Quantcast
Channel: Mongabay.co.id
Viewing all 9428 articles
Browse latest View live

Berikut Peluang dan Tantangan Peleburan BP REDD+ dan DNPI

$
0
0

Lahan yang sudah dibuka perusahaan sawit dan diputus beroperasi ilegal oleh Mahkamah Agung.Dengan penyatuan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan serta peleburan BP REDD+ dan DNPI, berharap, hal-hal seperti ini bisa dihentikan dan tata kelola hutan hutan menjadi lebih baik. Bukan sebaliknya. Foto: Save Our Borneo

Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) dan BP REDD+ sudah lebur ke dalam Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sejak keluar peraturan Presiden 21 Januari 2015. Sebagian kalangan mengapresiasi, ada juga menyayangkan.  Mereka menilai, peleburan memiliki hal positif, tetapi juga tantangan besar.

Heru Prasetyo, mantan Kepala BP REDD + mengatakan, risiko peleburan kemungkinan ada kegiatan BP REDD+ tidak berlanjut. Sebab, lembaga baru ini tidak mempunyai tupoksi mencakup hal-hal yang dilakukan BP REDD+.

“Peluangnya, Menteri LHK bisa bekerjasama dengan menteri-menteri lain lebih baik lagi. Namun, mungkin ada pelimpahan kewenangan kepada Menteri Luar Negeri untuk urusan hubungan internasional,” katanya dalam pelatihan REDD+ di Jakarta, awal Maret 2015. Jika itu terjadi, kata Heru, akan kembali ke bisnis seperti biasa. Meskipun struktur baru, tetapi timbul risiko hilang koordinasi.

Dia menilai, kebingungan provinsi dan kabupaten bisa lebih banyak lagi. Selama ini, BP REDD+ biasa mengkomunikasikan lintas kementerian.

Menteri LHK, katanya,  sudah mengajak Menteri Agraria dan Pertanian bekerjasama. Inisiatif berkoordinasi lintas sektoral sudah ada, tinggal menunggu implementasi.

“Posisi dirjen akan dilelang. Ada waktu tiga bulan. Dirjen baru ini bisa mengajukan anggaran dalam empat bulan. Artinya, selama tujuh bulan tidak beraktivitas di KLHK soal REDD+.Tetapi kita berikan semangat mudah-mudahan tahun depan sudah jalan.”

Kesempatan lain, aktivis Debwatch Indonesia Arimbi Heroepoetri menggatakan, peleburan adalah sebuah keniscayaan. “Sebaiknya isu perubahan iklim dikelola lembaga yang tidak sektoral apalagi non departemen. Perasaan kita senang, tapi harap-harap cemas,” katanya dalam diskusi di Jakarta.

Menurut dia, peleburan baik tetapi jika dengan persyaratan ketat, misal perlu pendekatan multisektor. Sebab, isu perubahan iklim tidak hanya soal hutan, juga non hutan.

“Isu maritim belum terjangkau. Harus ada lembaga multisektor. Sistem tata negara perlu dirombak. Ide kita, lembaga itu langsung di bawah presiden. Kita tahu, banyak kementerian dan lembaga tidak efektif. Birokrasi lamban.”

Peleburan lembaga, katanya, juga harus memastikan agenda mitigasi dan adaptasi perubahan iklim beejalan cepat. “Peleburan baik tetapi orang-orangnya sama. Selama ini, Kementerian Kehutanan diisi orang yang kulturnya menikmati kerajaan bisnis perizinan. Harus diubah.”

Sisilia Nurmala Dewi dari HuMa mengapresiasi keputusan Presiden melebur empat lembaga (Kemenhut, Lingkungan Hidup, BP REDD+ dan DNPI) menjadi satu. Meski ada berbagai tantangan besar.

“Konsekuensi ada ketidakstabilan institusi. Visi misi, orang-orang dan program kerja yang selama ini terpisah sekarang digabung,” katanya.

Berharap, perbaikan tata kelola hutan dan lingkungan makin baik dengan peleburan  BP REDD+ dan DNPI  ke Kementerian LHK. Foto: Sapariah Saturi

Berharap, perbaikan tata kelola hutan dan lingkungan makin baik dengan peleburan BP REDD+ dan DNPI ke Kementerian LHK. Foto: Sapariah Saturi

Dia berharap, peleburan lembaga ini, model pembangunan bisa diperbaiki. KLHK, ujar dia,  harus bisa mengarusutamakan isu perubahan iklim dalam konsep pembangunan. “Dengan digabungkan dalam satu dirjen tentu ada garis pertanggungjawaban jelas. Tetapi ada persoalan menyangkut kinerja. Harus luas. Kerjasama dan koordinasi dengan kementerian lain harus terjalin.”

Muhammad Djauhari dari Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyaratan ikut bersuara. Menurut dia, langkah pemerintah melebur lembaga sudah tepat. “Pembiayaan dan koordinasi lebih mudah. Dulu dengan BP REDD+ dan DNPI, masing-masing sektor harus menyetorkan orang. Kemenhut setor orang ke DNPI dan REDD+ begitupun KLH.”

Yuyun Indardi, dari Greenpeace Indonesia mengatakan, dalam konteks menyederhanakan birokrasi penggabungan lembaga ini berhasil. “Tetapi kalau berbicara soal perubahan iklim, bukan hanya tanggungjawab KLHK. Kementan, ESDM dan kementrian lain yang berhubungan dengan eksploitasi SDA juga punya andil. Itu jadi tantangan lintas sektor.”

Untuk itu, dia pernah mendorong ada Kementerian SDA atau kementerian koordinator yang menangani masalah ini. Hingga, kebijakan di Kementan, ESDM dan kementerian lain bisa sinkron dengan upaya kelestarian lingkungan.

M. Kosar dari Forest Watch Indonesia (FWI) mengatakan, dulu BP REDD+ lemah karena tidak bisa mendorong kementerian sektoral bertindak. Setelah lebur, juga masih banyak tantangan. “Tantangan karena orangnya sama. Kita berpikir bagaimana agar antarlembaga bisa saling mempengaruhi.”

Temuan FWI, ada 41 juta hektar kawasan hutan berstatus lindung, produksi dan alokasi penggunaan lain tidak ada pengelola. “Dengan peleburan ini, diharapkan bisa menyelesaikan persoalan hutan yang tidak ada pengelola. Pemerintah harus bisa menyelesaikan semua konflik.”

Sedangkan Raynaldo Sembiring dari Indonesian Center of Environmental Law (ICEL) menyatakan, penggabungan ini harus diikuti upaya pengelolaan lingkungan hidup yang sistematis. Dimulai dari aspek perencanaan sampai penegakan hukum.

“UU Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan harus menjadi dasar tugas KLHK, terutama untuk mengerem pemberian izin eksploitasi yang masif oleh Kemenhut.”

Menurut dia, paling mendesak adalah penuntasan mandat penyelesaian rencana pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup (RPPLH) dan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS). Kedua hal ini demi memberikan arahan jelas tentang pelaksanaan pembangunan berkelanjutan berbagai sektor. “Ketika RPPLH dimuat dalam RPJM, moratorium bisa disitu. Lintas sektor. KLHS jadi instrumen penting.”

Ke depan, katanya, dalam pembuatan RPPLH dan KLHS, KLHK harus berpegang teguh pada UU Lingkungan Hidup. “Penggabungan ini saling melengkapi. Kemenhut kuat di daerah, dan KLH jadi punya power,” katanya.

Di lain kesempatan, Andreas Lagimpu, Anggota Presidium Dewan Kehutanan Nasional utusan Kamar Masyarakat Regio Sulawesi mengatakan, penggabungan kelembagaan di KLHK harus berjalan efektif, tanpa terhambat permasalahan teknis. “Jangan sampai penggabungan justru menghambat kinerja KLHK,” katanya.

Menurut dia, political will KLHK belum berujung aksi nyata. Terlalu banyak peraturan dikeluarkan kementerian ini, namun implementasi belum terlihat.

Andreas menilai, salah satu ukuran implementasi peraturan-peraturan belum terlihat adalah putusan Mahkamah Konstitusi soal masyarakat adat belum berjalan nyata.

 

 

 


Berikut Peluang dan Tantangan Peleburan BP REDD+ dan DNPI was first posted on March 24, 2015 at 10:40 pm.

Laskar Belati, Menjaga Kakao Luwu Tetap Lestari

$
0
0
Para petani kakao di Luwu Utara, yang bertani secara berkelompok, dan berusaha menerapkan pola pertaanian ramah lingkungan. Mereka mengurangi penggunaan pupuk dan pestisida kimia. Foto: Anton Muhajir

Para petani kakao di Luwu Utara, yang bertani secara berkelompok, dan berusaha menerapkan pola pertanian ramah lingkungan. Mereka mengurangi penggunaan pupuk dan pestisida kimia. Foto: Anton Muhajir

Petani kakao di Luwu Utara, Sulawesi Selatan, memiliki cara unik melestarikan tanaman. Mereka membentuk kelompok dengan senjata andalan belati. Merekapun berupaya menerapkan pertanian ramah lingkungan.

Laskar Belati. Begitulah nama kelompok informal petani di Desa Kalotok, Kecamatan Sabbang, Kabupaten Luwu Utara. Kelompok yang berdiri dua tahun lalu ini memang memiliki senjata utama belati. Dengan pisau kecil itu, para anggota menyambung atau okulasi bibit kakao.

“Ini hanya kelompok berkumpul sesama petani sekaligus bergotong royong,” kata Jusman Triatmojo, anggota Laskar Belati di Masamba, ibukota Luwu Utara.

Pagi itu, mata Jusman masih merah karena bangun tidur meskipun sudah pukul 10-an pagi. “Tadi malam kami bekerja sampai pukul 2.00. Baru bangun jam segini,” katanya.

Luwu Utara, salah satu pusat produksi kakao di Sulsel. Tiap tahun, kabupaten ini menghasilkan 40.600 ton kakao dari luas kebun 39.000 hektar. Jumlah produksi rata-rata per tahun masih berkisar 0,9 ton per hektar.

Secara statistik, produksi itu lebih tinggi dibandingkan petani kakao di Indonesia umumnya. Rata-rata produksi di Indonesia berkisar 0,5 ton-0,6 ton per hektar per tahun.

Menurut Jusman, petani masih ingin terus meningkatkan produksi maupun kualitas kakao mereka. Salah satu, melalui usaha peremajaan. Petanipun mendirikan Laskar Belati agar bisa saling membantu ketika membuat bibit. Dari situ, mereka makin sering gotong royong. “Laskar Belati terbentuk secara tidak sengaja,” katanya.

Pola pertanian merekapun ramah lingkungan. Untuk pupuk dan pestisida, membuat dari bahan-bahan kebun sendiri. Penggunaan bahan kimia sebisa mungkin dihindari.

“Dulu kami salah paham dengan penggunaan bahan kimia. Kami pikir makin banyak pakai pupuk kimia makin banyak hasil. Ternyata tidak,” kata Ismail Laenre, anggota Laskar Belati. Di depan rumah, Ismail membuat pembibitan. Selain keperluan sendiri, juga dijual.

Kini, mereka menggunakan pupuk organik. Sejak dua tahun silam, setelah beralih ke pertanian ramah lingkungan–meskipun sesekali masih menggunakan pestisida kimia dalam jumlah terbatas–hasil panenpun meningkat. Jumlah panen rata-rata delapan ton per hektar meskipun kini hanya enam ton karena bukan panen raya.

Menurut Jusman, setelah hasil lebih berlimpah, petani mendapatkan penghasilan lebih tinggi. Sampai Rp16 juta per bulan terutama musim puncak panen antara Juli-Desember. Padahal, gaji dia sebagai kepala desa hanya Rp2 juta per bulan.

Gotong royong

Setelah Laskar Belati berdiri, hampir tiap malam mereka bergotong royong membuat bibit kakao di rumah warga yang membutuhkan bantuan. Biasa, mereka bekerja selama dua hingga lima jam. “Dalam semalam kami bisa membuat 500 bibit.”

Ismail mengatakan, tidak ada formalitas dalam kelompok ini. Namapun muncul karena iseng. Karena itu, tidak ada struktur organisasi jelas. Tidak ada ketua. Siapa saja boleh keluar masuk. Namun, rata-rata yang ikut gotong royong sekitar 30 petani.

“Kalau diformalkan, kami khawatir malah memberatkan karena jadi kayak paksaan,” kata Ismail.

Layaknya gotong royong di pedesaan, mereka tidak dibayar sama sekali. “Paling hanya dapat rokok dan kopi,” kata Jusman. Petani yang juga Kepala Desa Kalotok ini menambahkan, uang tidak terlalu penting bagi anggota. “Yang mau dibangun itu ilmu dan kebersamaan.”

Masih kuatnya kebersamaan petani di Luwu Utara ini menjadi antitesis terhadap kian marak petani perorangan maupun industrialisasi pertanian. Melalui kerja kelompok, mereka tidak hanya saling membantu juga membangun kebudayaan.

“Karena bertani itu memang budaya, bukan pekerjaan. Maka produksi pertanian disebut budidaya,” kata Jusman. Menurut dia, sebagai proses budaya, bertani memerlukan waktu, misal, dari bibit menjadi buah.

Bertani juga perlu teknik tertentu untuk merawat agar tanaman tumbuh dan berhasil bagus. “Berbeda dengan pekerjaan yang semata memburu hasil tanpa peduli proses.”

Melalui kerja kelompok ini, petani Luwu Utara bisa mendapatkan hasil lebih baik. “Dulu kami tidak merawat sama sekali kakao kami. Sekarang mereka jadi sumber pendapatan utama,” kata Ismail. Kini, Laskar Belati terbukti membawa perbaikan rezeki bagi petani di Sulawesi.

Laskar Belati, begitulah nama kelompok tani ini. Mereka saling membantu dalam penyediaan bibit. Foto: Anton Muhajir

Laskar Belati, begitulah nama kelompok tani ini. Mereka saling membantu dalam penyediaan bibit. Foto: Anton Muhajir


Laskar Belati, Menjaga Kakao Luwu Tetap Lestari was first posted on March 24, 2015 at 11:27 pm.

Perusahaan Nikel Datang, Nasib Nelayan Morowali Utara Terancam

$
0
0

Kawasan hutan di Morowali, Sulawesi Tengah, yang rata dengan tanah akibat tambang nikel. Akankah ini terus terjadi? Foto: Christopel Paino

Dua perusahaan nikel di Morowali Utara, PT. Central Omega Resources Tbk (PT. COR) dan PT. Transon Bumindo Resources (PT. TBR), berencana membangun smelter atau pabrik pengolahan nikel di Kabupaten Morowali Utara.

Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Morowali Utara, Mahmud Ibrahim, mengatakan bahwa PT. TBR berencana membangun pabrik smelter di Desa Towara Pantai, Kecamatan Petasia Timur. Sementara, PT. COR rencananya akan membangun smelter di Desa Ganda-ganda, Kecamatan Petasia. Meski demikian, ia menghimbau agar pembangunan smelter tersebut tetap memperhatikan warga.

“Perusahaan harus memperhatikan warga sekitar lingkar tambang, tempat smelter dibangun,” kata Mahmud, belum lama ini.

Ratna, Eksternal Relation PT. Central Omega Resources Industri Indonesia (PT. CORII), anak perusahaan dari PT COR mengatakan, berbagai tahapan guna memuluskan rencana pembangunan smelter sudah dilakukan pihak perusahaan. Mulai dari sosialisasi, pembebasan lahan, maupun izin lokasi. Diakuinya, proses yang agak panjang terjadi pada sosialisasi dan seminar analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).

“Sementara, tahapan yang dilakukan saat ini adalah penelitian sultester atau penelitian struktur tanah dengan cara dites terlebih dahulu untuk mengetahui kekuatannya ketika smelter didudukkan.”

Ratna menjelaskan kalau tujuan pembangunan smelter tersebut untuk mengolah biji nikel laterit menjadi nikel pig iron (NPI) yang peleburannya menggunakan teknologi blast furnace. 

