti tersapu ombak. Pantai ini labil hingga warga hanya tanam kelapa,” katanya.

Namun, tak membuat mereka menyerah berupaya menjaga pantai ini, salah satu dengan menetapkan berbagai larangan itu. Sokran menceritakan, dulu warga kampung tetangga mengungsi karena abrasi, salah satu karena pasir laut mereka dikeruk. ”Jangan kita lagi. Leluhur dan Tuhan telah menciptakan tanah ini dengan sangat baik hingga jangan dirusak.”

Dia melihat dampak buruk dari penggalian pasir besar-besaran ini seperti di Kampung Nasem, Dusun Ndalir, Kuller dan Tomer.

Untuk itu, Onggaya tak ingin mengalami nasib serupa. Aparat kampung dan Lembaga Adat Kampung Onggaya tegas melarang dan mencegah penggalian pasir ini dan penebangan pohon.

Berkat bantuan Dinas Kelautan dan Perikanan, Balai Taman Nasional Wasur dan Dinas Kehutanan, warga giat memelihata pantai. Mereka juga punya industri rumahan pembuatan terasi, abon, ikan asin dan lain-lain.

Terasi, salah satu produksi kelompok ibu-ibu Kampung Onggaya. Foto: Agapitus Batbual

Terasi, salah satu produksi kelompok ibu-ibu Kampung Onggaya. Foto: Agapitus Batbual


Menjaga Kampung Onggaya was first posted on March 30, 2015 at 11:36 pm.

Soal Moratorium Izin Hutan, Ini Masukan NGO dan Jurnalis Kalimantan Barat

$
0
0
Sebuah eksavator tampak sedang membongkar lahan gambut di Kecamatan Kendawangan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Foto: Andi Fachrizal

Sebuah eksavator tampak sedang membongkar lahan gambut di Kecamatan Kendawangan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Foto: Andi Fachrizal

Moratorium izin di hutan alam dan lahan gambut akan segera berakhir pada 13 Mei 2015 mendatang. Sederet catatan mengiringi perjalanan kebijakan itu. Namun, muaranya tetap satu. Yakni, moratorium penting dilanjutkan. Hanya saja, kebijakan yang sudah berjalan patut dievaluasi guna perbaikan moratorium selanjutnya.

Hal ini terungkap dalam diskusi antara lembaga swadaya masyarakat (NGO) dengan kalangan jurnalis di Pontianak. “Moratorium izin penting dilanjutkan, tapi dengan sejumlah catatan. Evaluasi kebijakan itu agar tepat sasaran,” kata Nikodemus Ale dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Barat, Jumat (27/3/2015).

Menurut Niko, semangat moratorium untuk menghentikan kerusakan hutan tentu sangat baik. Hanya saja lokasi penunjukan kawasannya yang tidak baik. Sesuai peta moratorium di Kalbar, posisinya ada di luar areal penggunaan lain (APL). Padahal, di lokasi itulah masalah kerapkali terjadi.

“Prinsipnya kita setuju melanjutkan moratorium. Tapi, kawasan yang dimoratorium diperlebar lagi. Jadi bukan hanya di kawasan lindung saja, tapi masuk ke kawasan APL,” ucap Niko.

Sementara Arif Munandar, peneliti Swandiri Institute mengatakan, kebijakan moratorium di Kalbar belum berjalan maksimal. Hal ini bisa dilihat dari kawasan yang didorong dalam moratorium seperti kawasan lindung dan konservasi. Status kedua kawasan tersebut sudah jelas dilindungi.

“Kita juga bisa lihat di wilayah-wilayah gambut yang sudah ada izin sawitnya. Ternyata di situ tidak dievaluasi oleh pemerintah. Malah terakhir lebih ekstrem lagi. Sawit yang ada di kawasan hutan, lalu sawit yang ada di kawasan gambut, juga dikeluarkan dari peta moratorium,” ungkap Arif.

Padahal, urai Arif, sebagian besar APL di Kalbar sudah dikuasai perkebunan sawit. Bahkan di kawasan hutan pun sawit bisa masuk. “Sepertinya ada agenda pemutihan yang sistemik dari sisi kebijakan. Ini bisa dilihat dari PP 60 dan 61 tahun 2012.”

Itu yang membuat blunder semua gerakan civil seciety di Kalbar. Terutama ketika hendak melakukan advokasi tata ruang, ternyata hal ini diperbolehkan adanya ketelanjuran izin. Perusahaan bisa terus melaju, lantaran sudah telanjur dapat izin sebelum Undang-Undang Tata Ruang dikeluarkan.

Jadi, lanjut Arif, sebagian besar sawit yang ada di kawasan hutan di Kalbar saat ini, tidak ada masalah. “Menurut aturan, hal itu diperbolehkan selagi pemerintah bisa mencari lahan pengganti. Dan, kebijakan tersebut menjadi bagian dari upaya melegalkan praktik ilegal,” tegasnya.

Terkait pemutihan kawasan hutan, Arif mencontohkan bagaimana wajah RTRW Kalbar. Ada sekitar 800 ribu hektar izin sawit dalam kawasan hutan yang dijadikan APL. “Sebenarnya ini sudah kita laporkan. Tapi selalu terganjal di PP 60 dan 61. Jadi, aspek penting yang perlu dievaluasi adalah moratorium harus pada konteks masalah. Itu saran untuk moratorium ke depan,” ucapnya.

Rentetan persoalan di atas tak cukup sampai di situ. Mursyid Hidayat dari Lembaga Gemawan membeberkan contoh lain. Dalam pandangannya, moratorium belum berjalan sebagaimana diharapkan banyak pihak.

Buktinya, kata Hidayat, masih ada perpanjangan izin hutan tanaman industri (HTI) oleh pemerintah pusat di Kabupaten Kapuas Hulu pada 2013. “Padahal, masyarakat adat Kayaan Mendalam sudah menolak perusahaan ini,” katanya.

Agustinus dari Lembaga Bela Banua Talino (LBBT) membeberkan contoh lain. Menurutnya, moratorium sudah berlangsung selama lima periode. Tapi implikasinya di lapangan masih lemah.

Di Kabupaten Melawi saja, proses penebangan dan land clearing oleh perusahaan besar seperti sawit masih terus berlangsung. Kawasan hutan primer juga digarap. “Inpres No 6 tahun 2013 ini belum efektif. Pemerintah daerah belum memiliki langkah konkret, termasuk mengevaluasi izin-izin perkebunan dan pertambangan,” ucapnya.

Hamparan perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Ambawang, Kabupaten Kubu Raya yang sedang terbakar terpantau dari udara pada akhir tahun 2014. Foto: Andi Fachrizal

Hamparan perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Ambawang, Kabupaten Kubu Raya yang sedang terbakar terpantau dari udara pada akhir tahun 2014. Foto: Andi Fachrizal

Sudut pandang jurnalis

Lebih jauh, persoalan moratorium juga datang dari perspektif jurnalis. Adalah Teguh Imam Wibowo dari Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara yang menyebut persoalan gambut di Kalbar cenderung terabaikan. “Gampangnya, kalau melihat dari udara, sawit sudah dominan menguasai kawasan gambut Kubu Raya,” katanya.

Kemudian, lanjut Teguh, sekarang ada aturan baru dari Kementerian ESDM soal penggunaan biofuel. “Mulai 1 April solar harus dicampur 15 persen biofuel. Saya kira kita perlu perhatikan soal ini, karena bahan bakunya berasal dari sawit. Artinya, sudah bisa dibayangkan, ekspansi perkebunan kelapa sawit ke depan akan sangat massif dan tidak terkendali,” ucapnya.

Lain hal dengan Muhammad Aswandi dari Metro TV. Menurutnya, hingga saat ini penebangan kayu secara ilegal masih terus terjadi. Kasus terakhir, Reserse Kriminal Khusus Polda Kalbar menangkap enam truk fuso dari Kecamatan Sandai, Kabupaten Ketapang. Truk bermuatan kayu jenis bengkirai itu masuk melalui jalur Ambawang, dan katanya mau ke Jakarta.