Perusahaan ini akan melakukan pembangunan smelter di Morowali Utara berdasarkan keputusan Bupati Morowali Utara Nomor 188.4.45/SK.0246/Umum/2013 tertanggal 26 Agustus 2013 tentang pemberian izin lokasi pembangunan pabrik nikel dan sarana pendukung lainya kepada perusahaan tersebut.

Lokasi pembangunan smelter berada di Dusun Lambolo, Desa Ganda-ganda, Kecamatan Petasia Kabupaten Morowali Utara. Luas arealnya mencapai 264,95 hektar di dua kawasan hutan: areal penggunaan lain (APL) dan hutan produksi terbatas (HPT). Pabrik ini direncanakan mengelola bijih nikel sebanyak 1,7 juta wet metric ton per tahun.

PT. COR sudah beroperasi sejak 2014 dalam pengelolaan bijih nikel menjadi ferro nikel (Fe-Ni). Rencana pemasarannya adalah tiongkok dan Taiwan.

Untuk ketersediaan bahan baku mineral, ada beberapa perusahaan dalam naungan PT COR, yang mendapat izin usaha pertambangan (IUP) dari Pemerintah Daerah Morowali saat Morowali Utara belum dimekarkan. Beberapa perusahaan tersebut yakni, PT. Mulia Pacific Resources, PT. Itamatra Nusantara, serta PT. COR II dengan total wilayah 6.620 hektar.

Rahim Kamal, Sekertaris Desa Ganda-Ganda, saat ditemui mengatakan keberadaan investasi seperti pertambangan diharapkan memperhatikan kelestarian lingkungan. Sebab, tidak sedikit IUP yang ada di wilayah desa tersebut yang tidak memperhatikan pengelolaan lingkungan.

“Kerusakan lingkungan terjadi di mana-mana. Seperti di lokasi Dusun Lambolo. Kondisi alamnya rusak parah. Dalam setiap pertemuan dengan perusahaan saya selalu mengingatkan tentang kondisi lingkungan ini,” katanya.

Andika, aktivis lingkungan dan peneliti pertambangan di Kabupaten Morowali menjelaskan, keberadaan pabrik smelter di wilayah tersebut akan mematikan kelangsungan hidup masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan turun-temurun di kawasan Teluk Tomori-Teluk Tolo.

“Keberadaan smelter itu akan membuat perubahan lansekap dan juga berubahnya satu kesatuan ekosistem laut yang berdampak bagi nelayan. Padahal, di daerah tersebut memiliki potensi perikanan yang bagus. Di sana banyak dijumpai ikan kakap merah dan ikan kerapu.”

Menurut Andika, sebaiknya dilakukan kalkulasi ekonomi, apakah jauh lebih baik masyarakat diberikan alat tangkap dan peningkatan pendapatan ekonomi bagi nelayan, ketimbang berdirinya pabrik smelter. Jangan sampai, pembangunan ekonomi di sektor pertambangan ini hanya berasumsi pada pemberian dana Coorporate Social Responsibility (CSR) atau sebatas tanggung jawab sosial perusahaan saja kepada masyarakat.

“Secara ekologi, pembangunan smelter di Teluk Tomori-Teluk Tolo sudah pasti merusak. Meskipun dalil-dalil teknis dari para pakar atau ahli akan membantahnya,” tegas Andika.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

 


Perusahaan Nikel Datang, Nasib Nelayan Morowali Utara Terancam was first posted on March 25, 2015 at 12:05 am.

Pasca Putusan Pengadilan, Pemerintah Harus Segara Ambil Alih Pengelolaan Air. Kenapa?

$
0
0

Pada Selasa kemarin (24/03/2015), Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan mengabulakn gugatan warga negara (citizen law suit) yang diajukan oleh Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) yang menolak privatisasi pengelolaan air.

PN Jakpus memutuskan tergugat yaitu Presiden, Wakil Presiden, Menteri Keuangan, Menteri Pekerjaan Umum, Gubernur DKI Jakarta, DPRD DKI, Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya dan turut tergugat Palyja dan Aetra lalai memberikan hak atas air yang merupakan hak asasi manusia.

Pengadilan juga memutuskan para tergugat melakukan perbuatan melawan hukum dengan membuat Perjanjian Kerja Sama (PKS) yg merugikan negara dan warga Jakarta, serta menyatakan PKS antara PAM dan Turut Tergugat batal dan tidak berlaku.

Aksi anak-anak sedukur sikep Sukolilo memperingati hari air sedunia. Mencuci bendera merah putih di Sumber Air Goa Wareh. Foto : JMPPK.

Aksi anak-anak sedukur sikep Sukolilo memperingati hari air sedunia. Mencuci bendera merah putih di Sumber Air Goa Wareh. Foto : JMPPK.

Juga diputuskan untuk menghentikan swastanisasi air di Jakarta, mengembalikan pengelolaan air minum ke Pemprov DKI Jakarta, Mencabut surat Gubernur DKI dan Surat Menteri Keuangan RI yg mendukung swastanisasi.

Pengadilan juga memutuskan agar pemerintah melaksanakan pemenuhan hak atas air sesuai prinsip hak atas air dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya serta Komentar Umum tentang Hak Atas Air.

Sebagai bagian dari KMMSAJ,  Koordinator Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Hak Atas Air (Kruha)  Muhammad Reza mengatakan pemerintah harus segera mengambil alih pengelolaan air untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

“Ada perintah dalam putusan itu agar negara mengambil alih pengelolaan air minum. Itu sudah sangat jelas,” katanya.

Dalam undang-undang, negara menguasai sumber air dan mengelola air untuk kemakmuran sebesar-besar kemakmuran rakyat. “Dalam praktek dikuasai negara, tapi tidak dikelola untuk kemakmuran rakyat, bahkan diserahkan kepada swasta. Jadi hubungan negara dan rakyat itu terpotong oleh swasta. Pemerintah mengabaikan tugas utama untuk pemenuhan atas air kepada rakyat dan menjadi proyek yang dijual oleh swasta,” katanya.

Dengan putusan tersebut, pengadilan memberikan penegasan payung hukum kepada pemerintah untuk menjalankan tugasnya, yang selama ini terjebak memberikan hak pengelolaan air kepada swasta.

Pasca putusan pengadilan tersebut, pemerintah harus segera memenuhi kewajiban mengelola air dengan menyusun rencana kerja secara detil demi untuk pemenuhan kebutuhan hak asasi warga atas air.

“Seharusnya pemerintah susun rencana detil bagaimana mereka memenuhi hak asasi atas air. Kalau di Jakarta, bagaimana pemerintah memenuhi kebutuhan air sekitar 17 juta orang warga. Rencana kerja termasuk biaya dan pemenuhan, menjaga sumber airnya, bagaimana melindungi dari campur tangan ketiga seperti perusak sumber daya air dan swasta,” kata Reza.

Dia melanjutkan pengelolaan air harus dilakukan oleh pemerintah.  Bila ada sisa kuota pengelolaan air, baur diberikan kepada pihak swasta secara terbatas dan ketat.

“Pengelolaan air di jakarta harus melibatkan masyarakat yang menentukan pemenuhan, kualista standar dan biayanya. Ada program. Harus sesuai dengan standar dan HAM. Air bisa diminum dan diakses 24 jam, harus diakses di semua tempat, harus bisa dijangkau. Tidak boleh pengeluaran per kapita untuk air lebih besar dari 3 persen. Tidak boleh memutus hak atas air kepada rakyat miskin yang tidak bisa membayar,” tegas Reza.

Rencana kerja pemerintah tersebut harus ada tahapan jelas, kongkrit, dan terukur oleh masyarakat. Jangan sumir, jangan berlindung dengan alasan, misalnya pemerintah tidak punya anggaran. Karena APBN sangat kecil untuk belanja air,” lanjutnya.

Maka tugas dari masyarakat untuk terus mengawal pemenuhan hak asasi atas air tersebut oleh pemerintah.

Hormati Putusan Pengadilan

Sedangkan PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja), operator penyediaan dan pelayanan air bersih untuk wilayah Barat DKI Jakarta, menyatakan menghormati putusan PN Jakpus, meski kecewa karena putusan berisi pembatalan dua Perjanjian Kerjasama Pelayanan Air di Bagian Timur dan Barat DKI Jakarta yang sudah berjalan selama 17 tahun.

“Palyja telah memutuskan untuk mengajukan banding terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Oleh karenanya, Perjanjian Kerjasama Palyja tetap berlaku penuh sampai dengan adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap. Berdasarkan hukum Indonesia, pengajuan banding atas putusan ini menangguhkan pelaksanaan dari putusan tersebut,” kata Kepala Divisi Komunikasi Perusahaan dan Tanggung Jawab Sosial Palyja, Meyritha Maryanie.

Palyja sendiri akan tetap berkomitmen untuk memberikan pelayanan kebutuhan air kepada masyarakat di bagian barat Jakarta sesuai dengan yang telah diatur dalam kontrak kerjasama.


Pasca Putusan Pengadilan, Pemerintah Harus Segara Ambil Alih Pengelolaan Air. Kenapa? was first posted on March 25, 2015 at 5:15 am.

Merehabilitasi Hutan Sambil Menjual Karbon. Seperti Apa?

$
0
0

Selain sebagai penjaga ekosistem dan habitat satwa, hutan di kawasan Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) di Jember, Jawa Timur, bakal dijadikan kawasan percontohan perdagangan karbon dari aktivitas penanaman pohon di lokasi lahan rehabilitasi hutan dengan menggandeng menggandeng masyarakat desa.

Pihak TN Meru Betiri telah menggandeng masyarakat, untuk ikut merehabilitasi lahan kritis seluas lebih dari 4.000 hektar, dengan memberikan hak pengelolaan lahan kepada masyarakat untuk ditanami tanaman pokok atau pohon tegakan. Program berhasil menghijaukan kembali lahan kritis tersebut.

Hutan di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Foto : Petrus Riski

Hutan di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Foto : Petrus Riski

Keberhasilan program tersebut, bisa dikompensasikan melalui skema perdagangan karbon. Arif Aliadi dari Konsorsium Pengelola Jasa Lingkungan Indonesia, kegiatan masyarakat untuk mencegah deforestasi dan kerusakan hutan perlu mendapatkan apresiasi dalam bentuk uang, dari hasil upaya menanam pohon yang memenuhi syarat untuk penyerapan karbon.

“Masyarakat di sekitar hutan harus difasilitasi agar ikut mempertahankan hutan. Kalau mereka mempertahankan hutan, maka mereka akan memperoleh benefitnya, selain hasil hutan juga uang dari penjualan karbon,” papar Alief.

Alief yang juga fasilitator dari Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN) menambahkan Indonesia belum pernah melakukan program perdagangan karbon pasca  Kyoto Protokol (2008-2012).

Hingga saat ini pihaknya masih melakukan sosialisasi dan pengenalan kepada masyarakat, untuk mengetahui mengenai bagaimana dan apa saja keuntungan yang dapat diperoleh dari perdagangan karbon.

“Sampai sekarang di Indonesia belum ada, justru dari program ini kami berharap menjadi yang pertama untuk menarik pembeli,” ujar Alief yang mengaku sedang menjajaki kerjasama dengan perusahaan-perusahaan di Indonesia yang peduli lingkungan, untuk bergabung dengan program ini.

LATIN sedang memfasilitasi masyarakat yang bersedia terlibat dalam program rehabilitasi hutan untuk mendapatkan sertifikat perdagangan karbon setelah tahapan MRV (monitoring, reporting and verificating) dilakukan di lokasi.

“Kalau mereka mau mempertahankan hutan maka akan ada benefitnya, ini petingnya kenapa kita dorong untuk mendapat sertifikasi. Karena dengan itu mereka punya komitmen mempertahankan, dan akan ada insentif atau nilai tambah dari karbon itu,” kata Alief.

Sertifikat didapatkan setelah ada kesepakatan kemampuan masyarakat menahan laju deforestasi dalam sekian waktu ke depan, dan akan dihitung emisi karbon yang berhasil ditahan.

“Misal dalam 10 tahun terdapat 400 hektar hutan yang mengalami deforestasi, kalau masyarakat tidak ingin hutannya rusak maka berapa luas hutan yang sanggup ditahan deforestasinya oleh masyarakat. Misalkan 50 persennya bisa ditahan, berarti masyarakat menjanjikan mempertahankan 200 hektar. Maka inilah komitmen masyarakat yang nantinya akan diajukan sertifikatnya yang kemudian dapat dijual, berisi komitmen masyarakat menurunkan emisi,” terang Alief.

Perdagangan karbon dari sektor hutan ini masuk dalam skema REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation). Indonesia sendiri telah berkomitmen untuk menurunkan 26 persen emisi gas rumah kaca pada 2020.

Setiap tahunnya Bank Dunia menyiapkan dana 2-20 miliar USD, untuk penanganan deforestasi bagi negara berkembang, yang dapat dimanfaatkan oleh Indonesia yang memiliki hutan seluas lebih dari 88 juta hektar.

Alief mengatakan, pada dasarnya semua tanaman yang berkayu dapat menyimpan karbon, karena karbon disimpan di dalam pohon. Kandungan karbon dapat diketahui dengan mengetahui berat jenis pohon. Semakin tinggi berat jenis pohon akan semakin tinggi kandungan kayu, maka nilai karbonnya juga semakin tinggi.

“Secara fisik karbon merupakan arang, dimana dalam konteks penjualan karbon bukan berarti kita tebang pohon dan dijadikan arang lalu kita jual. Tapi yang kita jual adalah bagaimana pohon itu tidak menjadi arang, tidak ditebang, tidak dibakar.Yang akan kita jual adalah usaha kita untuk mempertahankan pohon itu agar tidak menjadi arang,” tuturnya.

Alief menyebutkan beberapa contoh jenis pohon yang mampu menyimpan karbon dalam jumlah besar, antara lain trembesi, joho lawe, kedawung, dan bintungan, yang memiliki kemampuan tumbuh dengan cepat dan memiliki cabang yang banyak.

“Ketika melakukan rehabilitasi hutan, tentu semakin banyak pohon yang ditanam. Semakin banyak pohon yang tumbuh besar dan rimbun, maka kemampuan menyimpan karbon juga semakin banyak,” imbuhnya.

 

Sementara itu Direktur Konservasi Alam Indonesia Lestari (KAIL), Nurhadi, mengatakan melalui mekanisme karbon ini masyarakat dapat terbantu untuk membangun sistem pengelolaan hutan secara berkelanjutan.

“Salah satu skema dari karbon ini adalah kemampuan masyarakat untuk mengelola hutan secara lestari, disamping perlu juga untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Carbon trading ini merupakan bentuk apresiasi kepada masyarakat yang telah menanam pohon di hutan yang gundul,” kata Nurhadi yang juga merupakan warga Jember.

TN Meru Betiri seluas 58.000 hektar ini telah menyiapkan 40 Plot Sampel Permanen (PSP), dengan masing-masing berukuran 40 meter x 100 meter. PSP itu nantinya akan ditanami jenis pohon yang dapat dimanfaatkan buahnya, tanpa perlu menebang pohonnya.

Sejauh ini masyarakat di Desa Curahnongko dan Desa Andongrejo kata Nurhadi, sangat antusias terhadap rencana pelaksanaan program perdagangan karbon. Dengan melindungi hutan yang menjadi penghidupan mereka sehari-hari, maka kebutuhan hidup masyarakat dapat lebih terjamin.

“Dana yang nanti kita peroleh akan kita kembalikan lagi untuk merehabilitasi kawasan hutan, tentu nanti akan ada skemanya. Misal kalau 100 persen dari biaya yang didapatkan, maka 60 persen untuk rehabilitasi, 40 persen untuk kegiatan usaha produktif dan penguatan kelembagaan,” sambungnya.

Namun demikian Nurhadi mengakui tidak mudah mengajak seluruh masyarakat merehabilitasi hutan untuk dapat dijual karbonnya kepada negara maju maupun perusahaan. Tantangan terletak pada pemahaman masyarakat yang lebih suka menanam tanaman pertanian, yang mendatangkan keuntungan jangka pendek. Dengan begitu cukup sulit memenuhi target pohon yang harus ditanam, untuk dapat menghasilkan uang dari penjualan karbon.

“Kita sedang cari tanaman yang punya nilai ekonomi lebih tinggi dari tanaman pertanian. Tanaman obat sudah dicoba tapi belum semua masyarakat bisa mendapatkan manfaat dari itu,” tandasnya.

Perdagangan karbon merupakan skema kompensasi pendanaan yang diberikan oleh negara-negara maju atau pihak swasta yang telah mengemisi gas GRK penyebab perubahan iklim, kepada negara berkembang atau pihak lain yang berhasil menahan emisi gas GRK melalui berbagai program seperti REDD+.

Maka menjadi peluang bagi pemilik hutan seperti Indonesia, Papua Nugini, Afrika dan Amerika Latin memperoleh dana dari perdagangan karbon tersebut.

“Dengan project karbon ini, kita selalu mengkaitkan dengan rehabilitasi hutan, karena itu kegiatan sehari-hari yang dilakukan masyarakat,” tambah Alief.

 


Merehabilitasi Hutan Sambil Menjual Karbon. Seperti Apa? was first posted on March 25, 2015 at 6:31 am.

Inilah Aksi Laskar Bocah Menjaga Kebersihan Sungai Deli

$
0
0
Menjaga Sungai Deli, menjadi salah satu tujuan anak-anak  yang peduli dengan lingkungan ini. Foto: Ayat S Karokaro

Menjaga Sungai Deli, menjadi salah satu tujuan anak-anak yang peduli dengan lingkungan ini. Foto: Ayat S Karokaro

Seratusan anak-anak berjalan di sepanjang bantaran Sungai Deli, Medan, Sumatera Utara, Minggu (22/3/15). Mereka menamakan diri Labosude, berarti Laskar Bocah Sungai Deli.

Hari itu, seperti biasa,  anak-anak yang duduk di SD dan SMP ini, membersihkan Sungai Deli, dari limbah rumah tangga dan plastik. Mereka sudah lakukan sejak tiga tahun terakhir, beranjak banjir setiap hujan yang menggenangi rumah mereka.

Bertepatan dengan Hari Air Sedunia itu, anak-anak ini sebagian turun ke jalan. Ada juga kampanye di sungai sambil memungut sampah.

Anak-anak ini, berjalan kaki mengelilingi Kota Medan. Mereka berharap, manusia menjaga air Sungai Deli, yang sudah tercemar. Padahal puluhan ribu manusia hidup di sepanjang bantaran sungai itu. Setiap hari, warga memanfaatkan air buat mencuci, mandi, dan kebutuhan lain.

Mereka mengajak siapa saja tak membuang sampah dan limbah ke sungai. Mereka juga protes pemerintah karena tidak bertindak tegas dengan pabrik yang membuang limbah cair ke sungai.

Adalah Irfan, dedek, Baron, dan Edi. Mereka dari sekian anak-anak yang peduli Sungai Deli. Tak jarang,  mereka berhadapan arus deras, dan terminum air tercemar. Bahkan, tidak sedikit kaki atau tangan, terkena kaca.

“Biasa kami turun sungai saat libur sekolah atau Minggu. Kami bagi tugas, sepulang sekolah sempatkan turun memungut sampah ke sungai, ” kata Irfan. Matanya begitu tajam mengawasi aliran sungai. Jika terlihat sampah, goni plastik siap menampung limbah itu.

Dedek mengatakan,  ada sedikit kesedihan ketika memungut sampah, tiba-tiba dari atas orang membuang sampah kembali.

“Kami gak mau air sungai makin buruk. Disini kami tumbuh besar. Biar semangat tetap ada, sampai orang dewasa sadar mereka salah besar.”

Budi Bahar, Ketua Labosude mengatakan, dari pemantauan mereka, limbah cair di Sungai Deli, terbanyak dari rumah sakit, pabrik sawit, pabrik minuman, pabrik karet, dan pabrik alumunium. Selebihnya, limbah hotel dan rumah tangga.

Anak-anak yang tinggal di bantaran Sungai Deli ini menolak pembuangan limbah ke  sungai. Foto:  Ayat S Karokaro

Anak-anak yang tinggal di bantaran Sungai Deli ini menolak pembuangan limbah ke sungai. Foto: Ayat S Karokaro

Mereka protes, baik ke perusahaan maupun Pemerintah Deli Serdang, Karo, Medan, dan Sumut. Namun diacuhkan begitu saja. Limbah cair perusahaan masih ke Sungai Deli.

“Ini membuat kami emosi. Pemerintah hanya memikirkan bagaimana mendapatkan pendapatan, tanpa memikirkan dampak buruk yang,”  kata pemuda yang biasa jadi tim SAR dadakan kala evakuasi korban banjir.

Sungai Deli dulu dan sekarang

Amir Faisal, tokoh masyarakat Deli, mengatakan, dibandingkan 20 tahun lalu, Sungai Deli jauh berbeda. Dulu, air Deli cukup jernih dan bersih. Sekarang, tak lagi. Kualitas air buruk, katanya,  sejak 2001. Terlebih ada izin usaha di dekat sungai.

“Saya sebenarnya malu, setiap sore anak-anak ini turun ke sungai memungut sampah sambil berteriak jangan buang sampah. Kami yang tua ini belum sadar. Semua harus lihat dan mencontoh anak-anak ini,” katanya.

Djulmi Eldin, Walikota Medan mengatakan, pemerintah sudah mengeruk sungai. Cara ini, diharapkan mengurangi pendangkalan karena sampah banyak mengendap.

Dia juga terus komunikasi dengan Pemerintah Karo dan Deli Serdang, agar menanggulangi perbaikan Sungai Deli bersama-sama. Salah satu, menanam pohon di sepanjang bantaran sungai.

Sayangnya, Eldin, belum berani bertindak tegas, terhadap pembuang limbah. Dia menyatakan, Badan Lingkungan Hidup Medan, terus memantau kualitas air agar terjaga. “Kita kampanye megajak masyarakat menjaga Sungai Deli dengan tidak membuang sampah.”

Laskar Bocah Sungai Deli ini,  aksi memungut   sampah di  sungai. Foto: Ayat S Karokaro

Laskar Bocah Sungai Deli ini, aksi memungut sampah di sungai. Foto: Ayat S Karokaro


Inilah Aksi Laskar Bocah Menjaga Kebersihan Sungai Deli was first posted on March 25, 2015 at 4:39 pm.

Jangan Main-main Dengan Bulu Ayam Ini. Kenapa?

$
0
0

Dalam keseharian anda, mungkin sering mendengar apa yang namanya bulu ayam. Bagian tubuh dari hewan ayam, yang bisa dimanfaatkan sebagai alat kebersihan. Tetapi untuk bulu ayam yang ini, anda tidak bisa menggunakannya untuk bersih-bersih. Bahkan memegangnya pun dilarang. Karena bulu ayam yang ini beracun.

Inilah hydroid. Biota laut ini berbentuk seperti helaian bulu ayam yang besar. Di beberapa daerah di nusantara, makhluk laut ini dinamakan ayam-ayam. Hewan ini termasuk dalam kelas hydrozoa dan ordo leptothecata. Hidup dengan menyaring plankton yang terbawa arus, karenanya hydroid sangat mudah ditemukan di tempat yang arus dalam lautnya cukup kuat dan terkadang berubah-ubah arahnya.

Hydroid, si bulu ayam penyengat. Salah satu biota eksotik dari perairan Sulawesi Utara. Foto : Wisuda

Hydroid, si bulu ayam penyengat. Salah satu biota eksotik dari perairan Sulawesi Utara. Foto : Wisuda

hydroid, biota laut eksotis  beracun. Foto : Wisuda

hydroid, biota laut eksotis beracun. Foto : Wisuda

Selain itu, ia juga menyukai perairan yang agak keruh dengan kandungan bahan organik terlarut yang tinggi. Tumbuh diantara karang dan atau pasir. Secara kasat mata, hydroid hanya tampak seperti tanaman yang melambai-lambai bila terkena arus laut.

Sebagaimana anggota phylum cnidaria lainnya, permukaan hydroid dipenuhi sel penyengat untuk melumpuhkan plankton dan mempertahankan diri.Walaupun tidak mematikan, tetapi hewan ini cukup mengganggu apabila menyengat manusia.

Sel penyengat hydroid mengandung racun yang dapat menimbulkan sensasi rasa gatal yang luar biasa jika masuk ke dalam kulit. Rasa gatal ini bercampur dengan rasa panas,  dan akan menjalar dengan cepat saat digaruk. Kulit akan memerah dan bentol-bentol dengan ukuran besar-besar seperti orang yang mengalami gejala alergi (urticaria). Dan racunnya juga dapat dengan mudah berpindah, apabila bagian yang tersengat bergesekan dengan bagian tubuh yang lainnya.

hydroid-2,-sulut

Cara penanganan ketika tersengat hydroid adalah dengan mengoleskan alkohol 70 persen ke bagian yang terkena, atau dengan menggunakan asam cuka. Untuk beberapa orang dengan tingkat kepekaan tertentu, racun hydroid dapat juga berakibat fatal.

Karena beracunnya, bulu ayam penyengat ini termasuk biota yang dihindari oleh para penyelam ketika menikmati keindahan surga bawah air di Indonesia.


Jangan Main-main Dengan Bulu Ayam Ini. Kenapa? was first posted on March 26, 2015 at 2:16 am.

Rajin Dirambah, Kondisi TNGL Wilayah Aceh Mulai Merana

$
0
0
Kondisi hutan yang rusak di pintu pendakian Gunung Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah

Kondisi hutan yang rusak di pintu pendakian Gunung Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah

Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang berada di wilayah Kabupaten Aceh Tenggara dan Gayo Lues, Provinsi Aceh, kondisinya mulai memprihatinkan. Hutan hijau tersebut tampak gundul akibat perambahan tak terkendali untuk lahan pertanian dan perkebunan.

Gunawan Alza, Kepala Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah Aceh Tenggara dan Gayo Lues, Senin (23/3) menyebutkan, di Aceh Tenggara, luas TNGL yang rusak mencapai 10.000 hektar. Sementara di Gayo Lues, sekitar 2.500 hektar. “Data tersebut berdasarkan citra satelit,” jelasnya.

Hal yang memprihatinkan adalah perambahan bukan hanya dilakukan oleh masyarakat tetapi juga pejabat daerah setempat. Beberapa orang telah divonis bersalah dan kebunnya disita. “Sekarang, mulai ada penurunan kegiatan, terutama sejak dilakukan penegakan hukum dan para perambah ditangkap.”

Menurut Gunawan, guna mencegah terjadinya perambahan lebih luas, telah dilakukan juga kegiatan pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat sekitar kawasan hutan. “Kerja sama yang dilakukan dengan USAID-IFACS (Indonesian Forest and Climate Support) atau program terpadu perubahan iklim, tata kelola hutan berkelanjutan, dan pengurangan emisi karbon di Aceh Tenggara dan Gayo Luwes ini bertujuan agar masyarakat benar-benar mandiri dan tidak merambah hutan.”

 

Kondisi hutan TNGL yang rusak di wilayah Aceh Tenggara. Foto: Junaidi Hanafiah

Kondisi hutan TNGL yang rusak di wilayah Aceh Tenggara. Foto: Junaidi Hanafiah

Kondisi Hutan TNGL yang rusak di wilayah Gayo Luwes. Foto: Junaidi Hanafiah

Kondisi Hutan TNGL yang rusak di wilayah Gayo Luwes. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Tisna Nando, Communication Officer USAID IFACS Aceh Region, mengatakan selama empat tahun ini USAID-IFACS bekerja di Aceh Selatan, Aceh Tenggara, dan Gayo Lues. Masyarakat yang menerima manfaat ekonomi langsung melalui strategi pembangunan rendah emisi karbon ini sekitar 9.178 orang. Rinciannya,  4.916 orang di Aceh Selatan, 3.764 orang di Gayo Lues, dan 498 orang di Aceh Tenggara.

“Sementara itu, masyarakat dan pemerintah daerah yang menerima manfaat peningkatan kapasitas melalui pelatihan teknik pertanian, kehutanan, penghitungan karbon, ekowisata, hingga akses pasar berjumlah 4.323 orang. Mereka tersebar di  Aceh Selatan (2.233 orang), 1,466 orang di kabupaten Gayo Lues (1.466 orang), dan 624 orang di Aceh Tenggara” ujar Tisna.

Bahkan, sambung Tisna, saat ini 145.866 masyarakat di Aceh Selatan, Aceh Tenggara, dan Gayo Lues sudah mengetahui tentang perubahan iklim dan perlindungan hutan yang dilakukan melalui ceramah ramadhan, khutbah Jumat, program radio, dan sosialisasi. “Kita berharap, kesadaran masyarakat meningkat dan kelestarian TNGL terus dijaga, yang tidak hanya penting bagi mereka tetapi juga untuk dunia,” ujarnya.

Taman Nasional Gunung Leuser yang luasnya 1.095.592 hektar ini, secara administratif berada di Provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Untuk wilayah Aceh yang berada di Aceh Tenggara, luasnya sekitar 376.104 hektar, sementara di Gayo Luwes sekitar 240.304 hektar.

Pemberdayaan ekonomi masyarakat di sekitar hutan TNGL telah dilakukan mulai dari memberikan bantuan bibit pala unggul hingga pelatihan penggunaan  mesin penyuling minyak nilam dan serai wangi. Foto: Junaidi Hanafiah

Pemberdayaan ekonomi masyarakat di sekitar hutan TNGL telah dilakukan mulai dari pemberian bantuan bibit pala unggul hingga pelatihan penggunaan mesin penyuling minyak nilam dan serai wangi. Foto: Junaidi Hanafiah

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

 

 


Rajin Dirambah, Kondisi TNGL Wilayah Aceh Mulai Merana was first posted on March 26, 2015 at 4:19 am.

Inilah Katak Terbang yang Menakjubkan

$
0
0

Katak pohon terbang (Rhacophorus pardalis), selaput diantara jari-jari kakinya berfungsi sebagai daya ungkit saat “terbang”. Katak ini difoto di hutan Kalimantan Barat. Foto: Rhett Butler

Tak semua orang menyukai katak, atau setidaknya memilih menjauhinya. Sebagian orang geli atau jijik dengan makhluk amfibi ini, bahkan sebagian orang akan merasa takut bila berdekatan dengannya. Spesies katak yang ini tentu akan membuat mereka lebih ‘ngeri’ bila bertemu, karena katak ini… bisa terbang!  Ya, inilah Katak Pohon Terbang.

Katak Pohon Terbang (Rhacophorus pardalis) adalah ‘katak terbang’ yang masih bisa ditemukan di hutan primer dan sekunder di berbagai tempat di Asia Tenggara. Katak ini tentu saja tidak benar-benar terbang, melainkan meluncur layaknya terbang. Katak ini tergolong cukup besar untuk ukuran katak pohon, ukuran katak jantan dewasa sekitar 50 mm, sedangkan yang betina sepanjang 60-70 mm.

Ukuran yang cukup besar, tangan dan kaki yang jari-jarinya yang saling terhubung lewat semacam sirip berwarna merah terang, garis kuning di tubuhnya yang dihiasai titik-titik hitam, membuat katak pohon terbang Kalimantan ini cukup mudah untuk diidentifikasi.

Untuk menjaga kulitnya tetap lembab, habitat katak ini memang di daerah yang memiliki kelembaban tinggi atau di mana ada banyak air, biasanya di daerah yang cukup hangat. Sirip yang menghubungkan jari-jari di tangan dan kakinya memungkinkannya meluncur dari pohon ke pohon hingga mencapai jarak 15 meter. Selaput di antara jari-jari di tangan dan kakinya mampu menghasilkan daya ungkit selama meluncur.

 

Borneo red flying frog gliding, Rhacophorus pardalis,  © Sabah, Borneo

Rhacophorus pardalis dalam gerakan meluncur. Foto ©: www.lanting.com

Katak ini menghabiskan sebagian besar waktunya di atas pohon, dan hanya turun ke tanah untuk bertelur. Karena hal tersebut, belum banyak yang diketahui tentang kebiasaan katak ini. Populasi spesies katak ini tersebar di Sumatera (termasuk Siberut dan Sipora), Kalimantan (Indonesia, Malaysia, Brunei), dan Filipina (Mindanao, Negros, Bohol dan Luzon ).