Selain itu, Aswandi juga meng-update kunjungan Jokowi ke Kecamatan Rasau Jaya, Kubu Raya. Di situ presiden dengan tegas mengatakan tak mau lagi melihat ada kebakaran lahan pada 2015. Sanksinya, menteri dicopot. “Saya setuju melanjutkan moratorium, tapi tetap dikritisi, dievaluasi sehingga berdampak besar bagi perbaikan tata kelola hutan dan lahan di Kalbar,” pintanya.

Sementara Agus Wahyuni dari Suara Pemred lebih menyoroti ancaman kabut asap. “Di Kalbar, seminggu saja tak hujan kabut asap sudah ada. Anehnya, tidak satu pun mengetahui perusahaan mana yang membakar lahan. Justru petani kecil yang ditangkap. Saya berharap ada keterbukaan akses antara NGO dengan jurnalis,” ucapnya.

Ketua AJI Kota Pontianak, Heriyanto Sagiya menilai isu lingkungan sudah dapat perhatian jurnalis. “Pada konteks moratorium, saya sepakat diteruskan. NGO yang lebih tahu kondisi di lapangan soal kebijakan ini. Tapi, informasi itu harus disuarakan. Jika teman-teman NGO kuat menyuarakannya, maka media pun siap mempublikasikan,” pungkasnya.

Beginilah kondisi tutupan hutan di lahan gambut Kalimantan Barat. Sumber Peta: Sampan Kalimantan

 

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio


Soal Moratorium Izin Hutan, Ini Masukan NGO dan Jurnalis Kalimantan Barat was first posted on March 31, 2015 at 1:10 am.

Kampanye Earth Hour, Nadine Chandrawinata ‘Ngrampok’ Tas Plastik Pengunjung

$
0
0

Jelang akhir bulan ini, menjadi waktu yang cukup menyita tenaga dan pikiran aktris sekaligus aktivis lingkungan, Nadine Chandrawinata. Bagaimana tidak, pada 22 Maret lalu dia ikut berkampanye untuk peringatan Hari Air Sedunia lalu sepekan kemudian dia juga ikut kampanye penghematan energi, Earth Hour.

Dia cukup senang karena kampanye Earth Hour yang diikutinya saat ini didukung perusahaan kosmetik dan sebuah  mal besar di kawasan Jakarta Selatan. Dia bersama beberapa selebritas mulai jam 20.30-21.30, beraksi meminta kantong plastik kresek dari para pengunjung mal dan menggantinya dengan tas yang lebih ramah lingkungan.

“Kami ngrampok plastik mereka, ya cuma dapat 50-an sih, sedapatnya  tapi sudah lumayan,” ujar Nadine dihubungi melalui ponselnya pada Minggu (29/03/2015) .

Nadine Chandrawinata (kanan) bersama teman-temannya saat kampanye Earth Hour 2015 pada Sabtu (28/03/2015) di salah satu mal di Jakarta Selatan. Foto : Nadine Chandrawinata

Nadine Chandrawinata (kanan) bersama teman-temannya saat kampanye Earth Hour 2015 pada Sabtu (28/03/2015) di salah satu mal di Jakarta Selatan. Foto : Nadine Chandrawinata

Miss Indonesia 2005 ini mengatakan seharusnya kebijakan semacam ini juga digaungkan oleh pemerintah dan pihak swasta. Dia merasa senang ada perusahaan dan mal yang peduli lingkungan dan ikut mendukung kampanye semacam Earth Hour. “Memang nggak bisa cepat, harus pelan-pelan. Apalagi di mal, banyak kepala yang atur,” ujarnya.

Dia dan beberapa selebritas berharap pengunjung yang di’rampok’ tas plastiknya mempunyai kesadaran tak lagi menggunakan plastik saat belanja. Sehingga jumlah plastik tak semakin banyak. Dia juga berharap pengunjung juga lebih sadar dengan masalah sampah. Agar tidak membuang sampah sembarangan.

Perempuan kelahiran Hannover, 8 Mei 1984 ini mencontohkan bungkus permen yang sering disepelekan orang. “Kecil, tapi lama-lama jadi banyak numpuk. Kenapa nggak dikantongin dulu baru dibuang ke tempat sampah.”

Sampah-sampah plastik inilah yang sering dijumpainya saat dia menyelam. Dia mengaku sangat sebal dan marah ketika plastik-plastik itu nyangkut di terumbu karang, termakan ikan dan mengganggu lingkungan. Dia sering menjumpai sampah-sampah plastik ini ketika menyelam di berbagai spot penyelaman.

Nadine Chandrawinata, artis cantik yang hobi menyelam, dan aktivis peduli lingkungan. Foto : Nadine Chandrawinata

Nadine Chandrawinata, artis cantik yang hobi menyelam, dan aktivis peduli lingkungan. Foto : Nadine Chandrawinata

Tapi dia cukup senang tak menjumpai sampah saat dia menyelam di Boalemo,tak jauh dari Gorontalo, pada 22 Maret lalu. Dia menyelam bersama  tiga orang rekannya dalam rangka peringatan Hari Air Sedunia bekerja sama dengan Pemerintah daerah setempat.  Kondisi laut di sana cukup bersih, tak banyak sampah. Rupanya pemerintah Boalemo sudah mulai menyadari tentang sampah dan potensi laut. “Pemerintah daerahnya sudah sadar soal itu, mereka juga mengangkat laut sebagai wisata.”  Di sana dia  juga berkampanye kepada masyarakat setempat khususnya anak-anak muda setempat tentang lingkungan.

Sedangkan di wilayah perkotaan, Nadine juga mencoba membentuk ‘pasukan’ sadar dan mencintai laut,yang diberi nama Sea soldier. Mereka yang tergabung dalam Sea Soldier ini harus mempunyai program yang ramah lingkungan sendiri,dan komitmen yang tinggi. Kegiatan itu akan dipantau  dan akan mendapat identitas khusus berupa gelang bernomor dari Nadine.

“Anak-anak muda di perkotaan bisa juga kok berbuat sesuatu. Sampah perkotaan kan  juga banyak dibuang di sungai, di laut, ini bisa dicegah,” ujarnya.

Artis cantik Nadine Chandrawinata yang suka  sekali olahraga menyelam, menggagas komunitas Sea Soldier yang aktif berkampanye tentang konservasi laut. Foto : Nadine Chandrawinata

Artis cantik Nadine Chandrawinata yang suka sekali olahraga menyelam, menggagas komunitas Sea Soldier yang aktif berkampanye tentang konservasi laut. Foto : Nadine Chandrawinata

Sebagai pecinta lingkungan, Nadine juga menyarankan anak-anak muda mulai ikut terlibat dalam gerakan penyelamatan lingkungan. Mulai dari hal yang sepele dan sering dianggap remeh seperti mematikan keran air jika terdengar suara tetesan air di keran, mematikan pendingin ruangan setelah bangun tidur,  tidak membuang sampah sekecil apa pun, membawa botol minum sendiri dan membawa kantong belanja, atau menampung air hujan untuk menyiram tanaman atau membersihkan garasi.

Di rumah, aktris yang sempat menjadi produser film The Mirror Never Lies ini , juga ikut mendorong dua adik kembarnya Mischa dan Marcel, lebih bersikap ramah lingkungan.


Kampanye Earth Hour, Nadine Chandrawinata ‘Ngrampok’ Tas Plastik Pengunjung was first posted on March 31, 2015 at 3:51 am.

Mengamankan Kota Padang Dengan Raperda Lingkungan. Seperti Apa?

$
0
0

Pasca gempa bumi pada 30 September 2009, Kota Padang ‘menggeliat’ pembangunannya. Banyak berdiri bangunan tempat usaha, hotel-hotel dan berbagai industri baru lainnya di kota Padang.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada 2010 pertumbuhan ekonomi pasca gempa turun drastis sampai 4,28%, dan setelah dilakukan rehabilitasi dan rekontruksi, pertumbuhan ekonomi naik tajam dan terus naik sampai sekarang.

Pembangunan tersebut tentu berdampak pada kualitas lingkungan hidup. Oleh karena itu, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedalda) Kota Padang melalui Badan Legislasi Daerah (Balegda) DPRD Kota Padang sedang membahas rancangan peraturan daerah (Raperda) tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (PPLH) Kota Padang.