Oleh IUCN, katak terbang ini dimasukkan dalam kategori “Least Concerned” karena distribusnya yang luas, kemampuannya beradaptasi dengan lingkungan, serta populasinya yang besar. Namun, IUCN mengingatkan bahwa deforestasi telah menyebabkan populasinya cenderung menurun, apalagi katak ini menghabiskan waktunya di pohon-pohon tinggi.

 

 

 


Inilah Katak Terbang yang Menakjubkan was first posted on March 26, 2015 at 11:23 am.

Duh! Hama Ganas Serang Mangrove Pesisir Pangkep

$
0
0
 Sahariah menunjukkan lokasi pertama kali serangan hama itu ditemukan oleh anaknya. Sebagian besar tanaman layu kecoklatan seperti habis terbakar. Foto: Wahyu Chandra

Sahariah menunjukkan lokasi pertama kali serangan hama itu ditemukan oleh anaknya. Sebagian besar tanaman layu kecoklatan seperti habis terbakar. Foto: Wahyu Chandra

Mangrove di pesisir Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, tiba berubah warna dari hijau menjadi coklat. Daun dan batang mengering seperti terbakar. Belum diketahui penyebab pasti tetapi diperkirakan serangan hama ngengat dari ordo Lepidoptera. Hama fase ulat dewasa ini menyerang mangrove Avicennia sp atau oleh mangrove Api-api.

Pada Senin (23/3/15), saya mengunjungi lokasi mangrove di Desa Pitusunggu, Kecamatan Ma’rang, Pangkep. Saya menemui Sahariah, orang pertama melaporkan serangan ini kepada fasilitator Oxfam di Pangkep, Soni Kusnito. Dia mengajak ke dermaga, lokasi pertama kali melihat serangan.

Kondisi mangrove sangat mengenaskan. Di ujung dermaga mangrove membentang sekitar 6-8 km tidak lagi berwarna hijau, malah didominasi coklat.

Soni Kusnito, Fasilitator RCL Oxfam, memperkirakan,  serangan berkisar 40-50%. Jauh lebih besar ketika pertama kali dia ke situ empat hari lalu.

“Jumat pekan lalu saya kesini, serangan belum separah ini. Masih dominan hijau. Kini banyak coklat.”

Sahariah membawa kami ke lokasi serangan pertama kali. Hanya beberapa meter dari jalan masuk dermaga. Hampir seluruh mangrove terserang. Ranting banyak ngengat dewasa berwarna kecoklatan.

Dia bercerita, pertama kali mengetahui karena laporan anaknya, Yunus, baru melaut memanen rumput laut. Kondisi pantai berlumpur, budidaya rumput laut agak jauh ke laut, sekitar satu km dari garis pantai.

“Sore itu, Yunus melihat banyak ulat di batang mangrove. Warna hitam dan bau. Dia mengambil beberapa dan memperlihatkan kepada saya. Saya langsung ke sana.”

Awalnya dia tak begitu khawatir. Namun, kesesokan hari ketika kembali tanaman terserang makin banyak. Dia panik.

“Sudah 24 tahun tinggal di sini tak pernah ada kejadian ini. Saya langsung menelpon Mas Soni.”

Dia sempat ditegur banyak orangtua karena melaporkan serangan hama ini. Sebagian warga meyakini hama dari langit dan tak perlu diributkan.

“Mereka bilang ini turun dari langit, kenapa harus dilapor. Dulu, pernah terjadi, hanya sebagian kecil. Sekarang banyak sekali.”

Hanya dalam waktu seminggu, hampir setengah dari seluruh mangrove  di Pesisir Kecamatan Ma’rang Pangkep, Sulsel, terserang hama. Serangan skala luas ini pertama kali terjadi di Pangkep. Tanaman yang hijau berubah menjadi layu. Foto: Wahyu Chandra

Hanya dalam waktu seminggu, hampir setengah dari seluruh mangrove di Pesisir Kecamatan Ma’rang Pangkep, Sulsel, terserang hama. Serangan skala luas ini pertama kali terjadi di Pangkep. Tanaman yang hijau berubah menjadi layu. Foto: Wahyu Chandra

Pengamatan Sahariah, serangan baru akan terjadi saat petang,  malam dan pagi hari. Ketika siang, cuaca panas, tak ada serangan sama sekali. “Kalau malam kita bisa mendengar bunyi kresek-kresek. Mungkin ulat sedang makan daun.”

Ngengat berordo sama dengan kupu-kupu dikenal sebagai serangga malam atau nocturnal. Jika kupu-kupu aktif di siang hari mereka sangat aktif malam hari.

Siklus hidup berawal dari telur yang menjadi ulat. Masa ulat inilah mereka biasa memakan daun. Sebagian spesies dikenal rakus makan. Dari ulat menjadi kepompong, sebelum menjadi ngengat dewasa.

Setelah mendapat laporan warga, Soni datang melihat langsung dan melaporkan ke Dinas Kehutanan Pangkep.

“Pak Kadis lagi rapat, tapi laporan sudah diterima dan akan dilanjutkan ke Balai Mangrove di Bali. Mereka kaget dengan kasus ini karena baru pertama.”

Nurhaeda, Kepala Seksi Rehabilitas Dishut Pangkep, membenarkan laporan dan segera melanjutkan ke Balai Pengelolaan Hutan Mangrove (BPHM) Wilayah I di Bali. Dia menembuskan laporan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Menurut Soni, mangrove di pesisir Pangkep sebagian besar vegetasi alami hingga kelestarian patut dijaga.“Ini vegetasi alami, jarang ada. Kalau kelak mau ditumbuhkan pasti tidak sama lagi.”

Soni khawatir dampak lain, abrasi luas dan bisa mencapai pemukiman warga yang berjarak 50 meter dari garis pantai.

“Kalau mangrove hilang tunggu saja air akan menggenang sampai daratan. Tambak ini akan hilang. Begitupun rumah warga.”

Yusran Nurdin Massa, Peneliti dari Yayasan Hutan Biru (YHB), kaget. Dia tak pernah menemukan serangan hama dan penyakit di Sulawesi, apalagi skala luas. “Bisa jadi hama ini dari luar,” katanya.

Ada dua dugaan. Pertama, hama migrasi dari pertanaman padi akibat penggunaan pestisida berlebihan di sekitar, membuat hama tersingkir mencari inang lain. Kedua, migrasi hama dari hutan di kawasan karst.

“Bisa jadi mereka bermigrasi karena sudah makin tinggi tambang. Ketika tak kondusif, mereka mencari lingkungan lebih cocok di sekitar karst.”

Sylvia Sjam, pakar hama dari Universitas Hasanuddin, belum bisa memastikan jenis hama penyerang. Dia sedang mengikuti seminar di Bandung.

Dia meminta saya memberikan sampel hama kepada mahasiswa di Jurusan Perlindungan Hama dan Penyakit Unhas untuk diperiksa.

“Saya sudah dapat laporan identifikasi, namun belum bisa memastikan. Ini dari ordo Lepidoptera. Saya mencurigai hama tertentu, tapi saya ragu karena hama ini tidak populer dan belum pernah ditemukan di Indonesia.”

Sylvia belum bisa memastikan penyebab pasti ledakan pertumbuhan hama ini. Bisa dari luar atau dari tanaman itu sendiri.

“Bisa jadi selama ini hama itu sudah ada, hanya saja dalam kondisi normal dan susah berkembang karena ada predator. Kalau terjadi ledakan bisa karena ada predator hilang atau lingkungan sangat kondusif untuk pertumbuhan mereka.”

Jika dari luar, katanya, bisa karena kondisi sekitar yang terganggu dan hama ini menemukan inang cocok di mangrove.

“Tidak menutup kemungkinan kerusakan karena toksin atau racun tertentu yang dikeluarkan hama yang punya efek merusak bagi tanaman.”

Dengan serangan sporadis ini, katanya, seharusnya ada tindakan cepat pemerintah dengan pencegahan agar tidak melebar ke tempat lain.

“Segera kumpulkan instansi terkait. Ini bisa menghancurkan eksosistem mangrove dalam skala luas jika tak ada upaya-upaya penanganan segera.”

Menurut dia, penanganan kemungkinan agak sulit melihat sifat-sifat hama. “Jika menggunakan pestisida agak sulit karena hama bersembunyi di dalam daun dalam bentuk pupa. Kalaupun disemprot hanya efektif untuk hama dewasa saja.”

Hama yang menyerang diperkirakan sejenis ngengat meski belum diketahui secara pasti spesienya. Serangan terjadi di malam hari ketika hama masih dalam fase ulat. Pada fase pupa, hama ini membungkus diri dengan daun hingga sulit dibasmi dengan pestisida. Foto: Wahyu Chandra

Hama yang menyerang diperkirakan sejenis ngengat meski belum diketahui secara pasti spesienya. Serangan terjadi di malam hari ketika hama masih dalam fase ulat. Pada fase pupa, hama ini membungkus diri dengan daun hingga sulit dibasmi dengan pestisida. Foto: Wahyu Chandra

Cara lain, memangkas pohon terserang atau mengumpulkan pupa-pupa di daun lalu dibakar.

“Cara ini juga agak sulit karena serangan tinggi dan letak tanaman berada di lokasi berlumpur, susah diakses.”

Bisa juga, katanya, menggunakan lampu perangkap untuk hama dewasa. Hama digiring ke cahaya lampu yang diberi perangkap tertentu.

Ekosistem Terancam

Yusran segera menyiapkan tim turun ke lokasi.  Dia khawatir dampak luas pada eksistensi eksosistem mangrove di Sulsel.

Kekhawatiran Yusran beralasan. Jika serangan hama ini hanya di tiga desa di Kecamatan Ma’rang, yaitu Pitusunggu, Pitue dan Tamangapa, kini ada laporan terjadi Kabupaten Maros.

“Ada yang melihat di sekitar Maros. Belum bisa dipastikan namun di kejauhan terlihat warna mangrove kecoklatan, sama dengan di Pangkep.”

Menurut Yusran, pesisir barat Sulsel, yang membentang dari Makassar hingga ke Pinrang, selama ini dikenal sebagai sabuk hijau (green belt). Ia terdiri dari hutan mangrove sepanjang 250 km dan lebar rata-rata 10-15 meter. Khusus di Pangkep bentangan sabuk hijau ini sekitar 45 km.

“Sebagian besar mangrove Sulsel di sepanjang sabuk hijau ini.”

Luasan mangrove di Sulsel mengalami penyusutan drastis dalam 30 tahun terakhir. Jika 1980-an, masih sekitar 214.000 hektar, kini tersisa 22.000-23.000 hektar.

Penyebabnya, eksploitasi berlebihan dan konversi lahan menjadi tambak serta massif revitalisasi pantai, yang alihfungsi jadi kawasan industri dan wisata.

“Kalau ini juga terganggu, akan menjadi ancaman berat bagi keberlangsungan ekosistem mangrove Sulsel.”

Menurut Yusran, kajeadian di Pangkep tantangan baru bagi kelestarian mangrove. Selama ini,  sebagian besar kerusakan karena faktor fisik, seperti perubahan bentangan alam atau hidrologi.

“Penyebab hama dan penyakit hampir tak pernah. Biasa hanya muncul pada proses pembibitan.”

Inilah nasib mangrove itu. Dalam beberapa hari, hama ganas memberangus  tanaman ini. Foto: Wahyu Chandra

Inilah nasib mangrove itu. Dalam beberapa hari, hama ganas memberangus tanaman ini. Foto: Wahyu Chandra

 


Duh! Hama Ganas Serang Mangrove Pesisir Pangkep was first posted on March 26, 2015 at 12:02 pm.

Dicari! Dana Jaminan Reklamasi Pasca-tambang di Kalimantan Barat

$
0
0

Aktivitas pengerukan sumber daya alam di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Foto: Sampan Kalimantan

Seperti mencari jarum di dasar lautan, begitulah perumpamaan yang cocok untuk mengetahui ke mana dana jaminan reklamasi pasca-tambang di Kalimantan Barat berada. Regulasi mewajibkan setiap pemegang izin usaha pertambangan membayar dana jaminan reklamasi (jamrek) sebelum beroperasi. Kenyataannya, nyaris semua perusahaan tidak melakukan kewajiban itu.

Hal ini terkuak dari hasil diskusi terfokus dengan tema Menelusuri Dana Jaminan Reklamasi Pasca-tambang di Kalimantan Barat (Kalbar). Diskusi yang berlangsung pada Senin (23/3/2015) ini dihadiri sejumlah lembaga swadaya masyarakat seperti Walhi Kalbar, Perkumpulan Sahabat Masyarakat Pantai (Sampan) Kalimantan, Jari Indonesia Borneo Barat, dan Perkumpulan Kensurai.

Adalah Anton P Widjaya, Direktur Eksekutif Walhi Kalbar yang menggelontorkan pernyataan itu. “Sejatinya, perusahaan wajib membayar dana jamrek sebelum beroperasi. Tapi kita lihat fakta di lapangan. Hampir semua perusahaan mengabaikannya. Kalau pun ada, publik tidak pernah tahu berapa besaran dana yang dibayar perusahaan. Sepertinya, pemerintah di level daerah juga menyembunyikan,” katanya di Pontianak.

Menurut Anton, kalaupun ada data terbaru seperti besaran dana jamrek yang hanya Rp466.107 per hektarnya, itu muncul setelah adanya koordinasi dan supervisi (korsup) mineral dan batubara oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Kalbar.

Lebih jauh dia menjelaskan, reklamasi seharusnya menjadi parameter utama untuk memastikan berjalannya proses eksploitasi tambang. Dalam proses itu, pemerintah juga harus bekerja sama dengan masyarakat sipil dan akademisi agar proses reklamasi yang akan diimplementasikan oleh perusahaan tambang ini bisa berjalan dengan benar.

Jika tidak, kata Anton, akibatnya bisa seperti terjadi sekarang. Perusahaan hanya mereklamasi sebagian kecil, kemudian dijadikan evidence (barang bukti) untuk dilaporkan sudah melakukan reklamasi. “Kemungkinan ini hanya jadi alat manipulasi saja,” tukasnya.

Anton berharap, modus-modus seperti ini tak perlu terjadi lagi di kemudian hari. Dia mendorong pemerintah membentuk tim independen yang melibatkan masyarakat sipil dan akademisi. Baginya, tim ini penting untuk melihat, menilai, dan mengukur, seperti apa harusnya memulai sebuah reklamasi. Termasuk mendorong spesies-spesies lokal dalam proses reklamasi. Bukan sekadar ditanam dan selesai.

Sumber: Diolah dari 24 Surat Keputusan Pencabutan IUP oleh Gubernur Kalbar hingga 2 Februari 2015

Lemah pengawasan

Direktur Eksekutif Perkumpulan Sampan Kalimantan, Fajri Nailus Subchi mengatakan, carut-marut di sektor pertambangan di Kalbar dipicu oleh lemahnya pengawasan pemerintah. Salah satu contoh di tahun 2013, masih banyak perusahaan beroperasi sebelum ada kebijakan smelterisasi. “Inspektorat yang ada di Kalbar saja cuma satu orang. Dia harus melakukan pengawasan tambang di seluruh wilayah Kalbar,” katanya.

Hal itu menunjukkan bahwa pemerintah, saat mengeluarkan izin usaha pertambangan tidak dibarengi dengan kesiapan infrastruktur pendukung. Akibatnya, banyak temuan di lapangan saat perusahaan sudah meninggalkan wilayah operasi pertambangannya. Di antaranya, perusahaan membiarkan kawasan tambangnya begitu saja dalam bentuk yang sudah dieksploitasi tanpa reklamasi sama sekali.

Kemudian, lanjut Fajri, ketidakmauan melakukan reklamasi juga jadi bukti nyata perusahaan tidak memiliki niat untuk membangun, melainkan hanya ingin mengeksploitasi. “Kalau perusahaan punya niat membangun, secara otomatis dia memiliki tanggung jawab reklamasi. Kenapa saya katakan mereka tidak berniat membangun Kalimantan Barat, itu bisa dicek hasil korsup KPK berapa miliar uang yang ditunggak perusahaan di Kalbar,” jelasnya.

Lebih jauh Fajri menyoroti soal penentuan nilai jamrek yang belum dimiliki Pemerintah Provinsi Kalbar. Baginya, baseline soal itu sangat penting untuk mengetahui besaran dana yang harus dibayar perusahaan sebelum mengeksploitasi. “Misalnya, untuk bauksit itu rentangnya dari berapa sampai berapa. Begitu pula batubara, bahan galian golongan C, dan emas. Nah, saya kira itu yang harus dimiliki pemerintah provinsi.”

Dalam hal penentuan nilai jamrek ini, ucap Fajri, harus ditemukan angka yang wajar. Perusahaan tidak tergencet, tapi dana yang disimpan di bank bisa jadi jaminan reklamasi. Dengan demikian, ketika perusahaan meninggalkan kawasan tambangnya, dana tersebut bisa digunakan untuk mereklamasi.

Di mata Fajri, langkah itu jauh lebih menjanjikan daripada pola seperti sekarang. Perusahaan pergi tapi dananya tidak cukup untuk mereklamasi. “Pemerintah provinsi musti menyusun standarisasi nilai jaminan reklamasi,” pungkasnya.

 

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio


Dicari! Dana Jaminan Reklamasi Pasca-tambang di Kalimantan Barat was first posted on March 27, 2015 at 12:23 am.

Tanpa Dukungan Pemerintah Pusat, Penurunan Emisi Karbon Tujuh Persen di Aceh Sulit Dilakukan!

$
0
0
Hutan Leuser yang harus dijaga kelestariannya. Foto: Junaidi Hanafiah

Hutan Leuser yang harus dijaga kelestariannya. Foto: Junaidi Hanafiah

Pemerintah Aceh menyatakan tetap melanjutkan program Penurunan Emisi dari kegiatan Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD+) meski kini, Badan Pelaksana REDD+ sudah dilebur di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan  (KLHK) melalui Peraturan Presiden No.16 tahun 2015.

Namun begitu, komitmen Aceh untuk menurunkan angka emisi karbon sebesar tujuh persen pada 2020 nanti, akan sangat sulit dilakukan tanpa adanya dukungan dari pemerintah pusat.

“Kami berharap, KLHK yang memegang mandat masalah perubahan iklim dapat melanjutkan komitmennya membantu Aceh dalam program REDD+,” kata anggota Satuan Tugas (Task Force) REDD+ Aceh, Hairul Basri dalam sarasehan bertema “REDD+ Sebagai Instrumen Pembangunan Berkelanjutan” di Kantor Bappeda Aceh, Banda Aceh (24/3/2015).

Aceh merupakan provinsi percontohan Program REDD+ di Indonesia yang menandatangani Kesepahaman Bersama dengan BP REDD+ pada 17 November 2014 lalu. Terbitnya Pepres No 16 Tahun 2015 diharapkan tidak menghambat semangat dan program REDD+ sebagai salah satu instrumen pembangunan berkelanjutan. “Aceh tercatat diurutan ke-12 sebagai provinsi penghasil emisi karbon di Indonesia.”

Hal yang sama dikatakan oleh Ketua Task Force REDD+ Aceh M. Daud. Aceh memerlukan intervensi pemerintah pusat untuk membantu menurunkan emisi karbon sebesar tujuh persen. “Tadinya BP REDD+ menjadi harapan kami, ini dibuktikan dengan kesiapan kami dengan segala persyaratan yang ditetapkan sebelum penandatanganan nota kesepahaman bersama (MoU). Setelah BP REDD+ tidak ada, bagaimana solusinya?”

Pemerintah Aceh juga telah membentuk Tim Satuan Tugas REDD+ dengan melibatkan berbagai komponen, yaitu lembaga swadaya masyarakat (LSM), masyarakat adat, akademisi, dan Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA).

“Tim ini telah melakukan berbagai kegiatan, diantaranya penyusunan strategi rencana aksi provinsi (SRAP), penyempurnaan data dasar dan peta kadastral, perhitungan Reference Emissions Level (REL), dan berbagai peningkatan kapasitas,” jelas Abu Bakar, Ketua Bappeda, dalam sambutannya yang diwakili Muhammad Fadhil, Kepala Bidang Infrastruktur Bappeda, Pemerintahan Aceh.

Yang belum tercapai adalah penyusunan rencana implemantasi pengukuran, pemantauan, pelaporan yang terverifikasi (MRV), dan MoU dengan kabupaten.

Gubernur Aceh Zaini Abdullah bersalaman dengan Kepala BP REDD+ Heru Prasetyo disaksikan oleh Wakil Dubes Norwegia Per Cristiansen usai penandatanganan nota kesepahaman di Pendopo Gubernur Aceh, Senin (17/11/2014). Foto: BP REDD+

Keseriusan Pemerintah Aceh disambut baik oleh KLHK yang diwakili oleh San Afri Awang. Menurutnya, semangat dan kegiatan yang telah dilakukan di Aceh akan diintegrasikan kedalam program – program KLHK. “Kita akan menggunakan berbagai sumber daya. Kita tidak berhenti. Tidak ada yang sia-sia karena akan diteruskan (oleh KLHK),” kata Awang.

Awang berjanji, jika ada anggaran untuk program REDD+ maka pemerintah akan mengutamakan daerah-daerah yang sudah berproses. Meski begitu, di hadapan Tim task force, Pemerintah Aceh dan LSM, Awang juga mengaku belum mengetahui bagaimana komitmen Pemerintah Norwegia terhadap program REDD+ apakah sebatas mendanai persiapan atau masuk sebagai negara pembeli karbon. “Belum jelas juga, kita belum mendengar komitmen Norwegia untuk membeli karbon dari Indonesia.”

Terkait Aceh, Awang mengingatkan ada permasalahan Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh yang sekarang sedang diributkan oleh pegiat lingkungan. “Ada persoalan terkait Taman Nasional Gunung Leuser dan ekosistem Leuser. Keunikan dan kearifan lokal Aceh harus diangkat dan dipahami dengan baik sehingga program REDD+ kedepan benar – benar bermanfaat bagi rakyat.”

Kritikan datang dari anggota Task Force REDD+ Aceh dari Dinas Kehutanan Aceh, Saminuddin B Tou, yang mengingatkan bahwa sebagai provinsi dengan otonomi khusus, Aceh diharapkan tidak tergantung pada pendanaan REDD+ dari Pemerintah Pusat. Menurutnya, sebagai provinsi yang pernah punya inisiatif program volunteri REDD+, Aceh harusnya bisa lebih maju dalam program REDD+.

“Aceh punya kewenangan khusus yang menjadikan Aceh sebagai entitas pengelola dana REDD+ langsung. Jadi, kita tidak perlu menunggu dari Jakarta. Aceh harus mengelola sendiri dana REDD+, bukan sebagai pesuruh kumpul-kumpul data,” ujar Saminuddin.

 

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio


Tanpa Dukungan Pemerintah Pusat, Penurunan Emisi Karbon Tujuh Persen di Aceh Sulit Dilakukan! was first posted on March 27, 2015 at 3:11 am.

Pasca Putusan Ringan MV Hai Fa, KKP Harus Sinergikan Penegakan Hukum Pencurian Ikan

$
0
0

Pada Rabu (25/03/2015) kemarin, Pengadilan Perikanan Negeri Ambon memutuskan hanya mendenda Rp250 juta kepada kapal angkut MV Hai Fa yang terbukti melakukan pencurian ikan.

Menanggapi putusan terhadap kapal berbendera Panama yang ditangkap di Pelabuhan Umum Wanam, Kabupaten Merauke, Papua, pada Desember 2014 dan membawa 800.658 kilogram ikan dan 100.044 kg udang milik PT Avona Mina Lestari, berbagai pihak merasa kecewa.

Bahkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti akan melakukan banding terhadap putusan tersebut. “Kami akan melakukan banding. Kami tidak bisa membiarkan keputusan ini terjadi pada pelaku illegal fishing,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti di Jakarta pada Rabu (25/03/2015).

Kapal berbendera Malaysia diledakkan di Perairan     Belawan karena melakukan pencurian ikan di wilayah laut Indonesia. Foto:  Ayat S  Karokaro

Kapal berbendera Malaysia diledakkan di Perairan Belawan karena melakukan pencurian ikan di wilayah laut Indonesia. Foto: Ayat S Karokaro

Sedangkan Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (Kiara) melihat putusan tersebut merupakan gambaran lemahnya aparat penegak hukum dalam pemberantasan tindak pidana pencurian ikan.

“Sebetulnya ini cermin dari ego sektoral sehingga substansi tuntutan tergolong ringan dan mengenyampingkan ketentuan UU Perikanan dan belum adanya sinergi penegakan hukum khususnya pencurian ikan. Ini tidak sejalan dengan upaya pencegahan dan upaya serius pemberantasan pencurian ikan yang dilakukan oleh KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan),” kata Sekjen Kiara, Abdul Halim yang dihubungi Kamis (26/03/2015).

Padahal pemerintah sudah pernah mengeluarkan Permen KP No. PER.13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi Tindak Pidana Perikanan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Permen KP No. PER.18/MEN/2011.

Penuntutan jaksa sendiri hanya didasarkan pada Pasal 100 jo. Pasal 7 ayat (2) huruf m Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah menjadi UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, kewajiban mematuhi ketentuan jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Negara Republik Indonesia.

Jaksa dari Kejaksaan Tinggi Maluku hanya mengancam nakhoda dan ABK dengan pidana penjara selama satu tahun atau denda maksimal sebesar Rp. 250 juta. Padahal dari dari KKP menyebutkan ikan yang diduga hasil curian mencapai bobot 900,702 ton. Total tersebut terdiri dari 800,658 ton ikan beku dan 100,44 ton udang beku serta 66 ton ikan Hiu Martil dan Hiu Koboi yang dilindungi dan dilarang untuk ditangkap dan diekspor ke luar negeri. Kerugian negara yang ditimbulkan mencapai Rp. 70 Miliar dengan penghitungan sejak 2014 telah 7 kali melakukan penangkapan ikan.

Kiara melihat telah sangat jelas terjadi pelanggaran Pasal 29 ayat (1) UU Perikanan yang hanya membolehkan warga negara Republik Indonesia atau badan hukum Indonesia dalam melakukan usaha perikanan di wilayah indonesia. Hanya kapal berbendera Indonesia yang diperbolehkan untuk menangkap ikan di zona perairan territorial dan kepulauan.

Sedangkan Kapal MV Hai Fa bernakhoda asing dari china yang bernama Zhu Nian Lee dan tanpa ada ABK asal Indonesia Indonesia. Kapal ini juga diduga telah melanggar ketentuan sistem pengawasan kapal (vessel monitoring system) dan tidak memiliki Surat Layak Operasi (SLO).

“SLO tidak dianggap persyaratan utama penangkapan ikan. Padahal UU perikanan  menyebutkan merupakan bagian yang harus dimiliki sebelum melakukan aktivitas penangkapan ikan di indonesia,” katanya.

MV Hai Fa juga mengangkut ikan hiu martil (Scalloped Hammerhead / Sphyrna lewini) dan hiu koboi (oceanic whitetip shark/Carcharhinus longimatus) yang melanggar Pasal 21 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya, dengan ancaman pidana penjara paling lama lima tahun dan denda Rp100 juta.

Kapal itu juga memasuki wilayah teritorial Indonesia sehingga melanggar kedaulatan negara sebagaimana diatur di  dalam Konvensi Hukum Laut Internasional PBB yang telah diratifikasi melalui UU No. 17 Tahun 1985.

Halim mengatakan upaya yang perlu dilakukan KKP adalah dengan mengajukan banding pada tingkat pengadilan kedua dan melakukan sinergi langkah secara intensif dengan aparat penegak hukum, terutama kejaksaan

Oleh karena itu, Kiara mendesak kepada pemerintah untuk melakukan penuntutan dengan tidak hanya berdasarkan pelanggaran administratif, tetapi mendasarkan pada tindak kejahatan (tindak pidana) atas perbuatan menangkap ikan secara bertentangan dan melanggar hukum.

Selain itu, tuntutan tidak boleh hanya berhenti kepada pelaku di lapangan, tetapi juga harus menjerat perusahaan di belakang layar yang diduga dilakukan oleh  PT. Avona Mina Lestari dan Menteri Kelautan dan Perikanan harus segera memberikan sanksi yang berat kepada pejabat yang memberikan ijin (SIUP) kepada PT. Avona Mina Lestari dan SIPI kepada kapal MV Hai Fa serta syahbandar yang telah lalai mengeluarkan surat persetujuan berlayar.

“Evaluasi dan perbaiki hubungan kelembagaan antara Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan aparat penegak hukum, baik dari Kejaksaan maupun Mahakamah Agung. Tujuannya untuk memperbaiki maslah koordinasi dan komunikasi antar-lembaga demi pemberantasan pencurian ikan yang sinergis dan berkeadilan,” kata Halim.

Penangkapan dua kapal asing penangkap ikan ilegal asal Thailand oleh Kapal Pengawas Hiu Macan Tutul 005 di perairan teritorial Laut Anambas, Kepulauan Riau yang kemudian dibawa ke Satker PSDKP Batam pada 11 Maret 2015. Foto : Ditjen PSDKP KKP

Penangkapan dua kapal asing penangkap ikan ilegal asal Thailand oleh Kapal Pengawas Hiu Macan Tutul 005 di perairan teritorial Laut Anambas, Kepulauan Riau yang kemudian dibawa ke Satker PSDKP Batam pada 11 Maret 2015. Foto : Ditjen PSDKP KKP

Sedangkan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menyayangkan keputusan pengadilan terhadap MV Hai fa.

“Seharusnya penuntut umum mendasarkan tuntutan bahwa kejahatan pencurian ikan adalah suatu kejahatan luar biasa (extraordinary crime).  Illegal, unreported and unregulated (IUU) Fishing berdampak luas tidak terbatas pada devisa negara dan sumber daya alam tetapi juga hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat Indonesia yang akan merugi akibat dari IUU Fishing,” kata Ketua KNTI, Riza Damanik.

Lemahnya penegakan hukum terhadap MV Hai Fa akan berdampak tersanderanya proses penegakan hukum terhadap kapal ikan asing yang mencuri di perairan Indonesia di kemudian hari. “Hakim dapat mengambil keputusan yang adil dan memberikan efek jera, termasuk dengan menyita kapal MV Hai Fa,” tambahnya.

Ketua Satuan Tugas Pencegahan dan Pemberantasan Pencurian Ikan (IUU Fishing) Mas Achmad Santosa mengatakan mengatakan kapal-kapal eks asing buatan Cina dengan ABK asing Cina itu pandai memanipulasi dengan menggunakan bendera Indonesia. Kadang malah menggunakan bendera ganda (double flagging). Sedangkan pemahaman aparat penegak hukum TNI, Polair dan KKP bahwa yang boleh ditenggelamkan hanyalah kapal asing.

“Satgas berpendapat kalau ABK-nya asing, apalagi pemindahtanganan kepemilikan kapalnya (deletion of certificate) tidak jelas maka layak ditenggelamkan atau dimusnahkan. Penenggelaman bisa dilakukan pada kapal-kapal bukan berbendera asing, sekalipun masih pada tahap penyidikan. Ternyata ada pasal dlm UU Perikanan membolehkan untuk dimusnahkan/ditenggelamkan tanpa mensyaratkan bahwa kapal tersebut adalah berbendera asing,” kata Mas Achmad Santosa yang lebih akrab dipanggil Ota kepada Mongabay.

Dia mengatakan Menteri KKP dan dan Satgas Gahtas IUUF sekarang sedang memproses penenggelaman lapal eks Cina yang ada di Merauke dan Ambon. “Sekarang 10 kapal eks Cina diatas 200 GT sedang diproses secara hukum. Kapal-kapal eks Cina ini, tidak hanya dikenakan pasal-pasal pidana perikanan yang menyangkut pelaku fisik/lapangan seperti nakhoda dan fishing master,  akan tetapi pidana korporasi yaitu pengenaan ancaman hukuman terhadap pengurus korporsi dengan menghukum penjara pengurus korporasi,” katanya.