Pabrik karet yang lokasinya tidak jauh dari bibir sungai Batang Arau di kelurahan Lubuk Begalung, kota Padang. Foto: Riko Coubut

Pabrik karet yang lokasinya tidak jauh dari bibir sungai Batang Arau di kelurahan Lubuk Begalung, kota Padang. Foto: Riko Coubut

Raperda itu sebagai penjabaran dari Pasal 63 ayat (3) UU No 32 Tahun 2009 tentang PPLH yang menyatakan, pemerintah kabupaten/kota bertugas dan berwenang menetapkan kebijakan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di tingkat kabupaten/kota.

Kepala Bapedalda Kota Padang, Edi Hasmi, saat diwawancarai Mongabay pada Jumat, (27/03/2015) mengatakan Raperda PPLH memuat instrumen pencegahan kerusakan dan pencemaran lingkungan, dan diharapkan dapat meningkatkan kualitas lingkungan di Kota Padang yang terintegrasi dengan pembangunan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Dalam Raperda juga menegaskan pentingnya hasil kajian lingkungan hidup strategis (KLHS)  terhadap dokumen rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kota Padang sebagai acuan dalam pembangunan.

Sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.15 /2011 tentang Pedoman Materi Muatan Raperda Bidang PPLH, Raperda PPLH berisi tentang perencanaan, pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup di kota Padang didasarkan pada daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, serta pengendalian terhadap pencemaran dan pengendalian kerusakan lingkungan hidup.

Pengendalian tersebut meliputi pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup melalui instrumen; kajian lingkungan hidup strategis, tata ruang, baku mutu lingkungan hidup (air, udara ambien, emisi, air limbah, air laut, dan gangguan).

Raperda juga berisi tentang kriteria baku kerusakan lingkungan, dokumen lingkungan (AMDAL, UKL-UPL, SPPL), perizinan lingkungan, instrumen ekonomi lingkungan, analisis resiko lingkungan dan audit lingkungan.

“Muatan yang diatur dalam Ranperda PPLH ini akan disesuaikan dengan karakteristik pembangunan Kota Padang, kearifan lokal yang melekat dimasyarakatnya dan termasuk rencana investasi kedepan agar terwujudnya pembangunan yang ramah lingkungan,” kata Edi.

Sementara itu, Ketua Panitia Khusus (Pansus) pembahasan Raperda PPLH Balegda DPRD Kota Padang Elly Trisyanti  mengatakan pembahasan Raperda sempat tertunda di tahun 2013, pembahasannya baru rampung sekitar tigapuluh persen. Muatan Raperda ini mesti mencangkup segala bentuk tantangan lingkungan di Kota Padang. Bagaimana regulasi dapat sinergi dengan pembangunan, sehingga tidak merusak lingkungan.

“Kunci pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup hidup itu adalah manusia, maka regulasi ini akan menata perilaku manusia dalam pemanfaatan lingkungan hidup khususnya di Kota Padang. Pengaturan tersebut harus menjadi pedoman bagi instansi dan SKPD lainnya di Kota Padang dalam pemberian izin pembangunan dan sebagainya,” tegas Ketua Fraksi Gerindra di DPRD Kota Padang tersebut.

Tumpukan sampah berserakan di bibir sungai Batang Arau, namun petugas sering lalai memungutnya. Foto : Riko Coubut

Tumpukan sampah berserakan di bibir sungai Batang Arau, namun petugas sering lalai memungutnya. Foto : Riko Coubut

Pihaknya segera akan mengundang ahli lingkungan, ahli hukum lingkungan dan organisasi lingkungan dan Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) yang terdapat di berbagai universitas dan kampus di Kota Padang untuk turut serta dalam mengkritisi dan membahas muatan pasal-pasal dalam Raperda tersebut.

Raperda ini akan memuat mengenai peraturan teknis yang akan ditindaklanjuti oleh Pemerintah Kota Padang, seperti penetapan jenis usaha yang wajib dilengkapi dokumen lingkungan yang tidak termasuk Amdal atau penetapan zonasi-zonasi pemanfaatan lingkungan dan lain-lain sebagainya.

Sedangkan Tim Penyusun Naskah Akademik Raperda PPLH ini, Rembrandt, dari Fakultas Hukum Universitas Andalas mengatakan Raperda ini diharapkan mampu menjadi payung hukum bagi peraturan teknis lainnya khusus dibidang lingkungan di Kota Padang.

Saat ini kota padang telah memiliki Perda mengenai pengelolaan sampah, Perda pengelolaan limbah B3, Perda Daerah Aliran Sungai dan berbagai peraturan lainnya. Sinergisitas terhadap aplikasinya dilapangan akan dapat terlihat jelas, karena saling mendukung, dimana kesemuanya itu berupaya mewujudkan lingkungan yang berkelanjutan.

Kota Padang tengah berupaya menjadi kota metropolitan, dengan pembangunan infrastruktur, bangunan hotel, pusat-pusat perdagangan dan perbelanjaan, rumah sakit dan industri. Jika regulasi lingkungan tidak segera dipersiapkan, maka sangat rentan terhadap pencemaran, limbah-limbah, kerusakan dan lain-lain, baik berupa banjir, pencemaran sungai, udara, tanah lonsor dan rusaknya lingkungan, tambahnya.

Di sisi lain, Ranperda itu diajukan juga bukan semata karena propinsi Sumatera Barat atau Kota Padang rawan terjadinya bencana alam sehingga berdampak pada lingkungan, akan tetapi juga diakibatkan oleh pemberian izin yang tidak sesuai dengan fungsi dan pengembangannya. Hal itu dapat berakibat pada rusaknya fungsi alam, atau meningkatnya intensitas limbah di suatu tempat sehingga dapat mempercepat laju kerusakan lingkungan Kota Padang.

 


Mengamankan Kota Padang Dengan Raperda Lingkungan. Seperti Apa? was first posted on March 31, 2015 at 5:20 am.

Menteri Siti Minta Daerah Lindungi Masyarakat Adat

$
0
0
Eksplorasi tambang emas di  hutan TNBG  menghancurkan kawasan hutan di Kabupaten Mandailing Natal. Foto:  Ayat S  Karokaro

Eksplorasi tambang emas di hutan TNBG menghancurkan kawasan hutan di Kabupaten Mandailing Natal. Foto: Ayat S Karokaro

Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menegaskan, seluruh pemegang kebijakan baik kabupaten dan kota serta provinsi, harus bisa mengakomodir dan melindungi masyarakat adat yang menjaga hutan dengan kearifan lokal mereka.

Dia mengatakan, soal konflik wilayah adat, dengan perusahaan di kawasan hutan, sudah mulai mereka tangani. Terlebih, ada keputusan Mahkamah Konstitusi hutan adat bukan lagi hutan negara.

Saat ini, katanya, KLHK masih konsolidasi,  mengumpulkan dan memperbaiki data, agar tidak terjadi kesalahan dalam pengambilan keputusan. Termasuk, keputusan mana wilayah hutan adat dan bukan.

Sejak di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dia sudah menerima masukan mengenai lokasi hutan adat. Terbanyak, dari wilayah timur, yaitu Maluku Utara, Kalimantan (Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan). Lalu Riau, Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat. “Pemerintah kabupaten, kota dan provinsi harus mengecek dan menginventarisir ulang. Sesuai aturan, jika kurun waktu dua tahun tidak diselesai, usulan masyarakat adat harus diulang lagi,” katanya dalam monitoring dan evaluasi gerakan nasional penyelamatan sumber daya alam Indonesia, oleh KPK  di Medan, Selasa-Rabu (24-25/3/15).

Di Sumut, saat ini fokus menangani sejumlah konflik hutan adat, salah satu di Desa Pandumaan dan Sipituhuta, Kabupaten Humbang Hasundutan, dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL).

“Sedapat mungkin, jika buat kepentingan masyarakat, harus kita lakukan. Ini perlu keseriusan semua pihak agar tanah ulayat bisa terjaga,” ucap Siti.