“Bu Susi dan Satgas telah berkoordinasi dengan penegak hukum terkait untuk meminta penetapan pengadilan untuk penenggelaman sebagian atau seluruhnya kapal-kapal tersebut,” lanjutnya.

Wakil Ketua Satgas Gahtas IUUF-KKP Yunus Husein mengatakan penyidikan kapal-kapal Cina itu dilakukan oleh aparat dari Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut (Lantamal) IX dan lantamal XI TNI AL. “Jadi persuasi / koordinasi terus dilakukan oleh Menteri KKP dan Satgas dengan penyidik TNI AL dan Kejaksan RI,” kata Yunus.

Sedangkan MV Hai Fa didakwa tiga hal yaitu berlayar tanpa SLO, tidak mengaktifkan VMS dan mengangkut hiu martil untuk ekspor.  “Ketiga-tiganya menurut UU, ancaman hukumannya hanya sebatas denda pidana (criminal penalty),  bukan hukuman badan/ penjara. Itu sebabnya TNI AL sebagai penyidik tidak mau menenggelamkan MV Hai Fa karena yang terbukti hanya 3 jenis pelanggaran yg tergolong ringan tersebut. Kemarin tuntutan jaksa perikanan dari Kajati Ambon, dari 3 dakwaan hanya terbukti satu dakwaan saja yaitu pelanggaran mengangkut hiu martil,” jelas Yunus.

Satgas Gahtas IUUF menganggap tuntutan jaksa aneh, karena tuntutan ini melemahkan dakwaannya sendiri. Oleh karena itu, Yunus Husein langsung datang ke Ambon pada Jumat (20/03/2015) kemarin untuk melakukan klarifikasi, pantau dan melakukan verifikasi kejanggalan-kejanggalan itu.

“Satgas sudah mendiskusikan dengan Danlantamal IX minggu-minggu lalu untuk menenggelamkan kapal Hai Fa, atas izin bu Susi tentunya . Tapi menurut pendapat penyidik pelanggarannya masih ringan. Jadi penenggelaman Hai Fa dengan 3 jenis pelanggaran diatas masih belum layak dilakukan,” kata Yunus.

Dia mengatakan Pengadilan Perikanan juga diharapkan memberi putusan merampas barang bukti untuk diserahkan kepada negara untuk dimusnahkan atau dihibahkan kepada lembaga-lembaga pendidikan atau koperasi nelayan. “Bu Susi n Satgas tidak menyerah begitu saja terhadap fakta bahwa penegakan hukum belum mampu memberi efek gentar atau deterrent effect,”  tambah Yunus.


Pasca Putusan Ringan MV Hai Fa, KKP Harus Sinergikan Penegakan Hukum Pencurian Ikan was first posted on March 27, 2015 at 4:51 am.

Memprihatinkan, Dalam Lima Tahun Deforestasi Ekosistem Leuser Bertambah Lebih Dua kali Lipat

$
0
0

Pembukaan lahan untuk perkebunan sawit di kawasan ekosistem Leuser. Foto: Rhett Butler

Laju kehilangan hutan di Kawasan Ekosistem Leuser yang terletak di provinsi Sumatera Utara dan Aceh dilaporkan telah meningkat lebih dari dua kali lipat. Faktor penebangan hutan, perambahan dan konversi hutan untuk kepentingan perkebunan menjadi sebab dari hilangnya hutan.

Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan minggu ini, Sumatran Orangutan Society melaporkan bahwa 80.316 hektar hutan hilang antara tahun 2008 dan 2013, peningkatan tajam dari 30.830 hektar antara 2002 dan 2008. Penilaian tersebut didasarkan pada analisis dari data satelit NASA yang diterbitkan oleh peneliti yang dipimpin oleh Matt Hansen dari University of Maryland.

“Hutan Leuser yang berharga ini sangat penting bagi kelangsungan hidup orangutan sumatera, harimau sumatera, gajah sumatera dan badak Sumatera -. Meski telah dilindungi secara hukum, tetap saja kerusakan hutan tetap berjalan,” jelas Helen Buckland, Direktur Sumatran Orangutan Society.

Lebih buruk lagi, tambah Buckland, sebagian dari blok Leuser akan segera dialihfungsikan untuk logging, pengembangan perkebunan, dan pertambangan, yang menyebabkan kondisi ekosistem dan satwa liar penghuninya semakin beresiko.

Sebagian dari kawasan ekosistem Leuser secara hukum telah ditetapkan sebagai Taman Nasional, namun masa depan dari keseluruhan ekosistem ini masih jauh dari terlindung. Ekosistem ini merupakan jantung dan pemberi jasa lingkungan terbesar bagi sebagian wilayah di provinsi Sumatera Utara dan Aceh.

 

Peta Global Forest Watch yang menunjukkan Kawasan Ekosistem Leuser. Didalam dan disekitar kawasan aktivitas pertambangan, perkebunan dan hutan industri semakin meningkat.

 

Seperti yang diberitakan di Mongabay sebelumnya, beberapa kali tindakan ilegal logging dapat digagalkan oleh aparat kehutanan. Taman Nasional Gunung Leuser sendiri baru saja memperingati hari jadinya yang 35 tahun pada tanggal 6 Maret yang lalu.

Diluar tindak pencegahan illegal logging, para naturalis lebih mengkuatirkan usulan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh yang telah berjalan selama bertahun-tahun ini. Lobi yang intensif dari perusahaan kepada pemerintah akan memungkinkan pembukaan hutan yang sebelumnya terlarang untuk perkebunan, penebangan, dan konsesi pertambangan.

Perubahan RTRWA akan memberi akses terhadap pembukaan jalan yang membelah kawasan ekosistem. Pembukaan jalan pada akhirnya akan menjadi akses bagi masuknya para okupan lahan dan kepentingan industri. Hutan akan terancam dengan fragmentasi. “Kami dan rekan-rekan masyarakat sipil bersatu untuk melawan rencana pembukaan jalan, pertambangan emas, dan perkebunan pulp dan kertas dan kelapa sawit dalam ekosistem,” lanjut Buckland.

“Jika rencana tersebut terealisir, kita bisa melihat bahwa spesies ikonik akan punah hanya dalam beberapa tahun. Bencana alam seperti banjir dan tanah longsor akan bertambah. Resiko kebencanaan akan terjadi jika daerah sensitif seperti lereng curam, daerah aliran sungai dan lahan gambut penuh karbon dibuka dan dikonversi.”

Sumatera telah kehilangan hampir seperempat dari hutan dan lebih dari 40 persen dari lahan gambut selama periode 2000 dan 2010. Deforestasi ini merupakan tingkat deforestasi tertinggi dari setiap pulau utama selama periode tersebut. Konversi untuk pulp dan kertas, kayu, dan produksi minyak sawit adalah pemicu terbesar hilangnya hutan alam.

 

 

 


Memprihatinkan, Dalam Lima Tahun Deforestasi Ekosistem Leuser Bertambah Lebih Dua kali Lipat was first posted on March 27, 2015 at 6:43 am.

Kincir Menghilang, Kepedulian Masyarakat Terhadap Air Berkurang

$
0
0

Kincir air yang kini mulai terlupakan. Sumber: Litbang PU.go.id

Jemi Delvian, Vokalis Hutan Tropis Band, dengan nada suara yang terbatah-batah menceritakan hilangnya kincir air di wilayah Gunung Dempo – Kabupaten Lahat, Kota Pagaralam, dan Kabupaten Empat Lawang –  Sumatera Selatan. Hilangnya kincir air yang disebut Antan Delapan yang digunakan untuk menggiling padi dan kopi tersebut, membuat kepedulian warga terhadap air tidak lagi tumbuh sebagaimana sebelumnya.

“Air kini hanya dipahami sebagai sumber air minum dan mencuci. Bukan seperti sebelumnya sebagai sarana transportasi dan sumber tenaga untuk kincir,” kata Jemi Delvian, dalam diskusi peringatan Hari Air Sedunia di Palembang, Jumat (20/03/2015) lalu.

Karena kepedulian terhadap air kian melemah, maka kondisi hutan maupun perusahaan yang menyebabkan kerusakan hutan dan sungai, tidak begitu menarik perhatian masyarakat di sekitar Gunung Dempo.

“Dulunya mereka sangat menjaga hutan dan sungai, sebab air dipahami sebagai sumber tenaga kincir, sarana transportasi dan sumber air bersih,” ujar Jemi.

Kerusakan hutan di wilayah sekitar Gunung Dempo, selain karena adanya perkebunan, penebangan liar, juga pembangunan pusat tenaga listrik dari panas bumi.

“Jika kondisi ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin masyarakat di sana akan mengalami krisis air bersih, bukan hanya yang dialami masyarakat di Palembang seperti sekarang ini,” kata Jemi yang dilahirkan di Pagaralam ini.

Untuk melahirkan kembali kesadaran masyarakat di sekitar Gunung Dempo terhadap sumber air, khususnya terhadap keberadaan hutan, Jemi Delvian bersama Hutan Tropis menulis lagu berjudul “Kincir”.

…Kincir menyapa rambutmu yang hitam dengan air sungai, menyambutku dari sawah kita di lembah. Kincir pun bersenandung untuk dusun kita yang hijau…

Keprihatinan Jemi dibenarkan Hadi Jatmiko dari Walhi Sumsel. “Apa yang disampaikan Jemi merupakan tanda-tanda bencana ekologis yang terjadi di Sumatera Selatan (Sumsel), seperti kekeringan dan banjir. Ini semua karena lemahnya tata kelola air. Kebakaran hutan yang melanda Sumsel setiap tahun juga disebabkan lemahnya tata kelola air, terutama di wilayah gambut,” ujarnya.

Dijelaskan Hadi, dari 8 juta hektar wilayah daerah aliran sungai (DAS) di Sumsel, akibat aktivitas perkebunan dan pertambangan, wilayah DAS yang masih baik tersisa hanya 800 ribu hektar. “Moratorium terhadap perkebunan dan pertambangan merupakan langkah yang harus dilakukan pemerintah, selain melakukan upaya perbaikan hutan,” ujarnya.

Anwar Sadat dari Serikat Petani Sriwijaya (SPS), menjelaskan akibat tata kelola air yang buruk, hasil pertanian terganggu, bahkan gagal. “Misalnya yang terjadi di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). Akibat aktivitas perkebunan, puluhan ribu hektar sawah tidak dapat digarap petani karena kekeringan dan banjir,” ujarnya.

“Karena itu dalam menata air, kita harus bekerja ekstra keras. Bukan hanya memperbaiki kinerja pemerintah dan menata masyarakat, tetapi juga memantau perilaku para pelaku usaha yang terkait hutan,” ujarnya.

Dari seluruh total air di bumi, hanya 3 persen yang merupakan air tawar, dimana dua pertiganya dalam bentuk es dan gletser. Foto: Rhett A. Butler

Menata lingkungan

Hutan Tropis Band bukan hanya berkampanye melalui musik atau lagu. “Kami juga melakukan sejumlah agenda kerja nyata dalam menata lingkungan hidup, khususnya terkait dengan hutan,” kata Armaizal, selaku Direktur Hutan Tropis.

Armaizal, yang dikenal sebagai pegiat sosial dan ekonomi masyarakat pedesaan, Hutan Tropis selain melakukan pertunjukkan musik di sejumlah titik di Sumsel, seperti di sekolah, perguruan tinggi, dan desa, juga melakukan penghijauan dan mendorong gerakan plasma nutfah.

Dalam gerakan penghijauan, kata Armaizal, Hutan Tropis akan melibatkan para pelajar dan mahasiswa. “Targetnya kita akan melahirkan 3.000 duta lingkungan. Dari 3.000 duta lingkungan tersebut, kita akan melakukan penghijauan dengan penanaman tiga juta pohon di wilayah DAS di Sumsel,” ujarnya.

Pohon-pohon yang ditanam tersebut, selain langka, juga dapat dijadikan sumber ekonomi masyarakat, “Misalnya pohon gaharu, manggis, jelutung, dan meranti,” katanya.

Sebelum diskusi, Hutan Tropis juga menampilkan delapan lagu. Pertunjukkan tersebut dimulai dengan lagu “Kepak Semesta” dan diakhiri dengan “Bumi Bukan Hanya Hari Ini”.

“Lagunya mengena dengan persoalan lingkungan. Inilah yang dibutuhkan masyarakat Indonesia, seniman bukan hanya menghibur, tapi juga turut berjuang untuk kepentingan banyak orang,” papar Jaid Saidi, penyair Palembang, yang hadir dalam kegiatan tersebut.

 

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio


Kincir Menghilang, Kepedulian Masyarakat Terhadap Air Berkurang was first posted on March 27, 2015 at 6:52 am.

Kejahatan Perikanan, Satgas Dorong Jerat Korporasi

$
0
0
Mas Achmad Santosa, Ketua Satgas Anti Illegal Fishing (kedua kiri), kala ke Pontianak, Kalimantan Barat, melihat kapal-kapal asing yang diamankan. Foto: Asenaty Pahlevi

Mas Achmad Santosa, Ketua Satgas Anti Illegal Fishing (kedua kiri), kala ke Pontianak, Kalimantan Barat, melihat kapal-kapal asing yang diamankan. Foto: Aseanty Pahlevi

Satgas Anti Illegal Fishing mendorong penanganan kasus kejahatan perikanan tak hanya menyasar pelaku lapangan, juga perusahaan agar ada efek jera. Putusan pengadilan juga bisa dikembangkan sampai ke sanksi administrasi, seperti pencabutan izin dan lain-lain. “Ini untuk mengoptimalkan penanganan kasus hingga ke akarnya,” kata Mas Achmad Santosa, Ketua Satgas Illegal, Unreported and Unregulated Fishing, di Pontianak, pekan lalu.

Ota, begitu biasa dipanggil mengatakan, semua itu mungkin, jika merujuk pada Pasal 7 juncto Pasal 101 UU Kelautan dan Perikanan. Di sana disebutkan, setiap orang berusaha dan pengelolaan perikanan wajib mematuhi ketentuan, salah satu soal daerah, jalur dan waktu atau musim penangkapan ikan. Sedang pemusnahan kapal, katanya, bentuk efek getar bagi pelaku illegal fishing.

Kunjungan ke Kalbar, katanya, guna memastikan moratorium eks kapal asing sebagai kebijakan Menteri Susi Pudjiastuti,  sejak November 2014,  berjalan sesuai harapan pemerintah.

Perairan Kalimantan Barat, salah satu kawasan rawan pencurian ikan di Indonesia. Nelayan Vietnam, Thailand dan Malaysia, kerap menangkap ikan dengan melanggar teritori. Sayangnya, selama ini, penanganan kejahatan perikanan tak terpantau maksimal. Untuk itu, penegakan hukum dan penjagaan perairan Indonesia sangat penting.

Mulai April online

Dia menyatakan, mulai April, penanganan kasus illegal fishing akan terekam online. “Sistem ini,  terbuka bagi siapapun, hingga masing-masing pihak bisa melihat suatu kasus sampai dimana tahapan,” katanya.

Dengan sistem tersingkronisasi antarpenegak hukum illegal fishing, diharapkan bisa meminimalisir ‘permainan’ di lapangan. “Kita wajib memastikan agar tidak ada permainan di lapangan jangan sampai ada pelemahan,” katanya.

Para awak kapal asing yang   ditangkap dan masih proses hukum. Foto:  Aseanty Pahlevi

Para awak kapal asing yang ditangkap dan masih proses hukum. Foto: Aseanty Pahlevi

Belasan kapal asing

Saat ini, belasan kapal diamankan dan masih tertambat di tepi Sungai Rengas, di Stasiun PSDKP Pontianak. Tim Satgas IUU Fishing yang dipimpin Mas Achmad Santosa didampingi Inspektur Jenderal KKP Andha Fauzie Miraza,  menyambangi kapal-kapal ini.

“Dari 14 kapal itu, tujuh diputus Pengadilan Perikanan Pontianak 2014, sudah inkracht,” kata Sumono, Kepala Stasiun Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Pontianak.

Saat ini, ada 104 anak buah kapal masih tanggungan negara. “Biaya makan mereka dari kementerian, ABK di luar dari para tersangka yang ditahan di Rutan.”

Tahun ini, 11 kapal asing diamankan karena pencurian ikan di perairan Kalbar. Tujuh kasus, dilimpahkan ke Kejaksaan. Dari tujuh kasus, empat kapal masih proses persidangan dan tiga belum sidang. PSDKP Pontianak, katanya, baru menangkap empat kapal asing, dan diamankan di dermaga PSDKP Pontianak hingga total 15 kasus, sampai Maret 2015.

Menurut Sumono, mereka menghadapi masalah karena PSDKP Pontianak belum mempunyai fasilitas penyimpanan barang bukti, terutama hasil tangkapan nelayan asing.

PSDKP terpaksa menitipkan gratis kepada perusahaan swasta, bidang perikanan. Mendengar ini, Ota menegaskan, jangan sampai penitipan bias hingga menciderai tugas pokok dan fungsi penyidikan kasus-kasus illegal fishing.

Menjawab permintaan satgas untuk menjerat korporasi, Kapolda Kalimantan Barat Brigjen Pol Arief Sulistyanto menyatakan kesiapan. Mantan Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus di Bareskrim ini mengatakan, sangat mungkin melacak transaksi keuangan dengan tindak pidana pencucian uang. “Sangat efektif  menerapkan pidana pencucian uang dengan kejahatan asal pencurian ikan di perairan Indonesia, dalam pemberantasan kejahatan perairan.”

Sebagai pemegang kewenangan di wilayah 12 mil perairan, katanya, mereka siap berpatroli bersama PSDKP-KKP. Termasuk, modus  manipulasi dengan penurunan GT kapal, agar mendapat izin Dinas Kelautan dan Perikanan provinsi akan diawasi.

Dia memastikan, tidak ada ego sektoral dalam menangani kasus. Justru, Polda Kalbar siap memberikan bantuan PPNS Perikanan menanganai kasus-kasus.“Jangan ada sekat birokrasi, hingga kita tidak bisa leluasa menindak hukum dalam memerangi kejahatan. Penjahat tidak punya sekat birokrasi.”

Kapal-kapal asing yang berhasil diamankan dari perairan Kalbar. Foto: Aseanty Pahlevi

Kapal-kapal asing yang berhasil diamankan dari perairan Kalbar. Foto: Aseanty Pahlevi


Kejahatan Perikanan, Satgas Dorong Jerat Korporasi was first posted on March 27, 2015 at 5:48 pm.

Soal Moratorium Izin Hutan, Berikut Catatan buat Pemerintah

$
0
0

Hutan masih tampak rapat di pulau-pualu Kepualauan Aru, kini terancam setelah Zulkifli Hasan, memberikan izin pembabatan hutan kepada perusahaan HPH. Presiden Jokowi, diminta melindungi pulau-pulau kecil yang kaya keragaman hayati darat dan laut ini. Jika hutan hilang, darimana mereka bisa menyimpan sumber air? Dalam perpanjangan moratorium, pemerintah juga diminta memasukkan hutan di pulau-pulau kecil ini untuk dilindungi karena mereka penting bagi ekologi. Foto: FWI

Kebijakan penghentian sementara (moratorium) izin di hutan dan lahan gambut segera berakhir Mei 2015. Pemerintah, melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, memberikan kepastian kebijakan ini berlanjut tetapi tampaknya asal copy paste dari kebijakan lama, alias tak ada penguatan. Koalisi masyarakat sipil menilai, kondisi itu berbahaya bagi hutan alam negeri ini. Merekapun mendesak pemerintah melanjutkan moratorium dengan beberapa catatan perbaikan.

Teguh Surya dari Greenpeace Indonesia mengatakan, sampai revisi terakhir peta indikatif penundaan izin baru (PIPIB) November 2014, hutan dan lahan di Indonesia masuk kawasan moratorium sekitar 63,8 juta hektar. Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, hutan tak terlindungi seluas 42,8 juta hektar.

“Ini sisa hutan dan lahan gambut yang lupa diselamatkan. Total cukup besar. Komitmen Jokowi itu harus jadi ruh bagi perpanjangan moratorium. Kalau hanya copy paste dan hanya teruskan warisan SBY tanpa nilai tambah, ruh komitmen itu hilang,” katanya di Jakarta, Kamis (26/3/15).

Dari hasil analisis Greenpeace, kala moratorium diperpanjang tanpa penguatan, maka bersiap-siap 5,7 juta hektar hutan berpotensi hilang. Kawasan seluas ini, katanya, merupakan wilayah-wilayah hutan yang terbebani izin empat konsesi dan tumpang tindih serta masuk moratorium. “Kalau hanya perpanjangan komitmen, review perizinan tak ada, kawasan itu akan hilang. Ini konsekuensi pertama, 5,7 juta hektar hutan alam dipertaruhkan.”

Greenpeace juga membuat skenario kedua, kalau-kalau moratorium tak diperpanjang atau terlambat perpanjangan, selain 5,7 juta hektar,  kata Teguh, maka tambah lagi kawasan alokasi penggunaan lain dan hutan produksi konversi dalam moratorium seluas 4,3 juta hektar akan lenyap.

Dia yakin, saat ini sudah banyak pemerintah daerah yang bersiap-siap menandatangani izin andai moratorium ada jeda waktu sedikit saja. “Gubernur-gubernur nakal itu sekarang menunggu. Kalau 13 Mei tak ada tanda-tanda perpanjangan, mereka akan tanda tangan izin,” ujar dia.

Sisilia Nurmala Dewi, dari Devisi Advokasi dan Kampanye HuMA mengatakan, niat awal ada moratorium untuk memperbaiki tata kelola hutan primer dan lahan gambut. Jadi, tolak ukur, moratorium selesai jika ada perbaikan tata kelola. Namun, katanya, sampai saat ini dia tak paham, sejauh mana tata kelola itu berjalan.

Padahal, katanya, seharusnya, ada laporan kepada publik mengenai apa saja yang sudah dilakukan terkait upaya penyempurnaan tata kelola ini, misal soal satu peta (one map). “Hingga,  kami masyarakat sipil bisa memantau. Seharusnya, ada jelas, perbaikan tata kelola itu sampai tahap mana? Perpanjangan berapa lama? Perlu berapa? Harus ada bayangan, harus ada perencanaan baik.”

Dia menilai,   penting bagi Jokowi menetapkan satu organisasi tertentu tak harus di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai vocal point pertanggungjawaban moratorium ini.

Koalisi, katanya,  melihat dasar hukum moratorium lewat instruksi presiden (inpres) tak terlalu kuat untuk nilai kebijakan yang begitu penting. “Sekarang itu inpres bersifat peraturan individual yang kongkrit. Tapi call tujuan ini besar. Maka, buat perkuat itu penting misal dengan perpres hingga mengikat atau peraturan pemerintah karena mencakup banyak sektor,” ujar Sisilia.

Koalisi juga menyoroti pasal pengecualian dalam inpres moratorium agar dihapus. Yakni, mengecualikan izin-izin yang sudah keluar sebelum kebijakan moratorium ada, dan wilayah buat ‘kepentingan nasional’.  Alhasil, yang terjadi tiap enam bulan revisi PIPIB kawasan hutan masuk moratorium berkurang.

Hutan adat harusnya bisa terlindungi lewat moratoium. Foto: Huma

Tampak dari kejauhan hutan adat komunitas Taa’ Wana di Sulawesi Tengah. Hutan mereka, menjaga pasokan air bagi wilayah sekitar, sayangnya, ancaman investasi kerap mengintai. Seharusnya, perlindungan hutan adat bisa tercantum juga lewat moratorium. Foto: Huma

Soal penyempurnaan tata kelola, katanya, pemerintah diminta segera kaji ulang (review) izin-izin konsesi di kawasan hutan. Namun, katanya, jangan hanya berhenti pada review perizinan, penting juga, pemerintah membuat sistem agar berbagai masalah, seperti tumpang tindih, konflik dan lain-lain tak terjadi lagi.

Mereka juga mengusulkan agar perlindungan, pengakuan dan penguatan hak dan ruang kelola masyarakat adat/ lokal. Yakni, memperjelas tatacara pengakuan hak dan membangun mekanisme resolusi konflik sumberdaya alam.

Koalisi juga mendesak, agar pemerintah mengawali pembaharuan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam khusus kehutanan, untuk mendukung perbaikan tatakelola selama periode moratorium. Termasuk, katanya, aturan-aturan terkait lingkungan hidup diselesaikan, misal Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). “Ini penting buat agenda penyempurnaan tata kelola.”

Begitu juga soal resolusi konflik. Menurut dia, tak ada sama sekali instruksi atau mandat soal resolusi konflik dalam inpres. “Bicara penyempurnaan tata kelola hutan tak lepas dari penyelesaian konflik.”

Untuk itu, mereka berharap, moratorium tak hanya diperpanjang tetapi diperkuat dengan memasukkan resolusi konflik. “Mungkin ini peluang lebih besar karena ada penggabungan kementerian dan ada Menteri Agraria. Kami ingin inpres SBY itu dilihat kembali. Kelemahan-kelemahan itu diperbaiki,” ucap Sisilia.

Tak jauh beda dikatakan M Kosar dari Forest Watch Indonesia. Dia menyoroti selama masa moratorium, revisi PIPIB seolah-olah hanya buat pemanfaatan bukan perlindungan hutan. “Dari analisis kami kehilangan hutan alam, sudah capai 4,6 juta hektar dan 1,1 juta hektar di wilayah PIPIB. Ini yang tantangan besar buat Jokowi,” katanya.

Dia juga mempertanyakan capain perbaikan tata kelola dalam masa moratorium. “Capaian gak jelas. Siapa lakukan apa,  itu gak jelas. Ini yang harus segera dilakukan Jokowi, perjelas semua.”

Masalah penting lagi, kata Kosar, hutan alam di luar PIPIB sangat luas dan harus diselamatkan. FWI menilai, banyak hutan alam yang secara ekologis sangat penting, terutama di pulau-pulau kecil tetapi tak masuk moratorium. “Seperti hutan alam di Aru, tak masuk moratorium padahal secara ekologis miliki peranan penting.”

Tak pelak, di penghujung 2014, sebelum lengser, Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, masih sempat mengeluarkan peta indikatif arahan buat pemanfaatan hutan di Kepulauan Aru.

“Ini yang semestinya jadi perhatian bagi pemerintah saat ini buat tunjukkan keseriusan dalam melindungi hutan.”

Dia juga melihat, kebijakan saat ini, masih melihat ekosistem hutan alam secara integral, hanya hutan primer alam, hutan sekunder diabaikan. “Padahal, ini penting jadi hal yang perlu diselamatkan,” katanya.

Tak jauh beda dengan Zenzi Suhadi, Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan Besar Walhi Nasional. Dia mengatakan, hutan negeri ini sudah mengalami eksploitasi selama empat dekade dari 1970 an sampai 2015,  maka perlu istirahat buat pemulihan.

Kebijakan moratorium, katanya, semestinya bisa menjadi obat jika jeda sementara ini benar-benar menjadi momentum pemulihan lingkungan hutan bukan hanya istirahat.

Sayangnya, kata Zenzi, moratorium belum berjalan efektif dalam menyelamatkan hutan Indonesia. Karena,  selama empat tahun kurun dalam waktu moratorium, masih terjadi proses penerbitan izin buat hutan tanaman industri seluas 1,1 juta hektar.

Dari 2011-2014, ada proses pelepasan kawasan hutan seluas 7,8 juta hektar, di tujuh provinsi. “Setelah dicek di lapangan, kebanyakan kalau tidak konsesi buat kebun ya tambang. Artinya, moratorium izin tak terjadi dalam empat tahun terakhir. Karena masih ada proses penerbitan izin.”

Padahal, katanya, kebijakan moratorium SBY ini merupakan inisiatif baik. Namun, tak berjalan efektif karena masih berbasis waktu dan wilayah tertentu. “Moratorium itu akan efektif kalau dalam masa itu ada target akan dicapai, misal di satu provinsi target tutupan hutan sekian, maka izin di provinsi itu harus berhenti. Kalau kawasan hutan berkurang maka ada review. Jadi, ada langkah-langkah jelas.”

Menurut dia, moratorium efektif jika wilayah target tak hanya hutan alam dan kawasan gambut. Lalu, moratorium efektif bila ada sanksi tegas terhadap pelanggaran inpres itu. “Kita lihat dalam kawasan moratorium terbit izin oleh pemda, seperti di Kalimantan Tengah dan Indragiri Hilir,  Riau. Tak ada sanksi apa-apa,” ujar dia. Untuk itu, makna moratorium harus diperkuat dan inpres mempunyai kekuatan hukum bagi pelanggar.

Peneliti dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Dessy Eko Prayitno, menggarisbawahi soal pilkada serentak pada Oktober 2015. Jika sampai, perpanjangan moratorium lengah, akan dimanfaatkan oleh kepala-kepala daerah buat segera menerbitkan izin bekal dana kampanye. Pijakan moratorium, katanya.  juga semestinya lebih tinggi dari inpres.

Menurut dia, ICEL juga mencermati masalah kehutanan ini masih tak ada transparansi pemerintah. “Misal,  soal capaian moratorium itu macam apa sih? Kita tak ada gambaran sama sekali. Juga soal peta-peta konsesi,  itu seperti apa sih? Mana peta valid dan mana tidak. Ini harus jadi hal yang diperhatikan pemerintah.”

Beri masukan
Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, ketika dikonfirmasi soal penguatan dan capaian moratorium, mengatakan, senang mendapatkan masukan. “Kalau ada evaluasi seperti itu, kasih tahu saya saja, pasti saya pelajari. Akan kita perbaiki,” katanya di Jakarta, Jumat (27/3/15). Menurut dia, saat ini penting political will dari pemerintah. “Itu yang saya minta ketegasan ke kantor Menko Ekuin.”

Pulau Gee, Halmahera Timur, Maluku Utara. Pulau-pulau kecil ini dinaggap sebelah mata oleh pemerintah dan mungkin dianggap tak penting, hingga bisa begitu saja dieksploitasi hingga ludes, botak dan hancur lebur. Seakan, pulau ini hilang tak masalah yang penting sudah dikuras terlebih dahulu. Foto: AMAN Malut

Pulau Gee, Halmahera Timur, Maluku Utara. Pulau-pulau kecil ini dipandang sebelah mata oleh pemerintah dan mungkin dianggap tak penting hingga perusahaan, seperti perusahaan tambang itu, bisa begitu saja mengeksploitasi hingga ludes, botak dan hancur lebur. Seakan, pulau ini hilang tak masalah yang penting sudah dikuras terlebih dahulu. Foto: AMAN Malut


Soal Moratorium Izin Hutan, Berikut Catatan buat Pemerintah was first posted on March 27, 2015 at 11:50 pm.

Bangganya Ferdi Semai Menjadi Petani

$
0
0
Ferdi saat memanen sawi. Setiap hari, sayuran ini ia jual ke masyarakat sekitar 10-20 kilogram. Mejadi petani membuat Ferdi merasakan dekat dekat dengan alam dan masyarakat. Foto: Herwin Meidison

Ferdi saat memanen sawi. Setiap hari, sayuran ini ia jual ke masyarakat sekitar 10-20 kilogram. Mejadi petani membuat Ferdi dekat dengan alam dan masyarakat. Foto: Herwin Meidison

Tidak banyak orang yang ingin jadi petani. Terutama masyarakat perkotaan yang sudah terbiasa hidup dengan fasilitas mewah dan penuh hiburan. Penolakan menjadi petani karena terasumsi petani itu miskin dan hidupnya penuh keterbatasan.

Namun, dogma tersebut tidak berlaku bagi Ferdi Semai. Lelaki kelahiran Palembang tahun 1973 ini justru meninggalkan gemerlap kota dan memilih menjadi petani di pinggiran Kota Palembang. Tepatnya di Desa Muara Air Hitam, Kelurahan Pulokerto, Kecamatan Gandus, Palembang, Sumatera Selatan.