KLHK, katanya, telah selesai menetapkan tata batas areal kerja TPL. Namun,  masih ada konflik hutan adat masuk wilayah perusahaan.  Dalam waktu dekat, katanya, akan turun tim kerja Direktorat Jendral Bina Usaha Kehutanan, untuk menghitung dan membahas lebih lanjut soal hutan adat ini. Termasuk, mengecek tata ruang yang belum selesai dan menjadi persoalan tak hanya di Humbahas juga kabupaten lain.

Beberapa catatan, kata Siti, ada kebijakan alokasi wilayah kelola warga.  Jadi, bupati/walikota dan gubernur provinsi, bisa merealisasikan usulan masyarakat dalam baik hutan kemasyarakatan, hutan desa, hutan tanaman rakyat maupun hutan adat. Intinya, berkonsep pada keberpihakan pada masyarakat.

Review izin

Terkait eksplorasi perusahaan tambang dan perkebunan berizin namun di hutan lindung dan konservasi, KLHK sedang evaluasi ulang, dan perlu penyidikan lebih lanjut. Jika terbukti akan ditindak tegas, mulai peringatan keras, hingga pencabutan izin, bahkan proses hukum.

Pelaksana Tugas Ketua KPK, Taufiquerachman Ruki mengatakan, memang soal kehutanan dan pertambangan, banyak masalah. Sebenarnya, tidak terlalu sulit diselesaikan, jika stakeholder membuka diri dan berkomunikasi.

KPK, katanya, akan mengawasi masalah dan menelaah, apakah ada dugaan korupsi atau penyelewengan, bahkan penyalahgunaan jabatan dalam pemberian izin bagi perusahaan-perusahaan itu.

Data Direktorat Jenderal Planologi KLHK mengenai status izin pertambangan berdasarkan hasil overlay dengan peta kawasan hutan di empat provinsi Sumatera bagian Utara (Sumbagut), sampai 2014, ada empat perusahaan masuk hutan konservasi luas 31.316.12 hektar. Sedang masuk hutan lindung 65 perusahaan seluas 339.959.76 hektar.

Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

 


Menteri Siti Minta Daerah Lindungi Masyarakat Adat was first posted on March 31, 2015 at 11:37 am.

Inilah 10 Mamalia Yang Telah Punah dalam Dua Abad Terakhir

$
0
0

Laju kepunahan berbagai spesies belakangan semakin mengkuatirkan. Hilangnya satu spesies dari muka bumi berarti berkurangnya satu lagi kekayaan ragam hayati di alam.

Pada akhirnya kerusakan alam dan hilangnya spesies tidak bisa kembali seperti semula. Tak terhitung berapa jenis satwa yang sudah punah. Para ahli memperkirakan bahwa setiap tahun, puluhan bahkan ratusan spesies punah di alam liar, terutama karena intervensi manusia lewat perburuan, maupun perusakan habitatnya.

Di alam bebas terdapat lebih banyak lagi spesies yang lebih dulu punah sebelum sempat dicatat, diketahui dan dipelajari secara ilmiah. Banyak spesies yang punah jauh sebelum masa kita, sehingga banyak diantara kita yang tak sempat sekalipun melihat wujud mereka, baik langsung, maupun melalui media.

Mongabay Indonesia merangkum sepuluh mamalia besar yang telah punah dalam dua abad terakhir, sebagai pengingat bagi kita semua bahwa tanpa usaha yang maksimal dan terus menerus, satwa-satwa lain juga menunggu dan akan menuju jurang kepunahan total.

 

1. Harimau Tasmania (punah tahun 1936)

Thylacinus. Sumber: Wikipedia common

Thylacinus cynocephalus, Washington DC National Zoo, 1904. Sumber: Baker, EJ Keller/ Wikipedia common

Meskipun dijuluki harimau, harimau tasmania (Thylacinus cynocephalus) bukanlah keluarga harimau (panthera) yang dikenal. Satwa ini adalah hewan endemik benua utama Australia, populasinya diperkirakan telah menghilang sejak pengenalan anjing peliharaan oleh suku Aborigin ribuan tahun lalu, meskipun ada kemungkinan satwa ini bertahan sampai sampai awal abad ke-20 di pulau Tasmania.

Satwa ini disebut harimau tasmania karena punggungnya yang bercorak belang, namun ada juga yang menyebutnya serigala tasmania, dan dari mulut ke mulut disebut harimau tassie (atau tazzy) atau cukup harimau saja. Binatang ini adalah spesies terakhir dari genusnya, Thylacinus.

Satwa ini habis akibat diburu oleh manusia maupun anjing, rusaknya habitat, dan juga karena serangan penyakit. Harimau tasmania merupakan pemangsa yang ada di puncak rantai makanan dan merupakan karnivora marsupila (satwa berkantung) terbesar yang pernah diketahui.

 

2. Quagga (Punah pada tahun 1880-an)

Quagga. Sumber: Wikipedia common

Equus quagga, London Regent Park Zoo, 1870. Sumber: Wikipedia common

Quagga (Equus quagga quagga) adalah kerabat dekat dari kuda dan zebra, dengan tubuh coklat kekuningan dengan garis-garis hanya pada kepala, leher dan bahu dan dengan kaki pucat. Quagga adalah satwa endemik daerah gurun dari benua Afrika sampai akhirnya punah di alam liar pada 1870-an.

Quagga terakhir mati di kandang di sebuah kebun binatang di Inggris pada tahun 1880-an. Satwa cantik ini diburu dengan brutal oleh petani lokal maupun pemukim pendatang di Afrika selatan untuk diambil daging dan kulitnya.

Awalnya Quagga ini hanya dianggap sebagai Zebra Burchell betina, atau zebra hasil kawin silang. Karena hal tersebut, para pemburu tak henti memburunya sampai akhirnya menyadari bahwa zebra ini adalah spesies tersendiri. Dan semuanya sudah terlambat.

 

3. Serigala Falkland (punah tahun 1870-an)

Sumber; Keulemans, 1890/ Wikipedia common

Dusicyon australis. Sumber: ilustrasi Keulemans, 1890/ Wikipedia common

Serigala Kepulauan Falkland (Dusicyon australis) adalah satu-satunya mamalia darat asli Kepulauan Falkland, atau yang disebut juga kepulauan Malvinas, sebuah kawasan terpencil 500 km di sebelah timur daratan Argentina.

Satwa terakhir ditemukan mati di kawasan barat kepulauan Falkland pada tahun 1876. Spesies ini adalah satu-satunya spesies modern dalam genus Dusicyon. Genus yang berhubungan paling dekat dengan hewan ini adalah Lycalopex, termasuk Culpeo, yang dibawa ke Kepulauan Falkland pada zaman modern.

Serigala ini diketahui berasal dari Falkland Barat dan Timur. Pada tahun 1868 dan 1870, 2 serigala terakhir Falkland dibawa ke kebun binatang di Inggris. Keduanya mati beberapa tahun kemudian.

 

4. Harimau Jawa

Panthera tigris sondaica, foto di Ujung Kulon. Sumber: Andries Hoogerwerf/ Wikipedia common

Panthera tigris sondaica, foto di Ujung Kulon 1938. Sumber: Andries Hoogerwerf/ Wikipedia common

Harimau jawa (Panthera tigris sondaica) adalah subspesies harimau endemik pulau Jawa. Harimau ini telah dinyatakan punah di sekitar tahun 1980-an, akibat perburuan dan alih fungsi habitatnya menjadi lahan pertanian dan pemukiman. Ukuran harimau jawa lebih kecil dibandingkan dengan spesies harimau lain.

Ukurannya yang kecil diyakini terkait dengan ukuran mangsanya yang tersedia di habitat mereka di pulau Jawa. Teorinya adalah bahwa semakin kecil mangsa, semakin kecil juga si predator. Pada suatu masa, harimau ini menghuni seluruh kawasan di Jawa.

Pada pertengahan 1800-an sampai pertengahan 1900-an pembukaan area pertanian, perkebunan dan hutan tanaman yang disponsori oleh pemerintah kolonial Belanda telah mendesak habitat satwa ini. Pembukaan lahan pertanian di Brebes dan Banyumas, Jawa Tengah dilaporkan telah membunuh ratusan harimau per tahunnya.