Di lahan rawa pasang-surut, yang jaraknya sekitar satu kilometer dari Sungai Musi, Ferdi membeli lahan seluas dua hektar. Saat dibeli, sebagian lahan berbentuk sawah dan setengahnya berupa rawa yang dalam setahun bisa terendam air hingga tiga bulan itu, ia olah.

“Dalam dua tahun terakhir, rawa ini yang saya manfaatkan sebagai lokasi tanaman sayuran. Saat terendam, fungsinya diubah menjadi tempat pembesaran ikan,” kata Ferdi, saat ditemui di pondok kayunya, Rabu (25/03/2015).

“Sebagian lahan yang agak tinggi, mungkin akan dijadikan kebun jelutung, karet, dan sejumlah tanaman khas rawa. Sementara yang berupa sawah, selain saya yang menanam, dibebaskan juga kepada warga untuk menanam padi,” ujarnya.

Di Palembang, Ferdi dikenal sebagai pelukis. Dia sempat merantau ke Bandar Lampung, Lampung, selama 15 tahun. Di kota itu dia bekerja di sebuah surat kabar, kemudian bergabung dengan production house pembuatan film dokumenter, dan aktif di sebuah lembaga swadaya masyarakat (NGO) kebudayaan.

Dijelaskan Ferdi, bekerja di kota ternyata tidak memberikan “kebahagiaan” yang dicarinya. “Semuanya terlihat semu. Berkesenian, berkarya, tidak dekat dengan alam dan masyarakat, yang ternyata membuat saya seperti tukang seni. Sibuk melayani masyarakat kota yang selalu lapar, tapi tidak ada yang saya dapatkan. Tiba-tiba saja hidup menjadi tua dan kosong,” katanya.

“Tiba-tiba saya memutuskan ingin menjadi petani. Saya yakin menjadi petani akan mendekatkan saya dengan alam dan masyarakat. Itu sudah saya rasakan sekarang,” ujarnya.

Dulu, lahan ini merupakan rawa yang tergenang air. Kini, setelah ditata akan dijadikan kebun sayuran dan jelutung. Foto: Herwin Meidison

Dulu, lahan ini merupakan rawa yang tergenang air. Kini, setelah ditata akan dijadikan kebun sayuran dan jelutung. Foto: Herwin Meidison

Membuat sungai

Saat datang ke Desa Muara Air Hitam, Ferdi menumpang di rumah penduduk. Setelah “membaca” lahannya, Ferdi tertarik untuk mengelola lahan miliknya berupa rawa seluas setengah hektar. Lokasinya berada di tepi sebuah kanal atau parit, yang dibuat tentara Jepang, saat Perang Dunia II.

Langkah berikutnya, Ferdi membangun sebuah pondok kayu yang dibantu masyarakat. Saat pondoknya selesai, tibalah musim penghujan, yang  membuat rawa itu digenangi air setinggi setengah meter. “Pernah suatu malam, saya tidak dapat pulang ke dusun. Saya terjebak di pondok. Tidak ada perahu. Ular, tikus, naik ke atas pondok. Itu pengalaman yang tidak terlupakan. Semalaman saya tidak tidur. Apalagi saat itu pondok ini belum dialiri listrik,” kenang Ferdi.

Dari pengalaman itu, Ferdi berpikir untuk memperdalam dan memperlebar kanal yang berada di depan pondoknya. Ferdi berasumsi, jika kanal tersebut dijadikan sungai, maka rawanya tidak lagi banjir. Bagaimana melakukannya? Dia pun mengusulkan ke pemerintah untuk melakukan normalisasi anak Sungai Musi. Setelah delapan bulan menunggu, bantuan itu pun terwujud.

Ternyata itu tidak gampang dilaksanakan. Warga yang berada di sekitar kanal, tidak semuanya setuju, apalagi harus menyumbangkan lahan milik mereka sepanjang 10 meter dari kanal. “Banyak yang bawa parang. Mereka marah dengan saya. Tapi setelah saya jelaskan manfaatnya. Seperti dapat dijadikan angkutan untuk membawa hasil bumi, seperti getah karet dari kebun, sebagian setuju. Tapi ada juga tidak setuju. Saya sendiri mengorbankan tanah sekitar 15 meter dari tepi kanal, sepanjang lima kilometer,” ujarnya.

Kini, kanal itu menjadi sebuah sungai. Lebarnya mencapai 4-5 meter. Dalamnya mencapai 4 meter. Perahu maupun speed bord dapat melaluinya. “Warga kemudian menghargai upaya saya dengan menamai anak sungai ini, Sungai Semai,” ujarnya.

Hulu Sungai Semai ini akan menuju ke Sungai Musi. Masyarakat sekitar memberikan nama Semai sebagai penghargaan kepada Ferdi atas pemikiran dan kepeduliannya terhadap pengelolaan lingkungan. Foto: Herwin Meidison

Hulu Sungai Semai ini akan menuju ke Sungai Musi. Masyarakat sekitar memberikan nama Semai sebagai penghargaan kepada Ferdi atas kepeduliannya terhadap pengelolaan lingkungan. Foto: Herwin Meidison

Objek Wisata

Apa yang dilakukan Ferdi selama dua tahun ini baru sekitar 10 persen dari mimpinya. Selain berkebun sayuran, bersawah, memelihara ikan, berkebun jelutung, karet, tanaman hutan, serta beternak bebek dan kambing, dia pun ingin membuka kolam pemancingan ikan yang dikelola masyarakat, serta perpustakaan lingkungan bagi anak-anak.

“Target saya lima tahun ke depan, lokasi ini dapat dijadikan objek wisata agro. Selain membuat saya hidup makmur dan tenang, juga membuat masyarakat di sini kian sejahtera,” katanya.

Bagaimana pembiayaan proyek tersebut? Ferdi menjelaskan, selain menggunakan dana pribadi, dia pun mendapatkan bantuan dari keluarganya. “Saya senang jika ada pihak yang mau membantu, yang setuju dengan apa yang saya mimpikan.”

“Saya percaya jika tidak dilakukan saat ini, maka lima tahun ke depan wilayah ini akan habis hutan dan rawanya untuk perumahan, pabrik, dan perkebunan,” ujar Ferdi.

Ferdi Semai bangga menjadi petani. Selain menemukan kedamaian, pemikirannya juga bermanfaat bagi petani yang berada di Desa Muara Air Hitam, Kota Palembang. Foto: Herwin Meidison

Ferdi Semai bangga menjadi petani. Selain menemukan kedamaian, pemikirannya juga bermanfaat bagi petani yang berada di Desa Muara Air Hitam, Kota Palembang. Foto: Herwin Meidison

 

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

 


Bangganya Ferdi Semai Menjadi Petani was first posted on March 28, 2015 at 1:23 am.

Peneliti Berhasil Temukan Jawaban Kenapa Jamur Bisa Bersinar

$
0
0

Tahukan anda, memang ada jamur yang benar-benar bersinar? Aristoteles menyadari fakta menarik ini lebih dari 2.000 tahun yang lalu. Ia juga adalah orang pertama yang mengajukan pertanyaan sederhana : mengapa?

Sekarang, para peneliti telah menemukan jawabannya. Dalam Jurnal Current Biology edisi 19 Maret 2015 yang dikutip dari science daily, peneliti memiliki jawaban bahwa jamur berpendar bertujuan untuk menarik serangga, termasuk kumbang, lalat, tawon, dan semut. Serangga-serangga itu membantu menyebarkan spora jamur di sekitarnya.

Neonothopanus gardneri, jamur besar yang bersinar dari Brazil. Foto : Michele P. Verderane/Sciencedaily.com

Neonothopanus gardneri, jamur besar yang bersinar dari Brazil. Foto : Michele P. Verderane/Sciencedaily.com

Penelitian itu juga menunjukkan bahwa bioluminescence jamur dipengaruhi  jam sirkadian. Peneliti menduga berpendarnya jamur mempunyai beberapa tujuan tertentu.

“Pengaturan (bioluminescence jamur dipengaruhi jam sirkadian)  menyiratkan fungsi adaptif untuk bioluminescence,” jelas Jay Dunlap dari Dartmouth Geisel School of Medicine.

“Tampaknya jamur membuat cahaya sehingga mereka diperhatikan oleh serangga yang dapat membantu jamur menjajah habitat baru,” kata Cassius Stevani dari Brazil Instituto de Química-Universidade de São Paulo. Kontrol sirkadian membuat berpendarnya jamur menjadi proses yang efisien.

Ada banyak contoh makhluk yang menghasilkan cahaya dengan berbagai cara. Dan diantara makhluk bercahaya tersebut, jamur yang paling jarang dan paling kurang dipahami. Tercatat  hanya 71 dari lebih dari 100.000 spesies jamur yang menghasilkan cahaya hijau dalam proses biokimia yang membutuhkan oksigen dan energi. Para peneliti percaya dalam banyak kasus bahwa jamur menghasilkan cahaya terkait dengan waktu. Hal itu menunjukkan bahwa bioluminescence mungkin merupakan hal yang sederhana, dan produk sampingan dari metabolisme.

Penelitian yang dipimpin oleh Dunlap dan Stevani menunjukkan berpendarnya jamur ternyata tidak sesederhana itu, paling tidak dalam kasus jamur Neonothopanus gardneri, salah satu jamur berpendar yang terbesar dan paling terang.

N. gardneri juga disebut flor de coco yang berarti bunga kelapa, oleh penduduk setempat di Brazil, karena jamur itu dapat ditemukan menempel pada daun di dasar pohon-pohon palem muda hutan kelapa.

Para peneliti menemukan bahwa cahaya jamur itu dipengaruhi oleh kendali jam sirkadian terkompensasi suhu. Mereka berpendapat bahwa kontrol cahaya tersebut mungkin membantu jamur menghemat energi dengan menyalakan cahayanya hanya agar mudah dilihat.

Untuk mengetahui fungsi pendar hijau untuk jamur, para peneliti membuat jamur palsu dari resin akrilik yang lengket dan bercahaya dengan lampu LED hijau didalamnya. Jamur itu ditempatkan di hutan dimana jamur bioluminescent yang sebenarnya ditemukan. Ternyata jamur palsu itu menarik banyak kumbang staphilinid pengembara, lalat, tawon dan semut yang terjebak dalam jamur itu.

Dunlap mengatakan mereka tertarik untuk mengetahui gen yang yang bertanggung jawab dalam pendarnya jamur dan pengaruh jam sirkadian terhadapnya. Mereka juga menggunakan kamera inframerah untuk melihat lebih dekat interaksi antara jamur N. gardneri dan arthropoda.

Hasil temuan ini tidak hanya keren, etapi juga bakal memahami bagaimana jamur bisa tersebar dalam hutan, karena jamur seperti N. Gardneri punya peran ekologis penting.

“Tanpa mereka, selulosa akan terjebak dalam bentuk, yang akan berdampak pada siklus seluruh karbon di bumi. Saya berani mengatakan bahwa kehidupan di Bumi tergantung pada organisme seperti ini,” kata Stevani.

Beberapa jamur dalam kelompok Basidiomycetes, termasuk dua jamur bioluminescent, yang merupakan jamur parasit pohon kopi dan pinus. “Sangat penting untuk mengetahui bagaimana Basidiomycetes tumbuh dan bagaimana akibar dari penyebaran sporanya,” tambah Stevani.


Peneliti Berhasil Temukan Jawaban Kenapa Jamur Bisa Bersinar was first posted on March 28, 2015 at 2:30 am.

Gerakan Earth Hour di Aceh Serukan Pentingnya Penyelamatan Gajah Sumatera

$
0
0
Gerakan Earth Hour di Aceh tidak hanya mengajak penghematan energi tetapi juga penyelamatan gajah sumatera. Foto: Junaidi Hanafiah

Gerakan Earth Hour di Aceh tidak hanya mengajak penghematan energi tetapi juga penyelamatan gajah sumatera. Foto: Junaidi Hanafiah

Gerakan Earth Hour di Provinsi Aceh, yang dilakukan Sabtu pagi (28/3/2015), tidak hanya mengajak masyarakat untuk mematikan listrik selama satu jam. Tetapi juga, menyerukan pentingnya penyelamatan gajah sumatera yang terancam punah.

Tema Earth Hour  yang diusung di Aceh adalah #Use Your Power, Help The Sumatran Elephants atau selamatkan gajah sumatera dari kepunahan.

“Saat ini, nasib gajah sumatera khususnya di Aceh sangat memprihatinkan. Jumlahnya semakin berkurang akibat perburuan dan konflik dengan manusia,” sebut Koordinator Earth Hour Aceh, Andri Munazir.

Menurut Andri, kegiatan ini tidak hanya mengajak masyarakat mematikan listrik selama satu jam dan menyelamatkan bumi dari pemanasan global. Tapi juga mengajak semua pihak untuk peduli pada gajah sumatera yang kondisinya makin terancam. “Parade nasib gajah dilakukan juga dengan berkeliling Banda Aceh yang diramaikan juga denga aksi teatrikal bersama para seniman dari Sanggar Seni 55.”

Andri menjelaskan, puncak aksi Earth Hour akan ditandai dengan pemadaman lampu selama satu jam malam ini mulai pukul 21.00 – 22.00 WIB di Museum Tsunami dan Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. “Akan dilakukan juga pelepasan 100 pelari dari Komunitas Indorunner Aceh dan Cimsa yang akan berlari sejauh tujuh kilometer,” ujarnya.

Gajah sumatera harus diselamatkan dari kepunahan akibat konflik dan perburuan. Foto: Junaidi Hanafiah

Gajah sumatera harus diselamatkan dari kepunahan akibat konflik dan perburuan. Foto: Junaidi Hanafiah

Koordinator Gerakan Indonesia Sahabat Gajah, Nurjannah Husein dalam orasinya menyebutkan, setiap tahun, cukup banyak gajah yang mati di Aceh. Pembunuhan satwa dilindungi tersebut tidak hanya dilakukan oleh masyarakat yang kebun mereka dirusak oleh gajah, tapi juga oleh pemburu gading.

“Sebagian besar gajah jantan yang mati di Aceh, telah kehilangan gading, ini membuktikan, gajah tidak hanya dibunuh karena mengganggu kebun, tapi juga karena ingin diambil gadingnya,” sebut Nurjannah.

Menurut Nurjannah, jika dikalkulasikan pembunuhan gajah yang terjadi di Aceh, Riau, dan Lampung, dalam tiga tahun terakhir ini jumlahnya mencapai 90 ekor. ”Kami khawatir, gajah-gajah sumatera di Aceh sudah menjadi target para pemburu gading,” ujarnya.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Genman Hasibuan  menyebutkan, hingga saat ini belum ditemukan solusi yang tepat penanganan konflik antara gajah dengan manusia. “Konflik ini dimanfaatkan para pemburu gading. Mereka membunuh gajah yang  terkesan dilakukan masyarakat karena merusak kebun,” ujar Genman.

Genman juga mengatakan, saat ini, jumlah gajah di Acehsiperkirakan hanya 450- 500 ekor. Gajah tersebut tersebar di 20 kabupaten/kota di Aceh. Hanya Banda Aceh, Sabang, dan Simeulu yang tidak ada gajahnya. “Untuk mencegah meningkatnya konflik gajah dengan masyarakat, BKSDA bekerja sama dengan berbagi pihak telah memasang kalung GPS (Global Positioning System) pada gajah liar yang fungsinya dapat memetakan pergerakan gajah sehingga mempermudah penanganannya,” jelas Genman.

Jumlah populasi gajah sumatera yang terus menurun memerlukan kepedulian kita bersama dalam upaya penyelamatannya. Foto: Junaidi Hanafiah

Jumlah populasi gajah sumatera yang terus menurun memerlukan kepedulian kita bersama dalam upaya penyelamatannya. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio 


Gerakan Earth Hour di Aceh Serukan Pentingnya Penyelamatan Gajah Sumatera was first posted on March 28, 2015 at 6:49 am.
Viewing all 9428 articles
Browse latest View live