Orang-orang lokal menganggap harimau ini sebagai hama dan mengusir mereka ke daerah-daerah pegunungan terpencil, termasuk salah satunya di wilayah hutan pegunungan Meru Betiri di Jawa Timur. Banyak yang meyakini bahwa satwa ini masih tersisa, namun belum ada bukti yang kuat mengenai hal tersebut.

 

5. Harimau Bali

Panthera tigris balica, diburu dibunuh di Bali Barat oleh Oscar Vojnich, 1911. Sumber: Wikipedia common

Panthera tigris balica, dibunuh di Bali Barat oleh Oscar Vojnich, 1911. Sumber: Wikipedia common

Harimau bali (Panthera tigris balica), atau samong dalam bahasa lokal, adalah subspesies harimau yang dinyatakan sudah punah. Harimau bali adalah satwa endemik pulau Bali dan merupakan satu dari tiga subspesies harimau yang ada di Indonesia yaitu harimau sumatra (panthera tigris sumatrae) dan harimau jawa (panthera tigris sondaica) yang telah dinyatakan punah.

Harimau bali merupakan harimau terkecil dari ketiga subspesies harimau Indonesia. Harimau bali terakhir kali ditembak mati pada tahun 1925 di Sumber Kima, Bali Barat, dan resmi dinyatakan punah pada tanggal 27 September 1937.

Pulau Bali yang kecil dan tutupan hutannya yang terbatas, membuat para ahli meyakini bahwa populasi satwa ini tak pernah besar. Seluruh foto satwa ini sudah dalam keadaan mati ditembak, menandakan bahwa kepunahannya diduga akibat perburuan yang terus menerus, selain karena faktor hilangnya habitat akibat alih fungsi menjadi lahan pertanian dan pemukiman.

 

6. Syrian Wild Ass (punah tahun 1928)

Equus hemionus hemippus. Sumber: Wikipedia common

Equus hemionus hemippus, Vienna Zoo 1924. Sumber: Wikipedia common

Syrian Wild Ass (Equus hemionus hemippus) atau sering disebut Hemippe adalah subspesies onager (Equus hemionus), spesies kuda yang paling kecil. Satwa ini pernah menghuni kawasan luas di Syria, Yordania dan Irak. Satwa ini diketahui tidak bisa dijinakkan dan dipelihara.

Keunikan satwa ini adalah kemampuan kulitnya berubah warna mengikuti musim. Kulitnya akan berwarna zaitun kecoklatan pada musim panas dan berubah menjadi kuning pucat pada musim panas.

Spesies ini pernah mempunyai populasi yang besar sekitar abad ke-16 dan abad ke-17 dan berkurang drastis akibat perburuan yang tak terkendali, terutama semasa era perang dunia pertama. Pada 1928, spesies terakhir mati di kebun binatang Vienna, Austria.

 

7. Singa Berber (punah tahun 1960-an)

Sultan, barbary lion, New York zoo 1897. Sumber: Wikipedia common

Sultan, sang singa berber, New York Zoo 1897. Sumber: Wikipedia common

Singa berber (Panthera leo leo) atau dalam bahasa Inggris disebut Barbary Lion adalah sub spesies singa Afrika yang diperkirakan telah punah di alam liar pada pertengahan abad ke-20.

Berbeda dengan jenis lainnya, singa ini memiliki rambut yang lebih panjang dan berwarna gelap, hingga menutupi pundah dan sebagian perutnya. Ukuran rata-ratanya pun juga lebih besar daripada jenis singa lainnya, yaitu mencapai 3,25 meter (panjang dari kepala hingga ekor). Bandingkan dengan rata-rata singa lainnya yang hanya memiliki panjang 2.8 meter.

Beberapa singa berber terakhir mati karena diburu pada tahun 1950-1960-an di Tizi n’Tichka, kawasan pegunungan barat Maroko. Meskipun telah habis di alam liar, WildLink International berusaha untuk mencari apakah masih ada spesies ini di kebun binatang.

Pada maret 2010, ada 2 individu anak singa dikabarkan dipindakan ke Kebun Binatang Texas (AS) sebagai bagian dari program pembiakan kembali singa tersebut. Hingga kini belum diketahui pasti apakah keduanya adalah benar keturunan dari singa besar Afrika tersebut.

 

8. Bison Kaukasus (punah pada 1927)

dibunuh di pegunungan kaukasus, 1889. Sumber: Wikipedia common

Bison bonasus caucasicus dibunuh di pegunungan kaukasus, 1889. Sumber: Wikipedia common

Bison kaukasus (Bison bonasus caucasicus) adalah subspesies bison eropa yang menghuni pegunungan Kaukasus yang memanjang di Eropa Timur. Pada abad ke-17, satwa besar ini menghuni kawasan luas di area Kaukasus Barat.

Ketika manusia mulai banyak yang bermukim di sekitar habitatnya pada abad ke-19, populasinya berkurang hingga hanya sepersepuluh dari jumlahnya pad dua abad sebelumnya. Pada tahun 1860, diketahui populasinya masih ada sekitar 2000-an individu, namun berkurang drastis hingga hanya tersisa 500-an pada 1917, dan 50 individu pada 1921. Meski demikian, perburuan tak berhenti dan tiga individu terakhir ditembak mati pada 1927.

 

9. Rusa Schomburgk (punah tahun 1932)

West Berlin zoo, 1911. Sumber: Lothar Schlawe/ Wikipedia common

Rucervus schomburgki, West Berlin Zoo, 1911. Sumber: Lothar Schlawe/ Wikipedia common

Rusa schomburgk (Rucervus schomburgki) dulunya menghuni beberapa kawasan di Thailand dan tidak ditemukan di negara lain. Habitatnya adalah dataran rawa-rawa dengan rumput panjang, tebu, dan semak-semak; dan nampaknya menghindari kawasan hutan.

Produksi padi secara besar-besaran pada abad ke-19 di Thailand untuk memenuhi permintaan luar negeri memicu hilangnya sebagian besar kawasan semak dan rawa yang selama ini menjadi habitat rusa cantik ini. Selain itu, perburuan tak terkendali juga membuatnya makin cepat punah. Rusa ini punah di alam liar pada tahun 1932, dan rusa terakhir mati di kebun binatang pada 1938.

 

10. Badak Hitam Afrika Barat (dinyatakan punah 2011)

Diceros bicornis. Sumber: savingrhinos.org

Diceros bicornis. Sumber: savingrhinos.org

Badak hitam afrika barat (Diceros bicornis longipes) adalah subspesies dari badak hitam dan telah dinyatakan punah pada 2011. Dulunya, badak ini menghuni kawasan savanna yang luas di Afrika bagian barat, namun populasinya menurun drastis akibat perburuan.

Satwa ini dulunya paling banyak ditemukan di Kamerun, namun survey terakhir untuk mengetahui keberadaan satwa ini tak berhasil menemukan satu pun individu. Satwa ini diburu karena culanya yang berharga mahal, yang di Tiongkok dipercaya bisa menjadi obat untuk beberapa penyakit tertentu, termasuk dipercaya mampu mendeteksi keberadaan racun di dalam tubuh.

 

 

 


Inilah 10 Mamalia Yang Telah Punah dalam Dua Abad Terakhir was first posted on March 31, 2015 at 12:02 pm.

Pertanian Selaras Alam di Wongaya Betan, Seperti Apa?

$
0
0
Petani Bali dengan padi lokal dan menerapkan pertanian organik. Foto: Anton Muhajir

Petani Bali dengan padi lokal dan menerapkan pertanian organik. Foto: Anton Muhajir

Bagi petani di Desa Mengesta, Kecamatan Penebel, Tabanan, padi bukan semata bahan pangan juga sarana berbakti pada alam dan Tuhan. Merekapun menerapkan pertanian ramah lingkungan. Mereka tak mau meracuni alam.

Desa Mengesta berada di Kaki Gunung Batukaru. Sawah dengan padi menghijau terhampar sepanjang jalan. Sebagian sudah panen, seperti anggota Kelompok Tani Somya Pertiwi di Dusun Wongaya Betan. Wilayah ini salah satu sentra padi di Bali.

Pekan lalu, tiga petani menjemur padi gabah di lantai jemur depan gudang sekaligus tempat penggilingan. Di daerah sejuk ini, matahari cerah menjadi berkah bagi mereka. Apalagi saat musim penghujan.

Gabah ini merupakan varietas lokal. “Padi lokal menjadi tanaman wajib bagi kami,” kata I Nyoman Alit Widiantara, anggota Somya Pertiwi.

Padi merah lokal, katanya, bagian penting bagi petani Wongaya Betan. Karena menjadi sarana upacara berdasarkan ajaran Hindu Bali. Tiap enam bulan, petani akan upacara Odalan di Pura Desa. Saat itulah, mereka menghaturkan padi lokal sebagai persembahan.“Padi lokal tidak mungkin bisa digantikan,” kata Alit.

Petani di Wongaya Betan dan sekitar, seperti Jatiluwih dan Wongaya Gede, memang wajib menanam padi lokal. Mereka punya kesepakatan adat tak tertulis (bhisama), petani wajib menanam padi merah.

Warga harus menanam padi lokal minimal satu kali setahun. Jika ada petani melanggar, akan mendapatkan denda upara penyucian (mecaru) di Pura Bedugul. “Padi merah menjadi sarana upacara penting bagi kami saat upacara,” kata Nengah Ariasa, Ketua Kelompok Somya Pertiwi.

Nengah melanjutkan, dalam setahun, petani banyak upacara adat terkait budi daya pertanian. Upacara itu, mulai proses mengalirkan air sawah, menanam benih, hingga panen.

Upacara itu, ada yang kecil dan individu, ada juga besar dan bersama-sama seluruh warga desa, misal Odalan, Sarin Taun di Danau Tamblingan. Juga menaikkan Betara Nini, sebutan bentuk penghormatan untuk padi lokal, ke lumbung.

Lumbung yang disebut jineng atau klumpu ini berada di depan rumah tiap petani. Padi lokal disimpan dalam jineng untuk persediaan pangan, sarana sembahyang, maupun bibit masa tanam selanjutnya.

“Kalau dihitung bisnis, kami pasti rugi besar karena banyak upacara adat. Tetapi ni berkaitan dengan keyakinan kami,” kata Ariasa.

Bertani bagi petani tradisional seperti Ariasa dan Alit, bukan soal mendapatkan uang tetapi menciptakan keseimbangan alam.

 

Menjemur padi. Kelompok Tani Somya Pertiwi di Dusun Wongaya Betan, yang bertani organik dan padi lokal.Foto: Anton Muhajir

Menjemur padi. Kelompok Tani Somya Pertiwi di Dusun Wongaya Betan, yang bertani organik dan padi lokal.Foto: Anton Muhajir

 

Selaras alam
Meskipun begitu, padi lokal tak hanya memiliki nilai spiritual juga komersial. Padi merah lokal bernilai jual lebih tinggi dibandingkan unggulan, seperti ciherang dan mansur. Saat ini, beras merah Rp18.000 per kilogram. Beras organik lain Rp10.000 per kilogram.Penyebabnya, produksi terbatas dan khasiat.

Warga percaya beras merah berguna sebagai antioksidan, memperkuat stamina, melancarkan peredaran darah, dan memperbaiki pencernaan. Tak hanya dalam 5 kg-an, mereka menjual 250 gram untuk jadi teh beras merah.

Semua beras diproduksi organik oleh anggota Somya Pertiwi. Bahan-bahan pertanian organik mereka produksi sendiri.

Ariasa bercerita, mereka memulai pertanian organik sejak 2006 dibantu Badan Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali. Semula petani jengah karena banyak limbah sapi di sawah. Sebagian besar petani beternak sapi di sawah. Namun, kotoran sapi dibiarkan menumpuk begitu saja di tempat pembuangan.

“Sebagai daerah pariwisata, saya tidak mau desa saya kena polusi bau dan limbah kotoran sapi.”

Beberapa petani berinisiatif mengolah kotoran ternak menjadi pupuk organik. Ariasa semula hanya mencoba di lahan sendiri. “Ternyata hasil bagus. Tanah jadi lebih mudah diolah. Hasil panen lebih banyak dibandingkan sebelumnya,” kata Ariasa.

Melihat keberhasilan ini, para petani beralih ke pertanian organik. Beberapa kelompok lain terebentuk seperti kelompok ternak, tani perempuan, serta padi organik. “Somya Pertiwi lebih tepat disebut sebagai Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani, red) karena ada beberapa kelompok di dalamnya.”

Anggota Somya Pertiwi sekitar 100 orang total lahan 75 hektar. Rata-rata satu petani memiliki 50 are atau setengah hektar.

Dengan sekitar 100 anggota, Somya Pertiwi kini menghasilkan pupuk dan padi lebih banyak. Pupuk organik 800 ton per tahun dibeli Pemprov Bali sebagai pupuk bersubsidi. Mereka buat di satu tempat dengan gudang penggilingan padi. Mereka menjual beras organik biasa maupun beras merah.

Somya Pertiwi pun berubah menjadi Pusat Pelatihan Pertanian Pedesaan (P4). Kelompok ini pula yang menginspirasi kelahiran Sistem Pertanian Terintegrasi (Simantri) Pemerintah Bali. Dengan sistem pertanian terintegrasi, petani tak hanya bertani, juga beternak sapi dan menghasilkan pupuk sendiri.

Saat ini,  Kelompok Tani Somya Pertiwi tak hanya memiliki sekretariat juga tempat pelatihan. Mereka jadi tempat belajar petani berbagai daerah di Indonesia bahkan luar negeri.

 

Lumbung padi merah lokal. Foto:  Anton Muhajir

Lumbung padi merah lokal. Foto: Anton Muhajir


Pertanian Selaras Alam di Wongaya Betan, Seperti Apa? was first posted on March 31, 2015 at 3:57 pm.

Pemusnahan Tiga Ribu Hektar Kebun Sawit yang Masuk KEL di Aceh Tamiang Terus Dilakukan

$
0
0
Pemusnahan kebun sawit ilegal yang masuk kawasan KEL di Aceh Tamiang, Aceh seluas 3 ribu hektar terus dilakukan. Foto: Junaidi Hanafiah

Pemusnahan kebun sawit ilegal yang masuk kawasan KEL di Aceh Tamiang, Aceh seluas 3 ribu hektar terus dilakukan. Foto: Junaidi Hanafiah

Pemusnahan tiga ribu hektar kebun sawit yang masuk hutan lindung di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) wilayah Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh, terus dilakukan guna mengembalikan fungsinya semula sebagai hutan alam.

Rudi Putra, Ketua Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HakA), menuturkan pemusnahan kebun sawit tersebut telah dilakukan sejak 29 September 2014. “Sekitar tiga ribu hektar kebun sawit ilegal yang dikuasai 26 pengusaha telah dikembalikan ke negara. Seorang pelaku telah divonis penjara enam bulan dan denda 10 juta rupiah dan seorang lagi telah ditetapkan sebagai tersangka. Selebihnya, menyerahkan lahannya secara sukarela,” ujarnya.

Rudi menjelaskan, saat ini, dari target pemusnahan tahap pertama sekitar 1.071 hektar yang dilakukan di Kecamatan Tenggulon, Aceh Tamiang, telah tercapai sekitar 200 hektar.

Menurut Rudi, upaya penutupan perkebunan sawit ini telah dirintis sejak 2009 melalui kerja sama antara Badan Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL), Polda Aceh, Polres Aceh Tamiang, Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Aceh Tamiang, LSM, dan Masyarakat Aceh Tamiang. “Kegiatan ini dilakukan untuk melindungi masyarakat Aceh Tamiang dari bencana ekologis. Kawasan ini diharapkan dapat mengendalian air dan meningkatkan perekonomian masyarakat. Bahkan, Bupati Aceh Tamiang mengeluarkan surat keterangan (SK) untuk pemusnahan kebun,” jelas Advisor Forum Konservasi Leuser ini.

Rudi menambahkan, kerusakan hutan di Aceh Tamiang terjadi sejak 1970-an dengan aktifnya beberapa hak pengusahaan hutan di hulu dan hilir daerah aliran sungai (DAS) Tamiang. Tahun 1980-an lahan-lahan tersebut mulai dikonversi menjadi perkebunan sawit. Puncaknya awal 2000-an yang konversi tersebut tidak hanya digunakan di areal penggunaan lain melainkan juga di kawasan hutan lindung. “Lebih dari 10 ribu hektar hutan di bagian hulu rusak parah yang sekitar 4-5 ribu hektarnya diubah menjadi perkebunan sawit ilegal.”

Saat ini, pemusnahan kebun sawit ilegal telah mencapai 200 hektar dari target tahap pertama seluas 1.071 hektar. Foto: Junaidi Hanafiah

Saat ini, pemusnahan kebun sawit ilegal telah mencapai 200 hektar dari target tahap pertama seluas 1.071 hektar. Foto: Junaidi Hanafiah

Kepala Dinas Kehutanan Aceh Husaini Syamaun, menyatakan pemusnahan tersebut merupakan langkah tepat karena perkebunan sawit di hutan lindung memang tidak boleh dilakukan. “Hutan lindung penting bagi kehidupan masyarakat sekitar. Jika hutan rusak, masyarakat juga yang merasakan dampaknya sebagaimana banjir bandang yang terjadi pada 2006 lalu.”

Menurut Husaini, pemusnahan kebun yang telah ditanam untuk dikembalikan menjadi hutan tidak akan berjalan dengan baik jika tidak ada pemahaman semua pihak. “Ini kerja luar biasa. Kita harus sambut baik kesadaran ini,” ujarnya.

Hutan di Kabupaten Aceh Tamiang sendiri terus berkurang luasannya. Dari semula 221 ribu hektar, kini sekitar 92 ribu hektarnya berubah menjadi perkebunan sawit.

 


Pemusnahan Tiga Ribu Hektar Kebun Sawit yang Masuk KEL di Aceh Tamiang Terus Dilakukan was first posted on April 1, 2015 at 2:24 am.

Teluk Balikpapan yang Terus Tergerus Akibat Ekspansi Industri

$
0
0

Kawasan Industri Kariangau (KIK) yang berada di wilayah Teluk Balikpapan. Foto: Hendar

Teluk Balikpapan yang kaya potensi dan keanekaragaman hayati, kian hari kian terjepit kelestariannya. Pengembangan Kawasan Industri Kariangau (KIK) seluas 5.130 hektar di kawasan teluk yang secara administratif berada di Kelurahan Kariangau, Balikpapan Barat, Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, telah mengancam ekosistem teluk tersebut dan tentunya akan menimbulkan bencana.

Teluk Balikpapan  memiliki luas daerah aliran sungai (DAS) sekitar 211.456 hektar dan perairan seluas 16.000 hektar. Sebanyak 54 sub-DAS menginduk di wilayah teluk ini, termasuk salah satunya DAS Sei Wain yang sudah menjadi hutan lindung atau yang dikenal dengan sebutan Hutan Lindung Sungai Wain. Sebanyak 31 pulau kecil pun menghiasasi wajah teluk ini.

Berdasarkan penelitian Stanislav Lhota, peneliti bekantan asal Ceko, keberadaan bekantan di Teluk Balikpapan mencapai 1.400 ekor yang mewakili 5% primata berbulu kuning di seluruh dunia. Selain itu, terdapat juga sekitar 10 jenis primata dan empat jenis mamalia laut termasuk pesut (Irrawaddy dolphin) yang kesemuanya terdapat di Teluk Balikpapan.

Darmawan, masyarakat asal Penajam Paser Utara, pun menuturkan bagaimana asrinya Teluk Balikpapan yang dihiasi hutan bakau hingga tahun 2005. “Kondisi ini berubah setelah bermunculan perusahaan berorientasi industri yang membuka hutan bakau sejak 2007,” ujarnya.

Nelayan pun terimbas dari pembukaan hutan tersebut. Ikan mulai sulit dicari dan penghasilan menurun srastis. “Sudah dua tahun ini, saya beralih profesi dari nelayan menjadi peternak unggas. Hanya sesekali saja mencari ikan,” ujar Darmawan.

Apa yang dikhawatirkan Darmawan, terkait kerusakan lingkungan, sepertinya bakal terwujud. Berdasarkan data Badan Lingkungan Hidup Kota Balikpapan, saat ini terdapat 21 perusahaan baru yang telah memiliki izin prinsip untuk melakukan kegiatannya di Kawasan Teluk Balikpapan. Sebelumnya, tercatat telah ada 25 perusahaan yang menjalankan kegiatannya di wilayah tersebut sejak 2011.

Gambaran Kerusakan akibat aktivitas PT. WINA (Wilmar Nabati Indonesia) yang melakukan pembangunan   instalasi penyimpanan CPO (crude palm oil) di sekitar muara hingga hulu Sungai Berengah. Sumber: Dokumen penelitian Stanislav Lhota

Gambaran Kerusakan akibat aktivitas PT. WINA (Wilmar Nabati Indonesia) yang melakukan pembangunan instalasi penyimpanan CPO (crude palm oil) di sekitar muara hingga hulu Sungai Berengah. Sumber: Dokumen penelitian Stanislav Lhota

Pembangunan dermaga (jetty) dan struktur fisik di Muara Sungai Puda oleh PT. Semen Gresik. Sumber: Dokumen penelitian Stanislav Lhota

Pembangunan dermaga (jetty) dan struktur fisik di Muara Sungai Puda oleh PT. Semen Gresik. Sumber: Dokumen penelitian Stanislav Lhota

Lemah pengawasan

Heri Soenaryo, pegiat lingkungan dari Sentra Program Pemberdayaan dan Kemitraan Lingkungan (STABIL) menuturkan, segenap kerusakan yang terjadi di Teluk Balikpapan mulai dari mangrove hingga pembangunan galangan kapal di sempadan pantai dan kawasan mangrove antara Sungai Berengah dan Sungai Tempadung, dikarenakan lemahnya pengawasan pihak berwenang. Menurut Heri, dalam Perda Tata Ruang Kota Balikpapan Tahun 2012 – 2032 disebutkan bahwa kawasan Sungai Tempadung, Sungai Tengah dan Sungai Puda telah ditetapkan sebagai kawasan perlindungan setempat. “Namun, wilayah tersebut justru dibuka dan dilakukan pula penimbunan mangrove,” ujarnya, Jumat (27/3/2015).

Hal yang tidak jauh berbeda diucapkan Niel Makinuddin, pemerhati lingkungan hidup di Balikpapan, yang menilai bahwa ekosistem Teluk Balikpapan rusak akibat tekanan dari pembangunan aneka infrastruktur dan pembukaan lahan. “Pemerintah harus bertanggung jawab atas kerusakan terumbu karang di Teluk Balikpapan karena tidak selektif memberikan izin dan lemah pengawasan,” ujarnya.

Husen, pegiat pada Forum Peduli Teluk Balikpapan mengatakan, tidak banyak masyarakat Balikpapan yang sadar akan pentingnya keberadaan Teluk Balikpapan yang merupakan benteng terakhir keanekaragaman hayati di Kota Balikpapan. “Lewat kampanye pendidikan dan penyadaran, kami akan terus menyuarakan pentingnya penyelamatan keanekargaman hayati dan kelestarian Teluk Balikpapan,” paparnya.

Purwanto dari Unit Pelaksana Teknis Daerah Hutan Lindung Sungai Wain dan Daerah Aliran Sungai Manggar menuturkan bahwa Hutan Lindung Sungai Wain memiliki tugas berat melindungi kekayaan hayati dan pasokan air bersih untuk Kota Balikpapan. “Namun, fungsi penting ini mulai terancam akibat dinamika pembangunan di sekitar kawasan tersebut. Diantaranya adalah pembukaan jalan penghubung ke Pulau Balang dan jalan pengubung antara Kutai Kartanegara dengan Balikpapan,” ujarnya.

Hutan ditebang dan dibakar di sekitar Sungai Tempadung. Sumber Dokumen penelitian Stanislav Lhota

Hutan ditebang dan dibakar di sekitar Sungai Tempadung. Sumber Dokumen penelitian Stanislav Lhota

Penebangan mangrove untuk membuat arang di sekitar Sungai Pemaluan dan Lulup. Sumber: Dokumen penelitian Stanislav Lhota, Januari - Februari 2015

Penebangan mangrove untuk membuat arang di sekitar Sungai Pemaluan dan Lulup. Sumber: Dokumen penelitian Stanislav Lhota, Januari – Februari 2015

 

 


Teluk Balikpapan yang Terus Tergerus Akibat Ekspansi Industri was first posted on April 1, 2015 at 8:21 am.

Mengolah Limbah Nyamplung Jadi Pakan Ternak Bernutrisi

$
0
0

Limbah hasil pengepresen biji nyamplung (Calophyllum inophllum L) untuk pengolahan biodiesel atau yang biasa disebut bungkil, apabila diolah dengan benar bisa menjadi salah satu alternatif pakan ternak yang bernutrisi. Hal ini diungkapkan oleh Dr. Budi Leksono, peneliti utama dari Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH) Yogyakarta yang telah berhasil mengolah limbah nyamplung menjadi pakan ternak.

Atas karyanya tersebut telah meraih penghargaan Pertamina Award Riset Sobat Bumi Pertamina tahun 2014, kategori penelitian yang ditujukan untuk masyarakat demi keberlanjutan bumi yang hijau.

“Bungkil biji nyamplung mempunyai kandungan protein sebesar 10-20% lebih tinggi dari jenis campuran pakan lain, semisal dedak,” kata Budi dalam rilis yang diterima Mongabay.

Pengelolaan dan pemanfaatan limbah Nyamplung. Foto : Biotifor

Pengelolaan dan pemanfaatan limbah Nyamplung. Foto : Biotifor

Dari hasil analisis di Laboratorium Biokimia Nutrisi Bagian Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan UGM, menunjukkan bahwa kandungan protein kasar pada bungkil biji nyamplung sangat tinggi sebesar 21-23%. Lebih tinggi dari bekatul (11-13%) dan biasa digunakan sebagai konsentrat pakan ternak. Sehingga secara teori, bungkil telah memenuhi syarat untuk pakan ternak

Budi telah menguji pada ternak kambing di Desa Patutrejo, Grabag, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. “Kambing yang mengkonsumsi pakan ternak dari bungkil menghasilkan peningkatan berat badan yang signifikan, hampir 200 gram per hari. Selain itu, badan kambing makin sehat, cepat gemuk serta usia panen kambing makin singkat, cukup 3-4 bulan saja,” katanya.

Namun demikian, dia menyatakan bahwa sebagai pakan ternak, bungkil biji nyamplung tersebut harus diolah menjadi ‘burger’ pakan ternak yang terfermentasi sehingga bisa tahan lama dan bergizi.

“Teknologi tepat guna tersebut telah kami transfer kepada Kelompok Tani Setya Kawan di Desa Patutrejo,” kata Budi.

Selain teknologi tersebut, ia juga telah mentransfer teknologi tepat guna pembuatan kandang “joglo” yang dapat menampung kotoran ternak, pupuk organik cair (POC) yang mengandung hara tinggi serta tanaman unggul nyamplung yang mempunyai rendemen minyak tinggi.

Ide teknologi tepat guna pembuatan burger pakan ternak fermentasi dari biji nyamplung muncul karena keinginan Budi untuk membantu masyarakat dalam menyediakan alternatif pakan ternak dan melihat makin menumpuknya limbah industri minyak nyamplung. Diketahui bahwa bungkil biji nyamplung dapat mencapai 50% dari berat biji kering dan akan menjadi masalah baru bagi lingkungan apabila tidak dimanfaatkan.

“Saya berharap hasil riset ini dapat dikembangkan dalam skala operasional dalam bentuk pilot project pada beberapa lokasi pengembangan sesuai dengan topik riset yang dihasilkan sehingga makin membumi dan memberikan dampak kepada masyarakat dalam skala yang lebih luas,” kata Budi.

Lebih lanjut, Budi menyatakan bahwa ke depan ketersediaan pakan hijau akan terbatas dan semakin tinggi harganya. Limbah nyampung mempunyai potensi lain untuk dimanfaatkan. Misalnya cangkang nyamplung dapat diolah menjadi briket arang yang juga menghasilkan asap cair yang dapat dimanfaatkan sebagai pengawet ikan maupun kayu.

Selain itu, juga dapat dimanfaatkan sebagai obat kanker karena resin atau getah biji nyamplung mengandung senyawa kumarin sekitar 0,1 mg,  sekitar 10 kali lipat dibandingkan tanaman lain.

 


Mengolah Limbah Nyamplung Jadi Pakan Ternak Bernutrisi was first posted on April 1, 2015 at 8:59 am.

Kala Orangutan Terjebak di Kebun Sawit Langkat

$
0
0
Evakuasi orangutan Sumatera di perkebunan sawit Kabupaten  Langkat kawasan TNGL oleh  tim  OIC. Foto:  Ayat S Karokaro

Evakuasi orangutan Sumatera di perkebunan sawit Kabupaten Langkat kawasan TNGL oleh tim OIC. Foto: Ayat S Karokaro

Orangutan Sumatera yang terjebak di perkebunan sawit Desa Kuala Musam, Kecamatan Batang Serangan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, berhasil dievakuasi tim penyelamat Orangutan Information Centre (OIC), Senin (30/3/15).

Panut Hadisiswoyo, Direktur Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-OIC, mengatakan, habitat orangutan betina, usia 20 tahun ini ini rusak. Ekspansi perkebunan sawit pemicu utama.

Dia mengatakan, tim mendapatkan informasi orangutan berada perkebunan sawit, langsung ke lokasi, dan evakuasi. Proses penyelamatan berjalan cukup panjang, karena berada di ketinggian sulit terjangkau senapan bius. Setelah lebih lima jam, akhirnya orangutan terkena bius. Tim penyelamat mengantisipasi, dengan menyiapkan jaring.

Ketika tidak sadarkan diri karena pengaruh bius, orangutan jatuh ke jaring. Tim penyelamat dan dokter hewan langsung memeriksa kesehatan dan detak jantung.

Julius, dokter hewan,  memeriksa tubuh orangutan dan dalam keadaan sehat serta stabil. Meskipun ada dua butir peluru di tubuh, namun tidak menganggu kesehatan satwa ini. Setelah pemeriksaan selesai, barulah translokasi.

OIC mencatat, tempat evakuasi orangutan ini, salah satu lokasi tinggi konflik antara manusia dengan satwa, seperti orangutan, gajah, dan harimau.

Setelah berhasil evakuasi, tim melepaskan orangutan di Desa Halaban, Kecamatan Besitang, Langkat, sekitar 100 km dari lokasi penemuan. Menurut Panut, pelepasliaran satwa di sana karena jarak translokasi kecil kemungkinan orangutan kembali ke pedesaan karena lokasi pelepasan cukup jauh.

Sebelah barat dan utara tempat pelepasliaran ini hutan alami cukup luas. Walaupun ada sebagian hutan skunder dan perkebunan sawit cukup luas. Namun, kecil kemungkinan kembali.  “Saat hutan dibabat habis untuk perkebunan, semua habis, termasuk pohon-pohon orangutan hidup.”

Panut mengatakan, makin lama makin banyak orangutan terdesak karena habitat mereka di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) rusak.

Catatan OIC, 2015, sejak Januari-Maret, sudah translokasi 10 orangutan. “Hampir setiap minggu, translokasi dilakukan. Sebenarnya ini sangat disesalkan, karena translokasi dan evakuasi orangutan yang muncul di desa dan perkebunan sawit sekitar TNGL, tidak perlu. Karena habitat hancur penyelamatan terpaksa harus dilakukan.”

Setelah evakuali, orangutan langsung dilepasliarkan di hutan TNGL berdekatan dengan Desa Halaban,  Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat. Foto: Ayat S Karokaro

Setelah evakuali, orangutan langsung dilepasliarkan di hutan TNGL berdekatan dengan Desa Halaban, Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat. Foto: Ayat S Karokaro


Kala Orangutan Terjebak di Kebun Sawit Langkat was first posted on April 1, 2015 at 2:54 pm.
Viewing all 9432 articles
Browse latest View live